Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Pengalaman dengan Panasonic Lumix G9 di Trip Tibet

$
0
0

Awal mendengar akan diadakan trip Tibet ini, saya sama sekali tidak antusias. Bagaimana tidak? Baru posting diadakan trip ini, Enche (ig @enchetjin) sudah menerima telpon dari beberapa teman dengan saran untuk lebih berhati-hati membawa trip ini, berhubung tempatnya berada di ketinggian yang dapat mengakibatkan ACM (Acute Mountain Sickness). Terima kasih atas perhatiannya, atas masukan-masukan inilah, Enche kemudian sedikit merevisi itinerary trip untuk aklimatisasi yang lebih maksimal.

Seperti biasa, sebelum perjalanan, saya dan Enche selalu diskusi mengenai gear yang akan dibawa. Kebetulan saat ini saya masih mendapat pinjaman kamera Lumix G9 dengan lensa Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm f/2.8-4 ASPH. Berat keseluruhan kurang lebih 1 kg saja. Dipadu dengan tas backpack Kata DL-467, saya sudah merasa nyaman dan tidak keberatan. Sekilas meskipun tas itu terlihat besar, namun berfungsi juga sebagai kantong Doraemonku (untuk keperluan menampung passport para peserta, tiket/surat/Tibet permit, minuman, makanan ringan dan obat-obatan darurat).

Saya sempat meragukan kamera bersensor kecil (micro four-thirds) ini namun setelah mempertimbangkan warnanya (natural), bobot (lebih ringan dibanding dengan sensor APS-C dan fullframe), lensa (ringkas dan kecil) saya pun menetapkan pilihan saya ini dengan mantap. Lengkapnya bisa dibaca di sini.

Dalam praktiknya, saya merasa cukup beruntung karena tidak perlu ribet dengan urusan ganti-mengganti lensa. Fokusnya hanya satu (kamera dan lensa yang ada di tangan). Saat kamera sudah dikeluarkan dari tas, otomatis bobot belakang tentunya sudah berkurang sehingga bahu yang menopang tas punggung sama sekali tidak mendapatkan beban yang berarti.

Saya sendiri termasuk tipe yang tidak begitu sering foto kalau lagi bawa trip jadi untuk tipe seperti saya ini cukup 1 kartu memori 64GB dan dua hari sekali saya baru mengecharge 1 baterai. Total jepretan 2220 foto (rata rata 185 foto per hari).

Mengenai hasil fotonya, saya cukup puas. Warnanya natural. Saya tidak perlu menghabiskan banyak waktu di editingnya (koreksi exposure, kontras dan ketajaman apabila diperlukan).

Warna primer dan sekunder yang tampak alami seperti apa adanya di lapangan

Performa terhadap dingin di suhu minus 5 pada saat keadaan bersalju, kamera ini juga masih tetap dapat digunakan tanpa kendala.

Ikutan foto pasangan yang sedang prewed di Namtso

Setibanya di tanah air dan menghabiskan waktu dua hari penuh untuk memilih foto, akhirnya saya dapat membuat kumpulan foto tersebut dalam satu album. Cukup mengejutkan karena di trip sebelumnya, saya tidak pernah membuat photobook. Hasilnya saya sharing di link ini, semoga teman-teman dapat terinspirasi untuk mengumpulkan foto-foto dan membuat photobook dalam perjalanannya. Foto yang ada di dalam album tersebut semuanya dibuat dengan menggunakan kamera Panasonic G9 (kecuali sebagian besar foto di bab foto teman dan foto yang ada saya di dalamnya difoto oleh Enche).

Saya rasa dengan membawa hanya satu kamera dan lensa, saya bisa lebih fokus untuk memaksimalkan gear yang dibawa tanpa harus berpikir panjang untuk memutuskan menggunakan kamera atau lensa yang mana pada situasi tertentu. Selain itu, beban yang ringan membuat saya tidak perlu menderita sakit punggung ataupun kelelahan membopong barang bawaan.

Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengunjungi negeri atap dunia dan terima kasih kepada semua peserta yang tetap fit sampai tur berakhir. Karena keunikan tempat dan keindahan pemandangannya, kami memutuskan untuk kembali mengunjungi Tibet di bulan November ini dengan pemandangan di musim gugur dengan beberapa spot yang berbeda. Bagi yang berminat mengikuti trip ini, bisa menghubungi saya di email infofotografi@gmail.com atau di 0858 1318 3069.


Memilih kamera full frame Sony: Perlukah upgrade ke A7RIII?

$
0
0

Belakangan teman-teman yang telah memiliki Sony A7R II dan A7 II sering menanyakan kesaya apakah lebih baik memilih Sony A7R III atau A7III sebagai kamera kedua (backup) atau upgrade.

Menurut saya, Sony A7R II untuk kebutuhan hobi foto sebenarnya kualitasnya sudah sangat baik (42MP, tanpa low pass filter dan full frame), secara kualitas foto mirip dengan A7R III yang baru, mungkin cuma sedikit perbedaan saja tentang kualitas warna untuk skintone.  Untuk foto pemandangan sepertinya hasilnya akan mirip.

Kiri: Sony A7R II, Kanan Sony A7R III. Tombol dan dial lebih besar dan enak ditekan, ada joystick yang membantu untuk memilih area fokus dan navigasi.

Yang paling menonjol peningkatannya dari A7R II ke A7RIII adalah kapasitas baterainya yang jauh lebih kuat. Jika yang A7R II cuma di rate 290 foto/ charge, A7R III bisa sampai 1840 / charge, mengesankan bukan? Selain itu, kinerja kamera, terutama autofokus lebih bagus dan cepat untuk subjek bergerak. Continuous shooting dari 5 menjadi 10 foto per detik.

Tapi apakah dengan menjual A7R II yang kini harga bekasnya sekitar 20-an juta, dan nambah 25 juta lagi kira-kira untuk beli A7R III worth it? Saya pikir tergantung kameranya dipakainya buat apa? Kalau buat kerja/pro mungkin pantas(worth it), karena kapasitas baterai dan kinerjanya lebih mantap.

Bagaimana dengan A7III ? A7III juga bagus jika tidak perlu resolusi besar (24MP dengan Anti alias filter) dan perlu kamera bisa merekam video 4K yang bagus. Fotografer dokumenter (liputan, travel, wedding) mungkin akan senang sekali karena “nafasnya” jadi panjang, ergonomi desain kamera juga sudah lebih enak dipakai karena layarnya touchscreen dan didukung dengan joystick. Tapi kalau untuk kualitas gambarnya Sony A7R II lebih unggul secara teknis. Fotografer landscape lebih bagus tetap pakai A7RII daripada A7III.

Tapi kalau untuk hobi saja, seperti fotografi jalan-jalan dan landscape biasa (bukan ekstrim) mungkin gak terlalu pengaruh.

Jadi saran saya sih, kalau mau dapat peningkatan kualitas gambar, mungkin yang sudah punya Sony A7RII lebih baik nunggu yang generasi berikutnya (A7R IV). Tapi kalau dari seri A7 sebelumnya seperti A7R, A7 II mau ke A7R III akan menikmati banyak peningkatan, tapi masalahnya ya memang harga yang mesti dikeluarkan cukup signifikan karena harga Sony A7R III yang baru saat ini masih Rp 46 juta, belum lensa.

Jadi posisi teman-teman yang memiliki A7R II saat ini memang agak serba salah karena perlu keluarin uang yang cukup banyak untuk upgrade ke A7R III. Tapi ini kembali ke masing-masing fotografer. Apa yang dipentingkan setiap orang mungkin berbeda. Semoga membantu 🙂


Punya kamera Sony tapi bingung setting kamera dan autofokusnya? Panduan e-book Infofotografi ini mungkin akan membantu.

Weekend Photo Workshop : Yadnya Kasada Festival Bromo dengan Rony Zakaria

$
0
0

Halo pembaca & alumni Infofotografi. Kali ini kita kedatangan fotografer Rony Zakaria (Professional Photojournalist International & Leica M10 Ambassador Indonesia) akan mengajak kita ke Bromo untuk menyaksikan dan memotret Yadnya Kasada festival yang bertempat di kawasan Bromo.

Dalam kesempatan ini, Rony dan Enche akan membimbing peserta untuk mendapatkan hasil foto yang bercerita. Supaya lebih mendalam dalam pembahasan, jumlah peserta dibatasi 8 orang saja.

Workshop ini adalah sebagai berikut:

Jum’at, 29 Juni 2018

  • Tiba atau berkumpul di bandara Juanda, Sidoarjo, Surabaya, Jawa Timur pk. 09.00 WIB
  • Berangkat ke desa Ngadisari, Bromo
  • Check-in Villa
  • Pembekalan basic photo story
  • Apa saja yang perlu diperhatikan untuk foto di festival ini
  • Memotret sunset
  • Makan malam
  • Istirahat

Sabtu, 30 Juni 2018

  • Dini hari berangkat ke area Pura Agung Poten
  • Mengikuti dan memotret aktivitas di dalam pura agung, diantaranya inagurasi dukun baru, aktivitas penduduk sekitar dan pasar malam
  • Puncak acara yaitu persembahan dibawa dari pura ke kawah gunung bromo
  • Memotret orang suku Tengger melempar sesaji di pinggir kawah gunung
  • Memotret aktivitas di sekitar kawah dan gunung
  • Setelah selesai memotret sunrise dan acara ritual, kembali ke penginapan untuk sarapan dan istirahat
  • Makan siang
  • Review foto dan editing (memilih foto) masing-masing peserta

Minggu, 1 Juli 2018

  • Motret sunrise di Pananjakan
  • Motret sekitar Pura, Savanna, pasir berbisik
  • Balik ke penginapan untuk sarapan
  • Final review and editing
  • Check out dan menuju ke Bandara Juanda.

Biaya trip & workshop ini Rp 3.200.000,-

Biaya telah termasuk:

  • Penginapan twin sharing sekamar, jika ingin sekamar, ada biaya tambahan dan tergantung ketersediaan
  • Transportasi dari Surabaya ke Bromo dan Jeep di Bromo
  • Tiket masuk taman nasional
  • Bimbingan photo story dan photo editing oleh Rony Zakaria
  • Bimbingan teknik fotografi oleh Enche Tjin

Biaya belum termasuk:

  • Makan siang dan makan malam
  • Tiket Pesawat atau transportasi ke Surabaya

Untuk mendaftar, silahkan hubungi Iesan Liang di WA 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Javanese people from the surrounding villages in East Java came and camped at the Mt. Bromo crater to try catching and collecting offerings that are thrown by the Tengger tribe using self-made nets during the Yadnya Kasada festival. During the festival, Tenggerese people seek blessing from the main deity Hyang Widi Wasa by offering rice, fruit, livestock and other local produce and throwing them to the crater.

*Karya fotografi diatas oleh Rony Zakaria.

Mengapa Panasonic dan Olympus tidak membuat kamera full frame?

$
0
0

Panasonic G9 dan lensa Leica 12-60mm f/2.8-4

Ada pertanyaan yang cukup menarik di topik sharing Iesan saat mengunakan kamera Panasonic G9 di Tibet. Pertanyaannya adalah “Mengapa Panasonic dan Olympus tidak membuat kamera full frame?” Karena saya tidak bekerja untuk Panasonic dan Olympus tentunya saya juga tidak tau mengapa haha.. Tapi dari wawancara yang saya baca, Panasonic dan Olympus sepertinya memiliki keyakinan bahwa sensor four thirds ini memiliki masa depan yang baik, karena masih bisa ditingkatkan lagi dan bahkan beberapa kameranya yang baru (G9, GH5S) tidak kalah dengan sensor yang lebih besar. Contohnya Panasonic GH5S yang baru dikeluarkan ternyata performa low light-nya lebih bagus dari sebagian besar kamera full frame saat merekam video dengan ISO yang sangat tinggi (10.000-50,000).

Selain itu, jika Panasonic dan Olympus memutuskan untuk membuat kamera full frame, mereka perlu mengeluarkan dana yang sangat besar, dan mulai dari awal untuk membuat lensa-lensa baru yang tentunya akan sulit bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang sudah membuat sistem full frame puluhan tahun yaitu Canon, Nikon dan Sony.

Kami di Infofotografi berkesempatan mencoba beberapa kamera Panasonic beberapa bulan terakhir ini dan cukup terkesan dengan hasil foto generasi terbaru sensor dan processor Panasonic G9, GX9, karena berbagai faktor, pertama adalah handling/desainnya yang enak digunakan, hasil foto yang tajam dan detail, tidak kalah dengan hasil kamera full frame. Bisa dibilang sensor G9/GX9 dan processor barunya menghasilkan ketajaman, dan warna  yang melebihi kamera full frame generasi lalu seperti Canon 5D III, Sony A7, atau Nikon D610. Untuk dynamic range-nya saat ini sudah mirip dengan kamera bersensor APS-C.

Krop 100% dari foto diatas – ISO 200, f/6.3, 1/160 detik – flash + oktabox

Krop 100% dari foto diatas: ISO 200, f/8, 1/160 detik. Panasonic G9. 42.5mm f/1.2. Flash + oktabox

Untuk ISO tinggi, kualitas kamera micro four thirds memang belum menyamai kamera full frame jaman sekarang. Maka itu saat memotret di kondisi gelap, pilihan lensa harus lebih berhati-hati, saran saya adalah mengunakan lensa-lensa micro four thirds dengan bukaan f/1.7 atau f/1.4 dan f/1.2. Stabilizer yang kuat di body/lensa juga akan membantu.

Olympus OM-D EM I mk-II dan Olympus 17mm f/1.2

Maka itu, untuk travel, saya pikir sudah sangat bagus digunakan, terutama jika perlu lensa telefoto yang panjang (rentang full frame equiv. 70-400mm). Mengunakan lensa telefoto full frame untuk travel yang membutuhkan banyak jalan tentu akan sangat melelahkan. Untuk landscaper yang membutuhkan dynamic range yang super, long exposure sampai puluhan atau bahkan bermenit-menit, kamera sensor full frame masih lebih baik, tapi jika landscaper yang perlu hiking/trekking jauh, dan ingin membawa beberapa lensa (lebar, menengah, tele), dan tidak memiliki porter, sistem micro four thirds lebih ideal, karena berat totalnya 1/2-1/4 kalinya saja, misalnya kalau sistem full frame total berat sekitar 4-6 kg, micro four thirds cukup 1.5-2 kg.

Jadi menjawab pertanyaan awal: Sepertinya Panasonic dan Olympus tidak akan membuat kamera full frame atau APS-C dalam waktu dekat karena generasi sensor dan processor micro four thirds terakhir ini semakin bagus dan juga sudah ditunjang dengan berbagai lensa-lensa profesional yang baru dan keren-keren, contohnya Panasonic Leica 8-18mm, 12-60mm, 50-200mm, 200mm f/2.8, dan Olympus 17mm f/1.2 dan 45mm f/1.2.


Infofotografi aktif membuat kursus dan tour untuk pencinta fotografi. Silahkan periksa jadwal kami untuk informasi selengkapnya.

Sharing & Gathering : kiat memotret cityscape bersama Rohani Tanasal

$
0
0

Dalam bulan Ramadhan ini, Infofotografi akan kedatangan fotografer senior yaitu Rohani Tanasal, yang akan berbagi pengalamannya kepada kita dalam acara Sharing & Gathering Infofotorafi, sambil buka puasa bersama.

Salah satu jenis fotografi yang paling disukainya adalah cityscape, dan beliau sudah memotret di banyak gedung baik di Jakarta maupun kota besar dunia lainnya seperti Dubai.

Di acara sharing & gathering ini, Rohani akan berbagi tentang kiat-kiat dalam memotret cityscape seperti memahami waktu blue hour untuk hasil foto terbaik, mempersiapkan alat (kamera, lensa dan pendukung lainnya), memahami setting teknis (mode kamera, WB, fokus), hingga tata tertib memotret di atap gedung serta teknik stiching.

Acara akan diadakan pada:

  • Hari/Tanggal : Sabtu, 9 Juni 2018
  • Waktu : 15.00 s/d 18.00 WIB
  • Tempat : Infofotografi, Rukan Sentra Niaga Blok N-05, Green Lake City, Duri Kosambi Jakarta Barat

Biaya pendaftaran: Rp 100.000 /orang
Terbuka untuk umum, tempat terbatas (30 peserta) saja.

Biaya sudah termasuk konsumsi buka puasa/makan malam bersama.

Pembayaran dapat ditransfer ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780 Kalau sudah transfer tolong konfirmasi ke 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com. Terima kasih atas partisipasinya, selamat berpuasa..

Kamera mirrorless Fuji X-T100 diluncurkan seharga $600

$
0
0

Hari ini, seperti yang sudah ramai dirumorkan sebelumnya, FujiFilm memperkenalkan seri terbawah dari kamera seri XT yaitu Fuji X-T100. Tidak tanggung-tanggung, desain kamera seharga $600 (bodi saja) ini masih mirp dengan Fuji X-T20 meski sebetulnya ‘jeroan’nya adalah sama dengan kamera Fuji basic X-A5. Meski X-A5 termasuk basic, tapi dia sudah mengadopsi sensor 24 MP, 91 titik phase detect AF, 4K video (meski cuma 15 fps), WiFi dan layar sentuh. Semua hal baik ini dimasukkan dalam bodi baru yang masih mencirikan seri XT dengan desain retro, jendela bidik, layar LCD lipat dan desain yang keren.

Hal yang menarik di Fuji X-T100 adalah sensor 24 MP ini tidak memakai X-Trans tapi Bayer yang ‘normal’ seperti kamera lain (dan tanpa low pass filter), sehingga lebih mudah saat di edit RAW-nya. Selama ini mereka yang ingin memakai kamera Fuji dengan sensor ‘normal’ dipaksa beli seri XA saja yang tidak ada jendela bidiknya. Kemudian desain roda shutter speed yang membingungkan untuk sebagian pengguna juga dihilangkan, diganti dengan desain normal mode dial PASM biasa. Juga layar LCD-nya yang sistem lipat atas bawah ini juga bisa diputar ke depan menjadi bonus sendiri karena lebih enak buat foto berbagai angle dan vlog hingga selfie. Baterai juga termasuk awet dengan 430 foto tiap pengisian.

Dibanding X-T20 yang lebih mahal, kekurangan X-T100 dari sisi desain adalah tidak adanya grip atau tonjolan untuk digenggam, mengindikasikan kamera ini lebih banyak ditujukan untuk pengguna lensa kecil. Kemudian tidak banyak disediakan tombol khusus, misalnya AEL-AFL dihilangkan supaya ringkas dan tidak ada tuas mode AF-S AF-C MF di depan. Dari sisi kinerja memang ada penurunan untuk membedakan dengan X-T20 yaitu di X-T100 hanya bisa menembak 6 foto per detik saja. Tapi dari sisi fungsional masih menyediakan banyak pengaturan penting seperti roda untuk ganti setting, tombol akses ke AF, WB, Drive dan satu Fn yang bisa dikustomisasi. Juga tetap tersedia electronic shutter, ada flash hot shoe dan ada built-in flash.

Dari sini Fuji terlihat jelas ingin bersaing dengan Canon EOS M50 di segmen mirrorless basic dengan jendela bidik, yang diharap bisa mengajak pengguna DSLR pemula untuk pindah ke mirrorless. Sebuah upaya yang patut diperhitungkan oleh kompetitor sesama mirrorless apalagi dari kubu DSLR.


Ikuti Kupas Tuntas Kamera Digital untuk belajar memaksimalkan setiap fitur di kamera anda. Info 0858-1318-3069.

Sensor biasa vs sensor X-Trans Fuji, tinjau plus minusnya secara teknis

$
0
0

Selama ini kita kerap dibingungkan dengan jargon di kamera digital khususnya Fuji yang mengklaim sensornya berbeda, yaitu X-Trans sensor (misal di X-T20, X-T2 dsb) dan seolah lebih unggul dari kamera lain. Benarkah demikian? Saya akan mengulasnya untuk anda melalui artikel kali ini, selamat membaca.

Bagaimana kamera ‘menangkap’ warna

Warna RGBKamera menangkap warna warni di alam dengan cara menggabung tiga warna dasar yaitu merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue) dan hebatnya pencampuran dari tiga warna ini bisa menghasilkan bermacam warna lainnya. Di era fotografi film, pada sebuah roll film terdapat tiga lapis emulsi yang peka terhadap warna merah hijau dan biru. Di era digital, sensor kamera mengandalkan filter warna RGB yang cara kerjanya sebetulnya cukup simpel (atau rumit, tergantung bagaimana anda menyikapi ini). Bila seberkas cahaya polikromatik (multi warna) melalui filter merah, maka warna apapun selain warna merah tidak bisa lolos melewati filter itu. Dengan begitu piksel yang diberi filter merah hanya akan menghasilkan warna merah saja, demikian juga dengan piksel lainnya yang diberi filter hijau dan biru. Artinya setiap piksel hanya menghasilkan satu warna saja antara merah, hijau atau biru yang tersusun dalam sebuah matrix warna yang berulang. Diperlukan komputer di kamera untuk ‘menterjemahkan’ warna sesungguhnya dari kombinasi RGB yang dihasilkan sensor kamera tersebut. Hal yang sama kita bisa jumpai juga di layar LCD seperti komputer atau ponsel yang tersusun dari piksel RGB.

Proses image capture

Bayer CFA

Sesuai nama penemunya yaitu Bryce Bayer, seorang  ilmuwan dari Kodak pertama kali memperkenalkan teknik ini di tahun 1970. Sensor dengan desain Bayer Color Filter Array (CFA) termasuk sensor paling banyak dipakai di kamera digital hingga saat ini. Keuntungan desain sensor Bayer adalah desain mosaik filter warna yang simpel cukup satu lapis, namun sudah mencakup tiga elemen warna dasar yaitu RGB (lihat ilustrasi di atas). Kerugiannya adalah setiap satu piksel pada dasarnya hanya ‘melihat’ satu warna, maka untuk bisa menampilkan warna yang sebenarnya perlu dilakukan teknik color sampling dengan perhitungan rumit berupa interpolasi (demosaicing). Perhatikan ilustrasi mosaik piksel di bawah ini, ternyata filter warna hijau punya jumlah yang lebih banyak dibanding warna merah dan biru. Hal ini dibuat mengikuti sifat mata manusia yang lebih peka terhadap warna hijau.

Bayer_pattern_on_sensor_profile

Kekurangan sensor Bayer yang paling disayangkan adalah hasil foto yang didapat dengan cara interpolasi tidak bisa menampilkan warna sebaik aslinya. Selain itu kerap terjadi moire pada saat sensor menangkap pola garis yang rapat seperti motif di kemeja atau pada bangunan. Cara termudah mengurangi moire adalah dengan memasang filter low pass yang bersifat anti aliasing, yang membuat ketajaman foto sedikit menurun.

Sensor X Trans

Sensor dengan nama X Trans dikembangkan secara eksklusif oleh Fujifilm, dan digunakan pada beberapa kamera Fuji seperti X-E2, X-T20 dan X-T2. Sebenarnya desain filter warna di sensor X Trans merupakan pengembangan dari desain Bayer yang punya kesamaan bahwa setiap piksel hanya bisa melihat satu warna. Bedanya, Fuji menata ulang susunan filter warna RGB-nya. Bila pada desain Bayer kita menemui dua piksel hijau, satu merah dan satu biru pada sebuah matrix 2×2, maka di sensor X Trans kita akan menemui pola matrix 6×6 yang berulang. Artinya dalam satu matrix 2×2 di sensor Bayer didapatkan satu piksel merah, dua piksel hijau dan satu piksel biru. Sedangkan di matrix X-Trans 3×3 didapat dua piksel merah, lima piksel hijau dan dua piksel biru.

Nama X trans sepertinya diambil dari susunan piksel hijau dalam grid 6×6 yang membentuk huruf X seperti contoh di bawah ini.

X Trans

Fuji mengklaim beberapa keunggulan desain X Trans seperti :

  • tidak perlu filter low pass, karena desain pikselnya sudah aman dari moire
  • terhindar dari false colour, karena setiap baris piksel punya semua elemen warna RGB
  • tata letak filter warna yang agak acak memberi kesan grain layaknya film

Sepintas kita bisa setuju kalau desain X Trans lebih baik daripada Bayer, namun ada beberapa hal yang masih jadi kendala dari desain X Trans ini, yaitu hampir tidak mungkin Fuji akan memberikan lisensi X Trans ke produsen kamera lain (artinya hanya pemilik kamera Fuji tipe tertentu yang bisa menikmati sensor ini). Kendala lain adalah sulitnya dukungan aplikasi editing untuk bisa membaca file RAW dari sensor X Trans ini. Program editing foto seperti Lightroom akan lebih ‘ramah’ pada sensor mayoritas seperti Bayer karena kesamaan desainnya tidak peduli apapun merk kameranya. Jadi pemakai X-Trans akan lebih disarankan pakai JPG saja, atau kalaupun pakai RAW ya perlu usaha ekstra untuk editing khususnya mendapat akurasi warna yang diinginkan.

Lalu, bagaimana kesimpulannya?

Fuji mungkin menyadari juga kalau tidak semua orang suka dengan warna yang dihasilkan sensor X-Trans, maka dia menjual kamera dengan sensor ‘biasa’ seperti X-A5 dan baru ini dirilis adalah X-T100. Kabarnya dengan resolusi 24 MP, sensor ‘biasa’ pun sudah tidak perlu low pass filter sudah cukup aman dari moire, yang artinya keunggulan X-Trans yang membanggakan tanpa low pass filter jadi tidak terlalu signifikan. Lalu kemudahan editing juga menjadi alasan banyak orang menghindari kamera dengan X-Trans, bahkan saat Fuji X-T100 dirilis banyak juga antusiasme fotografer yang senang saat menyadari kalau sensor X-T100 ‘turun kelas’ jadi sensor Bayer yang dianggap ‘biasa’. Nah buat anda yang sudah menyukai warna dari X-Trans ya tentunya perlu terus bertahan di kamera Fuji X tipe tertentu yang umumnya kelas atas, dan berharap Fuji terus bertahan dengan desain X-Trans di masa depan, sambil menunggu dukungan yang lebih baik untuk pengolahan RAW X-Trans dari Lightroom dan semacamnya.


Ikuti kursus dan tour fotografi untuk menambah wawasan dan karya foto anda. Info selengkapnya disini.

Berat kamera dan lensa berapa yang ideal?

$
0
0

Dalam beberapa tahun terakhir, berat kamera dan lensa menjadi suatu faktor yang sangat menentukan bagi pembeli kamera baru.. Ya, termasuk saya juga. Tapi sepuluh tahun lalu saya tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Saat pertama kali membeli kamera DSLR yaitu Canon 40D (berat 822 gram) dengan lensa Canon EF 28-135mm f/3.5-5.6 IS USM (540 gram).  Saat mencari informasi kamera tersebut, saya tidak berusaha mencari tau beratnya, yang penting sesuai kebutuhan saja sudah oke.

Dua tahun setelahnya, karena saya mendapatkan pekerjaan yang cukup rutin dan memiliki sedikit rezeki tambahan, saya membeli kamera baru yaitu Nikon D700. Berat kameranya 1095 gram. Lensa-lensa yang saya gunakan juga tidak ringan, diantaranya Sigma 24-70mm f/2.8 dan 70-200mm f/2.8 masing-masing 790 gram dan 1430 gram.

Saya juga punya cadangan kamera Nikon D90 (850 gram). Wah berat juga kalau dipikir saat itu. Tapi memang tuntutan kerjaan saat itu dan alat yang paling bisa diandalkan ya set-up seperti itu. Saat ini mungkin masih banyak fotografer liputan profesional yang mengunakan set-up serupa.

Mulai dari 2012, saya sudah jarang kerja di bidang fotografi profesional, karena saya sudah fokus full time ke Infofotografi (menulis, mengajar, review dan mengadakan trip), maka saya sangat tertarik saat Nikon meluncurkan D600, karena secara fisik, dan berat, kamera ini lebih kecil dari D700. Beratnya mirip 40D yaitu hanya 850 gram dengan baterai.

Dari 2014-2017 kamera-kamera mirrorless mulai muncul, saya juga mencoba beberapa merk dan type kamera, yang rata-rata beratnya sekitar 400-600 gram. Lalu di pertengahan tahun 2016, saya berjodoh dengan kamera Leica SL yang beratnya hampir sama dengan kamera awal saya, yaitu  847 g.

Tapi sayangnya lensa Leica SL 24-90mm saya sekitar 1 kg lebih, jadi masih jauh dari berat lensa pertama saya, tapi mungkin kedepannya mudah-mudahan ada lensa Leica SL yang lebih ringan dan yang beratnya sekitar 500-600 gram 🙂

Dari pengalaman selama 10 tahun terakhir, sepertinya saya memang nyaman dengan kamera yang bobotnya sekitar 850 gram. Rasanya lebih mantap saat memotret di studio ataupun outdoor. Tapi kenyamanan setiap orang beda-beda. Mungkin ada baiknya mencari tahu masing-masing. Nah, bagi yang sudah tau, kira-kira berapa berat kamera/lensa yang nyaman? Boleh dong sesekali sharing di kolom komentar dibawah.


Workshop memotret aksi olahraga di BSD, 30 Juni 2018

$
0
0

Memotret aksi olah raga memerlukan peralatan yang mendukung dan juga keahlian sang fotografernya. Pemilihan setting kamera yang tepat, jeli mengamati subyek, tepat dalam menangkap momen adalah hal-hal yang perlu dikuasai oleh fotografer aksi khususnya olahraga.

Untuk itu kami mengajak untuk memotret aksi olahraga sepeda di BSD yang kerap dipakai untuk ajang balap sepeda dengan kecepatan tinggi yang menantang untuk difoto.

Cocok untuk melatih kemampuan anda dalam memotret aksi karena disini ada kombinasi antara atraksi dan kompetisi, dan di kegiatan ini nanti dibimbing langsung oleh saya (Momi Poernomo) sehingga lebih terarah dalam prakteknya.

Kegiatan ini dijadwalkan pada :

  • hari : Sabtu, 30 Juni 2018
  • waktu : 15.30-18.30 WIB
  • tempat : BSD Xtreme Park, Foresta Tangerang

Biaya untuk mengikuti kegiatan ini Rp. 50.000,- termasuk bimbingan, tiket masuk dan konsumsi. Acara ini terbuka untuk pengguna kamera DSLR maupun mirrorless, peserta dibatasi maksimal 12 orang. Bagi yang berminat mendaftar bisa menghubungi ke 0858-1318-3069.

*acara ini didukung oleh Panasonic Indonesia

Mencoba Kamera Lumix DMC-GX9 – Lumix G Vario 12~32mm f/3.5~5.6 ASPH

$
0
0

Lumix GX9 baru ini dipersembahkan oleh Panasonic sebagai kamera premium untuk para fotografer jalanan (street photographer) dalam desain bergaya Range Finder klasik (istilah untuk kamera analog, mengintai langsung tanpa melalui lensa) yang sempurna untuk pemotretan casual/sehari-hari, foto jalanan, candid, dan travel. Kehadiran photo style L.Monochrome D plus Grain yang baru ini, melengkapi predikat kamera ini menjadi kamera foto jalanan yang disandangnya (umumnya foto jalanan sangat menarik dalam nada monochrome).

Lumix GX9 adalah kamera berdesain gaya “Range Finder” (bagian atas datar tidak berpunuk seperti DSLR), yaitu bertubuh kotak klasik dengan bagian atas datar dan jendela bidik berada disebelah kiri atas, dihadirkan dengan dua pilihan warna, masing-masing bertubuh hitam dan bertubuh silver bagian atasnya.

Istilah kamera Range Finder sebetulnya adalah untuk kamera analog yang jendela bidiknya tidak terintegrasi dengan lensa (melihat subjek tidak melalui lensa) seperti gambar kamera yang dibelakang.

Secara numerik jelas ini adalah penerus GX8, tingkat kinerjanya memang meningkat berkat dukungan sensor tanpa filter low-pass, prosesor yang terbaru, dan penyempurnaan-penyempurnaan dibidang lainnya. Tapi ada juga kemunduran yaitu GX9 ini tidak lagi weathersealed dan jendela bidiknya tidak setara dengan yang di GX8. Ada peningkatan dan kemunduran, kira-kira sekitar dua langkah ke depan, dan satu langkah atau mungkin setengah langkah mundur dari GX8. Ini yang menurut saya sedikit membingungkan.

Bentuk Tubuh dan Penampilan
Tubuhnya lebih kecil dari pendahulunya GX8, tetapi sedikit lebih besar dari GX7 dan GX85. Ukuran fisik yang ramping ini saya suka karena saya sudah terbiasa dengan GX7 lebih kecil dan lebih kompak, gesit dan mudah dibawa-bawa, pas lah bila di beri label “Kamera Jalanan”. Hanya mengapa handgrip nya dibuat lebih tipis tidak segempal GX7 dan GX8? Entah disengaja atau baru sadar belakangan? Panasonic akhirnya menyediakan aksesories Hand Grip tambahan (MW-HGR2).

Lumix DMC-GX9 – Leica DG Summilux 15mm f/1.7 ASPH dengan optional DMW-HGR2 grip.

Dibandingkan dengan GX8, ada beberapa kemunduran lainnya yaitu hilangnya hand grip yang gempal, tidak kedap cuaca, tidak ada input mikrofon, layar tidak dapat berputar ke segala arah, dan jendela bidik dengan aspek rasio 16:9 mungkin untuk membuat vidio akan nyaman tetapi untuk still foto dengan 4:3 setara ukuran sensornya jadi kecil.

Saya pikir dan mungkin Panasonic juga berpikiran sama, selain untuk menekan biaya, dan mungkin bagi target penggunanya yang sebagian besar street fotografer kekurangan-kekurangan diatas rasanya tidak menjadi masalah utama, karena kamera ini memang kamera mirrorless dikelas mid-range dengan sensor 20 Megapixel Four Thirds dibawah seri G dan GH yang lebih profesional penggunaan-nya. Untuk Indonesia Lumix GX9 ini dijual berikut lensa Lumix G Vario 12-32mm f/3.5-5.6 sebagai kit lensnya, dibandrol dengan harga IDR 11.999.000

Kualitas Gambar Tanpa Kompromi.
Lumix GX9 menggunakan sensor Micro Four Thirds 20,3MP yang sama yang ada di GX8, tetapi Panasonic telah melepas filter low-pass dari sensor di kamera yang lebih baru ini. Dengan maksud untuk memperbaiki rendisi detil halus, dengan trade-off yang juga meningkatkan risiko efek moiré (pola interferensi) dalam tekstur halus dan detail. Saya merasakan kinerja Kontrol Warna Tiga-dimensi menyeimbangkan warna, saturasi, dan kecerahan untuk reproduksi warna yang kaya dari gelap ke terang ini benar bekerja dengan baik. Selain itu pemotretan cahaya rendah pada ISO 25600 didukung oleh kemampuan High Precision Multi Process Noise Reduction yang bertujuan untuk mengidentifikasi noise dan mempertahankan detail.

Pada foto dibawah ini pemotretan menggunakan pilihan setelan JPEG Standard, dan tidak mengalami banyak editan hanya sedikit saya kurangi clarity nya saja dengan LR supaya kulit terkesan halus. Dengan Auto white Balance dan satu buah Beauty Light sedikit diatas kepala menghasilkan warna kulit yang natural begitu pula dengan gradasi warnanya sangat halus.

Hasil foto warna langsung dari kamera dalam format JPEG dan hanya mengurangi clarity nya saja supaya kulit berkesan lembut. Lumix DMC-GX9 – Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/200s | ISO 800 | dengan mode Standard

Dalam upaya lain untuk memperbaiki detail utama yang direkam oleh GX9, Panasonic telah mendesain ulang mekanisme sensor untuk mencapai pengurangan 90% dalam shutter shock ini sempat menjadi isu utama pada GX8, yang membuat saya mengurungkan niat untuk beralih ke GX8 beberapa tahun yang lalu dan tetap menggunakan GX7 sementara waktu..

Sistem stabilisasi gambar mengacu pada Dual-I.S.1 bukan Dual-I.S.2 seperti G9 dan GH5. Di dalam tubuh GX9 Dual-I.S.1 ini telah ditingkatkan dengan kompensasi stabilisator 5-sumbu, yang bekerja simultan dengan stabilisator 2-sumbu dari optik lensa Panasonic untuk memungkinkan menggunakan kecepatan rana hingga 4-stop lebih lambat daripada yang dapat dilakukan dan tetap mencapai bidikan tajam.

Foto dibawah ini dalam cahaya rendah karena gerimis dan dibawah terpal plastik terpaksa menggunakan ISO 1600 dan masih menghasilkan gambar dan detail yang cukup bagus, dengan warna natural langsung dari kamera tanpa editing , warna kulit yang sangat menyenangkan, dan kesan detail secara keseluruhan sangat bagus. Selain itu berkat Dual-I.S baru nya, saya dapat mengabadikan foto ini dengan kecepatan 1/25 detik handheld tanpa masalah.

Lumix GX9 – Lumix G Vario 12-32mm f/3.5-5.6 ASPH @ 25mm | f/5 | 1/25s | ISO 1600 | Dual-IS on

Yang saya sangat suka mungkin juga untuk para penggemar foto Hitam/Putih adalah mode “L. Monokrome D“. L. Monochrome D ini secara samar-samar menghasilkan lebih banyak detail di daerah yang lebih gelap. mode L.Monochrome D dalam Photo Style memungkinkan untuk memotret foto hitam putih yang dinamis dengan sorotan dan bayangan lebih ditekankan, dan tetap menjaga detail nya. Ketiga mode – Monochrome, L.Monochrome dan L.Monochrome D – memungkinkan efek butir disesuaikan antara High / Standard / Low untuk pemotretan yang lebih kreatif.

Pada foto dibawah ini saya mencoba menambahkan Grain effect supaya mirip dengan foto analog dan hasilnya memang bagus, pemotretan menggunakan pilihan JPEG L.Monochrome D, dan tidak mengalami banyak editan hanya sedikit saya kurangi clarity nya saja dengan LR supaya kulit terkesan halus.

Hasil foto Hitam-Putih langsung dari kamera dalam format JPEG dan hanya mengurangi clarity nya saja supaya kulit berkesan lembut. Lumix DMC-GX9 – Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/200s | ISO 800 | dengan mode L.Monochrome D + Low Grain Effect

Beberapa Fitur Lainnya
Pengisian daya kamera bisa melalui USB (bila kamera tidak digunakan), penutup socket model baru jenis geser yang menarik, dan mode hemat daya yang dapat meningkatkan masa pakai baterai dari 260  hingga 900 jepretan.

4K Photo Mode nya sekarang pada 30fps menawarkan Auto Marking, yang mendeteksi gerakan dan / atau wajah secara berurutan dan menandainya untuk membantu menemukan bidikan terbaik.

Koneksi Bluetooth menggunakan lebih sedikit daya daripada Wi-Fi, dan seperti pendahulunya tetap dapat mengontrol dan berbagi gambar dari jarak jauh menggunakan perangkat pintar melalui Panasonic Image App.

Dan masih beberapa lagi fitur 4K foto yang sangat menarik dan handal, termasuk 4K Video dengan 4K Live Cropping dan 4K Photo dengan mode Pre-burst 4K, dan saya belum sempat mencoba, karena saya memang bukan penggemar 4K foto, tetapi saya sangat tertarik dengan 4k sikuen foto yang langsung jadi dari kamera tanpa melalui photo editor (Sequence Composition Mode).

dengan 4K Photo dapat memilih momen yang tepat dari puluhan bingkai persatu bidikan (gambar kiri) dan membuat foto sikuen dari beberapa bingkai kedalam satu bingkai langsung darikamera tanpa bantuan foto editor (gambar kanan)

Kesimpulan 
Dalam uji coba, saya benar-benar menyukai Panasonic Lumix GX9 ini, ukuran tubuhnya pas sebagai kamera travel atau kamera jalanan, sepadan dengan pendahulunya GX7, GX85 dibanding GX8 yang sedikit lebih besar, dan menurut saya, ukuran GX8 sebaiknya diadopsi untuk jenis G atau GH saja. Walaupun ada pengurangan fitur dari GX8, sepertinya fitur-fitur tesebut tidak terlalu berarti untuk seorang fotografer jalanan.

Kamera mengemas sejumlah kontrol fungsi yang sangat pas dan mudah dijangkau dengan ibu jari dan telunjuk secara simultan pada tubuh kamera yang ringkas ini, dilengkapi dengan begitu banyak fitur dan mode pemotretan. Apa yang benar-benar saya rasakan perbedaan Panasonic Lumix GX9 dengan seri-seri GX terdahulu adalah kecepatan Power up, pemrosesan gambar, tampilan gambar, pengguliran menu, fungsi sentuh, AF, semuanya berfungsi dengan sangat cepat dan efisien.

Yang terasa masih kurang menurut saya adalah daya tahan baterai. GX9 menggunakan baterai yang sama dengan GX7 dan GX85, dengan fitur baru dan kinerja yang meningkat daya tahan baterai masih agak sederhana walaupun dibantu dengan fitur hemat daya.

Auto Fokus GX9 sangat cepat bahkan dalam kondisi redup. Sistem autofocus serupa dengan model Lumix sebelumnya, menggunakan Panasonic Deteksi Kontras dengan teknologi Depth from Defocus (DFD). Waktu akuisisi fokus di akuinya adalah 0,07 detik dengan -4EV deteksi luminance dalam AF Cahaya Rendah. Adanya Live View Boost ini memungkinkan untuk menerangi subjek secara elektronik di kegelapan total untuk memeriksa akurasi di Live View sebelum memotret.

Lumix GX9 – Lumix G Vario 12-32mm f/3.5-5.6 ASPH @16mm | f/4 | 1/60s | ISO 1600 | JPEG L.Monochrome D + Grain Effect. Foto tidak banyak saya edit hanya nenaikan intensitas strukturnya sedikit di bagian gelap dan terang nya dengan menggunakan Silver Evex Pro 2

Dengan menggunakan beberapa pilihan lensa Panasonic dalam uji coba ini, saya telah mampu mendapatkan gambar yang tajam dengan kontrol yang baik atas kedalaman bidang (dof) dengan rentang dinamis yang cukup memuaskan.

Lumix DMC-GX9 – Lumix G Vario 12-32mm f/3.5-5.6 ASPH @18mm | f/4.2 | 1/60s | ISO 1600 | JPEG L.Monochrome D mode + Fine Grain Effect

Untuk kamera kelas menengah Panasonic Lumix GX9 menawarkan sebuah kamera yang sangat handal dari seri kamera Lumix G. Terhadap GX7, GX8 dan GX85 ada banyak sekali perbaikan dan banyak alasan untuk berganti ke GX9 terlebih lagi harganya yang relatif murah bila saya bandingkan dengan sewaktu Lumix GX7 pertama kali keluar.


Bagi teman-teman yang ingin memesan kamera GX9 dan lensanya, Infofotografi dapat membantu. Hubungi kami di 0858 1318 3069. Terima kasih atas perhatiannya.

Duel mirrorless basic : Canon EOS M50 vs Fuji X-T100

$
0
0

Selama ini konsumen yang akan membeli kamera mirrorless diberi dua pilihan segmen harga, yaitu yang basic di kisaran 5-8 jutaan dan yang lebih diatasnya dengan harga 12 juta ke atas. Ada gap yang hingga kini jarang tersentuh yaitu segmen harga di kisaran 10 jutaan. Belakangan ini barulah produsen kamera mirrorless mulai tertarik menyasar segmen tersebut, diawali dengan Canon EOS M50 yang dijual 11 jutaan, dan baru saja Fuji menghadirkan X-T100 di kisaran 10 jutaan.

Kedua kamera sejatinya adalah kamera basic, tapi ditingkatkan fiturnya dengan adanya jendela bidik. EOS M50 itu anggap saja versi EOS M100 dengan jendela bidik, sedang Fuji X-T100 agak unik, dia adalah seperti X-A5 dalam bodi Fuji XT yang retro klasik. Kini banyak yang bertanya di web infofotografi antara keduanya lebih baik pilih yang mana. Saya coba jawab melalui artikel ini ya..

Memilih sistem kamera itu sudah pernah saya ulas, tidak semudah membeli ponsel atau laptop. Kita perlu mengenali dulu karakteristik tiap merk kamera, bagaimana pilihan lensanya, bagaimana konsep desain dan ergonominya, juga aksesori lain seperti flash, adapter dan lainnya. Canon misalnya, dikenal sebagai kamera yang mudah dipakai, menu dan tampilan layarnya mudah dipahami, dan punya harga yang umumnya menarik. Di sistem mirrorless EOS-M, Canon mulai bangkit dengan banyak membuat kamera baru, meski belum ada lensa EF-M baru, tapi koleksi lensa Canon EF-M yang ada sudah mencukupi untuk berbagai kebutuhan dasar.

Bagi yang sudah punya DSLR Canon, membeli EOS M50 akan dimudahkan dengan memasang adapter sehingga tidak usah beli lensa lagi. Di pihak Fuji, soal kamera dan lensa memang pilihannya lebih banyak dari Canon EOS-M. Desain kamera Fuji biasanya terkesan retro klasik, dengan kualitas bodi yang mantap berbahan campuran logam. Bicara soal penggunaan kamera, pemakai Fuji biasanya perlu usaha ekstra untuk bisa menguasai semua fitur dan menu-menunya yang cukup kompleks. Lensa Fuji sendiri berkualitas tinggi, banyak pilihan lensa fix bukaan besar dan umumnya lensa Fuji harganya termasuk tinggi.

Kita coba bedah lebih detail perbedaan antara kedua kamera ini :

Canon EOS-M50

Canon EOS M50 menjual kekuatan utama di kemampuan Dual Pixel AF-nya, sehingga auto fokus jauh lebih mudah, cepat dan bisa diandalkan. M50 juga menjadi kamera Canon pertama dengan 4K video. Yang saya sukai dari Canon adalah gripnya lebih enak (digenggam terasa pas), layar lipat yang paling oke dibanding EOS M5 atau M100, dan tetap memberi kesempatan kustomisasi tombol misal tombol M-Fn, tombol bintang dan lainnya. Bagi profesional mungkin akan lebih suka mengubah tombol bintang jadi tombol AF-ON. Kamera ini akan banyak disukai oleh fotografer pemula, travel, hingga vlogger. Kamera ini secara umum akan disukai karena implementasi layar lipat plus sentuh yang mudah, kinerja yang cepat, hasil foto yang baik dan ukurannya yang ringkas dan ringan.

Canon EOS M50, dengan adapter dan lensa DSLR EF-S 24mm

Beberapa fitur dasar unggulan dari EOS M50 :

  • sensor APS-C 24 MP
  • Dual Pixel AF dengan 143 titik
  • motret kontinu 10 fps
  • ISO 100-25.600
  • jendela bidik dan layar lipat/putar
  • Resolusi layar 1.6 juta titik
  • WiFi, NFC, Bluetooth

Sebagian orang mengeluhkan beberapa hal seperti crop sangat ketat saat rekam video 4K, dan Dual pixel AF tidak berfungsi di saat rekam 4K, juga ada yang mengeluhkan cuma satu roda untuk mengatur setting di EOS M50 ini. Bagi saya keluhan tersebut masih termasuk bisa diterima, tapi untuk saya pribadi yang kurang suka dari Canon M50 adalah Auto ISO nya terlalu basic, kapasitas baterai agak kurang dan tidak bisa mengisi daya baterai via kabel USB.

Fuji X-T100

Fuji X-T100 menawarkan rasa kamera seri XT dengan harga terjangkau. Dengan desain yang tetap retro klasik khas Fuji XT, pada dasarnya rahasia supaya bisa murah adalah jeroan kamera X-T100 ini adalah sama dengan Fuji X-A5, termasuk sensornya yang bukan pakai X-Trans tapi Bayer biasa. Perbedaan soal sensor X-Trans dan sensor biasa sudah pernah saya ulas disini, saya pribadi sih tidak masalah dengan tidak dipakainya sensor X-Trans di X-T100. Secara umum ukuran sensor Fuji APS-C sedikit lebih besar dibanding Canon, tapi dari rentang ISO Fuji lebih konservatif dengan memilih rentang ISO 200-12.800 saja. Yang saya suka dari Fuji X-T100 adalah desain bodinya yang keren, beberapa film simulation yang unik, konsep layarnya yang cerdas (bisa dilipat atas, bawah dan juga ke depan untuk vlog), dan kapasitas baterai lebih besar plus bisa diisi daya via USB.

Salah satu yang menarik yaitu pilihan warna dari X-T100, ada warna champagne seperti diatas, silver dan hitam.

Inilah beberapa fitur dasar unggulan Fuji X-T100 :

  • sensor APS-C 24 MP (tapi bukan X-Trans)
  • electronic shutter sampai 1/32.000 detik
  • baterai lebih besar, bisa diisi daya via USB
  • bodi lebih solid, dengan dua roda pengaturan di bagian atas
  • layar bisa lipat atas, bawah dan depan
  • Mode Panorama, 4K photo

Sebagian orang mengelukan 4K di Fuji yang hanya 15 fps, menurut saya memang prosesor kamera basic seperti X-T100 ini masih wajar kalau tidak dirancang sangat powerful sehingga sulit untuk menangani data yang besar dari video 4K 30 fps. Demikian juga memotret kontinu yang hanya bisa 6 fps, memang kalah gesit dari Canon yang bisa 10 fps. Tapi menurut saya sisi dimana Fuji X-T100 ini agak kalah dengan Canon M50 adalah di sisi auto fokusnya, meski sudah bisa deteksi fasa dengan 91 titik AF namun bila dibandingkan dengan Dual Pixel AF masih belum bisa menyamai kinerja dan kehalusan transisi fokusnya Canon.

Kesimpulan

Kedua kamera ini pada dasarnya nyaris seimbang dengan sensor yang sama yaitu 24 MP, spesifikasi yang mirip, dan harga yang juga sepadan. Selain hal-hal subyektif seperti desain, menu, ergonomi dan pilihan lensa, pilihan bisa ditujukan pada spesifikasi unggulan, misal Canon EOS M50 punya kecepatan tembak lebih cepat (10 fps vs 6 fps), layar sentuh yang resolusinya lebih tinggi, rentang ISO lebih lebar, ada NFC. Fuji X-T100 unggul sedikit di ukuran sensor, kapasitas baterai, dan adanya electronic shutter hingga 1/32.000 detik. Selain dari itu semua, kedua kamera pada dasarnya sama-sama kamera basic yang tidak dirancang untuk bisa banyak di kustomisasi, bukan juga yang bodinya weather sealed tapi mencukupi untuk pemakaian sehari-hari dengan hasil foto yang memuaskan.


Ikuti berbagai kegiatan kami baik kelas maupun tur fotografi, info dan pendaftaran bisa dicek disini.

Sony RX100 VI Potret kamera compact masa kini

$
0
0

Seri compact Sony RX100 biasanya memiliki lensa yang berbukaan besar seperti ekuivalen 24-70mm f/1.8-2.8, tapi versi ke VI ini sangat berbeda karena memiliki lensa yang lebih panjang rentang zoomnya yaitu ekuivalen dengan 24-200mm (8.3X zoom), tapi dengan bukaan maksimum yang lebih kecil yaitu f/2.8-4.5 untuk mempertahankan ukuran kamera yang kecil.

Penghobi fotografi dan profesional biasanya lebih antusias melihat lensa yang bukaan lensa yang besar, tapi pasar compact yang semakin menurun membuat Sony dan produsen compact lain sepertinya harus memutar otak, bagaimana membuat kamera yang lebih baik dari kamera ponsel. Salah satu kelemahan kamera ponsel biasa saat ini adalah belum memiliki zoom yang mumpuni, maka itu membuat kamera compact dengan zoom yang jauh menjadi prioritas produsen untuk menjauhkan kamera compact canggih ini dari kamera ponsel.

Seiring waktu berkembang, kamera ponsel juga mulai bisa zoom. Seperti Huawei P20 Pro bisa zoom optik 3X dan hybrid 5X. Kualitas zoom 5x di kondisi terang cukup baik. Juga ponsel premium lainnya seperti iPhone X dan Samsung S9+ juga telah memiliki lensa telefoto. Tapi karena lensa ganda kini hanya dimiliki ponsel premium, sepertinya kamera compact superzoom akan masih bisa bernafas lega setidaknya dalam beberapa tahun kedepan.

Secara teknologi, RX100 VI memang mantap, dengan body sekecil itu, tapi bisa memasukkan lensa zoom yang cukup panjang, sensor type 1 inci, dan processor dan DRAM baru. Dengan processor baru ini, autofokus RX100 dijamin sangat cepat, mendukung eye-detection yang sangat membantu untuk foto portrait, dan juga bisa merekam 24 foto per detik.

Meski ukuran yang relatif kecil, Sony RX100 VI juga punya jendela bidik elektronik bertype pop-up, flash built-in, dan layar yang bisa di putar ke atas untuk vlog atau selfie.

Tapi obsesi insinyur Sony yang menyukai miniaturisasi elektronik yang ekstrim, bisa jadi menjadi bumerang, karena fisik yang kecil rentan getar dan secara ergonomik licin saat dipegang. Bisa ada potensi overheat/kamera kepanasan saat digunakan dalam jangka waktu lama atau video. Baterai juga kecil, dan tidak tahan air (weathersealed).

Apakah RX100 VI akan banyak peminatnya? Yang saya rasa paling membatasi sepertinya adalah harganya yang mungkin memecahkan rekor untuk kamera compact yaitu US$1200 atau sekitar Rp 16.6 juta (kurs 14000).

Dengan 16.6 jt sepertinya banyak pilihan kamera lain yang lebih menarik, diantaranya Sony A6300 dengan dua lensa basic.

Seri Sony RX100 biasanya memang tidak memiliki saingan, tapi yang terdekat adalah Panasonic TZ200 dengan harga yang lebih ekonomis, yaitu Rp 10.3 jt. Sama-sama memiliki sensor 1 inci, tapi Panasonic punya lensa yang lebih jauh lagi (24-360mm) tapi yang dikompromikan adalah bukaan maksimum lensa yang menjadi lebih kecil dari Sony RX100 yaitu f/3.3-6.4. TZ200 punya jendela bidik tapi layarnya fix, tidak bisa diputar.

Kamera ini mungkin cocok sebagai back-up atau pendamping kamera yang besar. Misalnya saat jalan-jalan tapi tidak ingin membawa lensa tele 70-200mm. Tapi Sony RX100 IV ini mungkin tidak akan sepopuler seri-seri pendahulunya karena harga dan bukaan maksimumnya tidak terlalu besar, tapi punya pilihan itu bagus, dan jika lebih banyak motret di kegelapan dan tidak perlu zoom sepanjang 200mm, maka Sony RX100 V mestinya masih akan tersedia di toko kamera dalam beberapa waktu kedepan.

Lensa untuk foto model

$
0
0

Pertama-tama sebelum mencari lensa yang ideal untuk model, sebaiknya memang masing-masing mengetahui format sensor kamera yang digunakan, apakah APS-C, full frame atau micro four thirds. Mengapa? Karena format sensor akan menentukan focal length lensa yang pas (yang tidak terlalu lebar dan tidak terlalu tele).

Lensa Nikon 85mm, salah satu lensa klasik dari jaman film favorit saya. Not for Sale 🙂

Untuk kamera berformat APS-C (sebagian besar kamera digital SLR/mirrorless memiliki format ini), lensa 50mm dan 85mm cocok untuk foto portrait model setengah badan dan head and shoulder.

Bagi yang memiliki kamera full frame, lensa 85mm dan 135mm cocok untuk jenis foto portrait yang sama.

Sebenarnya, jika ingin mengunakan lensa yang lebih lebar seperti seperti 35mm di APS-C atau 50mm di full frame juga oke, tapi saya sarankan untuk foto 2/3 atau satu badan dan memasukkan banyak latar belakang.

Lensa fix lebih ideal untuk foto portrait karena punya kelebihan yaitu bukaannya besar, biasanya tajam dengan harga yang tidak terlalu mahal. Tapi bukan berarti tidak bisa memotret model dengan lensa zoom. Idealnya, lensa zoomnya harus yang berbukaan cukup besar misalnya 24-70mm f/2.8 dan 70-200mm f/2.8. Lensa yang berbukaan besar membuat bagian yang tidak fokus lebih blur dan juga memasukkan lebih banyak cahaya ke dalam kamera sehingga memotret di kondisi cahaya yang agak gelap juga tidak masalah.

Kamera Leica SL, lensa: Nikon AF-S 85mm f/1.4D via Kipon Adapter, 1/125 detik, f/2, ISO 160 (Auto ISO) 85mm Model: Julie Sagita

Favorit saya pribadi adalah lensa 85mm di kamera full frame untuk portrait (sekitar 56mm di APS-C), untuk foto model baik di studio maupun outdoor. Tapi kalau saya kurang leluasa untuk bergerak lensa zoom seperti 70-200mm lebih praktis. Kadang saya mengunakan lensa 135mm untuk close-up portrait (wajah saja), atau 50mm f/1.4 untuk 2/3 body.

Nah, maka itu tidak ada satu lensa khusus saja untuk portrait, tapi lensa wajib untuk memulai ya 50mm entah f/1.8 atau f/1.4 gak masalah, jika suka close up 85mm atau 135mm.

Leica SL 50mm f/1.4, Model: Violetta

Berikut beberapa lensa yang bagus untuk foto model (portrait) dari berbagai produsen kamera:

  • Olympus 45mm f/1.8 dan f/1.2
  • Panasonic 42.5mm f/1.7 dan Leica 42.5mm f/1.2
  • Fuji 50mm f/2, 56mm f/1.2, 90mm f/2
  • Leica Noctilux 50mm f/0.95, Leica 75mm f/1.25, Leica SL 90mm f/2,
  • Sony 85mm f/1.4 GM, Zeiss Batis 85mm f/1.8
  • Canon EF 50mm f/1.8 STM, 85mm f/1.4 IS, f/1.2
  • Nikon 85mm f/1.4, Nikon 105mm f/1.4
  • Zeiss Otus 85mm f/1.4, 135mm f/2 APO
  • Tamron 70-200mm f/2.8 G2, Tamron 85mm f/1.8 VC
  • Sigma 50mm & 85mm f/1.4, 105mm. 135mm f/1.4 ART
  • Lensa 24-70mm/24-90mm, 24-105mm
  • dan lain lain…

Nikon D600 dan Zeiss Milvus 50mm f/2 Makro – Model: Intan Sapta

Syukurnya, lensa untuk foto portrait model itu banyak, dan tersedia dalam harga yang berbeda-beda. Jika budget memang sangat terbatas, masih ada alternatif lensa-lensa manual fokus dari beberapa pabrik seperti lensa Samyang, Meike atau 7Artisans. Yongnuo, yang terkenal sebagai pabrik pembuat flash juga membuat beberapa lensa yang bisa autofokus untuk kamera DSLR Canon & Nikon dengan kisaran 1-2 jutaan, sudah dengan autofokus.


Bagi teman-teman yang ingin belajar foto model portrait atau ingin membeli lensa, bisa hub 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com atau kunjungi toko online kami di Bukalapak.

Photo Clinic dengan Enche Tjin – 23 Juni 2018

$
0
0

Konsep Photo Clinic ini adalah membantu teman-teman yang telah rutin memotret tapi ingin mendapatkan masukan dan kritik supaya kualitas fotografi-nya bisa lebih bagus dan berkembang. Masukan yang akan diberikan tidak hanya dari aspek teknis, tapi juga dari segi artistik dan editing.

Masing-masing peserta wajib membawa foto-foto yang ingin dibahas (maksimum 20 foto per peserta) dalam usb drive/flash disk atau media penyimpanan yang lain. Dipersilahkan juga membawa laptop tapi tidak wajib.

Selesai mengikuti Photo Clinic ini, masing-masing peserta akan mendapatkan ide dan inspirasi baru bukan hanya dari instruktur tapi juga dari sharing peserta lainnya.

Tempat klinik: Infofotografi, Rukan Sentra Niaga Blok N-05, Green Lake City, Duri Kosambi, Jakarta Barat.

Pembimbing: Enche Tjin
web: enchetjin.com
instagram: enchetjin

Biaya : Rp 500.000 per orang

Maksimum 6 orang

Hari/Tanggal: Sabtu 23 Juni 2018

Pukul 13.00 – 17.00 WIB*
*Tergantung jumlah peserta

Karena tempat terbatas, harap menghubungi kami di 0858 1318 3069 untuk mendaftar dan transfer biaya Rp 500.000 ke rek BCA 4081218557 atas nama Enche Tjin

Bahas foto : Mystic Tree

$
0
0

Salah satu subjek foto kesukaan saya adalah alam, terutama pohon-pohon yang berkarakter unik. Di curug (air terjun) Cimarinjung, Ciletuh, saya menemukan pohon yang unik disamping air terjun.

Saya berkunjung kesini pagi hari, sekitar jam 8.30 tiba di lokasi dan jalan beberapa ratus meter ke curugnya. Saat saya tiba, matahari belum terlalu naik, masih tertutup oleh tebing, maka itu saya menunggu sekitar 1 jam, dari jam 9 sampai 10 pagi.

Data teknis: ISO 50, f/13, 1/4 detik, 52mm, Polarizer filter (CPL) Leica SL, Leica SL 24-90mm f/2.8-4

Dengan sabar saya menunggu, akhirnya matahari lebih tinggi dari bukit dan muncullah rol (ray of light) menyinari kabut pagi. Saya menunggu sampai kabutnya tidak menutupi pohon tersebut. Setelah mengambil lima foto dalam jangka waktu 10 menit, akhirnya terpilih yang ini karena posisi kabutnya paling baik.

Secara komposisi saya memang sengaja tidak memasukkan keseluruhan air terjun, karena jika saya masukkan semua, maka akan konflik dengan pohonnya sebagai subjek utama (POI/point of interest). Dengan memasukkan sedikit aliran air, kabut dan tebing, maka pemirsa akan dapat mengetahui lingkungan dimana pohon itu berada. Jadi, jika kita ke lokasi air terjun, tidak melulu harus air terjunnya yang dipotret, tapi perhatikan juga keadaan sekeliling, mungkin ada pohon, batuan atau hal-hal lain yang menarik disekitar curug.

Secara teknis, mengunakan kamera dan lensa menengah sudah bisa, asal punya tripod, dan filter CPL supaya foto lebih kontras dan detail. Tapi saya beruntung mengunakan Leica SL dan 24-90mm, karena kombinasi kamera dan lensa tersebut dapat menangkap detail dengan baik, tapi tidak terlalu tajam dan keras sehingga terkesan gambar “digital”. Hasil akhir foto setelah saya naikkan kontras  di Adobe Lightroom terlihat menjadi seperti lukisan (painterly).


Saya dan Mas Erwin Mulyadi berencana mengadakan trip foto ke Ciletuh sambil memberikan bimbingan tentang foto air terjun seperti teknik slow speed, penggunaan filter dan sebagainya di pertengahan bulan Juli (Sabtu dan Minggu) Bagi yang berminat untuk bergabung, silahkan hubungi WA 0858 1318 3069. Kali ini peserta akan dibatasi 6 orang saja.

Bagi yang ingin dibantu untuk mengembangkan teknik dan komposisi fotografi, saya juga mengadakan Photo Clinic, dimana saya akan membahas foto-foto peserta dan berbagi pengalaman & pengetahuan saya dalam fotografi.


Leica umumkan Leica C-Lux, kamera compact superzoom untuk travel

$
0
0

Sudah merupakan tren kamera compact masa kini perlu lensa yang bisa zoom panjang untuk membedakan dengan kamera ponsel, maka itu pada tgl 15 Juni 2018, Leica mengeluarkan penerus lini Leica C-Lux.

Kamera baru ini memiliki desain yang menarik yaitu dua warna pilihan yaitu Light Gold dan Midnight Blue.

Fitur kamera Leica C-Lux adalah:

  • Sensor 1 inci yang lebih bagus daripada kamera compact dan ponsel pada umumnya, 20 MP.
  • Zoom 15x (paling jauh di kelas kamera compact) ekuivalen 24-360mm f/3.3-6.4 dengan Optical Image Stabilization
  • Autofocus cepat dengan foto berturut-turut 10 foto perdetik
  • Format RAW dalam bentuk DNG yang full compatible dengan software Adobe
  • Wifi untuk sharing foto
  • Rekam video 4K 30 fps, 100 Mbit.
  • Built in viewfinder 2.33 MP dan layar touchscreen 1.2 juta titik

Yang tidak ada di Leica C-Lux yaitu tidak memiliki hotshoe untuk memasang flash/external mic, atau kemampuan ganti lensa.

 

Juga tersedia berbagai aksesoris untuk melengkapi Leica C-Lux yang baru ini, diantaranya full leather case dan half case dengan pilihan warna biru tua, coklat dan merah.

Dilihat dari fiturnya, kamera ini cocok untuk siapa saja yang menyukai travel light, tapi bisa mendapatkan rentang zoom yang lebar. Sebagai info, 24mm cukup untuk pemandangan secara umum, dan 360mm cukup untuk sebagian besar kegiatan olahraga, satwa.

Dibandingkan dengan Leica D-Lux 109, kamera ini lebih ideal dibawa outdoor di kondisi pagi-sore hari, tapi kalau D-Lux ini meski lensanya lebih pendek, tapi bukaannya lebih besar dan sensor gambarnya juga lebih besar, jadi lebih ideal untuk kondisi gelap misalnya malam hari atau indoor.

Harga kamera ini saat saya menulis artikel ini belum diumumkan oleh Leica Store Indonesia, tapi saya perkirakan sekitar 14-17 juta dan mungkin akan tersedia di bulan Agustus 2018. Review kamera akan menyusul saat saya berkesempatan mencoba Leica C-Lux yang baru ini.


Bagi yang berminat untuk memesan kamera ini atau yang lainnya bisa hub WA 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com Trims.

Memilih lensa zoom serbaguna untuk Sony A7 dan A9

$
0
0

Kamera Sony berformat full frame makin lama makin populer karena ukuran yang ringkas dan teknologi yang canggih. Tapi lensa zoom menengah praktis apa yang cocok untuk hobi, atau kerja? Lensa-lensa zoom untuk Sony FE (full frame) dewasa ini makin banyak, dan mungkin jadi agak membingungkan yang baru ingin membeli, seringkali saya juga ditanya oleh murid dan teman-teman saya.

Beberapa pilihannya adalah sebagai berikut:

Sony FE 28-70mm f/3.5-5.6 OSS (Rp 6.8 juta, beli paket Rp 3 juta)
Lensa ini biasanya dibeli bersama paketan kamera A7, jika membeli secara paket, harganya sangat terjangkau, kurang lebih 3-4 jutaan saja. Kualitas lensa ini standar alias biasa saja, bukaan lensanya pun tidak besar, tapi lensa ini termasuk ringan, hanya 290 gram saja, sehingga ideal untuk travel light.

Sony FE 24-70mm f/4 Zeiss (Harga Rp 11-12.5 jt)
Penggemar fotografi yang ingin lensa yang kualitasnya lebih tinggi dari kualitas gambar, dan built-quality (material fisik lensa), tapi tidak mau membawa lensa yang terlalu mahal atau berat, pilihannya bisa jatuh ke lensa ini. Fisiknya dari logam, lebih lebar sedikit dari 28mm, sehingga lebih asyik untuk foto landscape (pemandangan) dan bukaannya konstan f/4. Ukurannya lebih besar dari pada lensa 28-75mm karena menggunakan filter 67mm daripada 55mm dan lebih berat juga (426 gram), tapi secara umum, lensa ini masih enak digunakan saat traveling.

Sony FE 24-240mm f/3.6-6.3 OSS (Rp 11-12.5 juta)
Dengan harga yang mirip, ada pilihan lain yaitu lensa sapujagat (superzoom). Lensa ini enaknya bisa untuk zoom cukup jauh, jadi bawa satu lensa ini terasa membawa dua lensa sekaligus, lensa zoom lebar-menengah dan telefoto. Tapi kekurangannya adalah lensa ini ukurannya cukup panjang saat di zoom, kira-kira 20 cm) dan berat (780 gram). Bukaannya juga agak kecil saat di zoom maksimal (f/6.3), sehingga tidak ideal digunakan di kondisi gelap.

Kualitas fotonya sendiri cukup baik di sisi lebar, tapi jika sudah zoom melampaui 150mm, ketajaman dan kontrasnya menurun. Menurut saya, lensa ini cocok jika memang cuma ingin membawa satu lensa saja dan sering main zoom di kondisi outdoor yang terang. Tidak begitu cocok untuk travel light atau bagi yang mencari kualitas lensa dengan ketajaman yang maksimal. [Review Sony 24-240mm].

Dari kiri ke kanan: Tamron 28-75mm f/2.8, Sony 24-70mm f/2.8 GM, Sony Zeiss 24-70mm f/4 OSS.

Tamron 28-75mm f/2.8 (Rp 11.8 juta) Selama beberapa tahun sejak Sony meluncurkan A7, baru pertama kali ada lensa pihak ketiga yang membuat lensa zoom yang menarik. Lensa ini cukup ringkas (12 cm, filter 67mm) tapi punya bukaan konstan yang besar, yaitu f/2.8 dan harganya relatif terjangkau untuk lensa berbukaan f/2.8.

Apa kekurangannya? Ada review yang mengatakan bahwa kinerja autofokusnya tidak sebaik lensa merk Sony, dan bokeh (latar belakang blur) di 75mm agak “sibuk”, juga seperti lensa pihak ketiga lainnya, durabilitasnya belum teruji karena masih baru, tapi lensa ini tergolong murah dan distributor Indonesia memberikan garansi tiga tahun, jadi tidak heran saat ini merupakan salah satu lensa laris bagi pengguna kamera Sony full frame.

Sony FE 24-105mm f/4 G (Harga Rp 20 juta)
Bagi yang mencari lensa dengan zoom yang praktis untuk mencakupi 75-85% kebutuhan, lensa ini boleh dilirik. Meski lensa ini tidak diberi label GM, dalam kondisi pemotretan biasa, lensa ini kualitasnya tajam, hanya jika bertemu keadaan sulit seperti backlight yang kuat, lensa ini baru agak kewalahan. Ukurannya cukup besar, mengunakan filter 77mm dan beratnya 663 gram, kurang lebih hampir sama dengan berat kamera. Harganya juga cukup tinggi, sesuai dengan kualitasnya.

Banyak yang mungkin mempertimbangkan lensa ini atau lensa yang lebih ringkas seperti Sony 24-70mm f/4 atau Tamron 28-75mm f/2.8. Dibandingkan dengan keduanya, 24-105mm ini lebih praktis, karena cukup lebar untuk pemandangan yang luas, dan zoomnya cukup tele untuk portrait dan travel. Bagi yang mementingkan kualitas dan fleksibilitas zoom, lensa ini boleh dipertimbangkan.

Sony FE 24-70mm f/2.8 GM (Harga Rp 31 juta)
Lensa GM dibuat dengan teknologi tertinggi Sony, maka itu kualitasnya lebih baik daripada lensa-lensa label G, Zeiss atau tanpa label. Tapi harga yang harus dibayar cukup mahal, selain harganya menembus angka 30 juta, juga ukurannya besar dan berat. Lensa ini beratnya 886 gram, artinya lebih berat dari kameranya, dan mengunakan filter 82mm yang artinya diameternya besar. Untuk profesional di bidang dokumentasi, portrait, travel photography, lensa ini cocok, tapi bagi yang hobi, terutama traveler yang ingin santai, lensa ini akan terasa agak memberatkan.

Sony FE 28-135mm f/4 PZ OSS (Rp 33 juta)
Lensa ini dirancang untuk videografi profesional, jadi tidak begitu cocok untuk fotografi karena sangat besar (panjang 16.2 cm, filter 95mm), dan berat (1.2 kg).

Jadi kira-kira pilih yang mana? Jika saya yang memilih yang praktis secara keseluruhan saya akan memilih Sony FE 24-105mm f/4 OSS. Bagi yang prinsipnya cari lensa yang harganya tidak terlalu mahal dan good value for money, Tamron 28-75mm f/2.8 boleh dilirik.


Bagi teman-teman pembaca Infofotografi yang ingin memesan kamera atau lensa, boleh hubungi WA 0858 1318 3069. Kami bisa membantu untuk mendapatkan lensa baru dengan harga yang bersaing.

Canon M50 Review

$
0
0

Canon M50 adalah kamera mirrorless Canon terbaru yang diluncurkan awal tahun 2018 ini untuk penggemar fotografi pemula yang menginginkan fitur kamera mirrorless tercanggih tapi tetap mudah digunakan. Kamera ini dilengkapi dengan sensor gambar berukuran APS-C dengan resolusi 24MP dan processor DIGIC 8. Processor ini adalah yang terbaru di jajaran kamera Canon DSLR atau mirrorless saat ini.

Dengan processor baru ini, M50 bisa lebih ngebut dengan kecepatan foto berturut-turut 10 fps, dan video 4K, meskipun hanya 24 fps. M50 juga unik karena merupakan kamera pertama yang mendukung file RAW Canon yang baru yaitu C-RAW. Jenis file RAW ini menyimpan resolusi penuh 24MP, tapi ukuran filenya 40% lebih kecil daripada file RAW biasa. Sebuah file foto C-RAW rata-rata 14 MB, sedangkan RAW biasa sekitar 25 MB dan JPG Large sekitar 7 MB. Di kamera M50 juga pertama kalinya Canon memberikan pilihan scene mode silent yang mengunakan electronic shutter tidak bersuara sama sekali saat memotret.

Dilihat dari fisiknya, M50 mirip dengan M5, tapi jika diperhatikan lebih seksama, M5 memiliki lebih banyak dial (roda pengendali) untuk memudahkan fotografer yang lebih berpengalaman dalam mengganti setting exposure, sedangkan keunggulan M50 adalah memiliki layar LCD yang bisa diputar penuh (full articulating), dan juga bisa layar LCD bisa ditutup saat tidak digunakan atau saat ingin mengunakan jendela bidik saja. Seperti M5 dan M6, M50 juga memiliki hotshoe, untuk memasang flash atau external audio.

Pengalaman memotret

Buat saya pribadi, jendela bidik di M50 sangat membantu saya memotret di kondisi cahaya yang terang diluar ruangan karena layar LCD biasanya agak reflektif. Saya juga menyukai layar yang bisa dilipat ke dalam, sehingga melindungi kamera dan hidung saya tidak menempel ke layar dan membuat jejak pada layar.

ISO 100, f/7.1, 1/320 detik, 15mm

Dari dulu, desain antar muka kamera Canon termasuk ramah pengguna, dan yang saya sukai adalah desain touchscreen dengan layar beresolusi yang tinggi. Untuk mengoperasikan kamera saya banyak mengandalkan touchscreen. Tidak seperti kebanyakan kamera merk lain dimana touchscreen hanya untuk memilih area fokus dan untuk review gambar, di kamera Canon ini kita bisa menyentuh layar untuk mengganti setting dan navigasi menu.

Kualitas gambar yang dihasilkan Canon M50 cukup baik, terutama di ISO rendah seperti 100-400. Di kondisi cahaya yang agak gelap seperti di dalam ruangan, ISO 1600 masih baik, jika terpaksa ISO 3200 dapat digunakan, tapi dari 6400 dan terutama 25600 dihindari kecuali terpaksa karena munculnya noise dan detail dan ketajaman yang berkurang.

Warna yang dihasilkan M50 cenderung ke magenta sehingga terlihat lebih hangat, terutama saat memotret manusia, untuk pemandangan warna cukup alami, warna biru dan hijau tidak terlalu pekat.

ISO 100, f/8, 1/200 detik, 15mm

Dari segi ketajaman, akan sangat tergantung pada pada lensa yang digunakan. Lensa kit 15-45mm yang dipaketkan kamera ketajamannya standar saja, tapi keuntungannya ringkas dan cukup lebar. Saat dipasang dengan lensa fix DSLR dengan adaptor Canon EF to M, dan cahaya yang baik ketajaman dan dan detail yang dapat ditangkap kamera ini sangat baik.

ISO 100, f/3.5, 1/125 dt, lensa EF 40mm f/2.8 STM (dgn adapter). Beauty Dish dan Strip softbox.

Crop 100% dari foto diatas

ISO 800, f/6.3, 1/200 detik, 45mm

Pilihan lensa dan adaptor

Sampai saat ini, terdapat tujuh lensa Canon EF-M yang compatible penuh dengan sistem Canon M ini, tapi jika dirasakan kurang, Anda bisa memasang lensa Canon EF-S atau EF ke kamera mirrorless Canon ini dengan adaptor Canon EF ke EF-M. Saat dipasangkan dengan adaptor, lensa menyatu dengan sempurna. Autofokusnya dan operasi lensa mulus karena teknologi dual pixel af berada di sensor kamera. Untuk kebutuhan video, lensa-lensa dengan stepper motor (STM) akan lebih mulus.

Lensa-lensa fix untuk kamera DSLR yang ukurannya tidak besar seperti Canon EF-S 24mm f/2.8, EF 40mm f/2.8 STM, EF 50mm f/1.8 STM atau lensa wide-angle seperti Canon EF-S 10-18mm ideal dipasang di M50 dengan adaptor.

Kesimpulan

Canon M50 adalah kamera mirrorless pemula yang mencari kamera ringkas dengan fitur yang cukup lengkap untuk belajar fotografi lebih mendalam. Dengan adanya jendela bidik dan layar LCD putar, tentunya sangat memudahkan untuk memotret di kondisi cahaya yang terik atau untuk merekam video.

M50 cocok juga bagi pemilik lensa-lensa DSLR Canon karena dapat dipasang ke kamera mirrorless ini dengan adapter. Bagi videografer amatir serius yang membutuhkan video resolusi 4K, sepertinya belum cocok, karena 4K dalam M50 croppingnya terlalu banyak dan autofokusnya belum mulus (Dual pixel AF tidak bekerja saat merekam video 4K). Tapi bagi pemula dan traveler, M50 adalah salah satu kamera mirrorless yang perlu dipertimbangkan.

Canon EOS M10 dijual dengan paket lensa 15-45mm f/3.5-6.3 dengan harga Rp 10.955.000, atau double kit lens EF 15-35mm f/3.5-6.3 IS STM + EF-M 55-200mm f/4-6.3 IS STM dengan harga Rp 14.740.000,-

ISO 100, f/16, 15 detik, 10mm dengan lensa EF-S 10-18mm f/4-5.6 IS STM dengan adaptor.

Crop 100% dari foto diatas

ISO 100, f/11, 6 detik, 10mm

Kelebihan Canon M50
+ Ukuran ringkas dan ringan
+ Desain touchscreen mudah digunakan
+ Kinerja bagus berkat processor DIGIC 8
+ Dual Pixel AF efektif untuk foto maupun videografi
+ Desain antarmuka ramah pemula
+ Tersedia Wifi untuk transfer atau remote shooting
+ Integrasi kamera dengan lensa DSLR dengan adaptor sangat baik

Kelemahan Canon M50
– Video 4K tidak ada stabilizer, fps rendah dan crop 2.2X
– Pengaturan auto ISO tidak mendalam
– Tidak bisa charge langsung dengan USB-Powerbank
– Silent scene mode tidak bisa diatur secara manual

Spesifikasi utama Canon M50

  • 24.1MP APS-C CMOS Sensor
  • DIGIC 8 Image Processor
  • 2.36m-Dot OLED Electronic Viewfinder
  • 3.0″ 1.04m-Dot Vari-Angle Touchscreen
  • UHD 4K and HD 720p120 Video Recording
  • Built-In Wi-Fi with NFC, Bluetooth
  • Dual Pixel CMOS AF
  • Extended ISO 51200, 10 fps Shooting
  • Combination 5-Axis Image Stabilization

Bagi teman-teman pembaca Infofotografi yang ingin memesan kamera atau lensa, boleh hubungi WA 0858 1318 3069. Kami bisa membantu untuk mendapatkan lensa baru dengan harga yang bersaing.

Bagi yang telah punya kamera, bisa mengikuti acara belajar di kelas dan dalam trip fotografi.

Mencoba foto hitam putih kamera ponsel Huawei P20

$
0
0

Keunikan kamera ponsel Huawei dari P9, P10 dan P20 dibandingkan dengan pesaingnya adalah modul kamera dengan sensor monokrom 20MP dengan bukaan f/1.6 dan image sensor berukuran 1/2.6″.

Kamera dengan image sensor monokrom (tanpa warna/hitam putih) jarang ditemui di era kamera digital, kalaupun ada, harganya tidak murah, diantaranya Leica M Monokrom (lebih dari 120 juta) dan Phase One Achromatic (lebih dari 700 juta).

Kelebihan image sensor monokrom pernah dibahas di artikel ini. Singkatnya, image sensor monokrom memungkinkan tangkapan gambar yang lebih tajam, lebih minim noise dan dynamic range yang lebih baik dibandingkan dengan sensor gambar warna dengan filter bayer dengan ukuran sensor yang sama.

Leica M Monokrom

Meski kamera ponsel Huawei ini tergolong kecil ukuran sensornya, tapi hasil monokromnya dari seri P9 (2016) sampai P20 (2018) selalu membuat saya berdecak kagum. Berikut beberapa jepretan saya beberapa waktu yang lalu saat mencoba Huawei P20 Pro:

Apa yang menarik bagi saya adalah kemampuannya menangkap tekstur, perbedaan gelap terang, dan ketajamannya jika di zoom 100% masih tetap tajam, dan resolusinya 20MP cukup besar untuk cetak cukup besar, yaitu 60 x 40 cm. Maka dari itu saya harapkan Huawei tetap mempertahankan modul monokrom ini di seri kamera ponsel di masa mendatang.

Dari melihat hasil foto hitam putih dari kamera ponsel saja sudah sedemikian bagus, apalagi kalau hasil foto dari kamera Leica M Monokrom atau Phase One Achromatic ya? Hehe..

Tren kamera dalam 100 tahun terakhir

$
0
0

Leica II – Kamera rangefinder yang populer pada zamannya.

Kamera foto dalam sejarah 100 tahun terakhir mengalami evolusi dari masa ke masa. Desain yang populer 100 tahun yang lalu adalah type rangefinder, yang berbentuk kotak dan memiliki jendela bidik disebelah kiri atas kamera. Type rangefinder ini populer dari tahun 1925-1970 berkat Leica, Contax dan berbagai produsen lain. Sejak tahun 1960-an, type kamera SLR mulai terkenal dipopulerkan oleh produsen kamera asal Jepang seperti Pentax, Nikon dan Canon.

Selanjutnya di tahun 1990an mulai dikembangkan kamera Digital SLR (DSLR) yang tidak mengunakan film lagi, tapi mengunakan image sensor. DSLR mulai berkembang pesat sekitar tahun 2000an dan mencapai puncak sekitar tahun 2012 berkat peningkatan teknologi elektronik yang cepat, kemudahan penggunaan dibanding generasi sebelumnya, dan tidak ada ongkos cuci-cetak.

Kamera pocket seperti ini sempat sangat populer, tapi waktunya sangat singkat karena tergantikan smartphone

Kamera compact digital mulai muncul di tahun 2000, dan langsung mendominasi dalam waktu lima tahun menghilangkan kamera pocket film. Popularitas kamera compact tidak lama, hanya sampai 2012 karena kamera ponsel kualitasnya makin bagus.

Di tahun 2008, beberapa perusahaan kamera mulai mengembangkan jenis kamera baru yang dinamakan mirrorless, yang menghilangkan cermin di kamera DSLR supaya body-nya bisa lebih ramping dan memungkinkan kinerja dan pengembangan teknologi yang lebih baru. Pioner jenis kamera baru ini adalah Panasonic dan Olympus, tapi saat ini didominasi oleh Sony dan Fujifilm. Penjualan kamera DSLR di dunia turun meskipun masih lebih banyak dua kali lipat dibanding mirrorless meski tren terus menunjukkan penurunan. Saya perkirakan dalam lima tahun kedepan, dominasi kamera DSLR akan tergusur oleh kamera mirrorless.

Disaat yang bersamaan, di awal tahun 2010-an, ponsel kamera mulai diminati, iPhone 4 sangat sukses di pasar dan kamera ponsel dianggap sudah cukup bagus untuk digunakan sehari-hari, dan sejak saat itu penjualan kamera compact menukik turun.

Steve Jobs memperkenalkan iPhone 4 yang membuat mobile photography populer

Sepuluh tahun setelah iPhone 4 diluncurkan, perkembangan mobile photography sangat pesat dan banyak produsen kamera yang menitikberatkan perkembangan kualitas foto. Beberapa perusahaan yang bersaing ketat dalam pasar premium adalah iPhone, Samsung dan pendatang baru Huawei.

Perkembangan tersebut sangat pesat karena selain kualitas gambar yang makin meningkat, juga didukung oleh prosesor yang handal dan teknologi computational photography yang menggabungkan data dari beberapa modul kamera untuk mendapatkan detail gambar yang lebih baik. Di tahun 2016, Huawei bekerjasama dengan Leica meluncurkan Huawei P9, yang memiliki dua modul lensa dan sensor gambar yang berbeda. Sejak itu, produsen lain juga mengikuti dengan memasang lensor ganda, pada umumnya satu untuk lebar, satu untuk telefoto (80mm) atau standar (50mm).

Kalau perkembangan kamera di ponsel makin bagus, maka bisa-bisa dalam lima sampai sepuluh tahun lagi, sebagian besar kamera ponsel akan mendominasi tidak hanya di kalangan awam, tapi juga di kalangan penggemar fotografi karena kualitas gambar yang dihasilkan kamera ponsel sudah sangat baik untuk cetak ukuran besar sekalipun.

Beberapa minggu terakhir saya mencoba kamera di ponsel Huawei P20 Pro, ponsel dengan kamera tercanggih saat ini dan mendapatkan kualitas gambar yang dihasilkan di modul kamera 40MP dan modul monokrom 20MP sangat baik dan detail. Memang kalau dibesarkan 100% di layar besar, masih kalah tajam daripada kamera DSLR atau mirrorless 40+MP yang harganya 30-50 juta. Tapi hasil foto kamera ponsel ini cukup mengejutkan saya.

Meskipun kamera ponsel akan mendominasi jenis kamera lainnya, tapi bukan berarti kamera rangefinder, DSLR, dan mirrorless akan lenyap begitu saja. Memang, tidak semua perusahaan akan bisa bertahan, seperti di era transisi kamera film ke digital, banyak merk kamera yang menghilang seperti Kodak, Contax, Konica-Minolta, Yashica dan lain-lain.

Foto dibawah ini adalah hasil foto dengan kamera ponsel Huawei P20 Pro. Mode Pro mode, RAW, di edit oleh saya sesuai selera dengan Adobe Lightroom & Color Efex Pro

Krop 100% dari foto diatas

Krop 100% dari foto diatas

Supaya bisa tetap exist, dan sukses, produsen kamera harus membuat kamera yang lebih khusus untuk jenis fotografi tertentu seperti untuk sports atau satwa liar, underwater, astrophotography atau untuk videografi. Bisa juga membuat kamera dengan kualitas material yang premium dan mewah seperti yang sukses dilakukan oleh Leica dengan seri Leica M rangefinder-nya. Toko-toko kamera juga otomatis terancam dan salah satu cara untuk bertahan adalah dengan memberikan pilihan produk yang lebih beragam dan pelayanan, pengalaman berbelanja yang lebih baik.

Popularitas jenis kamera
Rangefinder : 45 tahun : Pembuatnya tinggal Leica
SLR & DSLR : 60 tahun : Memasuki era penurunan, tinggal Canon, Nikon, Pentax
Kamera compact digital : 12 tahun dan tinggal yang canggih yang bertahan
Mirrorless : 10 tahun dan masih berkembang
Smartphone : 8 tahun terakhir dan berkembang pesat

Meskipun nada artikel ini agak pesimis untuk penggemar kamera fotografi tradisional, tapi disisi lain, perkembangan teknologi kamera kedepannya saya pikir sangat cerah untuk yang hobi fotografi karena kita berada dalam era dimana perkembangan teknologi yang cepat, sehingga dalam waktu sepuluh tahun saja sudah dapat menikmati kualitas foto yang tinggi dengan alat yang makin mungil dan praktis.

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live