Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Kamera DSLR akan mati, siapkah kamera mirrorless menggantikannya?

$
0
0

Jenis kamera dengan desain SLR yang sudah berusia 100 tahun dan populer sampai tahun 2017 ini. Tapi dalam beberapa tahun terakhir kamera mirrorless makin banyak diminati dan mulai menggeser dominasi kamera DSLR. Sebagai gambaran, sekitar tujuh tahun yang lalu saat saya mulai mengajar, jika ada 10 murid dalam satu kelas, maka 9 orang mengunakan DSLR, sedangkan saat ini sekitar 60% dari murid saya sudah mengunakan kamera mirrorless. Lima tahun kedepan, saya rasa 80-90% fotografer akan mengunakan kamera mirrorless.

Mengapa desain SLR tidak diperlukan lagi?

Di jaman kamera film, fotografer tidak bisa melihat apa yang dilihat lensa, makanya dirancang-lah sistem SLR dengan cermin (mirror) dan jendela bidik supaya fotografer bisa melihat dengan jelas apa yang dilihat oleh lensa dan menghasilkan foto dengan komposisi yang akurat.

Tanpa cermin (mirror) dan jendela bidik (penta-prisma), fotografer jam film tidak bisa membingkai foto dengan akurat.

Di jaman sekarang, sensor gambar digital dan processor mampu menampilkan secara continuous apa yang dilihat oleh lensa di layar LCD kamera. Dengan meningkatnya kualitas layar LCD dan jendela bidik elektronik, maka cermin dan jendela bidik optik dalam kamera SLR tidak dibutuhkan lagi. Tanpa cermin (mirrorless) dan jendela bidik (optical viewfinder), kamera bisa dibuat lebih ramping dan ringan tanpa mengurangi kualitas gambar yang dihasilkan.

Saat ini, kamera mirrorless yang usianya sekitar 10 tahun ini, bukan tanpa masalah, makanya belum bisa diterima semua kalangan fotografer. Beberapa masalah yang biasanya timbul yaitu:

1. Baterai
Karena sebagian besar kamera mirrorless bentuknya kecil, maka baterai yang digunakan juga kecil, sehingga sering merepotkan fotografer yang memotret dalam jangka waktu lama. Saat memotret dengan kamera DSLR, fotografer biasanya tidak perlu mengganti baterai jika memotret seharian, tapi dengan mirrorless, kemungkinan akan perlu mengganti beberapa baterai. Untuk pekerjaan dokumentasi kadang harus menghabiskan lebih dari 5 baterai sehari.

2. Overheat
Ukuran yang compact tanpa rongga di dalam kamera membuat panas terperangkap dan jika digunakan di kondisi cuaca yang panas, dan saat foto berturut-turut. Kamera akan cepat panas dan pada akhirnya mengurangi kualitas gambar atau kurang nyaman di tangan. Pada akhirnya, fotografer harus menunggu sampai kamera-nya dingin dulu baru bisa memotret lagi.

3. Pilihan dan harga aksesoris
Pilihan lensa kamera DSLR yang sudah berusia 100 tahun tentunya jauh lebih banyak daripada kamera mirrorless, dari lensa yang sangat lebar sampai sangat telefoto, dan harganya juga sangat bervariasi, dari murah sampai mahal. Masalah utama kamera mirrorless saat ini adalah sebagian besar harga lensanya tidak murah. Sebagian besar murid mengeluhkan harga lensa mirrorless yang rata-rata diatas lima juta dan tidak sedikit yang diatas 10 juta, beberapa malah tembus 20-30 jutaan.

4. Kinerja secara umum
Kinerja/kecepatan atau respon kamera mirrorless masih banyak yang agak lambat dibandingkan kamera DSLR. Dari saat menghidupkan kamera pertama kali saja kita harus menunggu 1-2 detik sampai kamera siap memotret. Sedangkan di kamera DSLR biasanya dalam 0.1 detik, kamera sudah siap memotret. Di sebagian kamera mirrorless, kinerja autofokus, terutama di kondisi cahaya gelap dan subjek bergerak masih agak lambat, kecuali kamera mirrorless tercanggih yang harganya 20 juta keatas.

Untungnya keempat persoalan diatas bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan. Beberapa kamera mirrorless baru tahun ini telah berhasil mengatasi 2-3 masalah diatas. Bisa jadi beberapa tahun kedepan semua masalah telah berhasil diatasi.


Sebenarnya semua perusahaan pembuat kamera sudah melihat tren ini, dan beberapa telah melakukan penyesuaian dalam masa transisi dari era DSLR ke era mirrorless. Beberapa diantaranya cukup sukses, tapi ada juga yang belum berhasil. Mari kita lihat apa upaya mereka.

Panasonic & Olympus

Panasonic dan Olympus adalah pionir dalam membuat kamera mirrorless sejak tahun 2008 yang lalu. Sebelumnya Olympus membuat kamera DSLR Seperti Olympus E-3, E-620 dst. Panasonic juga pernah membuat kamera DSLR dengan sensor four thirds, tapi di era DSLR, keduanya kurang begitu sukses, jadi sejak 2013, Olympus sudah tidak meneruskan mengembangkan sistem DSLR-nya.

Di awal era mirrorless, Panasonic & Olympus belum berhasil menerobos duopoli Canon dan Nikon, beberapa penyebabnya antara lain persepsi fotografer terhadap sensor four thirds yang ukurannya lebih kecil dari full frame & APS tidak begitu baik, dan juga pada awalnya teknologi kamera mirrorless tidak secepat kamera DSLR.

Saat ini beberapa kamera top Panasonic & Olympus sudah matang dan enak digunakan, artinya masalah-masalah yang biasa menghantui kamera mirrorless sudah bisa teratasi. Keunggulan kedua jenis kamera ini adalah ukuran lensa yang sangat compact, kelemahannya adalah kualitas gambar di ISO tinggi. Oleh sebab itu, yang menghambat kedua sistem kamera ini untuk mendominasi pasar saya rasa adalah tidak membuat sistem dengan sensor gambar yang lebih besar seperti full frame seperti ukuran film.

Sony

Sony adalah perusahaan elektronik besar yang mulai membuat kamera digital dengan mengakuisisi divisi kamera Konica-Minolta, dan membuat kamera DSLR dengan nama Sony Alpha, dengan sistem lensa A-mount di tahun 2006. Setelah beberapa tahun, sistem A-mount masih jauh dibawah Canon dan Nikon, maka itu Sony mulai membuat sistem mirrorless di tahun 2010 dengan nama Sony NEX, dengan sistem lensa E-mount. Sistem ini cukup populer karena ukuran kameranya sangat compact dan sensornya cukup besar yaitu APS-C.

Tapi yang membuat Sony naik daun adalah kamera mirrorless Sony A7 yang muncul di tahun 2013. Sistem ini merupakan kamera mirrorless pertama yang memiliki sensor full frame. Setelah itu, Sony meninggalkan nama “NEX” dan mengubahnya ke “Sony Alpha” nama yang sama dengan sistem DSLR-nya. Setelah itu, pengembangan mirrorless Sony makin cepat, hampir setiap tahun, ada beberapa kamera canggih baru yang dirilis.

Strategi Sony di era mirrorless adalah fokus ke format full frame, dan dalam beberapa tahun terakhir cukup berhasil merebut sebagian pasar yang tadinya dikuasai penuh oleh Canon dan Nikon. Sayangnya dengan fokus ke format full frame, kamera mirrorless Sony yang bersensor APS-C yang cukup sukses seperti Sony A6000, pengembangan lensanya sepertinya agak tak terurus. Dalam beberapa tahun belakangan, tidak ada lensa baru khusus untuk Sony E lens (APS-C). Tapi secara keseluruhan upaya dan kontribusi Sony di era mirrorless sangat berarti bukan hanya dalam hal membuat kamera saja, Sony juga membuat sensor untuk berbagai merk kamera lainnya.

Fujifilm

Di era DSLR tahun 2000, Fuji pernah membuat kamera DSLR profesional dengan bekerjasama dengan Nikon, yang bernama Fuji S1 Pro, yang kemudian diperbaharui beberapa kali sampai sekitar tahun 2006. Setelah itu Fuji lama menghilang, dan muncul kembali tahun 2012 dengan kamera mirrorless Fuji X-PRO1. Generasi pertama ini banyak kekurangan, terutama soal kinerja, tapi penggemar fotografi senang dengan desain dan kualitas gambar yang dihasilkannya. Dari kesuksesan tersebut, Fuji terus menerus mengembangkan kamera mirrorlessnya sampai saat ini. Di beberapa negara, khususnya Indonesia, kamera mirrorless Fuji X yang bersensor APS-C dengan desain unik X-Trans sangat diminati kawula muda.

Di tahun 2016, Fuji menggebrak dengan membuat kamera Fujifilm GFX dengan sensor medium format dengan resolusi 50MP. Gebrakan ini merupakan jawaban atas kritikan bahwa sensor APS-C tidak cukup untuk fotografer amatir serius dan profesional untuk menangkap detail sebanyak-banyaknya dan untuk cetak besar. Kedua sistem ini cukup sukses diterima dan pangsa pasar Fuji semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Nikon

Di tahun 2011, Nikon meluncurkan Nikon J1, kamera mirrorless dengan jenis sensor 1 inci. Kamera dan lensa sistem ini sangat compact dan memiliki teknologi autofokus dan foto berturut-turut yang sangat cepat. Sayangnya, sistem Nikon 1 tidak begitu populer. Salah satu penyebabnya saya pikir adalah harga yang cukup tinggi dan persepsi umum bahwa kamera ini tidak berbeda jauh dengan kamera compact. Meski tidak ada pemberitahuan resmi, Nikon 1 sepertinya saat ini sudah dihentikan pengembangan-nya, atau dibiarkan mati suri. Tanda-tandanya adalah tidak ada produk baru Nikon 1 dari tahun 2015.

Jadi Nikon masih bergantung kepada kamera DSLR-nya, terutama yang semi-pro dan pro. Beberapa kamera DSLR pronya masih bagus, seperti Nikon D7200, D500, dan yang terbaru D850. Tapi merosotnya penjualan kamera compact, DSLR pemula dan kegagalan Nikon 1 di pasar membuat Nikon harus mengurangi jumlah pegawai dan menutup pabrik. Tidak sedikit pengguna kamera DSLR Nikon pindah ke kamera mirrorless seperti ke Sony dan Fuji. Nikon tahun depan dikabarkan akan membuat kamera mirrorless baru, kemungkinan dengan sensor yang lebih besar yaitu APS-C dan full frame.

Canon

Canon sampai saat ini masih mendominasi pasar kamera digital yang bisa tukar lensa (DSLR+mirrorless) saat ini. Dalam era transisi ke mirrorless, Canon terkesan sangat hati-hati. Canon tidak serta-merta meninggalkan pengembangan kamera DSLR-nya yang penjualannya masih tinggi, tapi membuat jalan transisi dengan menghadirkan Canon EOS-M. Sistem EOS M ini mengunakan mount baru (EF-M) maka dibutuhkan lensa khusus. Jika ingin memasang lensa DSLR Canon juga bisa, tapi harus mengunakan adaptor.

Kamera DSLR Canon keluaran dua tahun lalu juga sudah seperti mirrorless teknologinya. Saat memotret live view (dengan monitor LCD), autofokus kamera sudah cepat (berkat teknologi dual pixel). Meskipun sebagian besar kamera DSLR Canon lebih tebal dari kamera mirrorless pada umumnya, tapi karena bahan yang digunakan, terasa cukup ringan.

Di era transisi DSLR ke mirrorless ini, saya nilai strategi Canon sudah tepat, yaitu dengan memberikan jalan kepada pengguna DSLR Canon untuk transisi ke mirrorless dengan teknologi dual pixel AF dan dengan beberapa pilihan Canon EOS M. Yang menjamin kesuksesan Canon adalah menjaga harga tidak terlalu tinggi baik kamera maupun lensa-lensanya.

Leica

Produsen kamera dan lensa mewah dan premium ini sejak tahun 2014 meluncurkan sistem mirrorless baru yang sistem lensanya dinamakan L-mount. Sebelumnya Leica sudah punya sistem yang secara teknik juga boleh disebut kamera mirrorless yaitu Leica M. Bedanya L-mount sudah mendukung fitur autofokus dan memiliki lensa-lensa zoom dari lebar sekali sampai telefoto.

Kamera pertama Leica adalah Leica T/TL yang bersensor APS-C, kemudian di tahun 2015, Leica meluncurkan kamera Leica SL dengan sensor full frame. Keduanya mengunakan sistem L mount, artinya lensa TL bisa dipasang di kamera Leica SL dan sebaliknya. Lensa Leica M atau DSLR juga bisa dipasang ke Leica L dengan adaptor.


 

Jadi sebagian besar produsen kamera dalam beberapa tahun terakhir sudah bertransisi ke era mirrorless dengan baik. Sebagian malah sudah meninggalkan sistem DSLR-nya seperti Olympus dan Sony, tapi masih ada yang belum siap seperti Nikon dan Pentax, yang terakhir disebutkan bahkan sudah jarang terdengar kabarnya lagi.

Yang menjadi pembeda adalah strategi marketing antar merk. Canon mengincar segmen pemula dan yang punya budget tidak besar. Fuji, Olympus dan Panasonic mengincar segmen menengah, sedangkan Sony, Leica membidik segmen atas.


Sudah punya kamera DSLR atau mirrorless? Ayo ikut acara belajar, hunting foto dan tour foto. Info selengkapnya bisa baca halaman jadwal Infofotografi atau hubungi 0858 1318 3069.


Workshop komposisi Muara Angke 1 Desember 2017

$
0
0

Halo, teman-teman Infofotografi. hari Jum’at, tanggal 1 Desember 2017 (hari libur nasional), kita akan berlatih komposisi fotografi di area Muara Angke, dimana kita akan memotret di seputar dermaga dan pasar ikan.

Acara akan berlangsung pukul 15.30 sampai 18.30 WIB, dimana peserta akan diberikan tugas untuk memotret lima jenis komposisi, Setelah memotret, kita akan makan malam seafood dan membahas foto bersama. Workshop ini sangat cocok bagi pemula yang ingin meningkatkan kualitas fotonya terutama pada aspek artistik. Terbuka untuk penguna kamera apa saja, dari kamera compact, mirrorless, atau DSLR.

Workshop ini dibatasi 8 orang saja dengan biaya Rp 450.000,- * per orang.

Bagi yang berminat, silahkan layangkan pesan ke Iesan, 0858 1318 3069,
atau e-mail: infofotografi@gmail.com

Workshop ini akan dipandu oleh Wira Siahaan, fotografer lifestyle profesional.

*Sudah termasuk makan malam

Biografi singkat mentor workshop ini:
Wira Siahaan adalah seorang fotografer full time sejak tahun 2013 dimana sebelumnya berkarir sebagai musisi selama lebih dari 10 tahun. Bersama beberapa teman fotografer, Wira membentuk grup foto WaiWii dan juga Oro Photo yang berfokus pada lifestyle dan interior photography. Selain menjadi seorang fotografer, Wira juga mengelola blog miliknya sendiri, Cerita Wira, yang berfokus pada cerita cerita travel, kehidupan sehari-hari, dan juga tutorial fotografi.

Wira juga sempat beberapa kali mengikuti perlombaan foto dan mendapatkan penghargaan, yaitu Grand Prize Winner, 2014, The International Foundation for Electoral Systems (IFES) Photography Contest dan juga Honorary Mention Price, 2015, Jeju 7th UNESCO International Photo Competition. Sejak tahun 2015, Wira aktif di komunitas fotografi Fujifilm, Fuji Guys Indonesia.

Trip foto Festival Cap Go Meh, Singkawang 28 Feb – 3 Maret 2018

$
0
0

Halo pembaca dan alumni Infofotografi, awal tahun depan, Infofotografi akan mengadakan acara hunting foto budaya di Singkawang, Kalimantan Barat saat Cap Go Meh (kurang lebih 15 hari setelah tahun baru Imlek). Kita beruntung acara ini akan dipandu oleh fotografer senior Goenadi Haryanto, yang telah memiliki banyak pengalaman dalam memotret budaya dan human interest di seluruh Indonesia

Trip tanggal 28 Februari – 3 Maret 2018

Meeting point : Bandara Supadio, Pontianak

Highlight acara hunting foto:

  • Persiapan masyarakat menyambut perayaan Cap Go Meh
  • Persiapan para tatung di Vihara tertua sebelum “kesurupan”
  • Pawai / kirab budaya Cap Go Meh
  • City tour Pontianak, Singkawang

Biaya tour: Rp 3.750.000

Maksimum 16 peserta

Pendaftaran: Iesan 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Biaya tour sudah termasuk:

  • Akomodasi hotel *3, sharing sekamar berdua
  • Transportasi selama tur (Hi Ace Commuter)
  • Arahan fotografi oleh Fotografer Goenadi Haryanto & Enche Tjin

Biaya tour belum termasuk:

  • Tiket pesawat atau transportasi lain
  • Tips untuk supir
  • Belanja pribadi

Foto-foto oleh Goenadi Haryanto.

Workshop “bikin foto keren tanpa diedit”

$
0
0

Workshop kali ini punya tema : Membuat karya foto yang keren langsung dari kamera, tanpa perlu di edit di komputer. Mengapa anda perlu mengikuti workshop ini? Karena untuk mendapat hasil foto yang maksimal diperlukan pemahaman dari berbagai aspek seperti pencahayaan, lensa, artistik dan juga setting kamera. Editing adalah langkah akhir yang bisa dilakukan untuk menyempurnakan hasil fotonya. Tapi saat pencahayaan sudah optimal, teknik memotretnya sudah benar dan setting kameranya sudah tepat, maka hasil foto kita sudah langsung oke dan siap untuk dibagikan di media sosial, tanpa harus diedit lagi di komputer.

Di workshop kali ini, saya (Erwin Mulyadi) akan menjelaskan misi dan poin-poin yang harus dilakukan, mendemonstrasikan cara memotret, kemudian membimbing anda untuk mengatur pencahayaan, memaksimalkan peran lensa dan memilih setting kamera yang tepat untuk memotret beberapa subyek yang kami persiapkan.

Lalu kita akan bali kelompok kecil (2-3 orang) dan akan diminta untuk mencoba menata berbagai macam benda untuk difoto dari beberapa sudut, lalu mempraktikkan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya sehingga mendapat hasil foto yang menarik. Setelah itu, di akhir acara kita akan membahas bersama-sama hasil foto yang sudah didapat.

Workshop ini dijadwalkan pada :

  • Hari : Sabtu, 25 November 2017
  • waktu : 13.00-17.00 WIB
  • Tempat : infofotografi Green lake city, Rukan Sentra Niaga N-05 Jakarta Barat
  • Biaya : Rp. 375.000,-

Peserta maksimum 8 orang, diharapkan sudah mengenal dasar fotografi (eksposur, lensa, lighting) dan sebaiknya (tidak wajib) membawa lensa fix, tripod dan benda milik sendiri untuk dipotret (mainan, botol parfum, jam tangan dsb). Di workshop ini kita akan memakai berbagai sumber cahaya yang ada seperti lampu LED kontinu, cahaya alami matahari maupun flash. Untuk itu bagi peserta yang memiliki flash eksternal juga boleh dibawa.

Biaya workshop ditransfer ke Enche Tjin BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780.

Info/pendaftaran: 0858 1318 3069 (Iesan) atau infofotografi@gmail.com

Leica Q Indonesia Special Edition – Barong

$
0
0

Leica Store Indonesia resmi meluncurkan Leica Q Barong 2017 hari ini. Leica Q edisi Indonesia kali ini hanya dibuat dalam edisi yang sangat terbatas, yaitu 25 kamera saja. Dasar kamera Leica Q edisi Titanium yang terbatas jumlahnya, dan dibalut dengan bahan kulit berwarna merah dan berukirkan gambar Barong di bagian atas kamera.  Ikon Barong juga terletak sempurna pada top plate dan seri kamera dari angka 1 – 25 di area hot shoe kamera. Bagi teman-teman pembaca yang membutuhkan kamera ini, boleh hubungi Leica Store atau Infofotografi 0858 1318 3069. Harga kamera Rp 73 juta.

Berikut siaran Pers  yang saya terima:

Jakarta, INDONESIA – [20/11/2017]: Leica Store Indonesia, distributor resmi Leica Camera AG di Indonesia hari ini resmi mengumumkan generasi ke-3 kamera Indonesia Special Edition; Leica Q Barong 2017. Penerus Indonesia Special Edition ini mengusung kamera compact digital; Leica Q dan membalut budaya Indonesia; Barong. Pesona Leica Q Barong sangatlah kokoh karena edisi ini menjuarakan Leica Q titanium yang merupakan edisi warna yang diproduksi terbatas. Leica Q Barong Indonesia Edition dipersembahkan untuk para pecinta Leica yang menginginkan kamera Leica Q yang membalut elemen budaya, dan hanya tersedia 25 units eksklusif di Leica Store Indonesia dan dealer terpilih.

Bernard Suwanto – Direktur Leica Store Indonesia mengatakan; “Mempersembahkan kamera Leica Indonesia sudah menjadi tradisi Leica Store Indonesia setiap tahunnya. Kami mempelajari budaya Indonesia untuk memastikan setiap kamera Leica Indonesia Special Edition melambangkan negara ini, dan Bali, Pulau Dewata, pulau yang telah meraih pengakuan sebagai tujuan wisata dunia, sangatlah cocok untuk menjadi ikon untuk edisi tahun ini. Kami pun menelusuri lebih lanjut budaya Bali dan menemukan Barong, simbol kemenangan dari kebaikan yang menjadi pelindung warga Bali. Lahirlah Leica Q Barong. “

Edisi Barong Indonesia sangatlah menarik perhatian karena ia hadir dalam warna titanium, edisi warna yang diproduksi terbatas, berbeda dari Leica Q edisi sebelumnya. Body Leica Q Barong menggunakan bahan kulit berwarna merah, mengokohkan pesona kamera ini. Ikon Barong juga terletak sempurna pada top plate dan seri kamera dari angka 1 – 25 di area hot shoe kamera juga hadir untuk menandai edisi unik dari setiap Leica Q Barong. Yang tidak kalah penting, Leica Q Barong 2017 ini hanya bisa dimiliki oleh 25 pecinta Leica di seluruh dunia.

“Hanya dua kamera Leica yang telah dipilih untuk Indonesia Special Edition yakni Leica D-lux (Typ 109) dan Leica Q. Tahun ini, kami kembali menghadirkan Leica Q karena banyaknya peminat dan permintaan kamera digital compact Leica Q sejak pertama diluncurkan tahun 2015,” tutur Bernard. Leica Q merupakan edisi pertama dari kategori digital compact camera Leica dan terkenal karena karakternya yang sensitif, cepat, dan intuitif. Dengan sensor full-frame, dan Lensa Leica Summilux 28 mm f/1.7 ASPH yanng menjadikan Leica Q unggul untuk fotografi dengan berbagai tingkat pencahayaan, Leica Q adalah kamera yang sempurna untuk fotografi jalanan, arsitektur, dan pemandangan.

Mentoring Cityscape Sapta Pesona, 1 Desember 2017

$
0
0

Melanjutkan sesi mentoring rooftop Cityscape yang rutin diadakan di Jakarta, kali ini kita akan memberi kesempatan bagi yang belum sempat ikutan untuk belajar foto cityscape dari atap gedung Sapta Pesona. Disana kita akan mendapat view ke arah Monumen Nasional dan sekitarnya sehingga diharapkan sambil belajar slow speed kita bisa mendapat karya foto cityscape yang menarik.

Acara ini akan dipandu oleh saya (Erwin Mulyadi) untuk membimbing teknis setting kamera dan komposisinya, dan dijadwalkan akan diadakan pada :

  • hari : Jumat, 1 Desember 2017
  • jam :  16.30-19.00 WIB
  • tempat : Gedung Sapta Pesona, Medan Merdeka Barat, Jakarta
  • biaya : Rp. 375.000,-

Alat yang perlu dibawa tentunya kamera, lensa (lebar hingga menengah) dan tripod yang kokoh. Aksesori lain seperti filter, cable release dsb adalah opsional. Pastikan kamera yang akan dibawa sudah dilengkapi strap/tali kamera untuk alasan keamanan.

Tempat terbatas, bagi yang berminat bisa mendaftar dengan cara transfer Rp. 375.000,- ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780 lalu kabari ke 0858-1318-3069 atau e-mail ke infofotografi@gmail.com

Leica CL : Kamera modern dengan desain klasik

$
0
0

Merupakan ide Oscar Barnack, pencipta kamera Leica, untuk membuat kamera dengan desain yang seringkas mungkin di era kamera pada jamannya berukuran sangat besar. Jika Oscar Barnack masih hidup, kemungkinan ia akan merancang kamera seperti Leica CL, kamera yang ringkas dan dapat menghasilkan kualitas gambar yang setinggi mungkin.

Kamera Leica CL memiliki sensor APS-C dengan resolusi 24MP dan rentang ISO 100-50000. Processor Maestro II memungkinkan untuk merekam video 4K @ 30 fps, dan autofokus deteksi kontras, 49 area yang berkecepatan tinggi.

Leica CL mengunakan L-mount, yang sama dengan Leica T/TL/TL2 dan Leica SL, sehingga saling bisa berganti lensa. Bersamaan dengan Leica CL, Leica mengumumkan lensa baru yaitu Leica TL 18mm f/2.8. Sampai saat ini, lensa-lensa yang tersedia antara lain: 11-23mm f/3.5-4.5, 18-56mm f/3.5-5.6, 55-135mm f/3.5-4.5, 23mm f/2, 35mm f/1.4, dan 60mm f/2.8 Macro.  Tentunya kita bisa mengunakan lensa untuk SL juga, seperti SL 24-90mm f/2.8-4, 90-280mm f/2.8-4, dan 50mm f/1.4. Jika ingin mengunakan lensa M-mount atau DSLR, kita bisa memasangnya dengan adaptor.

Tidak seperti merk kamera lainnya, Leica tidak mengenal pemisahan antara lensa pemula, menengah atau profesional, semua lensa dibuat dengan kualitas setinggi mungkin dan seringkas mungkin supaya nyaman digunakan.

Bagi penggemar fotografi, Leica CL memiliki fitur cukup lengkap, diantaranya jendela bidik elektronik 2.36 juta titik, perbesaran .74x, hotshoe, layar  LCD sentuh 3 inci, 1 juta titik, dan layar LCD kecil di bagian atas kamera untuk melihat info mode kamera, shutter speed, dan aperture yang digunakan.

Mengendalikan setting kamera bisa mengunakan dua roda dial yang berada diatas kamera, kedua roda tersebut untuk mengubah bukaan lensa, shutter speed dan/atau kompensasi eksposur. Ada tiga tombol di bagian belakang kamera yaitu Play, Function (bisa diprogram), dan Menu. Juga ada tombol empat navigasi empat arah.

Ukuran kamera ini bisa dibilang cukup compact yaitu 131 x 78 x 45 mm dan berat yang cukup ringan, 403 gram termasuk baterai, meskipun mengunakan bahan material aluminium dan magnesium alloy. Leica CL mengunakan baterai BP-DC12, 1200mah yang sama dengan Leica Q.

Saya akan mencoba kamera ini beberapa hari sekitar awal Desember 2017 dan akan melaporkan pengalaman saya di Infofotografi. Kamera ini akan diperkenalkan secara resmi di Indonesia sekitar pertengahan Desember 2017. Harga kamera belum ditentukan di Indonesia, diperkirakan sekitar Rp 40 jutaan, dengan lensa 18mm f/2.8 atau 18-56mm f/3.5-5.6 sekitar 54-56 juta).

Jika ingin memesan kamera Leica CL atau lensa-lensanya, boleh hubungi Leica Store atau boleh saya bantu di 0858 1318 3069.

Review lensa HandeVision Iberit 35mm f/2.4

$
0
0

Belum lama ini, saya berkesempatan menguji lensa Iberit 35mm f/2.4 yang dibuat oleh HandeVision, merk buah kerjasama antara perusahaan asal Jerman IB/E Optics GMBH dan Shanghai Transvision Photographic Equipment Co. Ltd yang terkenal membuat berbagai adaptor dengan merk KIPON. Lensa dirancang oleh Iberit dan diproduksi di Shanghai dengan standar kualitas Jerman sehingga harga jual menjadi lebih terjangkau.

Sebenarnya saya telah mengetahui bahwa HandeVision telah meluncurkan berbagai lensa sejak tahun lalu, tapi tidak ada yang mendistribusikan lensa ini di Indonesia. Awal bulan November yang lalu, saya menemukan bahwa toko Focus Nusantara telah mengimpor dan menjualnya ke pencinta fotografi di Indonesia. Lensa-lensa Iberit sebenarnya dibuat dalam berbagai jenis kamera mirrorless, diantaranya Sony E-mount, Fujifilm X-mount, Leica M-mount, dan L-mount. Focal length yang tersedia antara lain: 24mm, 35mm, 50mm, 75mm dan 90mm, kesemuanya memiliki bukaan maksimal f/2.4.

Saya berkesempatan mencoba lensa Iberit 35mm f/2.4 versi M-mount dan memasangnya ke Leica SL (L-mount) dengan adaptor. Kombinasi kamera dan lensa ini sangat unik, kameranya besar dan lensanya relatif kecil hehe. Saat digunakan cukup nyaman. Kamera lebih besar dari lensa biasanya gak masalah, tapi kalau lensanya lebih besar biasanya akan lebih tidak seimbang.

Kualitas konstruksi dari lensa ini sangat baik, terbuat dari bahan logam (alumunium, kuningan dan baja tahan karat) dan yang presisi dan berkualitas. Bukaan lensa bisa diatur di lensa, dengan 1/2 stop click. Ukuran lensa cukup mungil, yaitu 5.8 x 3.5 cm dan berat 220 gram. Filternya 49mm. Seperti lensa manual lainnya, Iberit memiliki angka-angka tanda jarak dan tanda jarak untuk zone focus/hyperfocal.

Sebuah lens hood dengan bahan logam telah disertakan dalam pembelian lensa. Di lens hood tertulis 35mm dengan warna biru yang merupakan focal length lensa. Desain lensa ini sepertinya terinspirasi dari lensa rangefinder Leica. Dari kualitas fisiknya terlihat mirip, hanya sedikit lebih besar daripada lensa Leica 35mm f/2.4 yang memiliki ukuran 5.2 x 3.4 cm dan berat 190 gram.

Saat mengunakan lensa ini dengan kamera mirrorless Leica SL, saya tidak menemukan kesulitan untuk manual fokus karena terbantu dengan fitur focus peaking dan focus magnification. Di saat cahaya terlalu terang, maka saya bisa mengunakan jendela bidik Leica SL yang sangat detail dan besar. Memutar ring fokus di lensa juga merupakan keasyikan tersendiri. Karena lensa yang saya gunakan adalah lensa untuk Leica M, maka saya dibatasi oleh close-focus distance (jarak fokus minimum) 70 cm. Tapi jika mengunakan lensa untuk L-mount, Sony E-mount dan Fuji X-mount, bisa lebih dekat lagi yaitu 35 cm.

Secara desain optik, lensa ini mengunakan formula klasik yang sederhana, yaitu 6 elemen di 6 grup. Dengan elemen yang tidak terlalu banyak, maka “rendering” hasil foto lebih menyerupai lensa jaman dulu yang memiliki karakter tersendiri. Lensa dapat menangkap detail dengan baik di kamera 24 MP full frame di bukaan terbesar (f/2.4). Ketajaman sedikit meningkat saat mengunakan f/2.8 dan mencapai puncak sekitar f/5.6. Ketajaman masih bagus di f/8 tapi saya tidak menyarankan mengunakan f/11 atau f/16 kecuali terpaksa karena menjadi agak soft karena difraksi lensa. Warna yang ditangkap lensa ini bagus. Dibandingkan dengan lensa Leica atau Zeiss, lensa Iberit tidak begitu menonjol micro-contrast-nya, tapi secara keseluruhan hasil gambarnya enak dilihat.

 

ISO 800, f/2.8, 1/125 detik

ISO 50, f/4, 1/160 detik

ISO 400, f/11, 1/60 detik

ISO 50, f/2.4, 1/320 detik

Kesimpulan

Pada dasarnya saya cukup menikmati mengunakan lensa Iberit 35mm ini karena ukurannya yang sangat compact, dan kualitas dari fisik lensa yang baik. Hasil foto dari lensa ini juga cukup baik, dapat menangkap detail dan membuat latar belakang blur yang halus. Karena mengunakan sedikit elemen lensa, kualitas hasil gambar terlihat lebih berdimensi dan tidak seperti digital yang kadang terlalu tajam dan sempurna. Lensa seperti ini bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan lensa autofocus yang mengandalkan elektronik dan susunan motor fokus yang rumit. Lensa 35mm cocok untuk berbagai macam jenis fotografi, tapi paling sering digunakan untuk street photography, travel, dan terkadang untuk environmental portrait (foto orang dan lingkungannya).

Jika mengunakan beberapa jenis kamera mirrorless, saran saya memilih lensa Iberit untuk M-mount ini fleksibel untuk diadaptasikan baik ke kamera Leica M, Sony, atau Fuji dengan adaptor. Tapi jika Anda mengunakan satu jenis kamera saja, maka lebih baik mengunakan yang sudah dirancang khusus untuk kamera tersebut karena kamera bisa mengenali dan mencatat data setting kamera lebih lengkap. Dengan kualitas bahan lensa dan optik yang baik tentunya harga lensa dibawah 10 juta menurut saya masih wajar.

Jika ada pembaca yang membutuhkan lensa ini, dapat memesan via Infofotografi, via Iesan WA 0858 1318 3069. Terima kasih.

ISO 1250, f/2.8, 1/60 detik

ISO 800, f/2.4, 1/2500 detik

ISO 400, f/2.4, 1/200 detik

ISO 3200, f/2.4, 1/60 detik


Prima Imaging luncurkan IQ3 Trichromatic dan Achromatic Digital Back untuk PHASE ONE XF

$
0
0

Tanggal 21 November 2017 yang lalu, saya diundang untuk menghadiri peluncuran IQ3 Trichromatic dan Achromatic Digital Back untuk sistem kamera medium format Phase One di studio Prima Imaging di jl. Kran Raya. Acara ini di isi oleh presentasi dari Drew Altdoerffer dari Phase One, yang menjelaskan tentang kedua digital Back medium format ini, kemudian dilanjutkan dengan demonstrasi oleh fotografer Clarissa dan Peddy dan pengenalan software Capture One.

IQ3 100MP Trichromatic sensor dirancang oleh Phase One dan dibuat oleh Sony. Jenis sensor sampai saat ini ekslusif untuk Phase One. Idea pengembangan dari sensor ini adalah membuat rancangan khusus filter warna dalam sensor untuk menangkap warna lebih murni menyerupai retina mata manusia sehingga terlihat alami. Untuk mendapatkan hasil terbaik dari sensor ini, fotografer disarankan mengunakan base ISO 35, untuk mendapatkan gambar tanpa noise dan dynamic range 15 stop.

Dalam presentasinya, ditunjukkan bahwa bagian yang gelap pada foto (shadow) lebih bersih dari noise saat diterangkan 6 stop dibandingkan dengan sensor tanpa desain Trichromatic. Di ISO tinggi, color noise juga lebih rendah.

Spesifikasi IQ3 Trichromatic

  • Resolusi 101 MP
  • ISO 35-12800
  • Dynamic range 15 f-stops
  • 60 menit long exposure
  • CMOS, XF
  • 16 bit color
  • Electronic shutter

Contoh foto dari live demo:

Teknologi dan penjelasan lebih jauh tentang science trichromatic bisa dibaca di situs Phase One.

Digital back yang kedua yang diperkenalkan yaitu IQ3 Achromatic yang berarti tanpa warna. Keunggulan sensor di dalam IQ3 100 MP Achromatic ini adalah tidak mengunakan filter warna Bayer dan low pass/AA filter, sehingga cahaya lebih banyak yang mencapai sensor tanpa terhalang. Tanpa filter, setiap pixel dari sensor mendapatkan lebih banyak cahaya, memastikan detail yang tertangkap maksimal dan tajam. IQ3 juga bisa menangkap spektrum cahaya yang lebih luas dari mata manusia, misalnya infrared. Base ISO IQ3 adalah ISO 200, dimana mendapatkan kualitas terbaik, dan kualitas di ISO tinggi lebih bagus dibandingkan sensor gambar dengan warna.

Bagi saya, sensor Achromatic ini sangat menarik, kualitas gambarnya sangat tajam. Yang agak mengejutkan adalah kualitas foto di ISO tinggi seperti ISO 51200 menurut saya masih sangat layak digunakan. Bahkan noise yang timbul tidak terlalu mengganggu, foto tetap tajam dan detail.

Spesifikasi IQ3 Achromatic

  • Resolusi 101 MP
  • ISO 200-51200
  • Dynamic range 15 f- stop
  • 60 menit
  • 16 bit color
  • Electronic shutter

Contoh foto:

ISO 200, f/12, 1/125, 80mm, Studio lighting

ISO 51200, f/18, 1/125 detik, 80mm, studio lighting

Crop/Zoom dari foto diatas dengan ISO 51200, mengagumkan bukan?

Info lebih lanjut tentang teknologi Achromatic bisa dibaca di halaman blog Phase One.

Dalam kesempatan ini, saya juga belajar bahwa Phase One XF mendapatkan beberapa pembaharuan berupa fitur baru seperti peningkatan kinerja autofokus terutama di kondisi gelap, focus stacking tool, Profoto Air tools, rear flash sync, vibration analysis dan sebagainya.

Yang menarik bagi fotografer profesional mungkin adalah focus stacking tool, yang sangat berguna untuk memotret produk yang berukuran kecil. Dalam pengembangan fitur ini, Phase One bekerjasama dengan Helisoft Helicon Focus Software. Beberapa lensa yang didukung antara lain 80mm f/2.8, 120mm LS f/4 Macro dan 120mm AF f/4 Macro.

Tapi yang menarik bagi saya adalah autofocus & recompose. Kamera bisa mempelajari kebiasaan kita sehingga jika rekomposisi maka kamera akan mencoba mengkompensasi perpindahan jarak fokus akibat perubahan posisi kamera. Fitur ini penting karena sistem autofokus kamera medium format biasanya hanya satu titik saja (diposisi tengah), jadi saat memotret subjek yang tidak tepat ditengah, maka rekomposisi harus dilakukan. Saat ini ada beberapa lensa yang sudah didukung yaitu 80mm f/2.8, 110mm f/2.8 dan 150mm f/2.8.

Terima kasih kepada Prima Imaging yang telah mengundang Infofotografi. Bagi yang ingin mengetahui kamera ini lebih lanjut bisa menghubungi Prima Imaging, Jl. K.H. Hasyim Ashari 44CD
Jakarta 10130, Phone :+62 21 22634766

Dua peserta kursus online telah lulus

$
0
0

Di akhir tahun 2017 ini Kursus Online Infofotografi kembali meluluskan dua peserta didiknya, yang telah menyelesaikan pelajaran fotografi dasar secara mandiri untuk 10 (sepuluh) modul dalam batas waktu 6 bulan. Memang bukan hal mudah untuk bisa lulus dari kursus ini karena diperlukan disiplin dan kemauan belajar secara mandiri dengan penugasan yang berbeda-beda sesuai topik di modul, juga harus mau mengulang untuk merevisi fotonya apabila dianggap belum sesuai harapan. Untuk itu kami mengapresiasi kepada saudara Liwatul Haq dan Hendra Nugroho yang sudah konsisten dalam belajar dan berkarya hingga semua pelajaran di modul online ini tuntas.

Liwatul Haq adalah seorang lulusan fakultas teknik yang bekerja sebagai PNS di Kendari, Sulawesi Tenggara. Untuk mendukung hobi fotografinya dia memilih kamera DSLR Canon dengan beberapa lensanya. Minat khususnya adalah foto travel dan landscape, dan topik di modul kursus online tepat untuk membantu Liwatul dalam mendapat foto landscape yang lebih baik.

Foto oleh Liwatul Haq dalam penugasan foto sunset

Hendra Nugroho di lain pihak cenderung lebih menyukai foto potret dan still life. Pria asal Pekalongan yang tengah bekerja di Seoul ini juga memilih kursus online untuk membantunya belajar fotografi secara jarak jauh. Permintaan untuk mengulang tugas dari mentor pun tak menyurutkan niatnya untuk tetap belajar hingga akhirnya pengguna Canon 80D ini pun dinyatakan lulus, bahkan sebelum periode 6 bulan kursus selesai.

Foto oleh Hendra dalam tugas modul komposisi simetri.

Berikut testimoni dari Hendra :

Halo ko, thx buat pembelajarannya, sekarang saya sdh keterima di frame of trip sebagai photographer, berkat pembelajaran kursus online.

Sekali lagi selamat kepada anda berdua, bagi peserta lain yang masih dalam periode kursus harap bisa konsisten untuk mengerjakan setiap penugasan karena waktu 6 bulan semestinya cukup untuk menuntaskan 10 modul asal disiplin. Bagi anda yang tertarik untuk ikut Kursus Online ini silahkan mempelajari aturan main dan cara mendaftar di halaman ini.

Berkreasi dengan flash eksternal untuk foto still life

$
0
0

Musim hujan begini bisa jadi hobi fotografi kita agak sedikit terganggu, misal jadi malas keluar rumah atau takut kameranya basah kehujanan. Padahal aktivitas memotret tetap bisa kita lakukan di dalam rumah, misal memotret still life. Banyak ide untuk ini, bisa dari makanan minuman kita, perabot piring hingga sendok garpu atau yang sejenisnya. Jangan terbebani untuk langsung dapat foto yang bagus, yang penting berusaha dulu mencari konsep fotonya, lalu nikmati proses memotretnya.

Satu hal penting dalam fotografi still life adalah pencahayaan. Memang kita bisa memakai cahaya matahari yang berlimpah, misal dengan mendekatkan benda yg akan difoto ke jendela saat siang. Tapi di musim hujan ini belum tentu kita bisa dapat cahaya mahatahari, maka itu para fotografer akan mengandalkan ‘matahari dalam genggaman’ alias lampu kilat eksternal. Dengan ini kita bisa menerangi subyek foto kapanpun, bahkan bisa diatur kekuatannya, arahnya hingga keras lembutnya cahaya. Perhatikan meski di kamera ada lampu kilat built-in, tapi hasilnya tidak akan maksimal, jadi tetap disarankan pakai flash eksternal.

Memanfaatkan wireless flash dengan trigger, lampu flash bisa ditempatkan di light stand di sisi kiri dan dibantu reflektor di sisi kanan.

Untuk sekedar mendapat mencahayaan lembut, paling mudah memakai cara bouncing sehingga terang merata dan bayangan yang dihasilkan tidak keras. Tapi untuk mendapat hasil yang lebih baik bisa manfaatkan teknik strobist, dengan trigger, payung dan reflektor. Dengan begitu hasil foto bisa kita atur terangnya, bayangannya hingga dimensi yang didapat dijamin tidak akan flat atau datar.

Pengaturan flash eksternal untuk wireless.

Di kameranya sendiri tidak terlalu banyak yang perlu kita urus. Kalau sudah main flash pasti cahaya tidak akan kuatir kekurangan, sehingga tidak perlu pakai ISO tinggi. Tinggal atur shutter dan aperture saja sesuai kebutuhan. Gunakan juga lensa yang berkualitas untuk hasil lebih maksimal. Selamat berkreasi..


Ikuti kelas Kupas Tuntas Flash Eksternal bila anda ingin mengenal fitur flash yang anda punya, sambil belajar teori pencahayaan, teknik lanjutan dari flash hingga memakai wireless trigger. Jadwalnya hari Sabtu, 2 Desember 2017 jam 13.00-16.00 WIB di infofotografi Green lake city, Jakarta Barat.

Bahas kamera prosumer dengan lensa built-in / fix

$
0
0

Lima tahun yang lalu (2012) saya pernah menulis artikel tentang plus-minus kamera prosumer. Intinya, saya kurang menyukai kamera jenis ini karena banyak kelemahannya. Tapi jaman telah berubah dan kamera prosumer saat ini berkembang ke arah yang lebih baik.

Apa itu kamera Prosumer?

Mengagumkan bahwa Sony dapat membuat kamera compact Sony RX100 III yang ukurannya mungil tapi bisa punya flash dan jendela bidik terpasang.

Kamera prosumer pada dasarnya adalah kamera yang lebih canggih daripada kamera pemula/pocket biasa, tapi tidak bisa ganti lensa. Kadang kamera semacam ini disebut kamera bridge, atau superzoom kalau punya lensa zoom yang rentangnya besar, misalnya 20-30 kali.

Saat ini, kamera prosumer makin banyak yang bagus, hal ini karena sensor gambar yang dipasang di kamera ini makin lama makin besar. Contohnya seri Sony RX100 yang kini sudah ada sampai versi V. Sensor kamera compact ini mengunakan jenis 1 inci, sehingga di kondisi gelap lebih baik daripada kamera compact biasa atau kamera ponsel.

Kesuksesan Sony RX100 (pocket/compact), RX10 (superzoom) dan RX1 (full frame) di tahun 2012, kemudian diikuti oleh perusahaan lain seperti Panasonic yang merilis Panasonic LX10, LX100, FZ1000, FZ2500, dan Canon menyusul dengan seri G5X, G7X dan G9X. Leica punya D-Lux 109, V-Lux 114 dan Leica Q. Fuji punya X30, X70, X100. Sigma juga punya seri kamera dengan lensa fix berbagai ukuran dengan nama Sigma DP, Ricoh punya Ricoh GR yang terkenal di kalangan street photography.

Perbandingan Sony RX100, Panasonic LX10 dan Canon G7X bisa dibaca di artikel ini.

Nikon hampir saja menyusul dengan seri Nikon DL, tapi sayang produksinya dihentikan. Tapi Nikon punya superzoom Nikon P900 yang gila sekali zoomnya 83X, mencapai focal length 2000mm ekuivalen full frame. Jangankan foto bulan, foto planet Jupiter saja bisa.

Pantaskah harga kamera prosumer saat ini?

Seiring kualitas gambar meningkat karena penggunaan sensor gambar yang relatif besar, harga rata-rata kamera prosumer semakin meningkat, tapi sebagian besar harganya saya nilai pantas (worthed/good value for money).

Leica Q bisa dibilang kamera Leica yang paling sukses dalam tiga tahun terakhir ini

Katakanlah kamera seperti Canon G7X II, kamera ini berukuran compact, tapi sensor 1 inci dan lensa cukup fleksibel untuk sehari-hari atau travel (ekuiv. 24-100mm f/1.8-2.8), fitur video juga ada dan ideal untuk daily vlogging. Kamera ini saat ini dijual dengan harga 7 juta pas. Seringkali kalau kita tanya di toko stoknya sering habis.

Leica Q, material body dari logam, sensor full frame 24MP dan lensa Leica 28mm f/1.7, harganya sekitar 60 juta. Sekilas sepertinya mahal, tapi jika dibandingkan dengan kamera Leica M (sekitar 70-100 juta), belum lagi tambah lensa 28mm f/2 yang harganya 55-60 juta, harga Leica Q menjadi terasa relatif murah, apalagi sudah ada fitur autofokus, layar touchscreen dan jendela bidik resolusi besar (3.68 juta titik).

Bagaimana dengan kualitas gambar?

Kamera prosumer dengan built-in lens biasanya punya kualitas gambar yang optimal, karena lensa dibuat hanya untuk sensor kamera tersebut, sehingga bisa dioptimalkan dengan sempurna. Sedangkan jika kamera yang bisa tukar lensa, produsen kamera dan lensa harus sedikit berkompromi dalam desainnya.

Ukurannya bisa lebih kecil kah?

Dibandingkan dengan sistem kamera (interchangeable lens), ukuran body dan lensa kamera prosumer juga bisa lebih compact, karena lensa bisa lebih ringkas, dan sebagian dirancang collapsible, sehingga saat tidak dipakai atau disimpan, ukuran lensa bisa menciut ke dalam sehingga tidak banyak tempat dalam menyimpan.

Masih ada kekurangan?

Kamera prosumer juga ada kekurangannya, yaitu belum ada yang punya lensa yang lebih lebar dari 24mm (ekuivalen full frame), kecuali Sigma DP0Q yang lensanya ekuivalen 21mm. Sehingga untuk motret landscape dan arsitektur kadang menemui kendala lensa kurang lebar. Tapi untuk para traveler atau lifestyle photographer, kamera prosumer yang ada saat ini sudah banyak yang memenuhi harapan dari segi kualitas ataupun ukuran.

Wawancara dengan Majalah Elshinta tentang bisnis fotografi

$
0
0

Bulan lalu, saya diwawancarai oleh Majalah Elshinta, majalah online bebas biaya yang fokus kewirausahaan (entreprenurship). Bulan Desember ini topik utamanya adalah tentang bagaimana menjalankan berbagai bisnis fotografi dari portrait, wedding, studio dan kursus fotografi.

Dalam edisi ini, selain saya, ada beberapa fotografer juga diwawancarai, diantaranya Diera Bachrir, Ansori (ANS Production), dan Indra dari Ruang Imaji Studio. Di dalam majalah ini juga memiliki berbagai tips untuk memulai dan bersaing dalam bisnis fotografi.

Terima kasih kepada Widodo dan Reza yang telah meluangkan waktu untuk mampir ke Infofotografi.

Download majalah online di halaman ini. Edisi Desember 2017.

Review Leica CL : Kesan pertama

$
0
0

Seminggu belakangan ini saya dan Leica Ambassador Indonesia lainnya diberikan kesempatan untuk mencoba kamera digital Leica terbaru yaitu Leica CL [spesifikasi kamera]. Saya diberikan kesempatan untuk mencoba kamera ini dari tanggal 4 sampai 6 Desember 2017. Dalam rentang waktu yang singkat ini, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencoba kamera ringkas yang dapat bertukar lensa.

Saat memegang pertama kali saya mendapatkan kamera ini jauh lebih compact daripada kamera utama saya Leica SL, ukurannya sedikit lebih panjang dari Leica D-Lux 019. Desainnya enak dilihat dan photographic centric, artinya ada tombol-tombol jalan pintas, tombol empat arah dan roda dial untuk memudahkan fotografer mengganti setting dengan cepat. Berbeda dengan Leica TL2, CL sudah dilengkapi dengan built-in viewfinder yang sedikit menonjol di sebelah kiri atas kamera, viewfinder ini ideal dalam ukurannya, dengan perbesaran .74x cukup luas bagi saya yang menggunakan kacamata. Jika lebih luas lagi, saya harus menggeser bola mata saya untuk melihat keseluruhan gambar. Saya mendapati diri saya lebih sering memotret dengan viewfinder, terutama di kondisi cahaya yang terlalu terang.

Saya mencoba kamera ini dengan dua lensa, Leica TL 18-55mm f/3.5-5.6 dan Leica TL 35mm f/1.4. Lensa 18-56mm ini bukan sekedar kit lens, Kualitas lensa dari mekanik dan fisiknya jauh lebih baik daripada lensa pada umumnya. “Zoomnya buttery smooth ya?” ujar teman saya Paul Yahya yang sempat mencoba lensa ini.

Kualitas gambar yang dihasilkan kombinasi kamera dan lensa ini tajam dan penuh detail, cocok untuk digunakan sehari-hari. Tapi untuk membuat latar belakang blur, lensa 35mm f/1.4 lebih ideal. Lensa buatan Jerman ini adalah salah satu favorit saya karena bisa digunakan di f/1.4, dimana hasilnya sangat tajam dengan rendering dimensi dan latar belakang blur yang mulus.

Saya juga mencoba beberapa film style, preset yang tersedia di dalam kamera yaitu Natural dan B&W. Saya cukup terkesan dengan hasil foto langsung dari kameranya. Film Style Natural sifatnya netral, warnanya tidak terlalu ngejreng, sedangkan yang B&W tidak terlalu kontras, tapi lengkap dan mulus gradasi abu-abunya.

Kemampuan kamera dalam menangkap detail dan dynamic range, melebihi kamera dengan sensor APS-C dan hampir setara dengan kamera bersensor full frame seperti Leica Q, Sony A7, Canon 6D dan lain-lain, tapi sedikit lebih banyak noise saat mengunakan ISO tinggi. Saya pribadi bisa menerima noise di ISO 3200 untuk foto warna, dan ISO 6400 untuk foto hitam putih. Untungnya, tekstur noise dari Leica CL ini, enak dilihat seperti grain film, dan detail dan ketajaman masih sangat baik, tidak seperti kamera bersensor APS-C yang lain.

Leica CL, 35mm f/1.4, di f/1.4, 1/250 detik, ISO 100, BW high contrast style.

Kelebihan Leica CL

  • Kualitas desain, material dan hasil gambar terbaik di kelas kamera APS-C, bahkan melebihi sebagian kamera full frame terbitan 4 tahun yang lalu.
  • Desain kamera ringkas dan photographic centric.
  • Fleksibilitas untuk mengunakan berbagai lensa, diantaranya lensa Leica TL, SL, atau M dengan adapter, kualitas tidak menurun saat mengunakan lensa-lensa M-mount, hanya sudut pandangnya menjadi kurang lebar karena crop factor 1.5x

Ada beberapa hal yang tentunya kelemahan kamera ini, tapi rasa bukan hanya diderita oleh Leica CL, tapi juga kamera mirrorless pada umumnya, misalnya baterainya (sama dengan Leica Q), terasa cukup cepat habis (215 foto per full charge), maka itu perlu minimal 3 baterai jika ingin hunting foto seharian. Selain itu, kamera terasa panas jika dinyalakan terus menerus dalam jangka waktu lama.

Leica CL, 35mm, f/1.4,  1/400 detik, ISO 100

Siapa saja yang cocok dengan Leica CL ini?

  • Fotografer yang menginginkan kamera yang ringkas dan berkualitas premium
  • Pengguna Leica D-Lux yang ingin kamera yang dapat memasang lensa super lebar, tele dan fix.
  • Pengguna Leica X dan X Vario yang ingin kamera yang kualitas gambar dan kinerja yang lebih bagus, juga bisa berganti lensa
  • Pengguna Leica M yang ingin kamera yang lebih ringkas, memiliki autofokus dan lensa zoom
  • Pengguna Leica S/SL yang ingin kamera yang lebih ringkas untuk travel dan sehari-hari.

Beberapa kesan dari Leica Ambassador Indonesia:

“Baru tes tiga hari, body solid, size pas ditangan, output file bagus banget, low light oke sampai ISO 6400. Memang pas untuk second body bagi yang punya Leica M, operasinya mudah banget.”

Rony Zakaria, photojournalist.

“Leica CL handy and ergonomic, bisa jadi kacang goreng buat orang yang mau kamera kecil dan bisa ganti-ganti lensa”

Ruben “Roe” Hardjanto, street photographer dan visual storyteller.

“Leica CL mirip mini SL, compact dan handy, tonenya oke, agak condong ke warm dibanding SL, meteringnya juga oke, kemampuan buat blur dengan lensa bukaan besar cakep juga.”

Tommy Siahaan, portrait & lifestyle photographer.

Leica CL, Leica 18-56mm, 38mm f/5, 1/40 detik, ISO 5000

Leica CL, 35mm f/1.4, f/1.4, ISO 100, 1/250 detik

Leica CL, 35mm f/1.4, f/1.4, ISO 400, 1/250 detik

Leica CL, 18-56mm, 18mm, f/7.1, 1/80 detik

 

Leica CL, 35mm f/1.4, ISO 1000, f/1.4, 1/250 detik

Leica CL + Voigtlander VM 10mm f/5.6 via Leica M to L adapter. ISO 6400, f/8, 1/250 detik

Kamera Leica CL memang bukan kamera dengan fitur yang tercanggih, tapi menurut saya adalah kamera bersensor APS-C yang paling enak digunakan saat ini, dilengkapi dengan kualitas gambar sangat baik langsung dari kamera. Kamera ini sangat cocok untuk fotografi sehari-hari dan traveling. Hanya membandingkan spesifikasi dan harga kamera saja tidak akan dapat memahami kualitas yang sesungguhnya dari kamera ini. Saya sarankan perlunya mencoba sendiri. Untuk ketersediaan unit demo, bisa menghubungi Leica Store Plaza Senayan, Jakarta, toko resmi Leica Indonesia di (021) 57906066.

Bagi yang tertarik memesan juga boleh lewat saya, Enche Tjin, Leica Ambassador Indonesia. Silahkan WA 0858 1318 3069 untuk harga dan ketersediaan kamera CL dan lensa ini.

Kamera Mirrorless & DSLR terbaik 2017 ala Infofotografi

$
0
0

Sudah merupakan tradisi Infofotografi mengumumkan kamera terbaik kamera digital mirrorless dan DSLR yang bisa ganti lensa. Di tahun ini kita mendapatkan banyak pilihan kamera mirrorless yang canggih untuk kebutuhan profesional, dan untuk amatir (hobi) dan pemula juga semakin praktis dan nyaman digunakan. Dapat dibilang tidak ada kamera baru yang jelek di tahun 2017 ini, tantangannya adalah memilih kamera yang sesuai dengan kebutuhan dan budget masing-masing 🙂

Kamera Mirrorless terbaik

Kelas Profesional: Sony A7R III

Setelah dua tahun Sony meluncurkan A7RII, Sony kembali menyempurnakan seri A7R di tahun 2017. Kami memilih kamera bersensor full frame 42MP ini karena kinerjanya yang cepat baik untuk autofokus dan foto berturut-turut. Kapasitas baterai juga ditingkatkan 2.2 kali dibanding kamera A7 generasi  ke-2. Meski mengunakan sensor 42.5MP yang sama dengan generasi sebelumnya, Sony mengklaim telah meningkatkan dynamic range foto menjadi 15 stop berkat pembaharuan processor dan modifikasi desain sensor. A7R III juga sangat fleksibel untuk berbagai ragam fotografi, dari produk, portrait, sampai sports dan wildlife. Harga Sony A7RIII Rp 46 juta. [Pembahasan Sony A7R III]

Kamera mirrorless Amatir / Semi-pro : Fuji X-T20

Bagi yang hobi foto dan menyukai kamera yang lumayan ringkas dengan fitur yang cukup lengkap untuk berbagai jenis fotografi, X-T20 bisa jadi andalan. Kamera ini bersensor APS-C 24MP X-Trans, dengan teknologi hybrid autofocus yang cukup baik untuk memotret subjek bergerak. Kualitas gambar di kondisi gelap juga cukup baik, punya jendela bidik dan layar LCD yang bisa ditekuk untuk memudahkan saat memotret low angle. Harga: Rp 13 juta

Kamera mirrorless pemula:  Canon M100

Kamera mirrorless yang compact dan mudah digunakan untuk pemula. Layar LCD nya bisa ditekuk ke depan untuk selfie atau vlog. EOS M100 ini punya sensor 24MP APS-C dengan Dual Pixel AF dan bisa merekam video full HD 60fps (slow motion). Sayangnya M100 tidak memiliki hotshoe untuk memasang flash atau external mic. Harga: Rp 8 juta [Pembahasan Canon M100]

Kamera DSLR terbaik

Kelas Profesional: Nikon D850

Nikon D850 menawarkan banyak peningkatan dibanding D800 dan D810 yang populer sebagai kamera DSLR profesional. Diantaranya bersensor full frame dengan resolusi 45.75MP, ISO 64-25600, foto berturut-turut 9 foto per detik dan jendela bidik optik terbesar saat ini. Ada beberapa fitur baru yang akan membantu fotografer saat bekerja di lapangan maupun studio, antara lain focus stacking (berguna untuk foto macro/still life, dan pemandangan), juga tombol-tombol kamera dapat menyala di kala gelap. Karena fiturnya komplit, D850 bisa digunakan profesional untuk berbagai jenis fotografi, baik studio maupun diluar ruangan. Harga Nikon D850: Rp 50 juta. [Pembahasan D850]

 

DSLR Amatir / Semi-pro

Untuk kamera DSLR amatir tahun ini kita memiliki pilihan Nikon D7500 dan Canon 6D mk II. Dari kedua kandidat yang ada, kami tidak memilih salah satu untuk menjadi kamera terbaik tahun ini, karena tidak memiliki peningkatan berarti dari kamera sebelumnya yaitu Nikon D7200 dan 6D.

Kamera DSLR Pemula: Canon 200D

Canon 200D adalah kamera DSLR paling ringkas dan fiturnya cukup lengkap untuk pemula untuk fotografi maupun videografi. EOS 200D sudah mendukung teknologi autofokus live view yang cepat untuk subjek bergerak. Sebagai kamera DSLR, 200D ini tentu didukung oleh aksesoris dan pilihan lensa yang lengkap, dengan ukuran kamera yang kecil untuk standar DSLR dan kemudahan pemakaian bagi pemula. Harga Canon 200D Rp 7.5 jt.

Honorable mention

Leica M10

Leica M10 yg diumumkan bulan Januari 2017 yang lalu merupakan kamera berjenis rangefinder mirrorless yang unik. Kamera yang seperti kamera film ini ternyata dilengkapi dengan teknologi digital yang modern dengan sensor full frame 24MP yang memiliki bahan material yang berkualitas tinggi dan sistem lensa yang berukuran ringkas. Harga Leica M10 Rp 105 jt.

[Pembahasan Leica M10]

Meski kamera-kamera dibawah ini tergolong terbaik, tapi memilih kamera yang paling tepat untuk masing-masing orang tentunya berbeda tergantung kebutuhan dan kebiasaan masing-masing, sebaiknya pelajari fitur-fitur dan spesifikasinya sebelum memutuskan untuk membeli.

Bagi yang membutuhkan kamera dan lensa atau ingin mengikuti kursus dan tour fotografi, silahkan hubungi kami via WA 0858 1318 3069. Terima kasih.


Leica Noctilux 75mm f/1.25 Hands-on Review

$
0
0

Dua bulan sebelum lensa Leica 75mm f/1.25 Noctilux diumumkan, saya dan beberapa teman pengguna Leica SL dan Leica M (Tommy Siahaan, Ruben, Robert Lie, Jusuf K.), diberikan kesempatan untuk mencoba lensa berbukaan sangat besar ini. Seperti biasa, saya memasang lensa ini ke Leica SL saya via adaptor. Bukaan lensa ini sangat besar, paling besar diantara lensa Leica yang berjarak fokus 75mm. Lensa ini juga merupakan lensa manual fokus (tidak bisa autofokus).

Karena bukaannya yang besar, Noctilux 75mm f/1.25 ini fisiknya sedikit lebih besar dari 50mm f/0.95 yaitu 9.1 x 7.4 cm, dengan berat 1.055kg. Lensa ini memiliki desain 9 elemen dalam 6 grup. Lensa ini bisa fokus cukup dekat dalam ukuran lensa telefoto, yaitu 85 cm.

Karena jendela bidik yang besar dan beresolusi tinggi (4.4 juta titik), tidak sulit bagi saya untuk manual fokus, sebagian besar foto fokus, sebagian kecil tidak fokus terutama saat modelnya bergerak cepat.

Yang mengagetkan bagi saya dan beberapa teman adalah peningkatan ketajaman lensa ini dibandingkan dengan lensa legendaris Leica 50mm f/0.95 Noctilux. Saya mencoba fokus ke bagian tengah, sampai sisi-sisi foto, bagian fokus masih terlihat sangat tajam. Sepertinya memang lensa ini dirancang siap untuk kamera digital full frame dengan resolusi yang lebih tinggi dari 24MP.

Lalu kita bergantian mencoba lensa ini dengan dibantu model cantik Violetta Koloskova supaya tidak sulit membuat foto yang menarik tentunya.. he he he.

Krop 100% dari foto diatas

Krop 100% dari foto atas

Lensa-lensa Leica biasanya dirancang untuk digunakan di bukaan terbesar, dan saat saya coba di bukaan terbesar (f/1.25), ketajaman lensa ini sudah sangat tinggi, sedangkan ruang tajamnya sangat tipis sehingga sangat ideal untuk foto portrait dengan latar belakang blur. Portrait photographer tentunya akan senang sekali mengunakan lensa yang harganya dibawah Rp200 juta ini. Secara keseluruhan, lensa ini memang keren untuk pengguna lensa Leica M dan SL.


Untuk memesan lensa ini, bisa melalui Infofotografi atau hubungi Leica Store Indonesia di Plaza Senayan, Jakarta.

Buklet PDF Panduan Setting kamera Fuji X-T20

$
0
0

Anda pengguna kamera mirrorless Fuji X-T20? Apakah pengaturan dan kustomisasi kamera anda terasa agak sedikit membingungkan? Kabar baiknya kini kami sudah menerbitkan buklet Buklet PDF Panduan Setting dan Kustomisasi kamera Fuji X-T20 sebanyak 40 halaman yang bisa anda miliki hanya dengan Rp. 50.000 saja.

Di buklet ini anda akan mendapatkan penjelasan mengenai :

  • pengaturan eksposur: roda untuk mode PASM, flash, tombol AE-L
  • pengaturan gambar: RAW, JPG, film simulation, dynamic range, White Balance
  • pengaturan fokus: AF, MF, AF kontinu, peaking, tombol AF-L
  • rekomendasi setting: umum, pemandangan, olahraga, video
  • kustomisasi tombol Fn1-Fn5, Custom 1-7, Quick menu, My menu


Tak lupa buklet ini seperti biasa juga disertai aneka tips praktis memotret yang bakal berguna untuk anda.

Untuk memesan buklet ini silahkan kontak ke 0858-1318-3069 atau email ke infofotogafi@gmail.com dan transfer ke rekening Enche Tjin BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780.

Review Canon M100 : Kamera mirrorless compact untuk pemula

$
0
0

Canon EOS M100 adalah kamera mirrorless compact yang ditujukan untuk penggemar fotografi pemula. M100 adalah penerus dari Canon EOS M10 dan peningkatannya telah di bahas di artikel Canon M100.

Sekilas dari fisiknya, Desain M100 tidak berbeda dengan M10, tapi ada beberapa peningkatan yang penting yaitu kualitas gambar yang telah ditingkatkan dari sensor 18MP ke 24MP. Kualitas processor juga sudah lebih cepat, yaitu dari DIGIC 6 ke DIGIC 7. Akibatnya, kualitas gambar yang dihasilkan kamera ini akan sama dengan kamera mirrorless dan DSLR Canon yang lebih tinggi harganya seperti Canon EOS M5 atau M6.

Peningkatan lain yang berarti adalah sistem autofokusnya telah mengunakan sistem dual pixel, sehingga kinerja autofokus sudah cepat, dan bisa mengikuti subjek yang bergerak dengan cukup baik untuk foto dan video. Sistem ini juga digunakan di Canon M5 dan M6. Bagi pengguna Canon EOS M1, 2, 3 dan M10 akan merasakan peningkatan kecepatan yang cukup signifikan.

Memotret dengan Canon M100 ini sangat sederhana bagi yang telah berpengalaman atau tidak sama sekali, karena sebagian besar kendali kamera melalui layar LCD sentuh. Bagi yang belum pernah belajar fotografi, mode otomatis akan sangat membantu. Bagi yang berpengalaman, tersedia mode manual, aperture priority, shutter priority dan program. Untuk fokus, pengguna bisa menyentuh layar di area yang ingin difokuskan. Layar LCD sentuh juga bisa dilipat ke atas untuk foto dari sudut rendah (low angle), tapi LCD ini tidak bisa ditekuk mengarah ke bawah untuk memotret dari sudut tinggi (high angle).

Meskipun kamera ini ditujukan ke pemula, ada beberapa fitur yang biasanya hanya ditemui di kamera DSLR Canon tingkat atas juga masih ada dalam kamera ini, yakni spot metering, dan WB Kelvin.

Yang membatasi kamera ini untuk keperluan profesional adalah tidak adanya hotshoe untuk memasang flash atau mic external, dan tidak ada opsi untuk memasang jendela bidik elektronik.

Pengalaman memotret dengan Canon EOS M100

Saya berkesempatan membawa kamera Canon M100 gray dan lensa Canon EF-S 22mm f/2 dalam trip India dan saya coba dalam berbagai kondisi baik kondisi terang maupun gelap. Kualitas sangat baik di kondisi terang, dan warna hasil foto saturasinya cukup tinggi. Karena bukaan lensa cukup besar, kombinasi kamera dan lensa ini mampu membuat latar belakang blur, memberikan efek tiga dimensi.

ISO 200, f/5.6, 1/2000 detik, Canon M100, Canon 22mm f/2.

Kualitas gambar di kondisi gelap cukup baik, saya tidak ragu untuk mengunakan ISO 1600, bahkan 3200 dalam kondisi yang sangat gelap.

ISO 2500, f/2, 1/160 detik, Canon M100, Canon 22mm f/2.

ISO 200, f/3.5, 1/500 detik, Canon EOS M100, Canon 22mm f/2.

ISO 200, f/5.6, 1/500 detik, Canon M100, Canon 22mm f/2.

ISO 3200, f/2, 1/250 detik, Canon EOS M100, Canon 22mm f/2.

Adapun kelemahan kamera ini adalah suara shutter saat menjepret yang cukup keras, dan ada sedikit jeda / lag untuk dibanding kamera yang lebih canggih. Untuk foto subjek bergerak, saya harus mengantisipasinya dengan menekan lebih cepat atau memotret berturut-turut dengan continuous shooting. Selain itu, bahan material kamera sebagian besar dari plastik. Pilihan lensa juga cukup terbatas terutama lensa fix, meskipun demikian kamera mirorrless ini bisa mengunakan lensa DSLR Canon dengan mengunakan adaptor.

Kelebihan Canon M100

  • Ukuran ringkas, ringan
  • Mudah digunakan terutama dengan layar touchscreen & wifi
  • Kualitas gambar setara kamera DSLR atau mirrorless Canon keluaran 2016-2017
  • Ada pengaturan yang biasanya hanya
  • direserve untuk kamera Canon yang canggih, seperti spot metering dan WB Kelvin

Kelemahan Canon M100

  • Bahan material kamera sebagian besar dari plastik
  • Suara shutter agak keras, tidak ada pilihan electronic shutter yang senyap
  • Ada sedikit lag saat memotret (sekitar 0.1 detik)
  • Tidak memiliki hotshoe

Kesimpulan

Canon M100 adalah kamera mirrorless pemula yang ringkas mudah digunakan dan secara umum menghasilkan kualitas gambar yang baik. Cocok untuk pemula yang mencari kamera yang ringkas terjangkau dan compact untuk jalan-jalan santai, tapi tidak cocok untuk penggemar fotografi serius dan profesional karena tidak memiliki hotshoe dan kinerjanya sedikit pelan.


Jangan lupa ikuti kursus dan workshop foto Infofotografi.

Tour fotografi India : Amritsar (Punjab) & Dharamsala 11 – 17 April 2018

$
0
0

Setelah sukses mengadakan trip foto ke India akhir 2017 ini, saya ingin mengajak teman-teman alumni dan pembaca Infofotografi untuk bergabung bersama saya untuk ke India kembali April 2018. Kali ini, kita akan berkunjung ke daerah Punjab yang berada di sebelah utara India.  Disini, kita akan melihat festival panen dimana orang-orang akan berpakaian tradisional dan mengunjungi Golden Temple, kuil paling terkenal dan indah se-India.

Selain itu, kita akan juga mengunjungi kota Dharamsala, sebuah kota pengasingan Dalai Lama dari Tibet, dan memiliki pemandangan pegunungan Himalaya di latar belakangnya. Trip foto ini cocok bagi yang menggemari fotografi human interest, street, budaya, portrait, dan arsitektur.

Itinerary
Hari ke-1 (11 April 2018)
Siang hari berangkat ke airport

Hari ke-2 (12 April 2018)
Pagi pagi tiba di Amritsar, check-in dan istirahat, setelah makan siang, kita akan mengunjungi Golden Temple sampai matahari terbenam.

Hari ke-3 :(13 April 2018)
Menjelajahi Amritsar, memotret festival Baisakhi.

Hari ke-4 :(14 April 2018)
Setelah sarapan, berangkat menuju kota Dharamsala, sore harinya mengunjungi gereja tua St. John Church dan pasar rakyat.

Hari ke-5 (15 April 2018)
Mengunjungi kuil Tsuglagkhang, kuil tempat tinggal Dalai Lama, sorenya menuju sunset point untuk memotret matahari terbenam.

Hari ke-6 (16 April 2018)
Memotret sunrise, dan kemudian menuju perbatasan India – Pakistan untuk menonton upacara.

Hari ke-7 (17 April 2018 )
Pagi-pagi sekali menuju airport untuk kembali ke tanah air.

Biaya tour: USD 875

Biaya single suplemen USD 290

Maksimum peserta: 8 orang

Biaya tur termasuk

  • Akomodasi hotel setara 4 bintang
  • Transportasi selama tur (tourist bus AC)
  • Tiket masuk tempat wisata
  • Botol air mineral setiap hari
  • Jasa pemandu lokal
  • Bimbingan fotografi oleh Enche Tjin jika membutuhkan

Biaya tur tidak termasuk

  • Tiket pesawat pp kurang lebih Rp 6 jutaan
  • Biaya belanja pribadi
  • Tips supir, pemandu dll
  • Minuman ringan di rumah makan

Untuk informasi pendaftaran, silahkan hubungi Iesan, 0858 1318 3069, infofotografi@gmail.com

Workshop Komposisi fotografi: Pasar lama Tangerang + Pabrik Dodol

$
0
0

Halo, teman-teman Infofotografi. hari Minggu, tanggal 27 Januari 2018, kita akan berlatih komposisi fotografi di area pasar lama Tangerang yang unik karena gang-gang sempitnya dan adanya bangunan-bangunan kuno bersejarah di kawasan ini. Ditengah pasar terletak salah satu kelenteng tertua di Banten. Dari pasar lama Tangerang, grup akan menuju pabrik pembuatan dodol dan kue keranjang yang dibuat secara tradisional. Mendekati imlek, pembuatan dodol dan kue keranjang meningkat pesat dan menarik untuk dipotret. Workshop ini akan dipandu oleh Wira Siahaan, fotografer lifestyle profesional dan Enche Tjin, pengasuh Infofotografi.com.

Acara akan dilangsungkan pukul 06.30 sampai 12.30 WIB, dimana peserta akan diberikan tugas untuk memotret lima jenis komposisi, dilanjutkan dengan bahas foto dan evaluasi di Infofotografi (Greenlake City) sambil makan siang. Workshop ini sangat cocok bagi pemula yang ingin meningkatkan kualitas foto terutama pada aspek artistik. Terbuka untuk pengguna kamera apa saja, dari kamera compact, mirrorless, atau DSLR.

Workshop ini dibatasi 8 orang saja dengan biaya Rp 450.000,- * per orang.

Bagi yang berminat, silahkan layangkan pesan ke Iesan, 0858 1318 3069, atau e-mail: infofotografi@gmail.com

*Biaya sudah termasuk makan siang

Biografi singkat mentor workshop ini:
Wira Siahaan adalah seorang fotografer full time sejak tahun 2013 dimana sebelumnya berkarir sebagai musisi selama lebih dari 10 tahun. Bersama beberapa teman fotografer, Wira membentuk grup foto WaiWii dan juga Oro Photo yang berfokus pada lifestyle dan interior photography. Selain menjadi seorang fotografer, Wira juga mengelola blog miliknya sendiri, Cerita Wira, yang berfokus pada cerita cerita travel, kehidupan sehari-hari, dan juga tutorial fotografi.

Wira juga sempat beberapa kali mengikuti perlombaan foto dan mendapatkan penghargaan, yaitu Grand Prize Winner, 2014, The International Foundation for Electoral Systems (IFES) Photography Contest dan juga Honorary Mention Price, 2015, Jeju 7th UNESCO International Photo Competition. Sejak tahun 2015, Wira aktif di komunitas fotografi Fujifilm, Fuji Guys Indonesia.

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live