Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Bahas foto Karang Bereum

$
0
0

Saat berkunjung ke Sawarna tgl 25 & 26 April yang lalu, tidak disangka-sangka hujan cukup deras dan terus menerus dari sore sampai malam hari. Untungnya di hari kedua, cuaca cukup baik meskipun agak berawan. Saat matahari terbit, langit mulai menjadi lebih biru dan awan membentuk pola dan warna yang menarik.

Saya berdiri diatas karang yang cukup tinggi dan memotret dari atas. Meskipun hari sebelumnya mendung, tapi ombak cukup tinggi, saya tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menunggu ombak melewati karang seperti hari-hari lainnya.

karang-beureum-01

Untuk komposisi foto ini, saya mencoba menyeimbangkan karang Beureum (karang merah) yang berada di sebelah kiri, dan awan yang berada di sebelah kanan.

Supaya airnya terlihat halus, saya membutuhkan shutter speed yang lambat (mendekati satu detik). Tapi saat itu langit sudah cukup terang, dan meskipun ISO sudah 100 dan bukaan relatif kecil (f/8), shutter speed yang saya dapatkan masih cukup cepat yaitu sekitar 1/60 detik. Shutter speed 1/60 detik belum mampu memuluskan air. Oleh sebab itu, saya memasang filter ND 6 stop sehingga bisa mendapatkan shutter speed yang relatif lambat (0.8 detik). Karena air mengalir cukup cepat, maka aliran air yang mulus bisa didapatkan.

Data teknis: ISO 100, f/8, 0.8 detik, Filter 6 stop.

Hasil foto saya agak butek warnanya karena saya memotret dengan file RAW yang belum diproses. Saat di proses/edit di Lightroom, saya mencoba menaikkan warna supaya terlihat lebih menarik. Nilai Vibrance dan Saturation saya naikkan, beserta saturasi masing-masing warna kunci seperti biru, unggu, magenta dan orang saya tinggikan supaya warna-warna tersebut lebih menonjol seperti apa yang saya lihat pagi itu.

Screen Shot 2015-05-11 at 10.04.30 AM

karang-ba


Infofotografi secara rutin mengadakan tour fotografi, termasuk ke Sawarna. Yang paling dekat adalah tanggal 13 & 14 Juni 2015. Bagi yang berminat ikut, silahkan hubungi 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com untuk mendaftar.

Belajar Lightroom bisa lewat buku secara otodidak, atau hadiri workshop sehari Infofotografi. Info jadwalnya di sini. Hub 0858 1318 3069 untuk mendaftar.


Memilih sistem : APS-C atau Full Frame?

$
0
0

Memilih sistem kamera kalau ditinjau dari ukuran sensornya bisa dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kamera dengan sensor APS-C dan full frame. Dulunya sistem full frame adalah sistem yang dipakai oleh fotografer pro, lalu untuk kebutuhan hobi dan profesi (semi pro) tersedia pilihan sistem APS-C. Awalnya baik sistem full frame maupun sistem APS-C keduanya dikemas dalam format kamera DSLR, dan tersedia baik untuk merk Canon dan Nikon. Saat kamera mirrorless sudah semakin populer seperti sekarang, tercatat hanya Sony yang menyediakan dua sistem pada lini Alpha mereka, yaitu A7 series untuk full frame dan A6000 ke bawah untuk APS-C (walau Sony juga masih menyediakan 2 sistem untuk format SLT A-mount juga). Sedangkan Fuji, Canon dan Samsung tampak sudah nyaman dengan format mirrorless APS-C, dan di kelompok lain juga ada merk yang tetap konsisten di format lebih kecil seperti Micro 4/3 atau sistem 1 inci.

Pertanyaan yang kerap dirasakan oleh mereka yang akan mulai terjun di bidang fotografi, atau mereka yang akan ganti sistem adalah, sistem APS-C atau sistem full frame yang akan dipilih? Pilihan ini bukan sekedar berapa harga kameranya, atau sistem mana yang hasil fotonya lebih bagus. Pilihan tentu perlu mempertimbangkan banyak hal, misal dukungan (dan harga) lensa, juga kita perlu bisa memprediksi arah jangka panjang dari produsen kamera yang kita minati. Serumit itu kah? Ya begitulah kira-kira..

nikon-d750

Kita ambil contoh Nikon. Produsen kamera yang satu ini sudah membagi segmentasi DSLR full frame (FX) mereka dengan lengkap, yaitu D610, D750, D810 dan D4s. Sedangkan di lini APS-C (DX), walau ada duo pemula (D3300-D5500) dan DX semi-pro (D7200) tapi tidak se-variatif lini FX. Selain itu juga produksi lensa DX tipe baru semakin jarang terdengar, Nikon terlihat lebih sering membuat lensa FX (memang lensa FX bisa dipasang di bodi DX tapi kan lensa DX juga punya kelebihan dalam hal ukuran yang kecil dan harga yang terjangkau). Dari hal ini wajar kalau banyak pihak menyimpulkan Nikon seperti lebih mementingkan sistem FX mereka. Tapi apa benar begitu tentu pihak Nikon yang lebih tahu, kita hanya menebak-nebak saja.

canon5ds-r

Sistem DSLR Canon tampak lebih seimbang, baik lini APS-C dan full frame segmentasinya sama-sama lengkap. Sedikit catatan saja bahwa lensa-lensa Canon EF-S (yang dirancang untuk sistem APS-C) tidak bisa dipasang di bodi Canon full frame. Dan agak mirip dengan Nikon, belakangan ini jarang terdengar ada kabar Canon memproduksi lensa EF-S baru, kecuali hanya menyegarkan lini yang sudah ada dengan teknologi STM.

sony-a7s

Beralih ke mirrorless, kita tinjau merk Sony ternyata juga tampak ada kemiripan segmentasi dengan Nikon, sistem full-frame mereka mulai beragam dan produk seperti A7 generasi pertama harganya semakin terjangkau. Pilihan lensa FE juga mulai bertambah banyak, walau harus diakui lensa-lensa FE memang umumnya dijual tidak murah. Bayangkan bila harga A7 terus turun sampai berbeda sedikit atau nyaris sama dengan kamera APS-C maka kompetisi ini akan semakin menarik. Bagi anda yang pakai sistem Sony Aplha mirrorless APS-C (misal A6000 atau A5000), bila berencana ganti ke Sony Alpha mirrorless full frame maka mulailah membeli lensa FE (bukan E). Walau lensa FE dan lensa E keduanya sama-sama E-mount, tapi lensa E hanya dirancang untuk pas di APS-C dan akan terkena crop bila dipasang di full frame.

Kiri: Olympus OMD EM1, kanan: Fujifilm XT1

Sensor lebih kecil dari full frame : Olympus (Micro 4/3) dan Fujifilm XT1 (APS-C)

Okelah, setiap produsen punya hak untuk merencanakan strategi produk mereka ke depan, kita tinggal mengikuti saja trennya. Saya amati sistem yang dibangun oleh Fuji X, Canon EOS M dan Samsung NX memang tidak (belum?) mengarah ke sistem full frame. Jadi bila kita dalam jangka panjang tidak (belum) ada rencana pakai sistem full frame, maka investasi di ketiga merk APS-C yang saya sebut barusan tidak ada masalah. Fuji punya beragam produk dan lensa berkualitas dengan sistem APS-C, Samsung juga membuat terobosan dengan NX-1 yang dalam fiturnya banyak mengalahkan kamera DSLR APS-C. Samsung tinggal menambah beberapa lensa premium (khususnya lensa fix) dalam lini NX mereka.

Kesimpulan :

Artikel singkat ini hanya ingin mengenalkan pilihan sistem untuk setiap tipe dan merk. Intinya untuk DSLR memilih APS-C atau full frame pada dasarnya bebas saja, baik di kubu Canon maupun Nikon, karena pilihan bodi yang ada sudah lengkap, tinggal lensanya saja menyesuaikan. Di kubu mirrorless bagi yang menginginkan sistem full frame bisa melirik Sony, bagi yang ingin mirrorless APS-C bisa memilih Sony, Fuji, Samsung atau Canon.

APS-C vs ff

Oya, bagi pembaca yang masih bingung apa bedanya APS-C dan full frame, pada dasarnya keduanya hanya beda di dimensi fisik ukurannya. Sensor full frame berukuran lebih besar dari APS-C, sehingga perlu lensa yang diameternya juga lebih besar. Untung rugi dari kedua sistem dapat saya simpulkan sebagai berikut :

Sistem Full Frame

Keuntungan :

  • hasil foto lebih baik dibanding APS-C (dynamic range, detail, noise dan hal-hal teknis lainnya)
  • tidak mengalami crop lensa (cocok untuk lensa lebar, misal lensa wide 18 mm ya tetap 18mm)
  • lebih bokeh (blur)

Kekurangan :

  • harga sensor lebih mahal, kamera full frame bisa didapat mulai 14 jutaan
  • perlu lensa yang lebih besar diameternya > umumnya lebih mahal

Sistem APS-C

Keuntungan :

  • harga sensor lebih murah, kamera APS-C bisa didapat mulai 4 jutaan
  • bisa pakai lensa yang untuk APS-C, atau bisa juga pakai lensa full frame
  • hasil foto masih relatif baik, bahkan untuk kebutuhan profesional sekalipun bisa
  • crop lensa membantu untuk jangkauan telefoto (misal lensa 200mm seakan-akan jadi 300mm kalau di crop 1,5x)

Kerugian :

  • kualitas hasil foto dibawah sensor full frame (khususnya di ISO tinggi)
  • untuk kesan luas perlu lensa lebih wide (misal 10mm)

Tour Melaka 18-20 September 2015

$
0
0

Melaka (Malaka/Malacca) adalah kota bersejarah yang terletak di tepi Selat Malaka. Karena lokasinya yang strategis dalam perdagangan di abad ke-15, Melaka adalah tempat pemberhentian penting bagi Laksamana Cheng Ho selama tahun 1405-1433. Armadanya biasanya berjumlah lebih dari 300 kapal dan 27.000 kru kapal.

Di Melaka, saat musim tertentu, kru kapal menetap di Melaka dalam jangka waktu lama dan sebagian menetap dan menikah dengan orang lokal. Pernikahan antara warga Tiongkok dengan warga Melayu membuat kebudayaan baru yang dinamakan budaya peranakan Baba Nyonya.

melaka-01Di tahun 1550 Portugis datang menjajah Melaka. Di tahun 1641, Belanda mengalahkan Portugis dan menguasai Melaka. Di tahun 1824, Belanda menukar wilayah dengan Inggris yaitu Bengkulu dengan Melaka , dan kemudian Melaka bergabung dengan Malaysia di tahun 1963.

Sejarah yang panjang dan berliku-liku membuat Melaka kota bersejarah yang sangat penting di masa lampau. Dan untungnya lagi masih banyak peninggalan sejarah baik berupa arsitektur ataupun budaya yang masih dijaga dengan cukup baik.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak teman-teman pembaca/alumni untuk ikut dalam acara tour Melaka. Dalam tour ini banyak lokasi dan kesempatan untuk menyalurkan hobi fotografi (termasuk spot narsis) dan kuliner :)

christ-church-iesan

Highlight tempat yang dikunjungi:

  • Jonker Walk : Pasar malam yang menjual berbagai snack dan  suvenir di sepanjang jalan dengan arsitektur jaman dulu.
  • Red Square : Dikelilingi oleh bangunan berwarna merah dengan arsitektur Belanda. Salah satu yang ikonik yaitu Christ Church & Stadhuys.
  • Riverwalk : Menjelajahi sungai di pagi atau sore hari sambil memotret merupakan sensasi tersendiri.
  • St. Paul Church : Terletak di sebuah bukit dan kini yang tersisa adalah reruntuhan dan batu nisan berukuran besar
  • Mesjid Selat Melaka : Termasuk mesjid yang baru dibuat. Mesjid ini unik karena terletak dipinggir laut. Spot populer untuk foto sunset atau prewedding.
  • Jalan Tokong, dimana terdapat beberapa tempat ibadah yang sudah sangat tua seperti Cheng hoon Teng (1645), kelenteng tertua di Melaka, Mesjid Kampung Kling  (1868) yaitu salah satu mesjid tertua di Melaka dan Pura Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi (1890-an).

Karena Melaka merupakan tempat pertemuan banyak suku bangsa, maka banyak sekali jenis makanan yang beragam. Oleh sebab itu, saya akan memandu teman-teman untuk mencoba berbagai jenis makanan khas di Melaka.

selat-melaka-mosque

iesan-liang

Highlight kuliner:

  • Makanan Baba Nyonya : Makanan khas keturunan masyarakat Tionghua dan Melayu di Melaka. Beberapa yang terkenal yaitu Ayam buah Keluak, Ikan asam pedas, Cincalok, Es Cendol (halal).
  • Ayam Tandori dan Naan : Makanan khas India yang sangat terkenal karena komunitas warga India yang cukup besar di Malaysia. (halal).
  • Hainan Chicken dan rice ball : Banyak imigran dari Hainan yang menetap di Melaka dan mempopulerkan makanan khas Hainan yaitu ayam rebus dengan nasi Hainan. Bedanya dengan tempat lain yaitu di Melaka, nasinya dibuat dalam bentuk bulat seperti bola pingpong. (ada restoran yang halal, ada yang tidak).
  • Dimsum, Bakcang biru, Bakpau, Lumpiah. Biasanya untuk sarapan.  (non-halal)
  • Nasi Lemak (seperti nasi uduk) dengan lauk telor, ikan teri, kacang, sambal (halal).
  • Mille Crepe : Cake asal Perancis yang memiliki crepe berlapis-lapis.
food-melaka-collage-01

Dari kiri atas, searah jarum jam: Mille Crepe, Chicken rice ball, bakcang, ayam Tandori

food-melaka-collage-02

Dari kiri atas, searah jarum jam : Cincalok, ayam buah keluak, lumpiah, dim sum

Tanggal pelaksanaan tour: Jum’at – Minggu, 18 – 20 September 2015

Biaya tour: Rp 2.250.000,-

Titik kumpul di Bandara KLIA.

Tempat terbatas 16 peserta saja.

Peserta dianggap sudah terdaftar apabila melunasi biaya tour.

Bisa ditransfer ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780

Pembatalan: Boleh digantikan dengan orang lain. Tiket tidak bisa refund, tapi bisa diubah jadwalnya dengan membayar biaya administrasi maskapai.

Biaya termasuk:

  • Guide dan bimbingan fotografi
  • Transportasi bus pp KL-Melaka
  • Akomodasi hotel baru gaya minimalis, sharing 2 orang
  • Makan malam di hari pertama

Biaya tidak termasuk:

  • Tiket pesawat ke KL (kurang lebih Rp 1-1.5 juta) dengan Malaysia Airlines
  • Makan dan minum di hari kedua & ketiga
  • Biaya masuk tempat wisata seperti museum (opsional)

Informasi: 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Kamera baru : FujiFilm X-T10 dan Panasonic Lumic DMC-G7

$
0
0

Baru saja ada dua kabar menarik hadir hampir bersamaan, yaitu FujiFilm meluncurkan kamera mirrorless Fuji X-T10 dan Panasonic juga merilis Lumix DMC-G7. Dari segmentasinya, Fuji X-T10 dimaksudkan sebagai versi ‘ekonomis’ dari X-T1 yang populer, sedangkan Lumix G7 adalah penerus dari Lumix G6 (yang juga ditujukan sebagai versi ‘ekonomis’ dari Lumix GH4) yang berada diatas seri GF dan dibawah seri GX dan GH. Secara kebetulan, Fuji X-T10 dan Lumix G7 dijual di kisaran harga yang mirip (800-900 USD), spesifikasi dan fitur yang dimiliki juga banyak kesamaan.

Kedua kamera 16 MP ini misalnya sama-sama menjadi kamera mirrorless yang punya jendela bidik yang detail (2,36 juta dot), punya dua roda kendali setting, built-in flash dan hot shoe, serta banyak fungsi kustomisasi tombol. Deretan fitur itu kerap menjadi must-have features pada kamera untuk fotografer yang lebih serius, selain itu fitur must have untuk kamera 2015 seperti fitur Wifi juga ada pada kedua kamera. Dari bentuknya memang Fuji X-T10 masih mengadopsi desain retro klasik, sedang Lumix G7 membawa kesan modern futuristik, dan ukuran keduanya juga kurang lebih sama.

Fuji X-T10

Fuji X-T10 dari depan, tampak sensor ukuran APS-C

Dalam banyak hal Fuji X-T10 memang masih banyak kemiripan dengan Fuji X-T1, misalnya dibuat dengan desain bodi berbahan magnesium alloy (namun tidak weathersealed) dan ada roda pengaturan shutter speed di bagian atas bodi. Bedanya kini X-T10 justru menyediakan pop-up flash, walau sebagai komprominya ukuran jendela bidik jadi mengecil.

Fuji X-T10 back

Fuji tampak belakang, tombol 4 arah tidak ada labelnya karena bisa dikustomisasi

Hal-hal yang menarik dari Fuji X-T10 adalah tentu saja kekuatan sensornya (X trans APS-C), desain retro klasik yang mengingatkan pada kamera Fujica jaman dulu, sistem auto fokus deteksi fasa yang kinerjanya sudah setara dengan update firmware terkini Fuji X-T1 (seperti ada zone AF dan eye detect AF) dan ada digital split image untuk manual focus. Soal kinerja masih tetap impresif dengan lag sangat singkat, ISO 25600, 8 fps, shutter speed hingga 1/32000 elektronik, dan tentunya berbagai Film Simulation yang disukai banyak fans Fuji.

Lumix G7

Lumix G7 dari depan, tampak grip yang mantap dan sensor Micro 4/3 (crop 2x)

Lumix G7 di sisi lain memang tidak memberi kejutan pada sensor yang dipakai, kabarnya sensor di G7 adalah sama dengan yang dipakai di GF7 yaitu Live MOS 16 MP dengan crop factor 2x. Sensor Micro 4/3 mungkin terkesan kalah dalam hal ukuran, namun Panasonic mengklaim teknologi Venus Engine terbarunya mampu memaksimalkan performa sensor ini sehingga bisa dipaksa hingga ISO 25600, bisa rekam dan ambil foto resolusi 4K (foto 4K itu setara 8 MP dan sekali jepret akan diambil 30 frame).

Lumix G7 back

Lumix dari belakang, tampak ada tuas mode fokus melingkari tombol AF lock.

Lumix G7 mengabil konsep desain bodi modern futuris, juga mengadopsi teknologi auto fokus deteksi kontras DFD milik GH4. Sistem layar LCD putar yang bisa disentuh tentu lebih memudahkan penggunanya. Jendela bidik OLED 0,7x juga sudah termasuk mewah untuk ukuran kamera seharga 8 jutaan ini.

Opini saya (Erwin Mulyadi) :

Fuji X-T10 akan meneruskan sukses X-T1 sebagai kamera berkualitas, kinerja tinggi dan bisa dipakai dari penghobi pemula sampai mahir. Selisih harga yang cukup jauh ditebus dengan hilangnya bodi tahan cuaca (weathersealed body), jendela bidik mengecil dan tidak lagi dibuat di Jepang, bagi saya tidak masalah karena esensinya kamera X-T10 masih tetap sama dengan X-T1. Kamera ini akan berhadapan langsung dengan sesama mirrorless APS-C setara (misal Sony A6000 atau penerusnya, Samsung NX30) atau DSLR dengan harga setara (Nikon D5500, Canon 760D) dan hadirnya X-T10 ini bisa jadi akan membuat kamera Fuji X-M1 jadi kurang diminati karena harga terpaut sedikit tapi X-M1 tidak ada jendela bidik dan autofokus yang lebih canggih.

Sistem kamera Fuji tentu tidak lepas dari koleksi lensanya, faktanya memang lensa-lensa Fuji XF punya kualitas tinggi namun juga dijual dengan bandrol harga yang tidak murah. Sehingga mereka yang akan membeli Fuji X-T10 karena semata-mata ingin kamera yang lebih murah dari X-T1 sebaiknya perlu berpikir juga tentang investasi lensanya ke depan. Fuji X-T10 lebih cocok ditujukan bagi mereka yang ingin bodi lebih kecil dan lebih ringan dari X-T1 atau sudah punya kamera Fuji kelas atas (X-Pro, X-E atau X-T1) dan mencari kamera kedua untuk pendamping atau cadangan.

Di lain pihak Lumix G7 merupakan regenerasi rutin dan memperbaiki beberapa hal dari Lumix G6 dan Panasonic boleh untuk mengambil hal-hal baik dari GH4 (kamera kelas atas mereka) seperti fitur DFD untuk auto fokus yang cepat, dan kemampuan prosesor quad core untuk menangani data 4K yang sangat tinggi (dan kartu memori kecepatan ekstra tinggi). Panasonic (dan Olympus) memang belum membuat terobosan dalam hal sensornya karena memang batas 16 MP sudah push to the limit bagi sensor ukuran Four Thirds.

Maka itu kamera G7 ini walau secara hasil foto sedikit kalah dibanding kamera lain dengan sensor yang lebih besar (APS-C apalagi full frame), namun tetap menarik untuk dipertimbangkan karena value vs feature yang seimbang. Sensor yang ukurannya lebih kecil bisa disikapi positif juga, misal ukuran lensa yang ada jadi lebih kecil cukup signifikan, cocok bagi yang suka peralatan ringkas dan tidak berat. Lagipula lensa sistem Micro Four Thirds didukung oleh Panasonic dan Olympus juga, lebih banyak pilihan dan harganya umumnya tidak terlalu mahal. Dengan sistem Micro 4/3 ini membuka peluang kita untuk bisa punya lensa berkualitas dengan harga lebih terjangkau dan ukuran lebih kecil, sesuatu yang mungkin di sistem APS-C terasa hampir mustahil.

Opini Enche Tjin

Entah kebetulan atau disengaja, pengumuman kedua kamera berada di hari yang sama dengan harga yang tidak jauh berbeda. Fujifilm XT10 tidak menawarkan perkembangan signifikan (selain firmware autofokus barunya), sedangkan Panasonic G7 juga sama, fitur-fiturnya banyak yang diwariskan dari abangnya, Panasonic GH4. Dijual dibawah $1000 (Rp 10 juta), keduanya berusaha menarik minat penggemar fotografi yang merasa kamera Fuji XT-1 dan Panasonic GH4 terlalu mahal.

Yang saya cermati juga, desain kedua kamera kini beralih ke model DSLR (ada punuk ditengah kamera untuk jendela bidik). padahal awalnya bergaya rangefinder yang bentuknya kotak dan jendela bidik jika ada berada disisi kiri seperti Fuji seri XPRO dan XE. Desain ala DSLR ini mungkin ditujukan untuk pengguna kamera DSLR untuk merasa nyaman dan tertarik pindah ke kamera mirrorless yang lebih ringan dan kecil dimensinya.

Fujica ST605 - Kamera DSLR Fuji era 1970-an

Fujica ST605 – Kamera DSLR Fuji era 1970-an

Untuk fotografer yang hanya berkonsentrasi di fotografi dan memprioritaskan kualitas foto, Fujifilm XT10 saya pikir lebih cocok, karena diatas kertas, sensor APS-C dan X-Trans lebih unggul dari sensor micro four thirds meskipun jumlah pixelnya sama (16MP). Kualitas lensa Fuji juga sudah teruji (tapi sebagian lensa zoom Fuji agak besar dan harganya tinggi).

Di ranah video, Panasonic G7 memberikan angin segar ke videografer independent yang terbatas budgetnya. G7 ini jauh lebih bagus dari Fuji X10 dengan pilihan merekam video resolusi 4K. Apalagi saat ini untuk bisa merekam video 4K tidak banyak pilihan dan rata-rata cukup mahal (Panasonic GH4, Sony A7S + Atomos Shogun, Samsung NX1 dan NX500).

Bagi casual action/wildlife photography, G7 juga menarik karena kita bisa merekam video 4K dan kemudian mengextract foto berkualitas tinggi dari video tersebut (satu frame foto 8 MP) sehingga kita bisa memilih momen yang paling pas, sekaligus mendapatkan rekaman videonya. Layar sentuh dan grip (pegangan) yang lebih dalam juga potensial membuat user experience lebih menyenangkan.

Hunting bareng Sunda Kelapa bersama Sony Alpha 7 Juni 2015

$
0
0

Setelah sukses mengadakan beberapa workshop Sony Alpha (Jelajahi fitur kamera mirrorless dan mengenal sistem flash Sony Alpha), kini Infofotografi bekerjasama dengan Sony kembali untuk mengadakan hunting bareng di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.

Sunda Kelapa

Hunting bareng ini diadakan di pagi hari saat cahaya matahari masih lembut dan tidak terlalu panas. Kita bisa berkeliling di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan memotret kapal-kapal pinisi dan aktivitas pelabuhan dan penduduk setempat.

Di hunting ini, Enche Tjin akan berbagi tip dan trik untuk setting autofokus untuk subjek bergerak, tidak bergerak, autofokus dan juga tip-trik manual fokus.

Kesempatan hunting ini juga membuka peluang teman-teman untuk bertemu, berkenalan dan sharing fitur-fitur dan setting kamera mirrorless terutama kamera Sony Alpha & Sony NEX.

Bonus: Tip-trik setting kamera Sony A7, A6000, A5100, A5000, NEX, dll, dalam bentuk e-book (PDF) edisi revisi. Ekslusif hanya untuk peserta dikirim melalui e-mail saat registrasi.

Karena tempat terbatas (maksimum 30 peserta), maka disarankan untuk mendaftar terlebih dahulu.

Biaya mengikuti acara ini Rp 50.000 saja per orang.
Pembimbing : Enche Tjin

Tersedia konsumsi minuman dan snack.

DSC09916

Hari/Tanggal: Minggu, 7 Juni 2015. Pukul 07.00 – 10.30 WIB
Tempat: Pelabuhan Sunda Kelapa.
Meeting point: Lapangan parkir di dalam Sunda Kelapa

Info dan konfirmasi pendaftaran:
0858 1318 3069 /infofotografi@gmail.com
Rek. BCA 4081218557, Mandiri 1680000667780
Atas nama Enche Tjin

DSC09941

*Foto-foto diatas dibuat oleh Enche Tjin dengan Sony A7S dan lensa Sony FE 28mm f/2 di Pelabuhan Sunda Kelapa  bulan Maret 2015 yang lalu.

Review Sony Zeiss FE 35mm f/1.4 ZA Distagon T*

$
0
0

Sudah cukup lama pengguna kamera mirrorless Sony mendambakan lensa berbukaan besar yang profesional. Sebelum lensa Sony FE 35mm f/1.4 ini, Sony memiliki beberapa lensa berbukaan besar seperti Sony FE 55mm f/1.8. Sony FE 35mm f/2.8., Zeiss Loxia 35mm f/2. Jika masih belum puas dengan lensa-lensa yang sudah tersedia, biasanya pengguna kamera mirrorless Sony direkomendasikan untuk mengunakan lensa Sony A-mount dengan adapter. Meskipun lensa 55mm f/1.8 dan 35mm f/2.8 secara kualitas optik sangat baik, tapi bukaan maksimum f/1.8 dan f/2.8 tidak terlalu mengesankan bagi penggemar fotografi serius dan profesional.

sony-fe-35mm-f14-01Lensa Sony Zeiss FE 35mm f/1.4 ini merupakan jawaban Sony dan merupakan lensa fix 35mm yang terbaik saat ini. Kamera ini memiliki desain yang cukup unik karena adanya aperture ring di lensa. Sampai saat ini, hanya lensa ini yang memiliki fitur ini. Pilihan bukaan lensa mulai dari yang terbesar f/1.4 sampai f/16. Pilihan antara 1/3 stop juga tersedia, demikian juga pilihan A (Auto). Ada tuas Click (ON-OFF) untuk mengatur bukaan lensa dengan mulus tanpa klik/step. Biasanya ON untuk fotografi dan OFF untuk videografer untuk mengubah bukaan lensa saat merekam video).

sony-fe-35mm-f14-02

Built-quality dari lensa ini tergolong profesional, weather sealing, termasuk tahan air dan debu dan kelembababan untuk fotografi di cuaca yang tidak bagus.

Lensa berbukaan besar dan built-quality yang berkualitas tinggi disertai dengan adanya aperture ring mengakibatkan dimensi lensa agak besar dan juga beratnya lumayan. Dibandingkan dengan lensa DSLR profesional Canon dan Nikon, yang Sony sedikit lebih panjang dan berat (11,2 cm, 630 gram). Sebagai perbandingan: Lensa Canon 35mm f/1.4 L (panjang 8,64 cm, berat 580 gram). Nikon AF-S 35mm f/1.4 (panjang 8,94 cm, berat 601 gram).

Image Quality

Di pasang di Sony A7s (12MP), ketajaman lensa ini sangat tinggi sampai di tingkat pixel (Zoom 100%/actual pixel). bahkan di bukaan terbesar f/1.4, di pasang di kamera Sony A7 mk II (24 MP), ketajaman di tingkat pixel tidak setajam saat dipasang di kamera resolusi 12 MP, tapi cukup tajam. Ruang tajam sangat tipis saat memotret dengan bukaan besar (f/2.8-f/1.4) terutama saat memotret subjek dari jarak dekat (close-up). Foto-foto di artikel ini mengunakan kamera Sony A7 mk II.

Distorsi hanya sedikit (kurang lebih 1%) ada tapi mudah dibetulkan dengan software, dan masih lebih bagus daripada lensa lebar pada umumnya (sekitar 2-4%). Tidak perlu dikuatirkan. Vinyeting (gelap di ujung foto) ada, terutama di bukaan terbesar, tapi menurut saya tidak perlu dikuatirkan juga. Warna, kontras lensa ini sangat bagus. Bagian yang tidak fokus/blur juga cukup bagus. Chromatic abberation hanya muncul saat foto kontras tinggi seperti hitam diatas putih dan saat di zoom 100%. Tidak muncul saat mencetak ukuran sedang (A3-A2).

Kesimpulannya kualitas gambar hasil lensa ini sangat baik dan sedikit kelemahannya relatif dengan lensa Sony FE lainnya.

Kecepatan autofokus

Kinerja autofokus lensa ini cukup cepat saat dipasang di kamera A7 mk II, juga tidak bersuara. Saya mendapati kecepatan autofokusnya melambat saat mengunakan bukaan kecil seperti f/8-f/16. Saat mengunakan di bukaan besar, f/2.8-f/1.4 kecepatan autofokus masih baik meskipun di tempat yang cukup gelap misalnya saat memotret matahari terbenam.

Pengalaman memotret dengan Sony 35mm f/1.4

Saya menikmati memotret dengan lensa Sony 35mm f/1.4 karena kualitas gambar yang bagus dan kendali aperture ring yang unik untuk lensa Sony. Bagian out of focus (blur/bokehnya) sangat bagus dan smooth. Yang saya sayangkan adalah lensa cukup besar dan berat relatif terhadap lensa fix Sony lainnya seperti Sony FE 35mm f/2.8 atau FE 55mm f/1.8. Tapi saya bisa memaklumi karena jika dibuat lebih ringkas dan ringan, mungkin ada yang mesti dikompromikan, seperti maksimum bukaan yang lebih kecil, distorsi yang lebih menonjol, atau ketajaman yang berkurang.mille-crepe-01 ice-lemon-tea-01

Kesimpulan

Lensa ini dibuat tanpa kompromi oleh Sony dan Zeiss. Biasanya, Sony dan Zeiss mengorbankan bukaan lensa, atau kualitas (distorsi, vinyet, dll) demi untuk ukuran lensa supaya kecil dan harga yang lebih terjangkau. Tapi untuk Zeiss 35mm f/1.4 Sony dan Zeiss tidak berkompromi. Saya senang akhirnya Sony mengeluarkan lensa semacam ini. Jarak fokus 35mm adalah salah satu focal length yang populer, untuk travel, kondisi kurang cahaya, video, environmental portrait dan sebagainya.

Harga lensa ini USD$1598 atau sekitar Rp 22 juta. Salah satu lensa yang paling tinggi harga relatif terhadap lensa Sony FE lainnya. Meskipun demikian saya rasa pantas karena kualitas dari lensa ini sangat bagus. Sebelum membeli lensa ini, saya ingin mengingatkan Anda bahwa ini bukan lensa zoom yang lebih praktis, kita perlu banyak jalan/berpindah untuk komposisi. Tapi ini sebenarnya merupakan hal yang bagus, dengan banyak bergerak, badan lebih sehat.

Kelebihan lensa Sony Zeiss FE 35mm f/1.4 

  • Kualitas gambar (ketajaman, kontras, warna sangat baik)
  • Kualitas fisik lensa sangat baik
  • Aperture ring di lensa, bisa di click/mulus (berguna untuk video)
  • Autofokus cepat dan senyap

Kekurangan lensa Sony Zeiss FE 35mm f/1.4

  • Ukuran dan berat
  • Harga relatif tinggi

Jika ingin membeli lensa ini, boleh menghubungi kami  0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com untuk memesan, atau order via ranafotovideo.com

Spesifikasi lensa Sony FE 35mm f/1.4

  • Filter 72mm
  • Lensa FE, bisa dipasang di Sony A7, Sony NEX, Sony APS-C
  • Berat 630 gram
  • Dimensi:  78.5 x 112mm
  • Magnifikasi : 0.18x
  • Jarak fokus minimum : 30 cm
  • Bilah diafragma : 9, berbentuk bulat
  • Bukaan: f/1.4 sampai f/16
  • Sudut : 64 derajat di full frame, 44 derajat di kamera APS-C

pintu

cat-gallery

zeiss-35mm-01

artist

Shanny SN 600SN review flash

$
0
0

Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya Shanny SN 600SN telah tersedia. Flash ini adalah alternatif yang lebih terjangkau dari flash terbaik Nikon saat ini, Nikon SB910 yang harganya Rp 5.15 juta, sedangkan Shanny SN600SN ini dijual dengan harga Rp 1.9 juta saja, sudah dengan pouch, omnibounce dan kaki flash. Kekuatan flash ini juga sama dengan flash Nikon SB910 yaitu GN 60, juga fitur-fiturnya.

Saat dipasang di atas kamera, Flash Shanny SN600SN bisa difungsikan secara mode auto (i-TTL), manual (M), repeating flash (RPT), dan berlaku sebagai master (dapat mengendalikan kekuatan dan memicu flash-flash yang compatible dengan sistem creative flash Nikon (CLS)).

shanny-sn600sn-01

sistem Master CLS Nikon bisa dikonfigurasi dengan cukup bebas.

sistem Master CLS Nikon bisa dikonfigurasi dengan cukup bebas.

Sistem optik flash cukup praktis digunakan tapi memiliki kelemahan dalam jangkauan. Di dalam ruangan, bisa menjangkau kurang lebih 30 meter, sedangkan di luar ruangan sekitar 20 meter. Cukup lumayan untuk sebagian besar fotografer. Tapi yang paling ideal yaitu dengan mengunakan sistem transmisi radio. SN 600SN compatible dengan trigger radio populer seperti Yongnuo 622C.

Saat dilepas dari kamera, Shanny SN 600SN dapat di fungsikan sebagai Slave Nikon, dan basic slave optic S1 dan S2.

shanny-sn600sn-03

shanny-sn600sn-04

Kamera-kamera yang compatible antara lain: NIKON – D3, D810, D800, D800E, D700, D750, D610, D600, D300s, D300, D200, D7100, D7000, D90, D80, D5300, D5200, D5100, D5000, D3000, D3100, D3200 ,D3300, Kamera yang lain perlu diuji lebih lanjut.

Selain model SN 600SN, juga tersedia model SN 600N (Rp 1.350.000). Flash canggih yang paling terjangkau untuk Nikon. Perbedaan utamanya dibandingkan dengan SN600SN adalah, tidak ada fungsi Master flash, dan saat dilepas dari kamera mode slavenya hanya manual, dan pouch/kantong flash tidak tersedia (meskipun ini bisa di beli dengan harga terjangkau (Rp 50.000,-).

Jika membutuhkan flash hanya untuk ditempatkan diatas kamera saja, SN 600N sudah cukup. Tapi jika ingin flash yang bisa Master untuk mengomandoin flash lainnya, atau perlu fungsi auto/i-TTL saat dilepas di kamera, Shanny SN 600SN pilihan yang terbaik saat ini.

Flash ini bisa dipesan melalui 0858 1318 3069 atau melalui www.ranafotovideo.com

Spesifikasi:

Guide Number (GN): 60 (ISO100, 200mm)
Wireless flash: Optical pulse transmission as master and slave
Flash mode: i-TTL, Manual, RPT
Zoom range: Auto, 20-200mm, 14mm (saat mengunakan wide diffuser)
High Sync Speed: sampai dengan 1/8000 detik
Pilihan kekuatan: 1/1 sampai 1/128
Shutter sync: front, rear, high speed sync
Flash exposure compensation: +/- 3, 1/3 step
Remote power : Support
Remote zooming control: Support
Bracket Exposure : Support
Flash exposure lock : Support
Modeling flash : Support
AF-Assist focus : LED focus lamp
Recycle time: kurang lebih 2 detik di full power
Frekuensi flash RPT: 1-100Hz
Jarak efektif wireless optical pulse sekitar 20-30 meter
Radio channel: 1-15
Flash Group: A, B, C
Power supply: 4 AA baterai, alkaline/rechargeable Nimh
External interface: hotshoe, PC sync, external charging dan USB untuk upgrade firmware
Software upgrade: Support
Ukuran: 79.7 X 142.9 X 125.4 mm
Berat: 420 gram

—-

Bingung dengan istilah-istilah flash dan ingin memaksimalkan flash? Ikuti workshop sehari basic flash dengan Shanny.

Rekomendasi kamera mirrorless 2015 bagian 2

$
0
0

Di tahun 2015 ini, kamera mirrorless perlahan-lahan mulai banyak diminati oleh penggemar fotografi yang merasa kamera DSLR terlalu besar dan berat untuk jalan-jalan. Banyak pilihan kamera mirrorless sering membuat pusing kepala. Di pos bagian pertama ini, saya akan mengulas singkat dan memberikan rekomendasi kamera yang menurut saya seimbang dari fitur, harga dan kinerjanya. Merk yang saya akan bahas disini adalah Samsung NX, Nikon 1, Leica T dan Canon EOS M.

Post ini adalah bagian yang kedua. Untuk membaca rekomendasi kamera mirrorless bagian pertama silahkan klik disini.

Harga yang tercantum dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kurs dan promosi.

Warna hitam : Ada pilihan yang lebih baik
Warna biru : Saya rekomendasikan untuk fotografer pemula
Warna hijau : Saya rekomendasikan untuk fotografer serius/mahir/pro
Warna merah : Saya rekomendasikan untuk fotografi spesifik/khusus

Daftar kamera Samsung NX, harga dan rekomendasi

Kamera Samsung pada dasarnya terbagi dalam beberapa kategori: pemula yang paling ringkas 4 digit seperti NX3000, menengah 3 digit seperti NX300, NX500, semi pro (2 digit) seperti NX30 dan profesional NX1.

samsung-nx1-telefoto

Samsung NX3000 – Harga Rp 6 juta dengan lensa 16-50mm – Kamera mirrorless pemula Samsung, dirancang supaya ukurannya sekecil mungkin dan harga yang terjangkau. Nonton pembahasan saya dan Erwin Mulyadi di Youtube.
Samsung NX300/M – Harga 7 juta dengan lensa 18-55mm – Layar LCD-nya touchscreen, saat manual fokus ada focus peaking, kinerja / kecepatan kamera lebih cepat. Layar LCD lebih detail, kinerja autofokus lebih cepat (hybrid phase detect di sensor), Merekam video 60p. Shutter speed lebih cepat 1/6000 detik. Kekurangannya baterainya bisa habis sendiri jika tidak dilepas dari kamera.
Samsung NX500 – Harga Rp 10 juta dengan lensa 16-50mm – Kualitas foto sedikit lebih tinggi dan tajam dari NX3000 dan NX300 berkat sensor BSI 28 MP. Bisa merekam video 4K secara langsung.
Samsung NX30 – Harga Rp 11 juta dengan lensa 18-55mm – Bedanya dari kamera diatas adalah NX30 punya jendela bidik elektronik, bentuknya lebih menyerupai kamera DSLR. Kecepatan buka tutup dan shutter lag lebih cepat. Punya flash internal.
Samsung NX1 – Harga Rp 20 juta body saja – Punya jendela bidik elektronik, desainnya seperti kamera DSLR mini. Bisa rekam video 4K seperti NX500. Kecepatan kamera sangat cepat, tahan air, debu, kelembababan, dirancang untuk profesional. Sedikit pembahasan tentang NX1 disini.

—–

Sistem Nikon 1 mengunakan sensor 1 inci yang kurang lebih dua stop lebih kecil dari kamera DSLR APS-C. Ukuran sensor yang lebih kecil memiliki kerugian yaitu di kualitas gambar, tapi kelebihannya bisa lebih kecil ukuran kamera dan lensa-lensanya.

Salah satu kelebihan lain dari sistem Nikon 1 adalah sistem autofokus hybridnya yang sangat cepat dan kecepatan foto berturut-turutnya melampaui banyak kamera mirrorless pada umumnya. Beberapa kamera Nikon 1 yaitu:

nikon-aw1-freeze

Nikon S1 – Harga: Rp 4.5 juta double kit lens – Yang paling ringkas dan terjangkau. Kecepatan foto berturut-turut 15 foto per detik, resolusi foto 10 MP dengan Wifi.
Nikon J3 – Harga: Rp 3.9 juta – Kamera mirrorless yang simple dengan resolusi 14 MP
Nikon J5 – Harga: Rp 6.75 juta – Peningkatan dari J3 yaitu LCD bisa di-tilt 45 derajat, touchscreen,Wifi, bisa rekam video 4K (meskipun frameratenya terbatas ke 15fps), resolusi 20 MP.
Nikon V2 – Harga Rp 10 juta dengan dua lensa – 14 MP dan punya jendela bidik elektronik
Nikon V3 – Pengembangan dari V2, punya jendela bidik dan resolusi ditingkatkan ke 20 MP
Nikon AW1 – Harga: Rp 9.15 juta dengan zoom kit lens, 10.75 juta dengan zoom dan 10mm fix lens – Satu-satunya kamera mirrorless yang bisa underwater tanpa casing khusus sampai kedalaman 49 kaki. Juga tahan di suhu dingin sampai -14 derajat Celcius. Cocok dengan lensa AW (10mm AW dan 11-27.5mm f/3.5-5.6 AW). Specnya 14 MP, Wifi, kecepatan foto 15 foto per detik

Baca panduan lengkap Nikon 1.


Kamera mirrorless Canon sampai saat ini sudah generasi ke-tiga, namun belum terlalu populer dan masih sulit ditemukan di toko-toko karena jumlah lensa yang tersedia sangat terbatas (3 saja). Dengan mengunakan adapter, kita bisa memasang lensa Canon untuk DSLR, tapi jadinya timpang (berat di depan) dan autofokusnya pelan.

Generasi pertama dan kedua autofokusnya relatif lambat, dan bahkan setelah generasi ketiga pun, kinerja autofokusnya masih ketinggalan dari kamera mirrorless merk lain seperti dari Sony, Olympus, Panasonic dan bahkan dari Samsung.

Canon_EOS_M3-white

Canon EOS M 3 – Peningkatan dari generasi sebelumnya yaitu adanya WiFi, opsi untuk memasang jendela bidik elektronik external, control (dial dan tombol) lebih banyak, manual focus peaking, dan sensor gambar baru (APS-C) beresolusi 24 MP, layar bisa di tilt 45 derajat dan touchscreen.

—-
Sistem Leica T adalah kamera mirrorless berbasis sensor APS-C buatan Leica yang menganut sistem desain modern minimalis. Tidak banyak tombol di kamera, tapi menu, fungsi kamera dikendalikan dengan layar LCD touchscreen yang cukup besar 3.7 inci.

leica-t

Leica T – Harga sekitar Rp 22 juta body only – Kamera dengan sensor APS-C sebesar 16 MP, built-in memory 16GB, layar LCD 3.7 inch, touchscreen. Kecepatan foto berturut-turut 5 foto berturut-turut. Pernah saya bahas di detikinet.com.

Lensa yang tersedia: 18-56mm, 55-135mm f/3.5-4.5, 23mm f/2, 11-23mm f/3.5-4.5. Rata-rata lensa Rp 20 jutaan per lensa.
Body bisa dipasang adaptor untuk memasang lensa Leica M-mount.

—–

Opini:

Dari pilihan-pilihan sistem kamera mirrorless diatas, terlihat bahwa yang paling lengkap untuk bersaing dengan sistem DSLR adalah penawaran dari Samsung NX. Kini sistem Samsung NX sering disejajarkan dengan merk mirrorless lainnya seperti Sony, dan Fujifilm. (Baca rekomendasi kamera mirrorless bagian 1).Sedangkan untuk Canon, Nikon dan Leica, sepertinya masih kurang lengkap dari line up kamera dan pilihan lensanya.

Beberapa kamera yang menarik bagi saya salah satunya adalah Nikon 1 AW1 yang bisa dimasukkan ke air sampai 49 kaki (1.5meter) dan tahan cuaca dingin sampai -14C. Kamera yang juga menarik yaitu Samsung NX1 yang tingkatnya profesional dan dari spesifikasi diatas sebagian besar kamera DSLR. Untuk Leica T, sebenarnya konsep modern-minimalist-nya menarik, tapi sayangnya kamera dan lensa ini dijual dengan harga yang tinggi, sehingga hanya bisa dinikmati sebagian kecil kalangan saja.

—-

Baru beli kamera? Ikuti workshop kupas tuntas kamera & lensa 

Bingung memilih kamera, lensa yang pas? Buku Smart Guide ini akan membantu.


Bahas foto: Low key backlight portrait

$
0
0

Berhubung ada yang menanyakan bagaimana cara membuat portrait low key di instagram saya, maka saya coba jelaskan bagaimana proses pembuatannya. Sebenarnya cukup sederhana, yang dibutuhkan adalah subjek/model, sumber cahaya (lampu/flash) dan kamera tentunya.

karen-02

Foto ini saya buat saat saya mengajar workshop portrait dengan lampu studio yang cukup rutin saya adakan. Sebelum memotret, gunakan background hitam, dan idealnya model mengenakan baju yang gelap/hitam. Jika tidak memiliki background hitam, jauhkan model dari tembok, makin jauh makin oke. Dan matikan lampu ruangan supaya tidak mengganggu.

Posisi lampu studio saya letakkan dibelakang subjek foto dan tertutup oleh model. Keuntungan dari lampu studio adalah memiliki modeling light, dimana saya bisa melihat jatuhnya cahaya, sedangkan jika mengunakan flash, mungkin saya perlu mengulang beberapa kali (coba-coba) supaya jatuhnya cahaya pas.

Light modifier yang saya gunakan adalah standard reflector dan honeycomb supaya cahaya tidak menyebar ke segala arah dan hanya spot ke sisi wajah model saja. Hindari pemakaian soft box besar/payung (kecuali strip softbox yang sempit (softbox 30x120cm)).

Selain flash, kita juga bisa mengunakan flash, lampu continuous seperti led, senter, fluorescent+standard reflector dll. Semuanya tidak masalah, hanya saja, biasanya kekuatan lampu continuous kecil, sehingga setting ISO perlu ditingkatkan.

Data teknis: ISO 100, f/11, 1/160 detik, 85mm.

Model: Karen Nathasya

lowkey-portrait

Ilustrasi diatas di buat dengan lightingdiagrams.com

——–

Ingin belajar foto portrait studio? ikuti workshop portrait studio

dan jika ingin memaksimalkan flash untuk berbagai jenis fotografi dan portrait special effect, ikuti workshop creative flash dua hari ini.

Perbedaan Fujifilm X-T1 dan Fujifilm X-T10

$
0
0

Fujifilm mengeluarkan kamera baru Fujifilm X-T10 yang diposisikan dibawah Fujifilm X-T1. Dari spesifikasinya, saya melihat banyak kemiripan, antara lain bentuk desainnya seperti kamera DSLR jaman film, masih dengan sensor 16 MP X-Trans sensor, autofocus hybrid (Phase & Contrast detect).

fuji-xt1-fuji-xt10

Selanjutnya saya akan mengulas secara singkat kelebihan kelemahan kedua kamera. Kelebihan Fujifilm X-T10 adalah lebih kecil ukurannya, sedikit lebih ringan (440 gram vs 381 gram), dan jauh lebih murah ($1150 vs $800). X-T10 memiliki built-in flash yang cukup praktis untuk kondisi yang sangat gelap atau backlight.

fuji-xt1-fuji-xt10-back

Kelebihan Fujifilm X-T1 adalah punya buffer (penampungan data sementara) yang jauh lebih lapang. Dengan X-T1, kita bisa memotret berturut-turut sampai maksimum 47 foto JPG sebelum memory penuh, sedangkan X-T10 maksimumnya hanya 8 foto saja. Bagi yang sering traveling ke tempat yang cuacanya ekstrim, Fujifilm X-T1 bisa tahan sampai -10 Celcius, sedangkan X-T10 hanya sampai 0 Celcius. Yang juga cukup signifikan adalah ukuran jendela bidik X-T1 yang lebih besar (magnifikasi 0.77 vs 0.62). Dari fisiknya, Fujifilm X-T1 terlihat lebih kokoh dengan pegangan yang sedikit lebih dalam, dan juga tersedia roda diatas kamera untuk mengganti ISO. Lensa yang dipaketkan dengan X-T1 juga lebih menarik dan berkualitas (18-55mm f/2.8-4, dan 18-135mm f/3.5-5.6, dibandingkan dengan 16-50mm f/3.5-5.6).

fuji-xt1-fuji-xt10-top

Kualitas kamera Fujifilm X-T1 memang lebih baik, terutama kalau Anda suka motret subjek bergerak/berturut-turut dan traveling ke tempat yang cuacanya ekstrim. Tapi semuanya tergantung budget. Karena spesifikasi terpenting yaitu kualitas gambar dan kinerja autofokusnya mirip, maka X-T10 merupakan pilihan yang “value” karena selisih harganya cukup besar yaitu $350 (Rp 4.6 juta).

—-

Baru beli kamera? Ikuti workshop kupas tuntas kamera & lensa 

Bingung memilih kamera, lensa yang pas? Buku Smart Guide ini akan membantu.

Pakai bukaan lensa berapa yang terbaik? f/5.6 atau f/8?

$
0
0

Pernah dengar saran fotografer berpengalaman untuk pakai bukaan f/5.6 ? atau f/8 ? Atau dua stop lebih kecil daripada bukaan maksimum, misalnya kalau lensanya berbukaan maksimum f/2.8, maka bagusnya pakai f/5.6. Jika lensanya berbukaan maksimum f/2, maka bagusnya f/4 dan seterusnya.

Catatan: Pengertian bukaan lensa bisa dibaca di artikel ini.

Sebenarnya menjawab sebaiknya pakai bukaan berapa yang terbaik itu tidak mudah, karena kita harus lihat kasus per kasusnya. Saran untuk mengunakan f/5.6 mungkin cocok untuk pemakai lensa kit seperti 18-55mm f/3.5-5.6, karena dengan mengunakan f/5.6, maka setiap kita zoom, bukaan lensa tidak berubah-ubah.

ISO 1250, f/2.8, 1/25 detik, 35mm - Sony A7mk2 + 35mm f/1.4

Satay Ayam Melaka – Selamat menikmati – ISO 1250, f/2.8, 1/25 detik, 35mm – Sony A7mk2 + 35mm f/1.4

Sedangkan yang menyarankan f/8, biasanya dari kalangan fotojurnalis/wartawan foto. F/8 ruang tajamnya cukup luas, sehingga kalau motret dengan f/8 akan tajam fotonya meskipun autofokusnya sedikit meleset. Sebagian besar lensa juga cukup bagus saat distel di bukaan f/8. Namun kalau kita ingin latar belakang blur bagaimana? Ya tentunya f/8 belum cukup besar, harusnya f/2.8 atau lebih besar lagi. Kalau keadaannya gelap bagaimana? ya, mau gak mau pakai shutter lambat atau ISO tinggi.

Saran dua stop lebih lambat biasanya datang dari fotografer yang sangat peduli dengan hal teknis seperti ketajaman foto. Sebagian besar lensa performanya memang lebih baik kalau ditutup sedikit. Contohnya jika lensanya berbukaan maksimal f/1.4, maka jika digunakan di f/2.8, kualitasnya akan lebih tajam. Tapi rumus ini tidak berlaku untuk semua lensa. Ada yang lensa yang di bukaan maksimal, kualitasnya juga sudah sangat baik, malah kalau ditutup terlalu banyak jadi kurang bagus, atau sulit mendapatkan latar belakang yang blur. Di lain pihak, ada lensa yang perlu ditutup sampai 3-4 stop untuk mendapatkan kualitas yang terbaik.

Menurut saya, bukaan yang terbaik adalah bukaan yang sesuai dengan visi fotografernya. Kalau memang mau memberikan kesan dreamy, pakai saja bukaan terbesar seperti f/1.8 atau lebih besar lagi, maka latar belakang akan sangat blur. Sedangkan kalau ingin ruang tajamnya luas, pakai bukaan kecil seperti f/16. Ketajaman antara bidang foto akan merata dari ujung ke ujung foto.

Tentunya bukaan yang harus dipilih juga harus disesuaikan dengan kondisi pencahayaan yang ingin didapatkan. Saat memotret air terjun misalnya, bukaan yang kecil akan membantu untuk mendapatkan shutter speed lambat, sehingga dapat menghasilkan aliran air yang mulus.

Kesimpulannya, fotografi memang tidak mudah bagi yang baru belajar, tapi setelah banyak praktik dan belajar, kita akan semakin mengerti bukaan yang paling tepat di setiap kondisi / kasus yang kita jumpai.

——–

Bagi pemula, jangan lewatkan pengenalan fitur dan setting kamera di acara kupas tuntas kamera digital (DSLR, mirrorless).

Belajar memanfaatkan cahaya alami / matahari dan flash dalam workshop foto portrait outdoor.

Kontras dan dimensi foto

$
0
0

Kontras adalah hal yang membuat sebuah foto menarik. Kontras adalah perbedaan antara gelap & terang di dalam foto. Jika perbedaannya besar, kita namakan foto tersebut kontrasnya tinggi, jika perbedaan terang gelapnya sedikit, namanya kontras rendah. Kita perlu kontras dalam foto supaya memberikan kesan dimensi. Contohnya seperti foto dibawah ini:

sandforest-yunnan

Data teknis/exposure: ISO 100, f/11, 1/160 detik, 35mm

Foto diatas menarik karena kontras yang cukup antara lapisan-lapisan batuan dari yang warnanya muda, dan tua. Tumbuhan yang berwarna hijau tua juga menyumbangkan warna gelap, sehingga meningkatkan kontras.

Saya lampirkan juga foto diatas tapi dengan format hitam putih (B&W) supaya kontrasnya lebih terasa.

sandforest-yunnan-bw

Saya beruntung saat memotret ada seorang gadis dengan baju tradisional dan memegang payung lewat. Dengan adanya gadis ini, foto tambah menarik karena gadis yang kecil ini kontras dengan batu-batuan yang besar dan keras.

Infofotografi sering mengadakan workshop, kursus dan tour. Periksa jadwal dan materinya di laman ini.

Filter CPL untuk memotret air terjun

$
0
0

Dalam tur satu hari ke Banten lalu, saya mengajak peserta memotret air terjun untuk belajar foto slow speed. Saat itu saya sarankan pasang filter CPL untuk mendapatkan warna hijau yang lebih pekat dan mengurangi pantulan matahari di batu yang basah. Karena hari masih pagi, bermain slow speed bisa didapat tanpa pasang filter ND dan saya bisa dapat sekitar 1/4 detik yang mana saya rasa cukup mengingat derasnya debit air saat itu. Perbedaan foto tanpa CPL dan dengan CPL adalah seperti berikut ini :

With-without-CPL

Kiri : tanpa CPL, kanan : dengan CPL

dan inilah crop ukuran aslinya :

Tanpa CPL

Tanpa CPL

Dengan CPL

Dengan CPL, diputar sampai dapat efek maksimal

Jadi foto pemandangan seperti air terjun juga perlu dibantu filter CPL, karena dampaknya lumayan banyak dan sulit ditiru melalui editing. Dengan disiplin teknik foto di lapangan, editing yang kita kerjakan jadi jauh lebih ringan. Foto air terjun yang saya ambil dengan CPL, file RAW ini lalu diedit dengan Lightroom untuk memainkan clarity, saturasi dan kontras, maka hasilnya seperti ini :

SAM_5415

Bagi pembaca yang membutuhkan filter polarizer dapat menghubungi 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com. Jangan lupa sertakan informasi diameter lensa atau nama lensanya. Harga filternya tergantung dari ukuran diameter lensa. Makin besar makin tinggi harganya. Kurang lebih dimulai dari Rp 900 ribuan sampai Rp 2 juta.

Keberagaman kamera saat tour fotografi

$
0
0

Saat tour ke Kamboja 1-5 Juni 2015 yang lalu, saya mendapati peserta-peserta mengunakan kamera-kamera yang sangat bervariasi. Dari total 17 peserta, ada yang mengunakan kamera DSLR, ada yang mirrorless dan ada juga yang compact. Untuk merk kameranya juga sangat beragam, dari Canon, Nikon, Sony, Panasonic, Olympus, Samsung, Sigma, Ricoh dan Leica juga ada.

Suasana tour Kamboja. Coba teliti apa saja kamera yang digunakan peserta tour kali ini.

Salah satu adegan seru di tour foto Kamboja. Coba teliti apa saja kamera yang digunakan peserta tour kali ini.

Keragaman kamera dan lensa ini ada sisi positifnya, karena praktis semua peserta adalah minoritas. Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar peserta mengunakan kamera DSLR merk Canon dan Nikon, dan jika ada peserta yang mengunakan kamera merk lain, maka peserta tersebut  menjadi minoritas dan biasanya dikucilkan atau parahnya di “bully” oleh yang kelompok yang mayoritas.

Tidak sedikit juga peserta yang mengunakan dua sistem kamera, misalnya yang mengunakan kamera DSLR Canon, ternyata juga membawa kamera mirrorless Fujifilm. Yang membawa kamera DSLR Nikon, juga membawa kamera mirrorless Sony atau Ricoh, yang membawa kamera Sony, ternyata juga bawa kamera Samsung Galaxy, dan yang membawa kamera Olympus, juga membawa kamera compact Leica he he he..

Di lihat dari sudut pandang pembimbing, kondisi ini cukup menantang, karena ada beberapa jenis kamera yang saya tidak fasih pengaturan dan menu-nya. Tapi saya senang karena dapat mencoba kamera yang asing bagi saya dan melihat gaya fotografer yang berbeda-beda.

—-

Untuk belajar fotografi atau ingin mengikut tour fotografi, silahkan periksa jadwal kursus dan tour Infofotografi.com atau hubungi kami di 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Sony A7R II Kamera mirrorless paling sempurna ?

$
0
0

Sony A7R mrk II mungkin adalah kamera digital berjenis mirrorless yang paling sempurna saat ini, bahkan unggul  di berbagai lini dibandingkan kamera DSLR kelas atas yang ditawarkan Canon dan Nikon.

Kamera ini bersensor full frame (35 format / 36 x 24 mm), setara dengan kamera profesional seperti Canon 5D, Nikon D810 dan seterusnya. Dibandingkan dengan kamera seri Sony A7 sebelumnya, A7R mk II memberikan solusi yang hampir sempurna, memuaskan hampir semua fotografer dan bahkan videografer. Kamera canggih ini akan tersedia di bulan Agustus 2015.

sony-a7r-mk2-01

Mari kita bahas fitur baru dari kamera ini:

42 MP sensor (7952 x 5304 pixel) – BSI CMOS Sensor

Sony memang terkenal jagoan dalam membuat sensor gambar kamera, 40% sensor kamera digital yang ada di pasar saat ini dibuat oleh Sony (termasuk sebagian besar Kamera DSLR Nikon). Sensor yang digunakan oleh kamera Sony A7R mk II adalah yang terbaru, dengan resolusi yang relatif tinggi (42 MP) dan teknologi BSI (Back-side Illuminated sensor). Teknologi ini memungkinkan noise yang lebih rendah meskipun resolusi foto bertambah.

bsi-sony

ISO 50-102400

Karena teknologi BSI, Sony cukup pede menawarkan rentang ISO yang cukup luas.

IBIS 5 Axis

Built-in stabilization di dalam kamera menstabilkan gerakan kamera dan lensa. Fitur ini pertama kali dikenalkan di kamera Sony A7 mk II.

Silent Shutter, Electronic first curtain

Sony A7R sering dikritik karena mekanik shutter yang cukup keras dan shutter lag. Di A7R mk II ini, memungkinkan electronic first curtain dan bahkan silent shutter (fitur yang dikenalkan di A7S). Untuk mekanisme shutternya juga sudah ada peredam getar yang lebih baik.

399 phase detection AF, 45% coverage

Autofokus A7R mk II secepat kamera DSLR karena dilengkapi 339 titik autofokus yang mencakupi 45% dari layar. Penyebaran titik autofokus ini adalah yang terlebar dibandingkan dengan kamera DSLR full frame yang ada saat ini. Teknologi ini juga memungkinkan autofokus untuk lensa pihak ketiga (misalnya lensa Canon), dengan mengunakan adaptor khusus, misalnya dari Metabones.

sony-a7r-mk2-autofocus

Viewfinder XGA OLED dengan 0.78 perbesaran, 2.3 juta titik

Jendela bidik elektronik ini merupakan yang terlebar saat ini untuk kamera full frame.

4K recording

Videografer yang mobile akan senang karena kamera ini juga dapat merekam video 4K langsung ke kartu memory (kartunya mesti yang sangat cepat). Saat merekam video 4K, sebagian bidang frame akan tercrop (hanya diambil bagian tengah saja).

4k-sony

Fitur lainnya:

  • Ketahanan mekanisme shutter teruji : 500.000 kali jepret.
  • Resolusi LCD 1.2 juta titik
  • Rentang shutter speed 30 detik – 1/8000 detik
  • Flash sync speed : 1/250 detik
  • Foto berturut-turut : 5 foto per detik
  • Wifi dengan NFC
  • Kapasitas baterai: 290 foto
  • Berat: 625 gram (dengan baterai).
  • 14 bit RAW support

Pendapat saya:

Dari namanya, Sony A7R mk II seperti pembaharuan dari Sony A7R, tapi sepertinya bukan hanya itu saja, A7R juga memiliki sebagian besar teknologi yang dimiliki A7 mk II (stabilization), dan A7S (silent shutter dan kemampuan merekam video 4K). Bagi saya, A7R mk II seperti gabungan dari semua kelebihan dari kamera A7 ditambah dengan peningkatan penting lainnya seperti sensor 42 MP, jendela bidik yang lebih besar, kinerja autofokus, dan video. Mungkin lebih tepat kalau namanya adalah Sony A9 :)a

Untuk semua teknologi yang membuat saya “ngiler” ini, harga yang mesti dibayarkan adalah US$3200 (diperkirakan sekitar Rp 42 juta). Mahal tidak? Kalau tinggi memang iya, karena Sony A7 di awal bulan Juni dijual dengan harga normal Rp 15 juta saja. Tapi jika dibandingkan dengan kamera DSLR full frame lainnya, Sony A7 mk II terletak ditengah-tengah Nikon D810 (Rp 35 juta), Canon 5DS R (Rp 50 juta).

Dibandingkan dengan Canon 5DS R, untuk fotografi pemandangan atau travel, menurut saya A7R mk II ini lebih bagus di banyak lini, misalnya kinerja sensor yang biasanya lebih baik dari sisi dynamic range dan ISO, harganya lebih murah dan bobotnya lebih ringan dan ringkas. A7R mk II juga lebih unggul di video, dan punya built-in stabilization.  Jika memiliki lensa Canon, juga bisa dipasangkan dengan adapter dan masih bisa autofokus dengan cukup cepat (dengan phase detection). Kelemahan Sony A7R mk II ini dibanding Canon 5DS R terletak di kapasitas baterai, weather sealing dan koleksi lensa dan aksesoris (sistem flash).

Dibandingkan dengan kamera Nikon D810 yang lebih terjangkau, A7R mk II punya keunggulan di resolusi (42 MP), ukuran, bobot, dan video, dan built-in stabilization. Sama dengan perbandingan dengan kamera Canon, Nikon D810 unggul di kapasitas baterai,  koleksi lensa dan aksesoris.

Untuk mengoptimalkan hasil kamera beresolusi tinggi ini, tentunya lensa yang dipasang juga harus yang berkualitas tinggi. Beberapa lensa yang saat ini ideal untuk dipasangkan yaitu Sony FE 55mm f/1.8, Sony FE 35mm f/1.4, Sony FE 90mm f/2.8 Macro, dan beberapa lensa merk Zeiss seperti Zeiss Batis 25mm f/2, 85mm f/1.8 dan Zeiss Otus (dengan adaptor). Untuk lensa Canon (dengan adaptor), yang oke 24-70mm f/2.8 II dan 70-200mm f/2.8 II. Selain itu, komputer/laptop mungkin mesti di-upgrade lagi untuk memproses file 42 MP yang pastinya cukup besar.

Contoh gambar hasil Sony A7R mk II bisa dilihat di flickr.

—-

Bingung ingin beli kamera atau lensa yang seperti apa? Buku “Smart Guide for Camera and lenses” akan membantu Anda.


Workshop Food Photography edisi khusus Ramadhan

$
0
0

Dalam kehidupan sehari-hari, Kita tidak dapat terlepas dari kebutuhan makanan. Berkembangnya waktu, makanan tercipta dalam beragam warna dan bentuk yang bervariasi (kuliner). Tak heran jika makanan menjadi tren dan gaya hidup untuk selalu diikuti perkembangannya.

Memotret makanan kini mulai diterapkan dalam berbagai kebutuhan. Sering kali memotret makanan yang ditujukan untuk kebutuhan iklan dan majalah mampu menonjolkan sisi kelezatan makanan. Berkembangnya teknologi dan interaksi sosial yang modern, food fotografi digunakan sebagai bukti aktualisasi diri personal terhadap lingkungannya. Memotret dengan handphone lalu diposting di jejaring social adalah hal yang lumrah kita jumpai saat ini.

kolak

Banyak diantara pecinta kuliner ingin menampilkan sisi kelezatan dan makanan yang “modis” dalam setiap makanan yang mereka ciptakan. Sayangnya, keterbatasan pengetahuan komposisi, angle, dan lighting, membuat makanan yang enak terkesan hambar.

Infofotografi hadir dengan kelas baru yang mencoba memberikan informasi kepada para peserta untuk bisa memotret makanan secara lebih menarik. Di dalam kelas Basic Food Photography, peserta akan diajarkan:

  1. Pemilihan angle dan komposisi yang tepat menurut jenis dan bentuk
  2. Menciptakan nuansa/ kesan yang ingin dicapai sesuai dengan konsep dalam pemotretan makanan.
  3. Teknik lighting dalam memotret makanan. (window lighting, light brush, flash dan lampu studio)

Workshop food photography edisi khusus Ramadhan ini menekankan pada praktik. Di workshop ini peserta akan diberikan kesempatan untuk memotret berbagai jenis makanan/minuman yang populer di bulan Ramadhan seperti kolak, cendol, dan lain lain. Workshop ini akan berlangsung di dalam ruangan dan peserta akan mengunakan lampu studio/flash dan cahaya alami (matahari dari jendela).

 

pudingTanggal pelaksanaan: Minggu, 21 Juni 2015. Pukul 13.00-17.30 WIB

Lokasi: Jl. Moch. Mansyur (Imam Mahbud) No. 8B-2 Jakarta Pusat – Lihat Peta

Biaya mengikuti workshop ini Rp 550.000,- per orang.

Termasuk buka bersama

Maksimum peserta 8 orang

Persyaratan: Membawa kamera digital dan lensa (bebas, zoom atau fix tida masalah).

Instruktur: Albertus Adi Setyo

Pendaftaran:

  1. Hubungi 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com
  2. Transfer biaya workshop ke Enche Tjin BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780
  3. Konfirmasi dan datang di hari H.

Semua gambar di post ini adalah karya instruktur.

cendol 2

strawbery

Bahas foto : Momen dan komposisi dalam human interest

$
0
0

Untuk human interest, yang paling penting adalah menangkap momen. Berbeda dengan fotografi landscape, still life, yang mana kita memiliki waktu yang cukup panjang untuk memotret dan mengatur setting, menangkap foto human interest, kita hanya punya waktu dibawah 1 detik untuk memotret. Maka itu, banyak yang perlu kita perhatikan. Berikut hal-hal yang penting, dari pengaturan kamera dan teknik memotret.

Untuk membekukan momen, yang dibutuhkan adalah shutter speed yang cepat, terutama jika subjek foto bergerak, atau kita sendiri yang bergerak, misalnya berada diatas perahu seperti foto dibawah ini. Saya biasa mengunakan shutter speed tidak kurang dari 1/400 detik saat berada di perahu yang sedang berjalan.

kampong-khleang-boy
Untuk foto yang mengejar momen, biasanya ISO saya atur ke Auto-ISO dan mengatur minimum shutternya ke 1/400 detik atau lebih. Jika tidak bisa mengatur minimum shutter, sebaiknya ISO di set manual saja. Patokannya kalau hari masih terang, bisa gunakan ISO 100-200, tapi kalau mulai gelap misalnya hari mendung atau sore hari menjelang matahari terbenam, lebih aman menggunakan ISO 400 atau lebih. ISO tinggi akan membantu kamera mendapatkan shutter speed cepat tanpa membuat hasil foto menjadi gelap.

Komposisi foto penting, tapi jika terlalu lama berpikir dan berpindah tempat, momen bisa lewat. Untuk mengejar momen, terutama saat subjek bergerak atau kitanya bergerak, lebih baik memotret dulu baru nanti di kroping.

Mode auto bisa gagal, misalnya foto jadi gelap seperti contoh foto di tulisan ini. Saya biasanya mengunakan mode A/Av (Aperture priority) dan matrix/evaluative metering. Jenis metering ini terkecoh dengan pantulan air yang terang, daripada anak kecil yang saya fokuskan, akibatnya hasil foto jadi gelap. Untuk mengatasi masalah ini, saya menerangkan foto dengan Adobe Lightroom.

DSC_2798-4

Foto aslinya, gelap karena mode auto dan metering matrix terkecoh dengan pantulan air yang terang, dan komposisinya kacau karena ada orang lewat dibelakang subjek foto. ISO 220, f/6.3, 1/500 detik, 112mm

Karena mengambil foto dengan cepat dan berada di atas perahu yang bergerak dengan kecepatan sedang, komposisi foto saya jadi agak berantakan, untungnya megapixel kamera yang saya gunakan yaitu Nikon D600 cukup besar (24 MP) sehingga setelah saya crop masih detail. Di Lightroom, saya mengkrop foto dengan aspek rasio 1:1 (bujur sangkar) yang saya pikir cocok dan seimbang untuk subjek ini, dan juga cocok untuk instagram saya he he he..

Setelah itu, saya menambahkan warna coklat dan hijau melalui panel split toning di Lightroom untuk memberikan efek kotor/berlumpur yang sesuai dengan kondisi lingkungan anak ini berada.

split-toning-grim

—-

Lightroom adalah software yang sederhana dan cepat dalam manajemen dan mengedit foto secara cepat. Saya secara rutin menyelenggarakan workshop Lightroom (1 hari) dan juga menulis buku belajar Lightroom yang bisa dipesan langsung via 0858 1318 3069

Bagi yang ingin menguasai belajar teknik foto, komposisi dan lighting, silahkan ikuti kursus kilat dasar fotografi dua hari.

Shooting report: Sony FE 28mm f/2 di Sony A7 mk II

$
0
0

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah mereview secara singkat Sony FE 28mm f/2 dengan body Sony A7s. Kali ini, saya ingin berbagi pengalaman saya saat tour ke Kamboja beberapa waktu yang lalu dengan lensa ini, tapi dengan kamera yang beresolusi lebih tinggi yaitu Sony A7 mk II.

sony-fe-28mm-f2

Seperti yang saya bahas sebelumnya, lensa Sony 28mm f/2 memiliki kelebihan di fisiknya yang berukuran ringkas (6.4 cm) dan ringan (200 gram), kontruksinya padat, dari logam. Autofokusnya cepat dan akurat. Ketajaman foto sangat baik di bagian tengah foto, sedangkan yang sisi-sisi foto lebih soft, dan ada distorsi (cembung) yang cukup lumayan dan sebagian besar harus diperbaiki melalui software, kecuali saat memotret dengan image quality JPG, maka otomatis distorsi dibetulkan di dalam kamera.

Terlepas dari kekurangan lensa ini, saya senang mengunakannya, mungkin karena memang saya menyukai sudut pandang 28mm yang cukup lebar dan masih terlihat alami karena distorsi perspektifnya tidak terlalu berlebihan.

Berikut beberapa foto dengan lensa 28mm f/2 :

* foto-foto bisa di klik untuk tampilan lebih besar

Angkor Wat sunrise, foto wajib kalau berkunjung ke Kamboja.

Angkor Wat sunrise, foto wajib kalau berkunjung ke Kamboja. ISO 100, 30 detik, f/5.6

Salah satu jalan masuk ke Bayon. Di hari pertama, cuaca hujan, kita balik lagi hari kedua dan ternyata cahayanya jauh lebih bagus dan langitnya biru.

Salah satu jalan masuk ke Bayon. Di hari pertama, cuaca hujan, kita balik lagi hari kedua dan ternyata cahayanya jauh lebih bagus dan langitnya biru. ISO 100, f/7.1, 1/125 detik

Dua Bhiksu kecil berjalan meninggalkan salah satu menara di Banteay Chhmar. ISO 100, f/5.6, 1/320 detik

Dua Bhiksu kecil berjalan meninggalkan salah satu menara di Banteay Chhmar dibawah cahaya matahari di siang hari yang keras. ISO 100, f/5.6, 1/320 detik

Pagi hari di candi Bakong, ISO 100, f/4.5, 1/60 detik

Pagi hari di candi Bakong, ISO 100, f/4.5, 1/60 detik

Lensa ini merupakan salah satu lensa Sony FE yang relatif terjangkau, yaitu Rp 5.990.000, jauh dibawa lensa Sony FE lainnya yang rata-rata 10 juta keatas. Lensa ini dapat juga dipasang di kamera Sony NEX/Sony APS-C seperti A5000, A5100, dan A6000. Bedanya sudut pandangnya menjadi lebih sempit karena efek crop 1.5X (setara dengan 42mm / lensa normal).

—–

Jika berminat memesan lensa atau kamera Sony, saya bisa bantu melalui ranafotovideo.com atau hubungi 0858 1318 3069 secara langsung.

Review singkat: Nikon J1 dengan lensa 10-30mm dan 30-110mm

$
0
0

Saat tour foto ke Sawarna, 13 & 14 Juni yang lalu, saya sempat menguji kamera Nikon J1 dengan lensa kit 10-30mm dan 30-110mm. Kamera ini dititipkan oleh teman yang sedang membutuhkan dana. Kamera ini adalah kamera yang simple dengan sensor 1 inci, 10 MP. Kualitas gambar yang dihasilkan lebih baik dari sebagian besar kamera compact dan prosumer, tapi tidak setara dengan kamera mirrorless dan DSLR yang sensornya lebih besar (micro four thirds, APS-C, full frame).

Nikon J1, 10-30mm, 30-110mm

Kedua lensa yang saya uji relatif tajam, terutama lensa telefotonya 30-110mm. Autofokusnya cepat karena sistemnya sudah hybrid (perpaduan contrast detect dengan phase detect) dan kecepatan foto berturut-turutnya juga cukup cepat (5 foto per detik). Kualitas gambar masih oke saat mengunakan ISO 400, tapi saat ISO 800 atau lebih tinggi, noise mulai kelihatan jelas. ISO 3200 bisa digunakan di kondisi kepepet, misalnya saat cahaya lingkungan sangat gelap.

Secara fisik, Nikon J1 cukup kokoh dan casingnya sepertinya dari bahan logam, sedangkan casing lensa sebagian besar dari plastik tapi bagian mount-nya dari logam. Kedua lensa menerapkan desain retractable design. Desain ini memungkinkan lensanya menjadi lebih pendek saat disimpan. Saat ingin digunakan, kita harus memanjangkan lensa terlebih dahulu dengan menekan dan menahan tombol di lensa, dan memutarnya. Menurut saya, desain ini cukup bagus, karena lebih hemat tempat saat disimpan di tas.

Yang gak begitu saya suka adalah desain untuk menghidupkan dan mematikan lensanya agak masuk kedalam, dan ukurannya agak kecil, sehingga kadang-kadang saya jari saya meleset saat ingin menghidupkan/mematikan kamera. Juga belum ada tidak ada dial/roda untuk mengganti mode exposure (Manual, Aperture priority, dll), sehingga harus masuk ke menu untuk menggantinya.


nikon-j1-detail

Kamera semacam ini cocok untuk foto travel extra light, karena kamera, lensa kit zoom dan telefotonya total beratnya dibawah 600 gram. Untuk street photography juga cocok, karena ukurannya kecil sehingga tidak mencolok, dan kecepatan autofokus dan foto berturut-turutnya lebih bagus. Secara keseluruhan, saya cukup senang mengunakan kamera ini, simple, ringkas, dan cepat

sawarna-sunset-ombak

nikon-j1-10-30mm

DSC_2772

Kelebihan

  • Kamera ringan dan ringkas
  • Lensa-lensanya ringkas tapi tajam
  • Autofokus cepat
  • Kecepatan foto berturut-turut cepat

Kekurangan

  • Tombol On-Off agak kecil dan masuk ke dalam (recessed)
  • Resolusi foto 10 MP
  • Mengganti mode exposure harus di dalam menu
  • Tidak ada jendela bidik dan hotshoe untuk aksesoris

Spesifikasi Nikon J1

  • 10 MP dengan sensor 1 inci
  • Kecepatan foto berturut-turut : 5 foto per detik atau 10, 30, 60 foto per detik dengan electronic shutter
  • Video Full HD 60i
  • Hybrid autofocus: 135 autofocus area, 41 auto AF area
  • ISO 100-6400
  • Shutter speed: 30 detik – 1/16000 detik
  • Berat kamera: 234 gram
  • Monitor LCD 3 inci / 460 juta titik
  • Kapasitas baterai : 230 foto
  • Pop up flash, GN 5

—–

Kamera Nikon J1 warna hitam dengan lensa 10-30mm dan 30-110mm ini saya jual dengan harga Rp 3.000.000 saja
Kelengkapan: kamera, lensa, strap, protector LCD, tas kamera Lowepro.

Kondisi: Kamera dan lensa ini relatif jarang digunakan, di bawah 3000 kali jepret

Bagi yang berminat silahkan hubungi infofotografi@gmail.com atau 0858 1318 3069

Pengalaman dengan Kamera Sony A6000 + Lensa 16-70mm f/4 OSS

$
0
0

Tur ke Kamboja kemarin (1-5 Juni 2015), saya berusaha untuk ringkas bawaannya, kali ini saya membawa Sony A6000 dengan lensa 16-70. Khawatir dengan kurang telenya di jarak fokus 70mm, saya pun dibekali satu lensa fix nikon 135mm dengan adapter ke Sony. Sampai selesai tur, lensa 135mm tersebut hanya nangkring di tas tanpa pernah terpakai sama sekali. Hihi… kayaknya bener bener tipe orang yang malas ganti-ganti lensa.

sony-a6000-16-70mmKarena bobot kamera dan lensa yang cukup kecil, saya pun hanya memasukkannya ke dalam kantong padding kecil dan kemudian membawa backpack biasa (bukan backpack khusus kamera). Lumayanlah, saya masih bisa mengisi payung, topi, obat-obatan dimana sebelumnya saya hanya bisa memuatnya ke dalam kantong lainnya lagi jika membawa DSLR beserta lensa-lensanya.

Awalnya, saya sudah ragu-ragu dengan hanya membawa kamera mirrorless kecil. Ragu akan menyesal karena sudah berpergian jauh namun mendapat foto yang kurang memuaskan. Ragu karena sebelumnya saya pernah menggunakan kamera Sony namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Namun setelah diyakinkan oleh Enche bahwa A6000 dan lensa Sony Zeiss 16-70 f/4 OSS merupakan pasangan yang ideal dan akan menghasilkan kualitas yang bagus, maka saya pun mengikuti sarannya.

Foto saya tidak begitu banyak, 1 hari cukup 1 baterai. Sedangkan jika kita antusias foto, maka sebaiknya menyediakan minimal 1 baterai cadangan lagi.

Sewaktu review di kamera, saya cukup puas dengan hasilnya. Akan tetapi saya masih ada sedikit rasa khawatir, karena foto saya ambil dengan format RAW sedangkan tampilan di layar LCD adalah format JPEGnya foto. Dari pengalaman sebelumnya, foto yang tampak di layar LCD biasanya sangat berbeda setelah diimpor ke komputer (dengan format RAW).

Sepulang ke tanah air, saya pun langsung mengimpor semua foto-foto saya ke dalam Lightroom. Setelah diteliti, saya cukup puas dengan kinerja kamera dan lensanya. Hehe… lega rasanya setelah melihat hasil-hasilnya.

Karakter foto dengan kamera Sony biasanya menonjol di warna birunya. Jadi ketika kita foto langit biru, tanpa diedit pun, warna birunya sudah terasa.

Bayon Temple di 16mm ISO 100

Bayon Temple di 16mm ISO 100

Foto sunrise di Angkor Wat ini kurang tajam, berhubung karena kesalahan saya waktu menempatkan tripodnya, kaki tripod tidak terkunci dengan erat. Sadarnya setelah sunrise sudah berakhir. Hiks… akibat kurang disiplin.

Sunrise di Angkor Wat di  16mm ISO 100

Sunrise di Angkor Wat di 16mm ISO 100

Saya yang biasanya tidak menyukai HI ataupun foto penduduk lokal, namun berbekal kamera mungil ini, saya memberanikan diri untuk foto penduduk lokal di Kamboja. Mungkin juga karena nyaman dengan kamera yang kecil dan keramahan dari penduduk lokalnya, saya bisa dengan santai mengambil beberapa foto penduduk. Suatu hal yang jarang saya lakukan sebelumnya.

Atas 46mm ISO 320 Bawah 70mm ISO 200

Atas 46mm ISO 320 Bawah 70mm ISO 200

HI kids - 39 mm dan 70mm

Kanan 39mm dan Kiri 70mm

Ternyata, hanya berani foto anak-anak, hahaha…

Foto di ISO tingginya juga lumayan. Noise yang muncul masih bisa ditangani oleh Noise Reductionnya LR.

16mm ISO 3200 setelah noise reduction

16mm ISO 3200 setelah noise reduction

Beberapa foto favorit saya di tur ini:

17mm iso 1000

17mm ISO 1000

35mm ISO 100, convert BW kecuali kain kuning

35mm ISO 100, konversi ke BW kecuali kain kuning

70mm ISO 200 konversi ke BW

70mm ISO 200 konversi ke BW

Foto Siluet di 70mm ISO 100

Foto Siluet di 70mm ISO 100

Kalau diteliti lebih lanjut lagi, foto-foto saya mendominasi di jarak fokus 16mm ataupun di 70mm, namun favorit saya lebih banyak di 70mm. Sepertinya lensa tele memang cocok untuk saya. :)

Akhir kata, A6000 + Lensa 16-70 lulus dengan nilai memuaskan sesuai versiku. Hahaha… Tur selanjutnya mau diajak lagi ga ya? Hmm…

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live