Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Memilih flash eksternal untuk kamera mirrorless

$
0
0

Kamera DSLR dan mirrorless punya sejarah yang berbeda. Kamera DSLR yang lebih duluan hadir lebih ‘matang’ dalam dukungan ekosistem seperti lensa dan flash, bahkan sejak jaman film pun fotografer di masa lalu ya memakai berbagai lensa dan flash eksternal. Kini saat DSLR hanya terfokus pada Canon dan Nikon, maka urusan flash eksternal relatif lebih sederhana. Keduanya hampir sama secara teknis, dan karena banyaknya pengguna DSLR di seluruh dunia maka memacu produsen flash eksternal untuk berlomba membuat flash seperti Nissin, Yongnuo, Godox dan banyak lagi. Padahal Canon dan Nikon juga punya flash yang lengkap, seperti Canon 600EX-RT dan Nikon SB910 yang termasuk flagship dalam flash. Fitur flash modern juga beragam, seperti HSS, TTL, rear sync, multi dan zoom, membuat penggunanya bebas berkreasi. Tapi bagaimana saat kini sudah banyak orang yang justru memiliki kamera mirrorless, lalu ingin berkreasi lebih dengan flash photography

Pertama anda perlu sedikit melakukan riset, carilah flash eksternal yang dibuat oleh merk yang sama dengan kamera anda. Sony termasuk punya banyak pilihan flash, lalu Fuji, Panasonic, Olympus juga tentunya ada. Mirrorless Canon EOS M adalah perkecualian karena bisa pakai flash milik DSLR Canon (hotshoe dan TTL-nya sama). Setelah tahu apa pilihan yang ada, lalu cek harganya, bila cocok silahkan dibeli. Misal Fuji EF-42 TTL flash itu harganya 2 jutaan, lalu Olympus FL-600R itu 4 jutaan. Selain faktor dana, pertimbangan lain dalam memilih biasanya melihat kekuatan flash (GN) dan ukuran/dimensi flashnya.

Kedua cari tahu flash buatan dari pihak ketiga (third party). Pihak ketiga ini bisa jadi dari Eropa (misal Metz), dari Jepang (Nissin) dan tentunya dari China. Saat kita mendengar merk China seperti Yongnuo atau Godox yang lebih ekonomis kita tentu ingin tahu apakah bisa dipasang di kamera mirrorless atau tidak. Tahukah anda kalau beberapa flash dari merk ternama sebetulnya adalah flash buatan pihak ketiga yang di re-brand? Misal Fuji EF-42 itu adalah Sunpak PZ42X, padahal Sunpak ini juga membuat flash PZ42X untuk kamera selain Fuji.

Oke, kita bahas mengenai flash untuk kamera mirrorless. Disini ada beberapa catatan dari saya terkait topik kita saat ini :

Mirrorless lebih bervariasi

Produsen seperti Yongnuo dan Godox tentu juga membuat flash untuk mirrorless, dan yang saya maksud adalah TTL yang kompatibel penuh dengan setiap merk. Hanya saja faktanya kamera mirrorless itu lebih variatif baik dari segi teknologi, segmentasi hingga kompatibilitas. Perlu diketahui kalau sulit sekali bagi mereka (produsen flash pihak ketiga) membuat flash yang dijamin full kompatibel, sumber daya mereka juga terbatas untuk mendesain dan mencoba satu-satu (ingat mereka sebenarnya reverse-engineer, tidak mendapat dukungan teknis dari masing-masing produsen mirrorless). Bisa jadi ada bug, atau fitur yang tidak jalan, atau flash yang tidak kompatibel untuk tipe tertentu dan tipe yang akan datang. Maka itu flash pihak ketiga yang baik akan menyediakan port USB untuk firmware update.

Jarang ada mirrorless dengan wireless flash optik

Flash eksternal untuk DSLR umumnya mendukung wireless teknologi lama dengan optik / infra red. Tapi di kamera mirrorless jarang sekali ditemukan fitur ini, sehingga salah satu kelebihan dari flash eksternal jadi mubazir. Padahal wireless flash di DSLR, meski teknologi lama, tapi lumayan canggih dengan kemampuan mengatur TTL, manual dan Channel (1-2-3-4) serta Grup (A-B-C). Artinya bila mirrorless yang kita punya tidak ada wireless flashnya, kita terpaksa hanya bisa memasang flash selalu di hot shoe kamera, atau main off shoe pakai wireless dengan menambah dana beli trigger (dan mencari trigger untuk mirrorless kalau yang TTL juga tidak mudah).

Mirrorless pakai live-view

Sebetulnya tidak ada salahnya dengan live view, hanya saja kadang lokasi yang kita akan foto dengan flash itu gelap. Saat kita pakai mode Manual, maka Live view bisa jadi akan menampilkan gambar yang gelap sehingga susah untuk membidik subyek. Untuk itu pengguna mirrorless mesti mencari setting di kameranya untuk mengubah mode live view menjadi ‘selalu terang’ bukannya mensimulasikan eksposur. Tapi ada juga kamera mirrorless yang tidak bisa diubah sehingga saat mode Manual mau pakai flash ya live viewnya selalu gelap.

Masalah teknis berkaitan dengan shutter

Sebagian kamera mirrorless menerapkan shutter elektronik, dan ini tidak akan bersahabat dengan flash. Ingat kalau flash hanya bisa dipakai dengan shutter mekanik di kamera kita. Itupun ada batasan sinkronisasi yang berbeda-beda, kadang sebagian kamera mirrorless punya batas sync yang agak parah seperti 1/160 detik, bahkan ada yang 1/60 detik, padahal semestinya bisa 1/250 detik atau lebih supaya lebih leluasa memakai flash di saat siang hari. Saya juga punya fitur favorit berkaitan dengan ini yaitu HSS/FP mode, sebuah fitur untuk mendobrak limitasi sync speed (selama didukung oleh flash) dan sayangnya tidak semua kamera mirrorless mendukung fitur HSS ini.

Flash manual

Bila tujuan kita hanya untuk belajar, dan tidak masalah mengatur flash pakai mode manual, maka meski kameranya mirrorless tetap saja pilihannya banyak. Karena di pasaran banyak flash manual (universal) yang bisa dipakai di semua kaki hot shoe (kecuali Sony NEX lama). Hanya saja tetap perlu coba-coba dulu, karena ada saja kamera mirrorless yang tidak mau membuat flash manual ini menyala. Lalu kalaupun bisa, maka fitur flash yang lain seperti TTL, HSS, AF assist beam dsb tidak bakal bisa kita nikmati.

Tips :

  • untuk pemakaian harian, tidak perlu flash kekuatan besar, apalagi kamera mirrorless umumnya cukup kecil sehingga agak lucu kalau flashnya besar
  • bila mau serius untuk studio atau bermain lighting sebaiknya pakai trigger saja, bisa yang TTL atau manual (universal)
  • hindari membeli kamera mirrorless yang tidak ada flash hot shoe-nya, bila ingin berkreasi maksimal dengan flash

Beberapa merk flash pihak ketiga yang bisa dicoba/dipertimbangkan :

  • flash powerful : Godox V860-II atau TT685, perhatikan kode huruf dibelakangnya misal TT685S itu untuk Sony, O itu Olympus, F itu Fuji, P itu Panasonic
  • flash harian : Godox TT350, sama seperti diatas, dengan kode huruf menandakan kompatibel untuk kamera apa
  • flash buatan Jepang : Nissin i60A dan i40, tersedia untuk Sony, Fuji dan Micro 4/3

Sudah punya flash eksternal tapi belum bisa memaksimalkan fiturnya? Atau bingung dengan istilah-istilah yang dibahas di artikel ini? Anda bisa ikuti kelas Kupas Tuntas Flash Eksternal bersama saya, jadwalnya 30 September 2017 jam 13.00-16.30 WIB di infofotografi Green lake city Jakarta.


Sony A6000+35mm f/1.8 vs Fujifilm X-E2s+35mm f/2

$
0
0

Sudah menjadi tren bahwa harga kamera semakin menurun setiap tahunnya, seperti halnya kamera yang akan saya bahas ini, yaitu Sony A6000 (keluaran tahun 2014) dan Fujifilm X-E2s (2016). Harga kedua kamera saat ini sedang di discount (kata kerennya: Cashback) dan dipaketkan dengan lensa yang berkualitas yaitu Sony E 35mm f/1.8 OSS dan Fujifilm XF 35mm f/2 WR.

Setelah di-cashback, paket Fuji X-E2s sedikit lebih mahal, yaitu 11.5 juta, dibandingkan dengan paket Sony A6000 yaitu 10 juta.

Yang mana yang lebih baik? Ya pastinya masing-masing  paket ada plus minusnya.

Sony A6000 punya resolusi lebih besar, 24MP berbanding 16MP, sistem autofokusnya jauh lebih cepat (phase detection), terutama untuk subjek bergerak. Sony juga punya keunggulan lain, yaitu layarnya bisa ditekuk sehingga memudahkan untuk memotret low-angle, dan kecepatan memotret foto berturut-turutnya lebih kencang (11 vs 7 fps). Dengan kelebihannya, Sony A6000 bagus untuk foto landscape, dan action.

Di lain pihak, Fuji X-E2S punya keunggulan yaitu desainnya retro dan menarik, dan punya port untuk audio external. X-E2s juga punya shutter speed yang mencapai 1/32000 detik berkat electronic shutter. Kualitas gambar dan warna Fuji biasanya cocok untuk foto portrait dan human interest.

Untuk lensanya, kedua lensa 35mm kualitasnya bagus, dengan sedikit perbedaan. Lensa Sony bukaannya sedikit lebih besar, dan punya stabilizer (OSS), jadi lebih menguntungkan bagi yang sering memotret di kondisi yang sangat gelap seperti malam hari atau di dalam ruangan yang remang-remang. Sedangkan Fuji XF 35mm f/2 punya keunggulan yaitu WR (water resistant) artinya aman jika digunakan saat hujan ataupun di lingkungan yang ekstrim dan berdebu.

Bagi calon pembeli pemula, perlu diperhatikan juga bahwa pilihan lensa Fuji saat ini lebih banyak daripada pilihan Sony (untuk sensor APS-C). Tapi kualitas lensa Fuji cenderung lebih tinggi dan tentunya lebih mahal. Memang, lensa Sony FE untuk full frame, atau lensa Sony Alpha SLR/SLT bisa dipasangkan ke A6000, tapi kurang pas karena jadinya besar di depan.

Mudah-mudahan dengan penjelasan diatas jadi gak bingung lagi ya, yang mana yang lebih cocok.


Setiap bulan, Infofotografi menyelenggarakan kursus kilat dasar fotografi, bagi yang berminat langsung periksa jadwal dan materinya disini.

Kesan pertama dengan kamera Panasonic GH5

$
0
0

Beberapa saat lalu, Infofotografi kedatangan bayi baru, Panasonic GH5 dan lensa Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm f/2.8-4 ASPH. Peminjaman gear ini bertepatan dengan sehari sebelum trip ke Pangalengan. Enche menyerahkan satu buah buku manual GH5 untuk saya pelajari. Baru saja dibaca beberapa halaman, saya pun mulai mengantuk. Alhasil, saya pun berangkat dengan modal nekad.

Kesan Pertama

Kamera ini cukup nyaman dalam genggaman tangan saya yang tergolong kecil. Berat 1 kg untuk body dan lensa masih terasa nyaman untuk hunting seharian. Yang paling saya sukai tentu saja saya tidak perlu repot-repot mengganti lensa karena rentang 12-60mm nya setara dengan 24-120mm di full frame. Untuk kapasitas baterainya ketika dibandingkan saat menggunakan GX85, saya tidak perlu mengganti baterai untuk foto seharian dengan GH5. Untuk hunting perdana ini, kami dihadapkan dengan cuaca berkabut. Jadinya tidak ada foto yang ‘wah’ kali ini.

Yang paling saya sukai dari kombinasi kamera dan lensa ini adalah warnanya yang sangat natural. Untuk warna sulit seperti orange dan merah, saya tidak perlu mengedit sama sekali sehingga ketika saya memasukkan semua foto ke dalam software Adobe Lightroom (Lr), saya jadi bingung apa yang harus dilakukan. Tidak ada penggeseran-penggeseran slider di Lr yang dilakukan untuk foto-foto yang diambil dengan baik dan benar.

Disiplin Memotret itu Mutlak

Karena bersensor kecil (sensor 4/3 inch) rentang dinamik kamera ini tergolong rendah. Kesalahan eksposure yang terlalu jauh akan menimbulkan noise jika terlalu dipaksa untuk diedit (baik over expose maupun under expose). Jadi dalam menggunakan kamera ini, kita harus selalu memperhatikan betul settingan yang dipakai. ISO, bukaan dan speed yang sembarang dipilih tanpa pemikiran yang matang di kondisi cahaya sulit akan menyebabkan foto yang kurang maksimal (tak layak tampil hahaha). Tak heran, sejak menggunakan kamera Panasonic ini (baik GX85, G7 ataupun GH5) saya selalu mendapat ceramah dari Enche tentang kedisiplinan memotret. Asalkan ada yang salah setting, pastinya kata-kata “motret itu kok ga disiplin, gimana bisa dapat foto bagus?” selalu terlontar dari mulut Enche.

Yang pastinya ada dua nasehat yang sering terlontar dan sudah saya hapal mati (meski di lapangan masih juga sering lupa), antara lain:

  • ISO jangan terlalu tinggi, usahakan maksimal 800 saja, alternatifnya bisa dibantu dengan lensa fix bukaan besar di saat kondisi low light.
  • Bukaan jangan terlalu kecil (angka yang terlalu besar seperti f/11, f/16 ) karena akan menyebabkan difraksi lensa (ketajaman foto berkurang)

Akan tetapi, bukan berarti foto dari kamera ini tidak bagus untuk diedit. Foto RAW dari kamera juga masih dapat menampilkan detail-detail yang ada seperti contoh di bawah ini.

Sepulang dari Pangalengan, saya langsung ditagih tulisan oleh Enche. Merasa ga maksimal dengan foto-foto di atas, saya pun minta ijin untuk boleh menggunakan lagi di lain kesempatan (setidaknya satu atau dua kali hunting lagi). Untungnya pihak Panasonic Indonesia berbaik hati untuk memperpanjang peminjaman sehingga saya dapat mencoba lagi di workshop Basic Composition di Sunda Kelapa, di kelas Studio Flash dan terakhir di acara wedding sepupu di Medan. Tulisannya akan menyusul dengan segera ya. Ditunggu….

Mencoba kamera flagship Panasonic Lumix GH5

$
0
0

Kembali Infofotografi dipinjami kamera flagship Panasonic Lumix yang terbaru yaitu Lumix GH5 selama tiga pekan. Sebetulnya ulasaan ini sudah sedikit terlambat karena Panasonic Lumix GH5 serndiri telah diluncurkan pada bulan Mei 2017 di Indonesia *Panasonic Lumix GH5 diluncurkan di Indonesia*

Lumix GH5- Leica DG Vario-Elamarit 12-60mm f/2.8-4.0 ASPH

 

Tetapi rasanya sih masih “OK” lah tidak masalah, yang penting kesempatan ini tidak kami sia-siakan dan berikut laporan singkat mengenai kesan dan kinerja kamera Lumix GH5 ini dari Panasonic.

Kamera yang kami terima adalah Lumix GH5, 20MP – Four Thirds CMOS Sensor dengan lensa Kit Leica DG Vario Elmarit 12-60mm, f/2.8-4 yang dipasarkan sekitar IDR 37.000.000 sedang harga tubuhnya saja (body-only) IDR 27.000.000.

Bentuk dan struktur badan kamera GH5 ini tidak terlihat beda sekali dengan pendahulunya GH4 tetapi di genggaman kami rasanya lebih mantap karena dari fisik dan bobotnya memang sedikit lebih besar/berat (560g. 133 x 93 x 84 mm vs 725g. 139 x 98 x 87 mm).

 

Tampak ukuran badan tidak jauh lebih besar dari GH4 tetapi dalam genggaman terasa lebih mantap, juga penambahan baru didepan ada tombol Fn6 Secara default, tombol Fn6 ini menampilkan preview langsung efek aperture saat ini (secara efektif merupakan tampilan efek dari Depth of Field dan efek dari Shuter Speed saat ini versi digital)

Fisik, Tata Letak dan Kinerjanya

Seperti pendahulunya GH4, kamera M4/3-16MP hibrida (Still dan Video) yang sangat sukses berkat kualitas Still dan videonya. Kamera flagship GH5 ini mengusung sensor 20 MP baru dan prosesor Venus Engine baru yang sangat cepat, diberitakan memiliki kekuatan dua pertiga lebih besar daripada di GH4, Buffer yang cepat, dual UHS-II SD slot, 4K video hingga 60p, 10-bit internal video recording, 6K Photo mode dan banyak lagi.

Dari fitur-fitur barunya sayamelihat bahwa GH5 ini tidak meninggalkan para Fotografer, tetapi fitur-fitur video nya memang benar-benar muncul mengambil panggung ditengah-tengah para Videografer, bahkan ada yang menjulukinya sebagai pembawa standar baru bagi para pembuat film indie.

Saya disini tidak akan mengulas kelebihan dari fitur-fitur videografi-nya tetapi hanya ingin menguji kemampuan fitur-fitur still photography yang ditawarkan dan kami coba di lapangan, mungkin pada artikel lanjutan kita akan bahas kehandalan fitur-fitur videografi yang ditawarkan oleh kamera Lumix GH5 ini.

Tubuh terbuat dari Magnesium Alloy, GH5 ini tahan terhadap debu dan cipratan, seperti GH4. Namun, sekarang lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan berkat penambahan freeze proofing yang memungkinkan digunakan dalam suhu serendah hingga -10 ° C.

Posisi tombol film dipindah keatas dengan ukuran lebih besar dari tombol-tombol pengaturan lainnya

Hampir semua kontrol utama Panasonic GH5 dan fitur dapat ditemukan di sekitar tempat yang sama seperti pada GH4, meskipun ada beberapa tweak di sana-sini, serta beberapa tambahan baru. Dan yang paling menonjol terlihat tidak ada lagi terdapat built-in flash, menurut saya memang sebaiknya kamera pro tidak memerlukan ini.

Pada saat yang sama, Panasonic juga telah memindahkan tombol rana film dari bagian belakang kamera ke dek atas, lokasi yang bagi saya (still photografer) malah merepotkan sering salah tekan karena terlalu dekat dengan tombol kompensasi pencahayaan. Di area lokasi bekas tombol film diisi joystick mini yang digunakan untuk memindahkan titik focus, dan navigasi menu, ini adalah ide cemerlang, sebelumnya untuk memindahkan titik focus kami melakukanya pada layar sentuh yang mana sangat merepotkan bila membidik melalui pengintai dan jari juga harus meraba-raba layar sentuh untuk menentukan titik focus.

 

Penambahan joystick (AF point joystick) ini sangat membantu sekali dalam meletakkan posisi titik fokus saat memotret menggunakan view finder, berfungsi juga untuk nafigasi menu.

Berkat chip Live MOS sensor gambar 20.3MP, dan prosesor Venus Engine baru kualitas gambar seharusnya menjadi lebih baik, dan memang GH5 menghasilkan beberapa gambar JPEG terbaik yang kami pernah alami dari Panasonic terutama pada ISO tinggi, apalagi dengan ditiadakannya low-pas filter menjadikan ketajaman per-pixel menjadi meningkat.

Hasil foto low light langsung dari kamera dalam format JPEG – Panasonic Lumix GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 – | 13mm | f/4.0 | 1/5s | ISO 1600 |

Hasil foto low light langsung dari kamera dalam format JPEG – Panasonic Lumix GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 – | 12mm | f/4.0 | 1/2s | ISO 1600 |

Salah satu fitur baru yang paling menarik di Panasonic Lumix GH5 adalah stabilisasi gambar dalam tubuh baru, dengan pergeseran sensor lima sumbu yang sangat luar biasa (new 5-axis Dual I.S. MK II system). Dimana pada GH4 kami dengar masih kurang mulus kinerjannya. Dari uji coba yang kami lakukan pada still photo, efek stabilisasi lima sumbu ini sangat terlihat, lebih lagi bila dikombinasikan dengan setabilisasi gambar pada lensanya (menjadi Dual IS), dan bahkan memungkinkan memotret dengan cukup mantap tanpa menggunakan tripod, saya mencobanya seperti foto diatas tanpa tripod dengan kecepatan 1/2s – 1/5s dan hasilnya gambar tidak goyang sama sekali.

Kemampuan still-shooting Panasonic GH5

GH4 selama ini memang lebih banyak digunakan sebagai kamera video yang fantastis dibanding untuk penggunaan still photo, karena kemampuan fotografinya tidak terlalu signifikan dibanding kompetitornya. Kami merasa bahwa gambar foto yang dihasilkan tidak jauh beda dengan seri Lumix G maupun seri Lumix GX , mungkin sebagian karena resolusi sensor dan prosesor lama nya, atau fakta bahwa masih menggunakan filter low-pass optik, sementara sebagian besar seri Lumix G dan Lumix GX telah menghilangkan OLPFs nya. Memang untuk nada warna walaupun sudah bagus tapi kurang memiliki kedalaman, dan tingkat kebisingan dengan ISO tinggi masih terasa.

Hasil foto langsung dari kamera dalam format RAW –  GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 – | 60mm | f/4.0 | 1/640s | ISO 200 |

Hasil foto langsung dari kamera dalam format RAW | 27mm | f/5.6 | 1/400s | ISO 200 |

Menurut pendapat saya, semua warna yang ditangkap dalam nada dan tingkat yang bervariasi dengan GH5, menciptakan tampilan yang relatif jernih, natural, dan jenuh-sempurna dari kamera.

Dalam foto disamping ini terlihat foto dalam format RAW warnanya telah membaik dibanding dengan GH4

Bukan berarti warna lain dari seri-seri sebelumnya tidak cemerlang, tetapi terbukti disini kinerja prosesor/komputerisasi GH5 melakukan pekerjaan yang sangat baik, dengan berusaha menyesuaikan apa yang mata anda lihat dengan apa yang di tangkapnya.

Sebetulnya GH4 juga melakukannya dengan baik, dan kedua kamera Lumix ini saya pikir adalah pilihan tepat bagi mereka yang ingin melestarikan realisme lingkungan denga nada warna yang mendekati alami.

Dalam foto dengan format JPEG dibawah ini kami juga merasakan peningkatan kualitas warna yang semakin natural, saturasinya pas dan semakin halus pada ISO tinggi.

Warna natural alami sama sepereti yang terlihat oleh mata – Hasil foto langsung dari kamera dalam format JPEG – Panasonic Lumix GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 | 27mm | f/3.6 | 1/500s | ISO 200 |

 

Warna natural alami sama sepereti yang terlihat oleh mata – Hasil foto langsung dari kamera dalam format RAW,  Panasonic Lumix GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 – | 40mm | f/4.0+0.66EV | 1/125s | ISO 200 |

Dan untuk jenis foto favorit saya, foto Hitam dan Putih, saya selalu memotret dengan format RAW + JPEG, dengan tujuan menggunakan gambar  jpeg untuk acuan nada pada saat editing gambar RAW, karena gambar jpeg adalah gambar ahir hasil prosesing komputerisasi yang maksimal  keluar dari kamera, bila kita memotret dengan mode monochrome (monochrome, dynamic monochrome, rough monochrome, silky monochrome, dst) dengan jpeg umumnya hasil dari kameranya cukup baik untuk editingnya juga tidak terlalu banyak.

Kali ini saya coba memotret hitam putih menggunakan mode L Monochrome  yang ada di GH5 dengan format JPEG, dan menurut saya hasilnya cukup bagus, nadanya mirip cetakan foto menggunakan film apa lagi kalau di tweak lanjut mengunakan Silver Efex Pro untuk memperkuat detail dan efek grain. Bukan berarti foto B & W dibawah ini sudah sempurna, untuk mencapai potensi maksimal, tetap membutuhkan proses Dodge and Burning dan tweak sana sini sedikit dengan photo editor.

Black and White Photo menggunakan Special L Monochrome JPEG mode tanpa filter warna dan belum mendapatkan sentuhan Silver Efex Pro – Hasil foto langsung dari kamera dalam format JPEG -Panasonic Lumix GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 – | 27mm | f/3.6 | 1/500s | ISO 200 |

Pemotretan dengan Mode Monochrome hanya efektif dalam format JPEG karena hasil akhir tetap hitam dan putih, sedang bila menggunakan format RAW maka hasil akhirnya yang keluar dari kamera adalah berwarna. Untuk melengkapi mode monochrome ini Lumix menyediakan filter warna built-in didalam kamera (hijau, merah, kuning dan jingga dengan tingkat), yang cara kerjanya mirip dengan filter warna optik pada kamera film dan hasilnya bisa dilihat secara live view pada layar.

Contoh, menggunakan filter merah bila kita menginginkan warna biru awan gelap dan putih kontras , atau warna knuing untuk kulit menjadi lebih terang dalam foto B&W. Tetapi untuk kamera yang tidak memiliki filter warna built-in seperti ini, sebaiknya memotet dengan mode monochrome tetapi dalam format RAW karena dalam proses konversi ke hitam/putihnya melalui photo edeitor membutuhkan data warna yang lengkap sehingga filter warna digital pada image editor dapat berfungsi dengan baik.

Black and White Photo menggunakan Special L Monochrome JPEG mode tanpa filter warna dan belum mendapatkan sentuhan Silver Efex Pro – Hasil foto langsung dari kamera dalam format JPEG – Panasonic Lumix GH5 + Leica DG Vario Elmar 12-60mm f/2.8-4 – | 18mm | f/5.6 | 1/320s | ISO 200 |

Akhir Kata

Memang kami berharap, dengan adanya peningkatan resolusi dari 16 sampai 20 megapixels pada sensor berukuran 4/3, akan baik jika noise nya tidak meningkat sebagai hasil dari photosites yang lebih kecil. Selain menangkap gambar lebih detail harus menghasilkan noise yang terlihat lebih rendah daripada GH4 saat dicetak dengan ukuran yang sama.

Lumix GH5- Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm f/2.8-4.0 ASPH  @|12mm | 1/5s |  f/4.0 |  iso 1600 | Handheld – Developed in Kodak Plus-X 125PX by Silver Efex Pro2

GH5 juga telah menghilangkan filter low-pass optik, sehingga ketajaman per pixel dari sensor telah meningkat, meski berisiko meningkatkan artefak moiré dan false colors, dan hal ini harus diantisipasi oleh prosesor pengolah datanya. Disini terlihat bahwa komputerisasi dari prosesor Venus Engine baru telah bekerja dengan baik.

Lumix GH5- Leica DG Vario-Elamarit 12-60mm f/2.8-4.0 ASPH  @|12mm | 1/25s |  f/3.0 |  iso 1600 | Handheld – Developed in Kodak Plus-X 125PX by Silver Efex Pro2

Dua foto Black and White terahir diatas menggunakan mode L Monochrome, dalam format RAW dan dikonversi ke hitam putih melalui plug-in Silver Efex Pro di Lightroom – Hasil foto monochrome dalam format RAW akan tampil dalam warna pada image editor, kemudian dikonversi ke Hitam/Putih menggunakan Lightroom saja atau dengan Silver Efex Pro.

 

Tabik,

H Poernomo

Testing lensa-lensa Leica S, SL dan M

$
0
0

Tanggal 3 November 2017 yang baru lewat ini, Leica Store Indonesia kedatangan tamu dari Leica Akademie Jerman yaitu Oliver Vogler, beliau adalah trainer Leica Academy di markas besar Leica dan dalam kunjungan kali ini, ia membawa beberapa lensa Leica kelas atas yang sempat saya coba bersama beberapa fotografer yang mengunakan kamera Leica, khususnya Leica SL dan Leica M.

Berikut kesan-kesan saya terhadap beberapa lensa top Leica saat dipasang di kamera Leica SL.

Leica SL 50mm f/1.4 ASPH.

Lensa standar atau acuan (reference lens) untuk kategori lensa 50mm. Ketajamannya-nya di f/1.4 menandingi Leica 50mm f/2 APO, lensa Leica M paling sempurna saat ini. Lensa ini agak besar, beratnya pas 1 kg, dengan panjang 12.4 cm, tapi lensa ini bisa autofokus saat dipasang di Leica SL atau di Leica TL tanpa adaptor.

Data teknis foto atas: f/1.4, 1/250 detik, ISO 200, foto bawah: f/1.4, 1/250 detik, ISO 250.

Leica M 50mm f/2 APO

Lensa ini berukuran sangat kecil, hanya sekitar 5 cm dengan filter diameter 39mm. Berat 240 gram saja. Kalau dari segi teknis misalnya ketajaman, distorsi dll, lensa ini adalah yang paling top untuk sistem Leica M. Saya memasang lensa ini ke Leica SL dengan adaptor M to L.

Tantangan saat mengunakan lensa ini tentu adalah manual fokus, jadi kita harus memutar lensanya sendiri dengan jari. tapi jika berhasil, maka di bagian yang fokus akan tajam dan kaya detail meskipun mengunakan bukaan terbesar (f/2).

Data teknis: f/2, ISO 250, 1/250 detik, Leica SL + Leica M 50mm f/2 APO – tanpa editing. Foto bawah adalah crop 100% (actual pixel) dari foto diatas.

Data teknis: f/2.8, ISO 64, 1/250 detik, Leica SL + Leica M 50mm f/2 APO

Leica SL 90-280mm f/2.8-4

Lensa telefoto zoom SL yang panjang dan berat ini (1.7kg) cukup menakutkan bagi fotografer maupun subjek yang dibidik, tapi ketajaman hasil foto dengan lensa ini sulit ditandingi oleh lensa-lensa zoom yang lain, bahkan beberapa lensa fix kalah tajam dengan lensa zoom ini. Autofokus lensa ini juga cepat, paling cepat dibandingkan lensa-lensa SL yang telah beredar sampai saat ini.

Data teknis foto atas : ISO 80, 1/125 detik, f/4.0, 225mm. Foto bawah: ISO 8000, f/3.5, 1/250 detik, 176mm

Leica S 120mm f/2.5 dipasang di kamera Leica S (007)

Leica S 120mm f/2.5 sebenarnya adalah lensa macro yang memiliki perbesaran 1:2, tapi lensa ini populer juga untuk portrait. Sudut pandang lensa ini mirip kurang lebih mirip dengan lensa 100mm di kamera full frame. Perhitungannya adalah 120mm X 0.8 = 96mm. Panjang lensa ini 12.7mm, dengan filter 72mm, dan berat 1.28 kg. Tidak terlalu berat untuk ukuran lensa telefoto medium format. Saat dipadukan dengan kamera Leica S (1.2kg), terasa seimbang. Lensa ini juga bisa autofokus, tapi agak sedikit lambat dibandingkan dengan kamera Leica SL.

Saat saya gunakan dengan Leica S, hasil gambarnya sangat bagus, bukan karena ketajamannya saja, tapi lebih ke dimensi dan bentuknya sangat keren. Kesan artistiknya lebih menonjol, bagi yang benar-benar serius ke fotografi portrait+makro, saya sangat merekomendasikan Leica S dengan lensa 120mm f/2.5 macro ini, atau jika ingin yang lebih pendek dengan bukaan lebih besar, Leica S 100mm f/2.

Data teknis: Foto atas: f/2.8, 1/350 detik, ISO 100. Foto bawah: f/2.8, 1/250 detik, ISO 400

Seperti yang dilihat dari foto-foto diatas, warna-warna yang dihasilkan oleh Leica SL sangat netral, dan saya jarang perlu mengedit warnanya, dan saat di konversi ke B&W juga bagus tonalnya. Terima kasih kepada Leica Store Indonesia yang telah mengadakan acara ini, semoga info ini bisa bermanfaat bagi bagi pembaca.


Bagi pembaca yang ingin belajar fotografi, dari dasar, komposisi dan lighting, bisa mengikuti kursus kilat dasar fotografi yang secara rutin kita hadirkan setiap bulan.

Jadwal workshop dan tour lainnya, termasuk workshop Leica yang saya adakan secara reguler dapat dibaca di halaman ini.

Hasil mencoba lensa fix Tamron 45mm f/1.8 VC

$
0
0

Saya berkesempatan mencoba lensa fix dari Tamron yaitu SP 45mm f/1.8 Di VC USD, dengan mount Canon. Lensa ini dibuat untuk full frame, namun berfungsi penuh di kamera APS-C dengan fokal efektif menjadi sekitar 70mm. Bila anda masih bingung tentang crop factor dan ekuivalensi lensa, artikel terpisah tersedia disini. Saya sendiri mencoba lensa ini dengan kamera Canon 70D yang artinya fokal lensa Tamron 45mm ini akan ekuivalen dengan lensa 70mm di full frame.

Tamron 45mm VC SP, dipaketkan dengan hood lensa

Dari fokal lensanya memang 45mm termasuk unik, jarang sekali ada lensa 45mm fix untuk full frame, setahu saya dulu ada lensa Samsung NX 45mm tapi untuk APS-C, dan Olympus 45mm tapi untuk Micro Four Thirds. Pengguna DSLR full frame saat memasang lensa 45mm ini tetap akan mendapatkan perspektif normal layaknya lensa 50mm tapi sedikit lebih wide, kalau dibandingkan kurang lebih seperti ilustrasi berikut ini :

Lensa Tamron 45mm f/1.8 (kiri) dan lensa lain 50mm f/1.8 (kanan) posisi kamera dan subyek tidak berubah, tampak yang 50mm sedikit lebih tele

Beberapa fitur unggulan lensa ini :

  • memiliki peredam getar VC
  • motor fokus silent USD
  • eksterior tahan cuaca
  • coating terkini eBAND dan BBAR

Data lain untuk lensa ini, dia memiliki bahan luar dari logam, didalamnya ada 9 bilah diafragma, 10 elemen optik dan diameter filter 67mm, dan untuk semua kelebihan ini, lensa Tamron 45mm memang jadi agak lebih besar namun untungnya masih relatif ringan 540gram.

Dari beberapa hari mencoba lensa ini, saya mendapati kualitas optiknya memang jempolan, dengan ketajaman yang sudah enak dilihat bahkan di bukaan maksimum f/1.8. Kemudian fitur VC juga membantu sekali misalnya ingin pakai shutter speed agak lambat tanpa takut fotonya goyang. Kinerja auto fokus memang senyap (nyaris tidak bersuara) tapi karena lensa ini punya jarak fokus minimum yang lumayan dekat, maka kinerja motor auto fokusnya agak lambat.

Lensa ini memang dirancang untuk penghobi fotografi yang lebih serius dan juga para profesional, maka tak heran dari kualitas optik, built quality, weathersealed dan fitur VC yang diberikan membuat harganya lebih mahal dari lensa sejenis (50mm f/1.8) dari Canon atau Nikon. Kalaupun dibandingkan dengan lensa f/1.4 maka saya pikir mesti bijak juga menyikapinya, misal lensa f/1.4 kurang tajam di bukaan maksimal toh pada akhirnya perlu stop down ke f/1.8 juga. Sedangkan benefit dari lensa f/1.4 adalah bisa dipakai di keadaan low light, dan Tamron 45mm juga bisa untuk low light dengan melambatkan shutter berkat adanya fitur VC.

Lensa 45mm apa adanya

Crop 100% untuk melihat ketajaman lensa

Biasanya orang ingin tahu juga apa kekurangan dari setiap produk. Dalam mengkaji lensa yang kerap dicari tahu adalah hal-hal yang sifatnya teknis seperti vignetting, distorsi, CA (purple fringing) dan softness di bagian tepi. Dan ini menjadi dilema untuk produsen lensa dalam membuat produk apakah mau ke arah simplicity atau perfection. Maksudnya begini, sebuah lensa saat dirancang simpel maka bakal bisa murah, kecil tapi banyak kekurangan, sebaliknya lensa yang rumit dan penuh koreksi optik akan jadi besar dan mahal (misalnya lensa paling wow saat ini yaitu Zeiss Otus). Tiap produsen boleh menentukan posisinya sesuai target market dan level produknya. Tamron 45mm ini memang menyasar segmen menengah dan pro, ditambah karena lensa ini berkode SP (Super Performance) maka menunjukkan kualitas optik yang tinggi dan rendah cacat lensa. Maka itu tak heran lensanya cukup besar dan harganya juga lumayan (9 jutaan rupiah).

CA berupa warna ungu di area kontras tinggi, masih termasuk wajar dan bisa dikoreksi di editing

Dengan harga dan target marketnya maka tak heran kalau kekurangan lensa ini cukup minimal. Vignetting memang ada, tapi hanya di bukaan maksimal dan lebih terlihat di sensor di full frame. Karena saya mencobanya di kamera APS-C jadi bukan sebuah masalah, demikian juga dengan corner-nya. Yang saya temui sedikit kekurangannya paling adalah CA (chromatic abberation) yang memunculkan warna keunguan di perbatasan bagian kontras tinggi, sesuatu yang masih lumrah dan bisa dikoreksi di editing.

Secara umum dari beberapa kesempatan saya mencoba lensa ini, saya terkesan dengan kualitas fisik dan optiknya, lalu fitur VC yang membantu dan di APS-C fokal lensa ini jadi setara 70mm yang termasuk medium tele, cocok untuk banyak keperluan seperti detail, produk, potret dan sebagainya.

Tes bokeh dan low light

Untuk potret dan blur belakangnya

Garis tidak mengalami distorsi

Perspektif normal

Saya suka garis-garis dalam foto bangunan

Lensa ini cocok juga untuk foto bangunan

Detil dan perspektif normal

Detil dan perspektif normal

Untuk panning

Untuk potret

Test low light, 1/20 detik dengan VC

VC membantu sekali dengan 1/25 detik, f/1,8 dan ISO 1600 (tempat ini aslinya gelap sekali)

Lurus tanpa distorsi, cocok untuk foto simetri

Perspektif normal

Detail dan ketajaman

 


Terima kasih untuk Tamron Indonesia (PT Halo Data) sudah memberi kesempatan saya mencoba lensa Tamron SP 45mm f/1.8 VC ini.

Saat travel, bagusan bawa banyak lensa atau bawa sedikit?

$
0
0

Saat bersiap-siap untuk travel ke tempat jauh, terutama untuk tujuan fotografi, kita selalu menghadapi keadaan yang dilematis yaitu lebih baik bawa banyak lensa atau bawa sedikit lensa dan berusaha seringkas mungkin?

Biasanya, untuk memotret subjek yang dekat atau pemandangan yang luas, kita perlu lensa lebar, sedangkan untuk subjek yang jauh perlu lensa telefoto. Tapi sampai saat ini tidak ada lensa zoom yang mencakupi perspektif super lebar sampai super telefoto, maka itu minimal kita perlu dua lensa, satu yang super lebar, satu lagi sapujagat. Tapi karena lensa sapujagat (istilah lensa yang bisa zoom dari lebar sampai tele) kualitasnya biasa saja, maka untuk memaksimalkan hasil foto, kita membutuhkan lensa telefoto berkualitas tinggi.

Lalu bagaimana dengan lensa makro? Jangan-jangan ada bunga-bunga liar atau serangga yang unik di perjalanan. Lalu bagaimana kalau kamera kita tiba-tiba rusak di jalan, tentu perlu kamera cadangan dong? Masak cuman bengong lihatin teman-teman lain motret? Tanpa di sadari, tas ransel kita-pun sudah penuh dengan kamera, lensa, aksesoris dan kesemuanya bisa jadi 8 kg. Wow. Seperti mikulin koper saja dong?

Ya, kalau memang kita fotografer profesional, bawa peralatan yang lengkap memang wajib, kalau bisa bawa kamera dan lensa cadangan juga, karena tidak ada alasan untuk gagal memotret karena peralatan foto yang kita bawa gagal fungsi. Tapi jika untuk hobi, sepertinya kita harus juga memperhatikan faktor lainnya. Jika membawa gear yang terlalu berat, takutnya stamina kita terkuras. Di awal perjalanan mungkin masih segar, tapi beberapa hari selanjutnya bisa jadi lemas dan sulit berkonsentrasi.

Untuk pemula, saya sarankan jangan membawa lebih dari dua lensa, karena kemungkinan akan bingung sendiri di lapangan. Menurut saya, lebih baik pelajari terlebih dahulu kamera dan lensanya sampai mantap. Jangan sampai kapasitas mental dan tenaga kita habis cuma untuk mikirin lensa apa yang seharusnya dipasang di setiap lokasi pemotretan.

Kuncinya adalah mengenal kapasitas diri sendiri. Jika punya stamina dan kekuatan, tidak ada salahnya membawa alat yang besar dan lengkap, peralatan yang berat dan besar dalam fotografi biasanya memang kualitasnya lebih bagus dari segi kualitas gambar dan juga ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim . Alternatifnya, kita dapat membawa kamera dan lensa yang lebih ringan dan ringkas sehingga tas dan tripod yang kita bawa juga tidak perlu terlalu besar dan berat.

Secara pribadi, saya akan membawa lensa sesuai dengan kondisi yang dihadapi, jika perlu memotret subjek yang jauh seperti foto olahraga/aksi, maka saya akan membawa lensa telefoto misalnya lensa 70-300mm. Untuk foto pemandangan biasanya yang saya bawa adalah lensa lebar (ekuiv. 16-35mm / 10-24mm APS-C). Untuk motret travel yang bervariasi dari landscape, portrait dll, biasa saya bawa yang menengah multifungsi dengan focal length lensa ekuivalen 24-90mm/24-120mm, kalau di APS-C berkisar antara 15-85mm. Jangan lupa baterai dan memory card juga penting. Kalau kita mengunakan kamera DSLR pemula atau kamera mirrorless, baterai akan cepat habis terutama jika traveling ke negara dengan cuaca yang dingin.

Beberapa ide lensa yang dibawa bisa dibaca di artikel ini. Bagi teman-teman yang ingin ikut traveling bersama saya dan Infofotografi, silahkan periksa halaman jadwal tour ini.

Workshop komposisi fotografi : Glodok – Chinatown Jakarta

$
0
0

Halo, teman-teman Infofotografi. hari Minggu, tanggal 29 Oktober 2017, kita akan berlatih komposisi fotografi di area Glodok, dimana kita akan mengunjungi beberapa tempat menarik seperti Kafe-kafe jadul, vihara dan gereja tua, pasar tradisional Glodok dan gang-gang penuh toko-toko bersejarah. Workshop ini akan dipandu oleh Wira Siahaan, fotografer lifestyle profesional.

Acara akan dilangsungkan pukul 06.30 sampai 10.45 WIB, dimana peserta akan diberikan tugas untuk memotret lima jenis komposisi, dilanjutkan dengan bahas foto dan evaluasi di Kafe sambil sarapan dan minum teh. Workshop ini sangat cocok bagi pemula yang ingin meningkatkan kualitas foto terutama pada aspek artistik. Terbuka untuk penguna kamera apa saja, dari kamera compact, mirrorless, atau DSLR.

Workshop ini dibatasi 8 orang saja dengan biaya Rp 430.000,- * per orang.

Bagi yang berminat, silahkan layangkan pesan ke Iesan, 0858 1318 3069, atau e-mail: infofotografi@gmail.com

*Biaya sudah termasuk sarapan pagi
*Jika tidak berhalangan, Enche Tjin juga akan bergabung.

Biografi singkat mentor workshop ini:
Wira Siahaan adalah seorang fotografer full time sejak tahun 2013 dimana sebelumnya berkarir sebagai musisi selama lebih dari 10 tahun. Bersama beberapa teman fotografer, Wira membentuk grup foto WaiWii dan juga Oro Photo yang berfokus pada lifestyle dan interior photography. Selain menjadi seorang fotografer, Wira juga mengelola blog miliknya sendiri, Cerita Wira, yang berfokus pada cerita cerita travel, kehidupan sehari-hari, dan juga tutorial fotografi.

Wira juga sempat beberapa kali mengikuti perlombaan foto dan mendapatkan penghargaan, yaitu Grand Prize Winner, 2014, The International Foundation for Electoral Systems (IFES) Photography Contest dan juga Honorary Mention Price, 2015, Jeju 7th UNESCO International Photo Competition. Sejak tahun 2015, Wira aktif di komunitas fotografi Fujifilm, Fuji Guys Indonesia.


Panasonic Indonesia umumkan kontes Young Filmmaker 2017 berhadiah 300 juta

$
0
0

Panasonic Indonesia hari ini, tgl 16 Oktober 2017 mengumumkan lomba membuat film pendek dan video online 2017. Kali ini, Panasonic Young Filmmaker (PYFM) akan mengusung tema “Inspire“.

Juri-juri lomba PYFM 2017: Dari kiri ke kanan: Benny K, Anggy Umbara, Agung Ariefiandi, Christian Sugiono, dan Goenrock.

Kontes ini akan dilaksanakan selama 2.5 bulan, mulai dari 16 Oktober hingga 31 Desember 2017. Pengumuman pemenang dari PYFM ini akan diselenggarakan tanggal 20 Januari 2018 dengan tiga pemenang per kategori yang terdiri diri:

Short Movie : Drama, komedi, horor, aksi dan dokumenter berdurasi maks 15 menit
Best Picture, berhadiah kamera Panasonic GH5 dan lensa Leica 12-60mm f/2.8-4 + Rp 40.000.000
Best Story, berhadiah Panasonic G85 dan lensa 14-42mm + Rp 35.000.000
Best Cinematography, berhadiah G85 dan lensa 14-42mm + Rp 35.000.000

Online Video: Vlog, tutorial video, video komersil, maks 5 menit
Best Vlog, berhadiah kamera Panasonic GX85 + Rp 30.000.000
Best Content, berhadiah kamera Panasonic GF9 + Rp 15.000.000
People’s Choice Award, berhadiah kamera Panasonic GF9 + Rp 15.000.000

Untuk Short Movie, jurinya adalah Benny Kadarhariarto dan Anggy Umbara, sedangkan untuk kategori Online Video, jurinya adalah Christian Sugiono dan Anggun Adi (Goenrock).

Perbedaan PYFM 2017 dengan yang sebelumnya (2015) adalah lingkup usia dan domisili pesertanya. Di PYFM 2017 ini, batas usia yang dilonggarkan menjadi dibawah 30 tahun di seluruh Indonesia, sedangkan yang 2015 hanya untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jabodetabek.

Selain itu, kategori Online video merupakan hal yang baru, karena tren video online makin berkembang. “Di tahun 2015 ini, sudah banyak youtubers (pembuat video online) yang sudah bisa menghasilkan uang, dan penontonnya sudah banyak dibandingkan saat saya memulai video online ini tahun 2012 yang lalu.” ujar Christian Sugiono.

Dengan lomba ini, para juri mengharapkan filmmaker-filmmaker Indonesia dapat menjadi raja di tanah air dan bahkan membuat film Indonesia terkenal sampai ke mancanegara. Bagi filmmaker di daerah juga diharapkan bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk memamerkan karya-karya mereka.

Untuk meningkatkan kualitas film yang diserahkan ke lomba ini, Panasonic akan mengadakan workshop roadshow dengan DSLR Cinematography Indonesia untuk mengenalkan pembuatan film pendek, penjelasan mengenai PYFM 2017 dan pengenalan fitur kamera Panasonic Lumix yang dapat membantu dalam pembuatan film/video.

Roadshow ini akan diadakan di beberapa kota besar di Indonesia yakni Bandung, Jakarta, Medan, Makassar, Malang dan Yogyakarta, mulai tgl 27 Oktober sampai 9 Desember 2017.

Informasi lebih lanjutnya bisa dilihat di microsite Panasonic PYFM dan instagram @panasonicyoungfilmmaker, twitter: @PYFMcompetition

Leica Thambar-M 90mm f/2.2 : Lensa legendaris untuk portrait soft-focus

$
0
0

Hari ini, Leica mengumumkan lensa Leica Thambar-M 90mm f/2.2 yang ditujukan untuk fotografer portrait. Desain lensa ini bukan lensa baru, tapi merupakan desain tahun 1935. Leica Thambar saat itu diproduksi hanya 3000 unit saja. Karena sudah berusia hampir 80 tahun, sulit menemukan lensa Leica Thambar yang bebas dari jamur/fog, dan masalah lain. Karena karakternya unik, maka Leica memproduksi kembali lensa ini. Sebelum Thambar, Leica juga membuat kembali Leica Summaron 28mm f/5.6 yang sangat mungil akhir tahun 2016 lalu.

Soft focus Portrait oleh Eolo Perfido

Seperti namanya, yang berasal dari kata Yunani “Thambo” yang berarti blur/kabur, karakter lensa ini adalah mampu membuat pemandangan atau portrait yang dreamy seperti pada lukisan impresionisme. Kadar kelembutannya bisa dikendalikan dengan memilih bukaan lensa. Semakin besar semakin soft fotonya.

Di era kamera film, lensa ini biasanya digunakan oleh fotografer portrait yang sangat piawai. Namun saat ini, untuk mengunakan lensa ini sudah lebih mudah karena kamera digital Leica M10  atau Leica SL sudah memiliki live view, sehingga fotografer bisa melihat efek sebelu memotret dari monitor LCD atau jendela bidik.

Aksesoris tambahan yang bisa dipasang di depan lensa juga bisa digunakan untuk menghalangi cahaya yang masuk dari tengah lensa, membuat keseluruhan foto lebih blur jika diinginkan.

Contoh hasil foto dengan lensa ini oleh Jolie Luo

Desain lensa dari casing sampai elemen optiknya hampir sama persis, bedanya adalah elemen lensanya dilapisi single coating supaya saat backlight, flare/suar  tetap ada sehingga membuat efek yang dramatis, tapi tidak menghilangkan detail.

Spesifikasi lensa Leica Thambar M 90mm f/2.2

  • Elemen/group : 4/3
  • Maksimum jarak fokus lensa : 1 meter sampai infinity
  • Compatible: Leica M mount
  • Filter: 49mm
  • Berat: 500 gram
  • Dimensi: 90mm/110mm dengan hood
  • Diameter: 57mm
  • Harga: US$6450

Informasi lebih lanjut: Interview tentang Leica Thambar, Contoh hasil foto oleh beberapa fotografer.


Sudah punya kamera dan lensa? Ikuti kursus, workshop atau tur Infofotografi.

Mentoring cityscape Sahid, 4 November 2017

$
0
0

Kesempatan untuk belajar foto cityscape dengan bimbingan langsung dari saya selaku mentor akan kembali hadir, kali ini mentoring akan diadakan di tempat yang baru yaitu Sahid Residence Sudirman. Di kesempatan ini anda tentu akan mendapati pemandangan indah dari lampu-lampu gedung pencakar langit di bilangan Sudirman yang akan menarik untuk difoto dari berbagai sudut. Karena sifatnya adalah mentoring maka anda yang belum pengalaman pun dipersilahkan untuk mendaftar karena inilah kesempatan untuk belajar setting, teknis dan komposisi foto cityscape.

Kegiatan ini dijadwalkan pada :

  • hari : Sabtu, 4 November 2017
  • jam : 16.30-19.00 WIB
  • tempat : Sahid Residence (satu area dengan Hotel Sahid Jaya) Sudirman

Alat yang perlu dibawa tentunya kamera, lensa (lebar hingga menengah) sedangkan aksesori lain seperti GND filter, cable release dsb adalah opsional. Sangat disarankan untuk membawa tripod yang kokoh dan stabil, mengingat di atas nanti terpaan angin cukup kencang.

Biaya mentoring : Rp. 550.000,- mengingat tempat yang terbatas, bila ingin mendaftar bisa langsung transfer ke rekening Enche Tjin di BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780 dan mengabari via SMS/WA 0858-1318-3069.

Kamera saku sensor APS-C : Canon PowerShot G1X mk III

$
0
0

Tak dipungkiri faktor penting dalam memilih kamera digital adalah sensornya, karena penentu kualitas hasil foto adanya di sensor itu sendiri. Saat ini sensor yang dianggap sudah termasuk sangat baik adalah sensor jenis APS-C, dan Canon punya banyak sekali kamera dengan sensor APS-C CMOS 24 MP seperti di DSLR EOS 80D, 77D, 800D, dan mirrorless EOS M5 dan M6. Tapi sejak saat ini, Canon juga punya kamera saku yang pakai sensor APS-C 24 MP yaitu pada PowerShot G1X mk III. Tertarik?

Kamera saku dengan sensor seperti ini tentu termasuk jenis premium (elit), maka tak heran kalau harga G1X mk III juga sama saja dengan DSLR seperti 80D kit atau EOS M5 kit. Kamera saku lain yang sensornya berukuran besar juga harganya relatif tinggi.  Produk anyar ini meneruskan produk lama G1X mk II yang pakai sensor yang juga besar yaitu 1,5 inci. Kritik pada G1X mk II yang tidak terdapat jendela bidik, dijawab Canon di generasi G1X ke tiga ini dengan OLED finder 2,3 juta dot, melengkapi layar sentuh 3 inci yang bisa dilipat putar.

Lalu bagaimana dengan lensanya? Bisa jadi lensanya yang ekuivalen 24-70mm ini adalah bagian yang paling ‘biasa saja’ di pengumuman kali ini, karena secara fisika memang tidak mungkin membuat lensa yang bukaannya besar, zoomnya panjang tapi ukurannya kecil untuk sensor sebesar APS-C. Untuk itu bukaan maksimum lensa di G1X mk III ini meski bisa f/2.8 di 24mm tapi akan mengecil hingga f/5.6 saat di zoom. Bahasa gampangnya, lensa ini mirip sekali dengan lensa kit di kamera DSLR dan mirrorless, hanya saja lensa di G1X mk III ini permanen (tidak bisa diganti). Tersedia Image Stabilizer di lensa untuk membantu memotret dengan shutter lambat dengan hasil lebih tajam.

Beberapa hal menarik di Canon G1X mk III diantaranya adalah adanya fitur Dual Pixel AF untuk auto fokus cepat, jadi meski kamera saku tapi auto fokusnya tetap handal termasuk untuk benda bergerak. Lalu kamera ini juga bisa menembak 7 foto per detik dengan shutter berjenis leaf shutter yang maksimumnya adalah 1/2000 detik, plus ada 3 stop ND filter built-in. Bodinya sendiri termasuk mantap dengan desain bodi tahan debu dan tetesan air, punya 3 roda untuk pengaturan setting dan konektivitas WiFi, Bluetooth dan NFC untuk generasi yang ingin serba cepat dan terhubung. Kekurangan yang memang bukan hal aneh di kamera Canon adalah tidak ada fitur video 4K, sehingga tetap hanya full HD saja, dan tanpa mic input juga.

Opini saya :

Saya bayangkan masyarakat modern lebih banyak memotret keseharian mereka, daily life, seperti foto orang, selfie, makanan, travel dsb yang sebetulnya cukup dilakukan dengan kamera saku. Tapi untuk kualitas hasil foto, kinerja kamera yang cepat dan bodi yang bisa diandalkan, maka tidak sembarang kamera saku cocok untuk dipilih. Canon G1X mk III ini seperti mencoba mengisi celah antara kamera saku biasa dengan mirrorless, meski dijual cukup mahal tapi mereka yang perlu kriteria kamera seperti yang saya sebutkan tadi boleh jadi merasa tidak masalah dengan harganya.

Fakta bahwa lensa di G1X mk III ini termasuk biasa saja, itu tentu demi menjaga dimensi kamera tetap ringkas. Sebetulnya banyak kebutuhan foto bisa di cover oleh rentang fokal dari 24mm hingga 70mm, memang kadang kita sesekali perlu kemampuan tele yang lebih dari 70mm. Bukaan lensa juga sedikit terasa kurang besar (seandainya bisa dibuat f/2.8-4 tentu akan lebih menarik, tapi ya itulah kompromi dalam desain), implikasi bagi pengguna ya kadang akan dipaksa pakai ISO tinggi saat kurang cahaya, dan kurang bokeh juga.

Setidaknya Canon sudah berusaha memperbanyak varian produk kamera sakunya, dan ini juga semacam sinyal ancaman ke kompetitor khususnya Sony yang banyak menjual kamera saku dengan sensor 1 inci. Ke depan, kamera saku dengan sensor lebih besar, dan hasil foto lebih baik, seharusnya akan lebih banyak dan lebih terjangkau. Dengan begitu orang akan tetap menikmati fotografi dengan kamera betulan, bukan ponsel, untuk merekam keseharian mereka dan berbagi di media sosial.

Workshop membuat Video Online dari syuting sampai editing

$
0
0

Saat ini kita biasa menikmati video online, dan rata-rata semua orang suka menonton video. Saat ini, hampir semua kamera foto sampai ponsel juga bisa merekam video. Bahkan sebagian orang kreatif yang suka membuat video online kini bisa mendapatkan penghasilan tambahan (Youtuber).

Atas dasar itu, maka Infofotografi mengadakan workshop belajar videografi dasar supaya peserta bisa menghasilkan video singkat dengan kualitas bagus dan enak ditonton.

Materi

  1. Mempersiapkan alat-alat untuk syuting video
  2. Aplikasi untuk syuting video
  3. Aplikasi/software untuk editing video
  4. Membuat video slideshow foto
  5. Mencari music latar belakang
  6. Tips syuting dan editing
  7. Tips promotion dan sharing
  8. Bedah/diskusi video
  9. Editing video dan feedback

Acara tanggal : Sabtu, 4 November 2017
Tempat: Infofotografi.com, Green Lake City, Rukan Sentra Niaga Blok N 05, Jakarta Barat
Pukul: 10.00-15.00
Biaya Rp 350.000 per peserta
Terbatas hanya untuk maks 8 peserta saja

Instruktur: Teguh Sudarisman
Travel writer profesional, editor in-chief Kalstar in-flight magazine
Pemenang lomba video online “Yuk Makan tomyum kelapa

Bagi yang berminat, harap hubungi Iesan Liang 0858 1318 3069, infofotografi@gmail.com
Biaya partisipasi dapat ditransfer ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780

Voigtlander 40mm f/1.2 untuk Leica M-mount

$
0
0

Meskipun saat ini era lensa autofokus, tapi ternyata pabrikan lensa tidak berhenti membuat lensa manual fokus yang menarik. Salah satunya adalah Cosina yang mengeluarkan lensa manual fokus baru yaitu Voigtländer NOKTON 40mm f/1.2 Aspherical. Istilah NOKTON diberikan kepada lensa dengan bukaan yang sangat besar untuk menangkap cahaya di kondisi lingkungan yang gelap. Sedangkan istilah Aspherical adalah elemen lensa dengan desain khusus untuk memastikan ketajaman dan warna yang baik saat memotret dengan setting bukaan besar.

Bulan September lalu, sebenarnya Voigtlander juga membuat versi lensa 40mm f/1.2 untuk Sony E-mount (compatible dengan kamera full frame dan APS-C). Saat itu saya agak kecewa karena kenapa tidak membuat untuk Leica M-mount, dan apakah Voigtlander telah berhenti mengembangkan lensa untuk M-mount? Ternyata rasa penasaran saya terjawab karena dalam bulan Oktober ini, Voigtlander mengumumkan lensa f/1.2 untuk Leica M-mount.

Secara kualitas, kedua lensa harusnya sama, karena memiliki desain optik yang sama. Perbedaan utamanya adalah desain luarnya. Lensa untuk Leica M lebih kecil dan ringan (315g vs 420g).

Lensa dengan focal length 40mm unik dan jarang, hanya sedikit pabrikan kamera yang membuatnya, setau saya, selain Voigtlander ada Canon EF 40mm f/2.8 STM, atau Panasonic 20mm f/1.7 (ekuivalen 40mm). Tapi yang bukaan besar hanya Voigtlander. 40mm ini mendekati perspektif seperti mata manusia, sehingga apa yang dipotret tidak mengalami distorsi berlebihan. Karena tidak berlebihan, maka sulit membuat foto yang dramatis dengan focal length 40mm ini. Bagi fotografer yang membutuhkan tantangan, ya, lensa ini bisa digunakan.

Dibandingkan dengan lensa 35mm, 40mm lebih sempit, tapi lebih lebar dari lensa 50mm yang populer. Bagi saya, 40mm adalah focal length yang fleksibel, mau buat street oke, jadinya kita tidak perlu terlalu dekat, buat close-up detail trus membuat latar belakangnya blur oke banget karena bukaannya besar sekali. Contoh penerapan lensa 40mm untuk street photography bisa dilihat di video ini.

Buat portrait setengah dan satu badan ala lifestyle kekinian juga oke. Untuk foto close-up saran saya adalah mengunakan lensa ini di kamera mirrorless, karena minimum fokusnya 50cm, dibanding jika dipasang di kamera Leica M menjadi 70cm.

Voigtlander 40mm f/1.2 VM ini bisa dipasangkan langsung ke kamera Leica M, dan juga bisa dipasangkan ke kamera mirrorless seperti Leica SL, Sony A7, A9 dengan adapter. Jika memiliki adapter TechArt dan dipasang di kamera mirrorless Sony, lensa ini juga bisa autofokus meski kecepatannya terbatas.

Karena di jendela bidik rangefinder Leica tidak memiliki frameline (bingkai bidik) untuk 40mm, maka Voigtlander memberikan alternatif dengan mengeluarkan aksesoris tambahan, berupa viewfinder optik 40mm untuk membantu framing komposisi.

Harga lensa Voigtlander 40mm f/1.2 ini US$1059 atau sekitar Rp 13 juta.

Fitur Voigtlander Nokton VM 40mm f/1.2 APSH
■ Kualitas ketajaman lensa berkat dua elemen asperikal
■ Casing/barrel terbuat dari logam yang tahan lama
■ Dirancang khusus untuk manual fokus
■ 10 bilah bukaan untuk membuat bokeh yang bulat
■ VM-mount bayonet untuk Leica M-mount
■ focus-coupling system, compatible dengan kamera rangefinder Leica
■ Jarak fokus minimum 50mm (saat dipasang di kamera mirrorless)

Spesifikasi Voigtlander Nokton VM 40mm f/1.2 APSH
Focal Length: 40mm
Maximum Aperture: F1.2
Minimum Aperture: F22
Lens Construction: 6 groups 8 elements
Angle of View: 55°
Aperture Blade: 10
Rangefinder Coupling: ∞ ~ 0.7m
Minimum Focus: 0.5m
Filter Size: φ52mm
Maximum Diameter: Approx. φ60.8mm
Length x Weight: Approx. 43.3mm x 315g
Supplied Accessory: Front Cap, Rear Cap
Optional Hood: LH-8


Jika membutuhkan lensa Voigtlander, Leica dll, bisa hubungi WA 0858 1318 3069/infofotografi@gmail.com. Besar kemungkinan kita dapat membantu. Terima kasih.

Sony A7R generasi ketiga, apa saja peningkatannya?

$
0
0

Beberapa hari lalu Sony merilis A7R mk III. Melihat cepatnya Sony membuat produk baru, saya tidak heran kalau cepat atau lambat akan ada generasi ketiga dari kamera mirrorless full frame A7 series. Masih dengan desain dan sensor yang sama seperti sebelumnya, A7R III ini punya resolusi 42 MP yang termasuk tinggi di kancah kamera full frame. Bila sebelumnya kita tahu sensor dengan resolusi ekstra tinggi (diatas 24 MP) identik dengan data yang banyak dan perlu waktu untuk memprosesnya, maka di A7R III ini komputer di dalamnya semakin cepat sehingga kinerjanya meningkat signifikan.

A7R III ini memang masih sama dengan pendahulunya dalam hal sensor 42 MP, ada 5 axis stabilizer, 399 titik fokus pendeteksi fasa dan 4K video, lalu apa dong yang baru dari A7R III ini? Melihat sebelumnya Sony juga merilis A9, maka tak heran kalau sebagian kelebihan di A9 diturunkan ke A7R III ini.

  • Sensor lebih baik (dynamic range naik), rendah rolling shutter
  • Auto fokus contrast detect naik dari 25 area ke 425 area, fitur deteksi mata (eye AF) disempurnakan.
  • Memproses data lebih cepat. Kini bisa 10 fps dengan auto fokus, up to 87 RAW.
  • Shutter lembut, mencegah shutter shock, tahan hingga 500.000 kali jepret.
  • Tombol AF ON dan joystick.
  • Jendela bidik lebih detail 3,6 juta titik Quad VGA OLED dengan coating Zeiss.
  • Layar sentuh, termasuk untuk touch pad AF.
  • Dual SD slot, dimana salah satu slotnya (akhirnya) mendukung UHS-II.
  • Baterai baru, sama dengan A9, tahan lebih lama hingga 650 jeptret.
  • 4K video dengan opsi crop APS-C (Super 35mm), 4x slow motion (120 fps) di 1080p

Sony A7R III juga punya fitur mode Pixel shift (dengan menggeser sensornya) memotret 4 kali untuk membentuk satu gambar yang warnanya lebih akurat (bukan interpolasi Bayer) karena setiap piksel bisa melihat ketiga warna RGB. Fitur ini mirip dengan yang ada di Pentax, intinya sensor yang bisa bergerak (karena sistem stabilisasi di sensor) bisa dimanfaatkan untuk fungsi lanjutan yang dulunya tidak pernah terbayangkan. Hanya saja fitur ini cocoknya untuk subyek tidak bergerak, dan mengolahnya juga perlu software ‘Imaging Edge’ bawaan dari kamera.

Sony A7R III juga mengadopsi standar konektor baru USB-C untuk pengisian daya baterai dan tethering, meski tetap menyediakan USB lama untuk mengisi daya, dan bagusnya dia tetap bisa dipakai meski tengah mengisi daya (misal USB lama untuk mengisi daya, lalu kamera dipakai tethering itu dimungkinkan).

Banyak pertanyaan yang bakal muncul dari kehadiran A7R III ini. Misalnya apakah kamera seharga 45 juta ini layak dibeli, ataukah cukuplah beli yang pendahulunya, atau beli merk lain. Atau jangan-jangan setelah ini akan hadir A7 III (meski sudah bisa ditebak Sony bakal membuat A7 III juga) yang fiturnya juga bagus tapi harga jauh lebih murah. Atau yang paling mantap adalah, bila spek A7R III ini masih dirasa belum memuaskan, apakah sebaiknya nambah budget lagi dan beli Sony A9? Diatas langit masih ada langit kan..


Nikon D850 vs Sony A7R3, lebih canggih dan laku yang mana?

$
0
0

Nikon dan Sony kembali menggegerkan dunia perkameraan akhir tahun ini dengan menghadirkan kedua kamera super canggih Nikon D850 dan Sony A7R III yang ditujukan ke fotografer profesional atau amatir serius. Masing-masing kamera telah dibahas di Infofotografi, namun sepertinya kurang lengkap jika kedua kamera ini tidak kita bandingkan secara langsung.

Kamera-kamera DSLR atau mirrorless canggih jaman sekarang sebenarnya memiliki banyak persamaannya. Demikian pula dengan kedua kamera ini. Persamaan mereka kedua antara lain:

  • Harga: Rp 45-50 jt.
  • Sensor dan resolusi foto: Full frame, 42 & 46 MP
  • Material body : Magnesium alloy
  • Rentang ISO : Sony: 50-102400, Nikon: 32-102400
  • LCD bisa ditekuk ke atas, touchscreen
  • Flash sync speed 1/250 detik
  • Kecepatan foto berturut-turut 9-10fps
  • Video 4K
  • 2 slot kartu memory

Namun memilih kamera yang mana tentunya kita perlu sama-sama mempelajari perbedaan masing-masing kamera.

Kamera Sony A7R III adalah kamera berjenis mirrorless, kamera jenis ini dimensinya lebih ramping dan ringan (657 gram) dibanding Nikon yang beratnya 1kg. Tren saat ini menunjukkan kamera yang lebih ringan dan compact lebih diminati daripada yang besar.

Keunggulan lainnya adalah Sony punya A7R3 punya beberapa teknologi yang menarik, misalnya 5 axis stabilizer yang berguna untuk foto dan video tanpa tripod, juga berguna saat memasang lensa yang tidak memiliki fungsi stabilizer. Jendela bidik elektronik yang dimiliki Sony A7R3 yang terus menerus menampilkan preview gambar membuat fotografer lebih mudah mengendalikan exposure, warna dan juga fokus daripada jendela bidik optik DSLR.

Salah satu yang baru dari A7R III adalah fitur pixel shift multi shooting mode. Jika diaktifkan, kamera akan mengambil 4 foto dalam jeda waktu tertentu, kemudian kita dapat menggabungkannya ke dalam satu foto dengan ketajaman dan warna yang lebih sempurna lagi dengan software khusus dari Sony yang tersedia secara gratis. Fitur ini bukan sesuatu yang baru, tapi sudah ada di Pentax K1, dan juga tidak terlalu efisien, karena hanya bisa untuk subjek yang benar-benar tidak bergerak seperti arsitektur/still life, tapi merupakan fitur tambahan yang membedakan antara kamera Sony mirrorless yang lain.

Dibandingkan Sony A7R III, Nikon D850 yang berbodi DSLR memiliki ketahanan yang lebih baik di kondisi ekstrim seperti hujan, salju, cuaca buruk. Kapasitas baterai juga lebih panjang jika yang memotret lebih sering mengunakan jendela bidik. Satu baterai bisa cukup untuk 1800 foto, dibanding baterai Sony yang cukup untuk 650 foto. Penerapan touchscreen layar D850 juga lebih baik karena bisa untuk mengganti menu, bukan untuk mengganti area fokus saja.

Di kondisi gelap, tombol-tombol kamera D850 bisa dinyalakan dan sangat membantu fotografer yang suka motret di malam hari. Salah satu fitur yang menarik adalah focus shift/stacking. Fitur ini mengotomisasikan kamera untuk mengambil beberapa foto dengan jarak fokus berbeda, dan kemudian menggabungkannya menjadi satu foto yang memiliki kedalaman fokus yang lebar. Fitur ini juga cocoknya hanya untuk subjek tidak bergerak seperti pemandangan dan still life, tapi sangat membantu fotografer untuk memperoleh hasil ketajaman yang maksimal.

Keunggulan diluar spesifikasi kamera juga ada, misalnya dukungan lensa yang sudah cukup komplit dari Nikon maupun pembuat lensa pihak ketiga seperti Sigma dan Tamron.

Kesimpulannya, kedua kamera adalah kamera yang bagus dan sangat canggih. Memilih yang mana lebih tergantung prioritas fotografernya masing-masing. Jika banyak memiliki lensa Nikon, dan menyukai fotografi pemandangan, atau komersial, D850 sangat tangguh dan cepat di segala medan. Sedangkan jika untuk video dan traveling, Sony A7R III lebih cocok karena lebih ringkas dan ringan.

Kalau ditanya laku yang mana?

Saya pikir Nikon D850 akan lebih laris, alasannya karena pengguna Nikon sudah cukup lama menunggu kehadiran kamera ini, terutama yang mengunakan D800/D810 saat ini. D810 diluncurkan Juni 2014. Diantara 2014-2017, Nikon tidak mengeluarkan kamera penerusnya. Jadi ketika D850 keluar, sehingga pengguna-pengguna yang masih setia dengan Nikon (dengan kata lain belum pindah ke Fuji atau Sony) menjadi buas dan langsung memesan D850 tanpa ragu.

Sepertinya pabrik Nikon harus bekerja ekstra keras memenuhi pesanan fotografer seluruh dunia, dan hal ini penting, karena menurut saya, D850 ini masa jualannya juga cukup tipis waktunya, sekitar 1 tahun sejak peluncuran. Karena tahun depan, Nikon akan menerbitkan edisi mirrorless-nya dan perhatian pengguna Nikon akan lebih tertuju ke mirrorless ini, apalagi jika mirrorlessnya bersensor full frame.

Sedangkan kamera Sony A7R III meskipun diatas kertas memiliki beberapa keunggulan yang diminati saat ini, misalnya teknologi 5 axis stabilizer, dan dimensinya lebih kecil, tapi pengguna Sony dalam empat tahun terakhir telah dibombardir dengan sejumlah kamera canggih seperti Sony A7R (2013), Sony A7 II, A7S (2014) Sony A7RII, A7SII (2015), dan baru-baru ini Sony A9 (Juni 2017). Belum termasuk lensa-lensa Sony GM yang harganya menyentuh 20-30 jutaan per lensa.

Saya kira sebagian besar pengguna Sony sudah terkuras kantongnya dan membutuhkan beberapa tahun lagi supaya kantongnya terisi kembali untuk membeli A7R III. Jikapun belum terkuras kantongnya, sebagian besar juga masih belum banyak yang memaksimalkan kamera yang telah dimiliki

Kedua kamera diperkirakan baru akan stok di Indonesia paling cepat akhir tahun ini atau kemungkinan besar awal tahun depan, sehingga yang sedang mempertimbangkan masih sempat mikir-mikir dulu 🙂


Yuk, ikuti kursus dan workshop Infofotografi. Dengan belajar dan latihan yang benar, maka hasil foto akan jauh lebih baik terlepas dari kamera yang digunakan.

Lebih lanjut mencoba Panasonic GH5

$
0
0

Jarang sekali bisa mencoba satu gear untuk berbagai event yang diselenggarakan Infofotografi dalam satu jangka waktu. Biasanya gear yang dipinjamkan hanya bisa direview dalam satu atau dua hunting. Akan tetapi saya mendapatkan kesempatan mencoba dalam empat kali hunting.

Kedua kalinya adalah saat diselenggarakannya workshop Basic Composition di Sunda Kelapa. Berhubung keunggulannya adalah di video, di kesempatan ini saya mencoba untuk menggunakan fitur videonya. Dual IS di body (5 axis stabilization) dan lensa (2 axis stabilization) membuat kamera ini sangat mulus sekali dalam pergerakan saat mengambil video meski dengan handheld saja.

GH5 memiliki keunggulan seperti bisa merekam video 4K/30p di 10 bit 4:2:2. Akan tetapi, seorang pemula seperti saya tidak membutuhkan fitur seperti itu berhubung saya tidak melakukan color grading ataupun mengedit eksposur dan yang lainnya. Yang saya lakukan hanya memotong dan menyambung cupiklan-cuplikan video. Lagipula, jika saya merekam dalam format 4K, otomatis saya harus menambah kapasitas storage dan upgrade komputer juga. Jadinya, saya hanya merekam Full HD dengan format MP4. Ga pakai ribet. Biarlah para profesional videografer ataupun amatir yang lebih berpengalaman yang mencoba fitur ini.

Berikut cuplikan dokumentasi yang saya ambil sewaktu workshop.

Selain itu, saya juga membuat cuplikan video yang lain.

Saya sendiri sangat senang dengan fitur stabilisernya. Hanya dengan handheld (tanpa bantuan gimbal ataupun tripod), saya bisa merekam video dengan mulus dan tanpa ada efek gempa bumi dalam video. Biasanya yang dikhawatirkan dalam pengambilan video adalah body kamera yang cepat panas dan video yang bisa tiba-tiba terputus. Namun kendala ini tidak saya dapati di kamera GH5. Semuanya aman dan terkendali (tentu saja harus didukung oleh kartu memori yang bisa merekam FHD atau 4K jika diinginkan). Pilihlah kartu memori yang kecepatan baca dan tulisnya tinggi (transfer speed yang dapat dilihat dari angka MB/s).

Karena workshop berakhir malam, saya mengambil beberapa foto saat low light. Teringat nasehat Enche untuk memakai lensa bukaan besar, saya pun mencoba dengan menggunakan bukaan terbesar.

ISO 1600; f/2.8; 0.6detik handheld dengan lensa kit 12-60mm

Hasil zoom untuk foto di atas

Setelah itu, saya mendapat kesempatan juga untuk mencoba kamera ini dalam WS Studio Lighting. Saya tidak begitu suka foto model tapi untuk review kali ini, tidak apalah pikirku. Saya tidak mengambil banyak foto, paling satu dua saja. Kalau sudah sesuai ya berarti tugas selesai. Hehehe… task oriented.

Foto oleh Enche, dicrop 1:1 dan diubah ke hitam putih

Foto di atas di zoom ke bagian mata dan masih sangat tajam

Setelah menggunakannya dalam beberapa kali hunting, saya merasa nyaman dengan kamera ini. Kamera ini sangat cocok bagi Anda yang ingin terjun ke dunia videografi. Saya pikir dengan kecanggihan teknologinya, kamera ini masih layak pakai dan relevan untuk 4-5 tahun ke depan.


Bagi yang ingin belajar fotografi atau mengikuti acara fotografi, jangan lupa periksa jadwal kegiatan Infofotografi di halaman ini.

Workshop foto & editing B&W 18 November 2017

$
0
0

Foto hitam putih tetap menarik di jaman sekarang karena foto hitam putih bersifat klasik dan abadi. Banyak pertanyaan yang ditujukan ke saya tentang bagaimana membuat foto hitam putih yang baik? Apakah menyetel mode hitam putih di kamera saja sudah cukup? Ternyata tidak seperti itu. Perlu proses editing untuk membuat foto hitam putih yang bagus dan optimal.

Maka itu, Infofotografi menyelenggarakan workshop hunting foto hitam putih dan editing hitam putih dengan bimbingan pakarnya foto hitam putih yaitu pak Hendro Poernomo.

Workshop akan diadakan hari Sabtu 18 November 2017.

  1. Hunting foto di Bank Indonesia dan kota tua Jakarta. Pukul 07.30-10.00 WIB
  2. Makan siang di Infofotografi 11.30-12.30 WIB
  3. Proses editing foto di ruang kelas Infofotografi 12.30-16.00 WIB

Editing B&W dengan software Adobe Lightroom dan Silver Efex Pro.

Peserta diwajibkan membawa kamera untuk hunting foto dan laptop untuk editing.

Instruktur / pembina : Hendro Poernomo
Asisten : Iesan Liang

Biaya workshop : Rp 450.000 untuk alumni Infofotografi, Rp 500.000 untuk umum.

Biaya termasuk bimbingan fotografi dan makan siang. Belum termasuk transportasi dari lokasi hunting ke Infofotografi.

Maksimum peserta : 8 orang saja.

Untuk mendaftar hubungi 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com

Transfer biaya workshop ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780

Kalau sudah transfer, tolong konfirmasi. Terima kasih.

Sebagai pengantar, ada beberapa artikel yang ditulis Pak Hendro Poernomo yang dapat membantu sebelum Anda mengikuti workshop ini :

  1. Foto hitam dan putih untuk pemula
  2. Foto hitam putih sebagai pilihan kreatif
  3. Teknik dodging dan burning untuk editing B&W
  4. Plug-in Silver Efex pro untuk konversi hitam putih

kamboja-momi

Kamera kelas pro dari Panasonic : Lumix G9

$
0
0

Kalau sebelumnya Panasonic sudah punya kamera kelas atas GH5 yang punya kelebihan di fitur videonya, maka kali ini muncul kamera Lumix G9 yang juga termasuk kelas pro yang lebih memfokuskan ke fitur fotografinya. Sebagai kamera kelas atas, tentu kita akan menjumpai sebuah produk yang sarat fitur canggih, spesifikasi tertinggi dan juga bodi yang mantap. Dan betul adanya, Lumix G9 ini punya sederet hal istimewa yang sebagian belum ada di kamera generasi sebelumnya.

Fotografer profesional yang mencari kamera serius tapi dalam ekosistem Micro 4/3 perlu mengenali hal-hal menarik di Lumix G9 berikut ini. Pertama adalah bodi kamera berbobot 650 gram ini benar-benar mantap, dengan ketahanan suhu hingga -10 derajat yang cocok dibawa ke daerah bersalju. Terdapat jendela bidik OLED ukuran besar (3,86 juta dot, 120 fps, perbesaran 0,83x), layar LCD tambahan di atas, joystick dan dual slot SD card. Di dalamnya ada sensor 20 MP yang mempunyai fitur OIS 5 axis, dan bisa bekerja sampai 6,5 stop. Sensor yang bisa bergerak ini juga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan foto 80 MP, dengan cara penggabungan beberapa foto otomatis. Lumix G9 tetap punya fitur 4K video yang mantap, meski tidak selengkap di GH5, tapi juga menyediakan fitur 6K photo mode (18 MP).

Dari kinerjanya, G9 bisa menembak 9 fps pakai shutter mekanik dan hingga 20 fps bila pakai shutter elektronik, dengan mode fokus AF-C. Meski teknologi fokusnya tidak mengenal sistem Phase detect, tapi cara DFD yang diandalkan Panasonic selama ini diklaim memberi auto fokus yang sangat cepat, juga bisa diandalkan untuk fokus kontinu dengan 225 area deteksi kontras DFD. Salah satu kartu memori mendukung UHS-II sehingga memotret terus menerus atau rekam 4K dengan data yang besar bukan masalah untuk menuliskan semuanya ke kartu memori. Kapasitas baterai juga lumayan mencukupi namun kalau ingin aksesori battery grip juga ada.

Bagi saya, usaha Panasonic untuk terus mencoba membuat kamera yang berorientasi pada fotografer serius patut diapresiasi. Lumix G9 ini adalah produk paling matang, sudah sama besarnya dengan DSLR tapi tentunya punya banyak pilihan lensa yang tidak terlalu besar karena sistem Micro 4/3. Dari kualitas gambar, semestinya sensor 20 MP di G9 ini akan sama baiknya dengan GH5 atau Olympus EM1 mk II yang memang sudah menunjukkan peningkatan dibanding sensor 16 MP di kamera lumix terdahulu. Adanya jendela bidik yang mantap, tombol dan roda yang lengkap serta LCD kecil di atas menunjukkan Panasonic ingin memberi pengalaman menyenangkan untuk penghobi serius atau profesional. Harga kamera ini memang tidak murah (sekitar $1800), sejajar dengan beberapa kamera APS-C kelas menengah bahkan mendekati harga kamera full frame tertentu, tapi dari keseimbangan fitur dan harga yang ada, memang sulit untuk berkata tidak pada Lumix G9 ini.

Bahas foto : street photography di pasar

$
0
0

Street photography merupakan salah satu jenis (genre) fotografi yang menarik karena banyak faktor, salah satunya adalah tidak perlu jalan jauh-jauh untuk mempraktikkan fotografi seperti landscape photography. Di dalam kota sendiri juga sudah banyak lokasi yang bisa dikunjungi.

Dari menyelenggarakan berbagai workshop dengan tema street photography atau hunting foto di lokasi, saya masih banyak mendapati banyak yang kebingungan tentang street photography. Sebenarnya street photography itu sederhana, intinya menangkap momen-momen menarik di ruang publik [definisi versi saya, lengkapnya disini]. Tantangan dalam street photography adalah bagaimana menangkap suasana suatu tempat, menata sesuatu yang berantakan menjadi tertata dengan apik.

Dalam foto diatas, saya berusaha memasukkan suasana pasar dengan cara mencari posisi dimana saya bisa mendapatkan penjual, pembeli, dan latar belakang pasar dalam satu frame. Supaya lebih dinamis, saya mencoba membuat komposisi garis diagonal dan menunggu saat yang tepat untuk memotret. Setelah menunggu kira-kira 10 menit, saya merasa momen ini yang paling pas karena jalan penuh dengan pembeli dari ibu-ibu, anak-anak, bahkan pemotor juga masuk gang pasar yang sempit ini. Diperlukan kesabaran dan kepekaan dalam melihat bentuk, cahaya dan keseluruhannya untuk membuat hasil foto yang menarik dari kejadian foto sehari-hari.

Saya mengunakan kamera Leica D-Lux 109, di zoom ke 28mm, ISO 400, f/5, 1/320 detik.

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live