Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live
↧

Samsung S9+ Camera Phone Review

$
0
0

Dalam beberapa tahun terakhir, kamera ponsel makin lama makin memanjakan pengguna dan membuat peminat kamera digital baik compact maupun interchangeable lens berkurang.

Kelemahan kamera ponsel dibandingkan dengan kamera digital khusus biasanya adalah kemampuannya di kondisi gelap/low-light dan kemampuan membuat bagian yang tidak fokus blur (dikenal juga dengan istilah bokeh), tapi dalam beberapa tahun belakangan ini, kualitas kamera ponsel meningkat seiring dengan teknologi kamera, lensa, dan processor.

Kamera ponsel Samsung S9+ merupakan kamera canggih keluaran bulan Februari 2018 yang lalu, dan memiliki teknologi baru untuk mengatasi kedua kelemahan tersebut.

Ponsel Samsung S9+ ini memiliki tiga kamera, dua di belakang dan satu dibelakang. kamera utamanya memiliki lensa ekuivalen 26mm di kamera full frame / 35 mm format, dan bukaan maksimum f/1.5. Bukaan lensa bisa ditutup sedikit ke f/2.4 sehingga disebut juga dual aperture. Sesuatu yang unik di kamera ponsel.

Bukaan f/1.5 ini tergolong sangat besar untuk ukuran kamera ponsel, dan menyerap banyak cahaya sehingga kualitas foto di tempat gelap masih cerah dan detail, tidak terlalu noise (titik-titik atau pecah). Tapi kelemahannya saat mengunakan f/1.5 bagian ujung-ujung foto agak sedikit berkurang ketajamannya, maka itu ada pilihan f/2.4 untuk memotret di kondisi yang terang, sehingga kualitas ketajamaan foto tinggi di seluruh frame.

ISO 320, f/1.5, 1/13 detik, 26mm

ISO 320, f/1.5, 1/13 detik, 26mm

ISO 50, f/2.4, 1/150 detik, 26mm

Seperti tren multi-kamera di ponsel kelas atas dewasa ini, Samsung S9+ juga punya kamera tambahan yang memiliki lensa dengan focal length ekuivalen 52mm (2x zoom) Focal length ini tergolong lensa standar memiliki distorsi/cembung seperti lensa lebar pada umumnya, sehingga cocok untuk foto portrait atau subjek yang agak jauh. Jika dikombinasikan dengan fitur Live Focus, kamera ini bisa membuat latar belakang blur. Lensa 52mm ini hanya dimiliki di Samsung S9+, tidak di  S9.

ISO 25, f/2.4, 1/125 detik, 52mm

ISO 50, f/2.4, 1/35 detik, 52mm

ISO 25, f/2.4, 1/500 detik, 52mm

ISO 50, f/2.4, 1/180, 26mm

Ponsel ini juga memberikan pilihan kepada pengguna untuk menentukan sendiri setting bukaan, ISO dan shutter speed sesuai keinginan dalam Pro Mode. Setting Auto menurut saya sudah cukup bagus tapi jika mengunakan tripod, setting manual akan lebih oke.

Saya telah mencoba ponsel ini dalam waktu beberapa hari di kondisi cahaya gelap, terang dan untuk portrait dan saya cukup terkesan dengan hasil fotonya. Dua tahun belakangan ini memang kualitas kamera ponsel banyak peningkatannya.

Meski hasil foto tidak sesempurna dibandingkan dengan mengunakan kamera DSLR dan mirrorless dengan lensa berkualitas, tapi kualitas gambar yang dihasilkan dalam berbagai situasi menurut saya sudah sangat cukup baik untuk kebutuhan dokumentasi, portrait, dan traveling, foto-fotonya jika ditampilkan di sosial media sebenarnya sulit dibedakan dengan yang mengunakan kamera digital biasa, terutama jika kita pandai mengedit dan memilih setting yang tepat.

Dengan teknologi yang ditawarkan, kamera Samsung S9+ dijual dengan harga sekitar Rp 12.5 juta. Sedangkan Samsung S9 dijual dengan harga sekitar Rp 10.7 juta.

↧

Mencoba singkat lensa telefoto Leica DG 100-400mm for Panasonic

$
0
0

Saya beruntung berkesempatan menjajal sebuah lensa tele untuk Panasonic Lumix dari Leica dengan Power OIS, ekuivalen dengan 200-800mm dengan ukuran hanya dan bobot kurang dari 1kg, inilah Leica DG Vario Elmar 100-400mm f/4-6.3 Power OIS. Lensa ini termasuk lensa telefoto yang bisa menjangkau subyek yang jauh hingga membuatnya bisa dipakai memotret satwa liar, atau olahraga, bisa dipakai di semua kamera yang memakai mount micro Four thirds. Bukaan lensa ini paling besar di f/4 dan akan mengecil hingga f/6.3 utuk menjaga dimensinya tetap ringkas. Ada tuas untuk memilih area fokus kerja lensa ini, apakah full atau dibatasi hanya untuk fokus ke jarak jauh saja.

Lensa Panasonic Leica DG 100-400mm

Saya mencoba singkat lensa ini untuk memotret kegiatan atraksi Pacu jawi di Sumatera Barat. Di acara ini banyak dihadiri fotografer pro dengan gear dan lensa yang panjang-panjang, karena areanya memang luas dan posisi memotret sudah ditentukan. Dipadankan dengan kamera Lumix G9, kombinasi kamera dan lensa ini masih tetap terkesan ringkas, padahal kinerja kameranya kelas tinggi dan jangkauan lensanya juga tidak main-main bisa sampai 800mm.

Depth-of-field dari lensa tele foto selalu menantang karena ruang tajam yang tipis, perlu memilih mana bagian yang ingin difokus.

Urusan fokus selalu jadi hal penting di lensa telefoto, karena lensa tele punya depth-of-field yang tipis dan kita perlu mencegah salah memilih bagian yang ingin difokus. Menguasai teknik fokus juga penting khususnya dalam hal auto fokus kontinu misalnya dalam memotret benda bergerak. Dengan teknologi DFD AF di kamera Lumix G9, saya temui kinerja AF kontinu lensa ini tidak ada masalah, dengan mode AF-C kamera mampu mengatur servo fokus lensa untuk terus menjaga fokus pada subyek yang bergerak mendekat dengan cepat. Yang penting di kamera kita harus pilih mode area AF dengan tepat, apakah satu titik, zona atau Auto area AF (yang Auto ini tidak saya sarankan).

Depth-of-field yang harus diperhitungkan antara subyek dan background, dalam hal ini saya memilih f/5.6

Dari beberapa percobaan saya memotret dengan lensa ini di pacu jawi satu hal yang perlu saya adaptasi adalah dengan memakai fokal lensa yang sangat tele perlu konsentrasi lebih, karena karena sedikit saja lensa digeser ke samping maka subyek bisa out-of-frame. Kalau mau aman memang jangan terlalu tele lalu nanti di crop, tapi justru tujuan saya ingin meminimalkan terlalu banyak crop karena crop biasanya dilakukan oleh mereka yang lensanya kurang mampu menjangkau subyek.

Beberapa contoh foto dan sedikit penjelasan :

Foto ini pakai fokal lensa 280mm, kira-kira lensanya masih belum di zoom, dan tampak banyak sekali yang masuk dalam foto ini karena memang posisi motret lumayan jauh. Artinya kalau mau lebih dekat lagi ke sapinya di spot ini butuh minimal 400mm.

Tapi begitu lensa di zoom mentok 400mm (ekuivalen 800mm) didapatlah detail yang sangat dekat dan hanya perlu sedikit crop saja.

Dengan cropping yang cukup banyak masih menyisakan detail yang cukup bila ingin dicetak besar.

Atau bahkan crop sadis hingga tersisa 1 megapiksel saja, kalau untuk di instagram masih berani

Dan khusus untuk mengetahui seperti apa kemampuan lensa ini dalam menangkap detail, saya coba foto jam Gadang dengan berbagai fokal lensa :

Untuk perbandingan, saya pakai lensa Leica 12-60mm di zoom ke 60mm (ekuivalen 120mm)

dan inilah hasil dari lensa 100-400mm pada fokal 100mm (lensa di zoom out)

dan saat di zoom maksimal ke 400mm (setara 800mm)

Penasaran dengan detail dan ketajaman di fokal 400mm, saya crop ekstrim dan inilah hasilnya…

Kesimpulan dari memakai lensa Leica DG 100-400mm ini :

  • ketajaman mantap, bahkan di fokal 400mm
  • AF servo gesit dan akurat selama kita tepat memilih AF area di kamera
  • OIS berfungsi baik, meski saya belum mencoba Dual IS di keadaan low light
  • ada tripod collar dan ada dobel hood yang menarik dan berguna
  • saat zoom out lensanya tidak terlalu panjang (mudah saat masuk tas)
↧
↧

Kesan pertama Leica Q

$
0
0

Dari pertama kali Leica Q diluncurkan tiga tahun yang lalu, saya sering mendengar teman-teman yang mengunakan Leica Q sering memuji kameranya sebagai yang terbaik. Saya sendiri juga merasa Leica Q ini sangat good value (pantas) karena kualitasnya mirip seperti Leica M, namun dengan harga yang relatif terjangkau dan juga di dalamnya tersemat teknologi canggih sehingga tidak perlu repot-repot manual fokus.

Leica Q adalah kamera Leica yang paling sukses dalam tiga tahun terakhir ini

Saya pernah mencoba dan mengutak-utik Leica Q beberapa kali, tapi baru kali ini saya bisa mengunakannya lebih seksama. Ceritanya ada teman yang menawarkan Leica Q warna hitam bekas tapi fungsinya masih bagus kepada saya dengan harga yang tidak terlalu tinggi, dan kebetulan Iesan juga mengizinkan (jarang sekali istri mengizinkan suami yang sudah punya lebih dari tiga kamera untuk beli kamera baru yang harganya puluhan juta hahaha). Jadi saya cepat-cepat membeli kamera ini sebelum Iesan berubah pikiran.

Kesan pertama saya cukup positif: Kualitas body Leica Q dan lensanya  diatas kamera mirrorless pada umumnya karena mengunakan material logam yang kuat, begitu pula dengan tombol, dialnya. Meski demikian, body Leica Q tidak sempurna, seperti Leica M dan SL, catnya suka mengelupas setelah pemakaian yang cukup intensif, dan tidak tahan air.

Kinerja kamera cukup cepat, autofokus-nya cepat mengunci fokus, meski saya coba di kondisi yang gelap. Kecepatan foto berturut-turutnya sangat cepat, mencapai 10 foto per detik, bagi saya justru terlalu cepat, sehingga saya set ke medium speed (sekitar 6-7 foto perdetik).

Saat memotret, Leica Q juga suaranya sangat pelan relatif terhadap kamera mirrorless/DSLR, karena tidak punya cermin seperti DSLR, juga punya mekanisme shutter berjenis leaf shutter, sehingga suaranya lebih senyap. Kamera ini juga mendukung electronic shutter sampai 1/16000 detik dan flash sync speed 1/2000 detik (karena leaf shutter) sehingga pengguna flash akan mudah mengendalikan cahaya lingkungan/ambient dengan mudah tanpa harus tergantung pada fitur high sync speed flash.

Pengalaman saya pertama memotret dengan Leica Q saat berkunjung ke workshop pembuat gerabah ini menyenangkan karena hal-hal diatas, tapi tidak ada artinya jika kualitas gambarnya kurang memuaskan.

Tapi untunglah saat memeriksa kualitas gambarnya bagus, mendekati Leica SL, warnanya beda dengan kamera lain dan enak dilihat karena berkesan alami. Kualitas di kondisi gelap saat harus menaikkan ISO juga baik, tidak terlalu banyak noise yang muncul.

Kualitas gambar yang bagus ini karena sensor gambar Leica Q ini 24MP full frame sensor, dan didukung dengan lensa Leica 28mm f/1.7 OIS Macro yang di f/1.7 yang berkualitas tinggi dan mampu menghasilkan foto yang terlihat tiga dimensi, tapi karena saya perlu ruang tajam yang lebih (depth of field), maka saya sering mengunakan bukaan f/2-f/2.8.

Saya cukup puas dengan Leica Q ini, dan berencana membawanya ke trip India (Amritsar & Dharamsala) dan juga Tibet di bulan April 2018 ini. Yang ingin ikutan kabar-kabari ya. 🙂


Bagi teman-teman yang ingin memesan Leica Q, boleh menghubungi 0858 1318 3069. Kita bisa bantu untuk mendapatkan baik kamera Leica Q warna hitam/klasik, Leica Q Silver atau Leica Q special edition Barong (Titanium + Leather merah).

↧

Mentoring foto di Monas, Sabtu 21 April 2018

$
0
0

Sesi mentoring di bulan April kali ini mengundang anda untuk belajar memotret di sekitar Monumen Nasional.  Agenda utama kita adalah belajar mengatur eksposur di kamera, mengamati subyek yang ada dan mengatur komposisi terbaik, juga bisa foto candid kegiatan para pengunjung disana, dan tentunya belajar slow speed saat hari mulai senja di sekitar kolam ataupun lapangan olah raga yang tersedia. Seperti biasa mentoring ini terbuka untuk siapa saja yang ingin mendapatkan pengalaman langsung memotret dengan bimbingan sehingga lebih terarah dan efektif.

Mentoring ini dijadwalkan pada :

  • Sabtu, 21 April 2018, jam 16.00 -19.00 WIB
  • Kumpul di : pintu masuk Monas IRTI
  • Biaya : Rp. 350.000,-

Peralatan yang perlu dibawa : kamera, lensa (lebar lebih disukai), tripod. Mengingat tempat terbatas (hanya 5 peserta) maka yang berminat diharap langsung mendaftar ke 0858-1318-3069 dan mentransfer biayanya ke Enche Tjin via Bank BCA: 4081218557 via Bank Mandiri: 1680000667780.

↧

Kamera apa yang CUKUP bagus?

$
0
0

Saat ini, kamera baru yang bermunculan frekuensinya semakin banyak, tapi apakah kamera lama sebenarnya sudah cukup bagus atau belum? Belakangan ini, saya aktif memotret cityscape dan sekaligus membimbing murid-murid saya di berbagai atap gedung di Jakarta, dan sejak dua tahun lalu mengunakan Leica SL, saya belum memiliki lensa ultra lebar.

Pertama karena memang Leica memang belum meluncurkan lensa lebar 16-35mm nya (kabarnya sih segera, tapi pengiriman dan lain-lainnya biasanya bisa telat 3-6 bulan). Meski sudah diumumkan, dan saya juga harus mempertimbangkan harga-nya he he he.

Awalnya, saya berencana membeli lensa lebar Voigtlander untuk Leica M-mount untuk diadaptasikan ke Leica SL. Saya pernah review Voigtlander 10mm di artikel ini. Tapi saya juga berpikir, kalau saya beli yang ini (sekitar 10 jutaan), sepertinya sayang juga, karena lensa yang sangat lebar sulit mencari subjek yang pas, yang paling cocok adalah cityscape saja.

Lalu saya teringat kamera DSLR Nikon yaitu Nikon D600 dan lensa lebar 16-35mm f/4 VR belum dijual dan bisa saya gunakan. Sebagai informasi, Kamera DSLR Nikon D600 sudah saya gunakan sejak tahun 2012. Saya membelinya di bulan Desember tahun 2012 saat Iesan (istri saya) pulang kampung ke Medan. D600 ni kamera yang saya beli tanpa izin Iesan ha ha ha. Saat itu harganya 20 jt, tapi kini harga bekasnya sekitar 8-11 juta tergantung kondisi.

Keterbatasan relatif ke kamera full frame baru saat ini, terutama ke Leica SL saya:

  • Live view di LCD gelap saat malam tiba, autofokus tidak bisa diandalkan, sehingga saya pakai manual fokus dan itu juga menantang karena perlu focus magnification.
  • Perlu lebih disiplin karena sistem DSLR rentang shake karena ada cermin (mirror shock) dan shutter shock.
  • Dibandingkan dengan lensa Leica, Nikon AF-S bukan lensa yang sangat tajam. Kombinasi kamera dan lensa 16-35mm tidak terlalu tajam di tingkat pixel, karena sensor kamera ini masih memiliki filter AA yang sedikit menurunkan ketajamanan untuk mencegah timbulnya moire.

Disisi bagusnya, saya merasa sudah terbiasa dengan kamera Nikon yang saya gunakan dari tahun 2008 (10 tahun bukan waktu yang singkat). Kamera Nikon sendiri saya nilai bagus untuk menghasilkan warna-warna yang cerah dengan rentang dinamis, kemampuan menangkap bagian terang dan gelap dengan bagus.

Ternyata kamera dari tahun 2012 tidak jelek juga toh?  Tidak heran bahwa banyak fotografer dewasa ini agak enggan meng-upgrade kamera setiap tahun, karena kamera baru semakin mahal, juga peningkatan-nya tidak begitu signifikan, terutama dari kualitas gambarnya.

Maka dari itu, bagi yang belum beruntung misalnya belum punya budget atau belum diizinkan partner hidup tentunya tidak perlu kecil hati karena kemungkinan besar kamera yang dimiliki mungkin sudah cukup bagus apalagi cuma untuk instagram.


Jika ingin berpartisipasi dengan acara Infofotografi baik workshop, mentoring atau belajar fotografi dari dasar, silahkan kunjungi halaman jadwal kegiatan kami, atau hub 0858 1318 3069

↧
↧

Lima alasan mengapa Iesan memilih Panasonic G9

$
0
0

Tidak mudah mencari sistem kamera untuk Iesan, karena ia sangat pemilih. Dalam sepuluh tahun yang lalu, Iesan telah berkali-kali gonta-ganti kamera, dari Canon 550D, Canon 650D, Sony A6000, Nikon D5500, dan yang terakhir Panasonic GX85. Iesan juga pernah mencoba kamera DSLR full frame punya saya, Nikon D600, tapi baru 30 menit hunting, ia menyerahkan kameranya ke saya, keberatan katanya hehehe.. Meskipun ia senang hasil fotonya.

Dari raut wajahnya, sepertinya Iesan senang dengan G9.

Tahun 2017 yang lalu, Iesan sempat memperhatikan Panasonic GH5 dan lensa Leica 12-60mm saat kami berkunjung ke Jepang, dan juga sempat mencoba Panasonic GH5 pinjaman akhir tahun 2017 ke Pangalengan. Ia cukup senang dengan hasil gambar kamera ini dan tidak terganggu dengan bobot kameranya. Di awal tahun 2018, akhirnya Iesan berkesempatan mencoba Panasonic G9. Sepertinya Iesan senang mengunakan kamera ini. Mungkin type kamera seperti G9 ini yang paling pas buat Iesan.

Hari ini saya menanyakan kepadanya: Apa 5 alasan mengapa ia menyukai Panasonic G9?

  1. Warna: Warna hasil foto Panasonic G9 akurat sesuai apa yang dilihat, sedikit lebih pekat (saturated) tapi bisa diatur sesuai selera. Warna merah dan hijau di alam yang sulit bagi kamera lain bisa diproduksi dengan mudah dan alami oleh kamera ini.
  2. Grip / Handling : Pegangan dari kamera ini dalam, dan cukup tinggi, jadi enak dan pas di tangan, tetap mantap saat mengunakan berbagai jenis lensa, baik lensa besar maupun kecil. Jika melihat gambar kameranya saja, kesannya kamera ini besar banget, karena desainnya seperti kamera DSLR profesional, tapi kalau melihat langsung, G9 ini mirip DSLR mini.
  3. Dual IS 6.5 stop : Sistem stabilizer 5 axis + Optical Stabilization di lensa membantu Iesan yang malas mengunakan tripod untuk bisa menstabilkan getaran baik untuk foto dan saat merekam video. Iesan sempat mencoba merekam video sambil berjalan, hasilnya lebih mulus dari kamera-kamera yang sebelumnya pernah digunakan.
  4. Lensa-lensanya kecil-kecil, lensa telefotonya hanya beberapa cm saja, membuat Iesan nyaman membawa beberapa lensa saat hunting foto.
  5. Layar: G9 punya layar LCD yang bisa diputar (articulating screen) dan juga touchscreen, memudahkan penggunaan saat foto dan video

Meskipun Iesan senang dengan kameranya, saya juga menanyakan apakah ada yang kurang disukainya. Hal pertama yang dijawab Iesan adalah harganya, yaitu Rp 23 juta body-only (mahal atau murah sebenarnya relatif, tapi Iesan memang sangat sensitif dengan harga, mungkin sudah naluri hehe). Iesan juga mengungkit bahwa sensor kamera G9 ini termasuk kelas micro four thirds sehingga di ISO tinggi tidak sebersih/sedetail kamera jenis lain yang setara harganya. Tapi ia juga menambahkan bahwa sensor kecil juga membuat lensa-lensanya juga kecil, jadi ya bisa dibilang impas. Lagian ada stabilizer dan lensa-lensa bukaan besar yang dapat mengatasi masalah saat memotret di kondisi gelap.

Oke, jadi sepertinya Iesan dah mantap dengan G9, dan Ia akan membawa kamera ini ke Tibet akhir April ini untuk dijajal. Janjinya, ia akan mengulas pengalamannya setelah pulang dari Tibet awal Mei mendatang.


Pre-order sudah dimulai di toko-toko kamera, dan kamera ini akan tersedia tanggal 14 Mei 2018.

Bagi yang pre-order, ada bonus yang menarik yaitu lensa Panasonic Lumix 25mm f/1.7 dan ekstra baterai. Total valuenya sekitar Rp 4 juta, lumayan bukan?’

Jika ada teman-teman pembaca yang ingin pre-order via kami, silahkan hub Iesan langsung di 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

↧

Workshop kamera mirrorless 29 April : foto Street dan bahas foto

$
0
0

Melanjutkan seri workshop kamera mirrorless bulan lalu, di sesi kedua kali ini kita akan mengajak pengguna kamera mirrorless* untuk hunting foto bersama, dengan tema memotret street fotografi di pasar lama Tangerang dilanjutkan dengan sesi bahas foto di tempat infofotografi Green Lake city Jakarta. Kegiatan ini akan melatih kemampuan kita dalam mengamati sekitar, memilih komposisi, mencari hal yang menarik dan mendapat timing yang tepat dalam memotret di ruang publik. Penggunaan kamera mirrorless sangat cocok untuk foto street karena ukurannya yang ringkas tidak menarik perhatian banyak orang, khususnya bila memakai lensa fix.

Sebagai pembimbing hunting dan pemateri di sesi bahas foto adalah Hendro ‘Momi’ Poernomo, seorang fotografer dari jaman film yang kini menjadi pengguna Panasonic Lumix GX7 yang sudah banyak memotret street fotografi di dalam dan luar negeri, dan juga pakar dalam hal teknik foto hitam putih (B/W).

Biaya untuk mengikuti acara ini adalah Rp. 50.000,-  termasuk makan siang di infofotografi Green lake, tidak termasuk transportasi kendaraan.

Tempat terbatas, maksimum 12 peserta. Pengguna mirrorless yang tertarik untuk mengikuti workshop ini silahkan menghubungi 0858-1318-3069 (SMS/WA) untuk mendaftar dengan mencantumkan nama dan tipe kameranya.

Teknis acara :

Hari minggu 29 April jam jam 9 pagi peserta berkumpul di jalan Kali Pasir Tangerang (tepi sungai Cisadane) dan setelah mendapat arahan dari pak Momi dilanjutkan dengan hunting foto street di lokasi tersebut sampai jam 11.00 WIB. Peserta selanjutnya dengan kendaraan masing-masing melanjutkan kegiatannya ke markas infofotografi di Green Lake city untuk makan siang dan membahas foto. Workshop akan selesai sekitar jam 15.00 WIB.

Dari Pasar Lama ke infofotografi sekitar 35-40 menit, bisa via Cipondoh atau melalui jalan tol.

* ) kegiatan ini disponsori oleh Panasonic Indonesia

↧

Mentoring cityscape Bundaran HI, 19 Mei 2018

$
0
0

Mentoring cityscape kali ini termasuk eksklusif yaitu memotret bundaran HI dari rooftop hotel Mandarin. Tak dipungkiri spot bundaran HI menjadi ikon utama Jakarta dan banyak orang yang ingin memotret dari atas tapi terkendala akses gedungnya. Untuk itu kami pilihkan hotel Mandarin sebagai tempat untuk memotret bundaran HI dengan view terbaik. Seperti mentoring sebelumnya, saya dan Enche Tjin akan membimbing peserta untuk pengaturan setting teknis kamera (eksposur, fokus, WB. style), komposisi (angle dan pemilihan fokal lensa) serta teknik memotretnya (untuk mendapat foto yang tajam).

Acara ini dijadwalkan pada :

  • hari : Sabtu, 19 Mei 2018
  • waktu : 16.30-19.00 WIB dilanjutkan dengan makan malam / buka puasa bersama (buffet/all you can eat di resto setempat)
  • meeting point : lobi hotel Mandarin

Peralatan yang diperlukan adalah kamera, lensa (lebar lebih cocok) dan tripod.  Jumlah peserta terbatas, untuk mendaftar silahkan hubungi Iesan di 0858-1318-3069.

↧

Memilih kamera dan lensa untuk ke India dan Tibet 2018

$
0
0

Dalam satu dua hari ini, saya akan bersama teman-teman pencinta fotografi untuk ke India (Amritsar & Dharamsala) dan China – Tibet. Secara alami, masalah mau bawa kamera atau lensa apa menjadi persoalan yang hinggap di pikiran saya, juga mungkin teman-teman.

Jika dibawa semuanya ya tidak memungkinkan, karena keterbatasan fisik dan mental di lapangan. Dalam memilih, saya tidak hanya fokus ke jenis kamera, tapi juga lensanya, karena dari lensa sudut pandang, ketajaman dan dimensi foto tercipta.

Leica Q

Memang, tiap orang beda-beda, ada yang sukanya yang seringkas mungkin, ada yang perfeksionis yang selalu hasil fotonya terbaik secara teknis sehingga perlu kamera dan lensa terbesar dan terbaik, ada juga yang mementingkan lensa yang punya rentang zoom panjang, sehingga tidak perlu gonta-ganti lensa di lapangan. One camera, One lens, that’s all.

Saya sendiri biasanya mempertimbangkan kondisi lapangan dan apa jenis foto yang ingin saya buat disana.  Meski jarak India dan Tibet tidak jauh, tapi trip ke India kali ini sangat berbeda dengan trip ke Tibet, karena di India banyak human interestnya: motret orang-orang dari jarak dekat, dan mungkin sedikit landscape kalau cuaca mendukung. Suhu sekitar 20-35 C, jadi tidak jauh berbeda dengan di Jakarta, hanya mungkin sedikit lebih sejuk saat di Dharamsala.

Di Tibet sendiri kondisi alamnya beda, pertama masih dingin (0-14 C) dan di dataran tinggi. Pertama-tama di Xining saja sudah 2400m, lalu Lhasa 3600m, dan kemudian rata-rata spot fotonya berada dikisaran 4000-5000 meter-an. Jadi stamina dan nafas bisa dipastikan cepat habis, maka itu perlu memilih gear yang tepat.

Trip India: Leica Q dan Sigma DP2M

Untuk ke India, saya memilih membawa Leica Q, kamera yang terkenal untuk street photography karena ukurannya kecil, kinerjanya cepat dan kualitas lensa dan kameranya sangat baik. Alasan utama saya adalah lensa 28mm yang dimiliki Q ini. 28mm memberikan perspektif yang lebar, cocok untuk bercerita tentang subjek, dan dapat untuk memasukkan latar belakang yang cukup luas sebagai konteks cerita. Untuk memotret pemandangan juga 28mm cukup luas dan terkesan alami.

Sigma DP2 Merrill

Satu kamera lagi yang saya bawa untuk menemani Leica Q adalah Sigma DP2 Merrill. Kamera ini memiliki sensor Foveon (kurang lebih setara sensor APS-C yang dapat menangkap warna-warna yang pekat tapi murni, dan tajam sekali, namun lambat sekali dan tidak bagus digunakan di ISO tinggi (400) ke atas. Tapi saya senang lensanya 30mm (ekuivalen 45mm di full frame). 45mm menurut saya, memberikan perspektif yang alami/standar, sesuai apa yang dipandang mata. Dibandingkan dengan lensa 50mm, 45mm sedikit lebih lebar, sehingga untuk foto jarak dekat masih baik.

Trip Tibet: Leica Q dan Leica V-Lux 114

Leica V-Lux 114

Untuk ke Tibet, saya memperkirakan saya perlu kamera dengan focal length yang berbeda-beda untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena di trip ini subjek yang dipotret akan beragam, dari human interest dan pemandangan. Saya juga harus menjaga agar kombinasi kamera saya tidak terlalu memberatkan, oleh sebab itu saya memilih Leica V-Lux 114 untuk mendampingi Leica Q, karena V-Lux ini punya kelebihan bisa zoom ekuivalen 25-400mm dan bukaannya juga cukup besar untuk kategori lensa superzoom yaitu f/2.8-4 dengan stabilizer built-in. Bobot kamera V-Lux dengan lensa built-in nya sekitar 800 gram. Kelemahannya ya tentunya sensornya berukuran 1 inci saja, tapi saya pikir kompromi yang wajar mengingat saya mendapatkan keuntungan rentang zoom yang luar biasa.

Oke demikianlah sharing saya kali ini, setiap orang memang beda-beda kesukaannya, jadi ya tidak ada pilihan yang tepat atau salah, yang penting adalah saya harus fokus dalam memotret, jangan pikirkan apa yang tidak bisa dilakukan oleh gear yang dibawa di lapangan, tapi fokus dengan apa yang bisa, sehingga bisa lebih menikmati proses dan menghasilkan foto sesuai dengan suara jiwa kita masing-masing.


Bagi yang ingin gabung dengan trip yang diadakan Infofotografi, atau yang ingin memesan kamera/lensa Leica saya dapat membantu. Hub. 0858 1318 3069. Trims 🙂

↧
↧

Sekali lagi tentang memilih gear (kamera dan lensa)

$
0
0

Selama ini web infofotografi banyak dikunjungi pembaca yang ingin mencari panduan untuk membeli gear seperti kamera dan lensa. Dari kolom komentar sudah banyak yang tanya soal pilih kamera apa, membandingkan beberapa kamera sampai meminta rekomendasi lensa. Tidak kurang-kurang juga sudah kami bantu jawab berbagai pertanyaan yang masuk itu tapi bisa jadi masih banyak yang penasaran soal memilih gear.

Pertama saya akan pisahkan dulu kamera dan lensa ya. Kamera digital anggaplah seperti komputer dengan banyak tombol dan menu. Saat kita bicara kualitas gambar (sensor kamera menentukan detail, dynamic range dan noise), kecepatan memotret (prosesor dan mekanik shutter), memori internal dan eksternal, sertafitur-fitur canggih itu adanya di kamera. Makin mahal kamera, bisa jadi hasil fotonya makin baik, kinerja makin cepat atau fiturnya makin banyak. Lensa dalam fotografi adalah pembentuk gambar, baik dari sisi cakupan (coverage/field of view), fokus/blur dan sharpness. Lensa kamera adalah perwujudan dari teori optika, dipadukan dengan fotografi dan diperumit oleh teknologi seperti IS, motor fokus silent dsb. Makin mahal lensa biasanya karena makin sulit lensa itu dibuat, atau karena standar kualitas (kesempurnaan) yang sangat tinggi, atau memang teknologinya yang rumit. Dalam fotografi, apakah kita harus memilih kamera dan lensa terbaik (yang pasti mahal), adalah perdebatan tanpa ujung yang enggan saya bahas disini. Saya akan membahas tentang opini saya saja mengenai memilih gear.

Memilih kamera : faktor obyektif dan subyektif

Kamera yang lebih mahal, tentu menang di fitur, kecepatan dan bodinya. Biasanya kamera lebih mahal punya lebih banyak tombol, ergonomi lebih enak, dan bodi yang tahan cuaca. Kalau tidak butuh semua ‘plus-plus’ dari kamera mahal ya tidak usah dipaksakan, tidak perlu terjebak oleh angka komparatif, misal jumlah titik fokus, kecepatan tembak, ISO maksimal dsb yang tidak terlalu kepakai di keseharian kita. Saya bukan bilang kalau spesifikasi tidak penting ya, saat memilih kita tetap perlu obyektif dalam membandingkan fitur dan spesifikasi. Tapi setelah itu pertimbangkan faktor subyektif yang juga punya peran dalam menentukan keputusan. Apa itu faktor subyektif?

Faktor subyektif adalah faktor yang berkaitan dengan user experience kita. Apalah artinya kamera yang diatas kertas punya segudang fitur, kerja cepat, fotonya bagus, tapi kita tidak nyaman memakainya. Kenyamanan ini pengaruh ke mood saat memotret lho. Misalnya untuk aspek ergonomi, coba cek lagi apakah kameranya terasa enak saat digenggam, apakah layar sentuhnya memudahkan, apakah tombol-tombolnya mudah diakses dan apakah menu-menunya gampang dipahami. Untuk itu anda perlu mencoba dulu, mungkin pinjam punya teman atau coba-coba di toko elektronik yang menyediakan kamera sampel untuk dicoba. 

Memilih lensa : lebih rumit dari memilih kamera

Memilih lensa bisa dilakukan sebelum atau sesudah membeli kamera. Bagi yang belum punya kamera, sebaiknya pelajari dulu kebutuhan lensa yang akan dibeli barulah memilih kamera. Ingat lensa itu penentu seperti apa foto kita akan didapat secara visual, ketajaman, warna dan bokeh. Lensa juga menentukan bagaimana kita mengatur fokus, manual atau otomatis, motor fokusnya senyap atau berisik. Kalau kebutuhan lensa kita spesifik dan banyak maka pilih sistem yang aman dalam jangka panjang. Meski saat ini semua sistem punya pilihan lensa basic yang sama lengkapnya, termasuk Canon EOS M yang sebetulnya ada beberapa lensa basic untuk mirrorless (11-22mm ada, fix 22mm f/2 ada, 18-150mm ada dsb) tapi untuk lensa pro ya terpaksa adaptasi lensa DSLR (EF lens) yang memang agak repot. Fuji X misalnya, punya pilihan lensa yang jauh lebih lengkap, kualitas optik dan konstruksi fisik lensanya sangat baik, meski harganya juga lumayan tinggi. Sistem yang punya dua format sensor akan punya dua jenis lensa yang semakin membingungkan, misal di DSLR Canon, Nikon dan mirrorless Sony. Anda harus tahu bedanya lensa EF dan EF-S (Canon), lalu DX dan FX (Nikon) dan E serta FE (Sony).

Intinya memilih lensa jauh lebih kompleks. Bagi yang awam akan terasa aneh saat tahu harga lensa begitu mahal, dan pilihannya banyak sekali. Akhirnya mereka memilih lensa cuma berdasar kata teman, atau ikut-ikutan. Tapi bagi yang sudah mengerti tentang lensa akan memilih berdasarkan kebutuhan fotografinya, meski bisa saja akan mengalami kompromi. Misal dia tahu butuh lensa 24-70mm, lalu karena alasan ukuran dan budget maka lebih memilih yang versi f/4 daripada yang f/2.8. Contoh sebaliknya misal ada yang perlu lensa fix 50mm f/1.4 dan karena dia perlu bukaan f/1.4 maka dia tidak tergoda untuk memilih yang f/1.8 meski jauh lebih murah. Mereka yang sudah mengerti akan lebih spesifik dalam memilih lensa yang akan dibeli, seperti zoom atau fix, lebar atau tele, bukaan besar atau tidak, ada IS atau tidak dsb. Lensa juga kadang ada generasinya, lensa makin modern biasanya makin tajam dan resolving megapiksel sensor makin baik tapi tentunya makin mahal harga lensanya. Lensa jaman now juga banyak disediakan oleh pihak ketiga baik yang merknya populer (seperti Tamron atau Sigma) sampai brand China yang agak asing di telinga (misal Meike atau 7Artisans).

Anda yang belum begitu memahami soal ini, lebih aman memilih lensa zoom dulu, dengan rentang lensa seperti lensa kit yaitu 18-55mm (atau sebetulnya adalah 28-75mm di ekuivalen kamera full frame) adalah start awal yang baik. Nantinya tambah saja lensa tele seperti 55-200mm lalu bertahap tambah lagi satu dua lensa fix (misal 35mm dan 85mm). Tidak perlu mengkuatirkan apakah lensa saya bisa untuk foto ini itu, pada dasarnya semua lensa bisa dipakai untuk berbagai kebutuhan tapi untuk hasil maksimal ya ada lensa yang lebih cocok. Makanya TIDAK ADA LENSA IDEAL, tidak ada satu lensa yang maksimal untuk segala kebutuhan, tapi bahkan sebaliknya satu lensa kit saja (kalau dimaksimalkan pemakaiannya) bisa dipakai untuk banyak bikin foto yang bagus.

Tips memilih kamera :

  • dana 5-8 jutaan sudah bisa dapat kamera yang hasil fotonya bagus, disarankan DSLR (karena kalau mirrorless 5-8 juta biasanya tanpa jendela bidik)
  • tambah budget up to 12 juta untuk mencari fitur yang lebih (DSLR atau mirrorless di harga 12 juta cukup banyak)
  • kamera diatas 12 juta pada dasarnya semua pilihan sudah oke (baca panduan rekomendasi memilih kamera berdasar harga)
  • jangan terjebak angka, tapi tetap bijak dan obyektif menyikapi spesifikasi
  • meski manusia cenderung bisa beradaptasi dengan baik, tapi kalau kamera yang dipakainya tidak nyaman (secara subyektif) akan mempengaruhi mood memakainya (dan pengaruh ke foto kita lho)

Tips memilih lensa :

  • kenali dulu apa bedanya hasil foto dari lensa wide, lensa tele, lensa bukaan besar, dan lensa makro (banyak lihat contoh foto di internet)
  • kenali setiap sistem, misal Canon itu ada DSLR dan mirrorless, lalu DSLR ada full frame dan APS-C, misal kita memilih DSLR Canon full frame maka cari tahu apa saja lensa EF yang dibuat oleh Canon, juga lensa dari pihak ketiga apa saja, berapa harganya dsb
  • anda yang punya budget banyak, cari tahu lensa PRO seperti apa yang diperlukan, dan apakah ukuran lensanya bisa anda maklumi (lensa pro biasanya besar)
  • anda yang dana terbatas, tentukan skala prioritas dalam membeli lensa (misal satu tahun beli satu lensa saja, itupun yang harga dibawah 10 juta misalnya)
  • lensa murah biasanya banyak kompromi, seperti ketajaman, quality control, motor fokus hingga durability tapi lensa murah tetap bisa dipakai setidaknya untuk belajar fotografi
  • pertimbangkan pakai beberapa lensa fix, meski repot tapi biasanya lebih bagus hasilnya dan lebih ringkas (juga lebih murah), misal punya lensa 24mm, 50mm dan 85mm

Ikuti bermacam kelas dan workshop fotografi yang kami selenggarakan rutin untuk lebih mengerti tentang kamera, lensa dan penggunaannya secara maksimal.

↧

Kesan mengunakan Leica Q dan lensa 28mm di India 2018

$
0
0

Memotret dengan kamera lensa Leica Q yang lensanya fix 28mm, tidak bisa zoom, gak bisa tukar lensa, kadang membuat fotografer agak takut. Saya sendiri cukup terbiasa dengan jarak fokus/focal length 28mm sehingga saya merasa biasa saja. Beberapa tahun terakhir, lensa 28mm semakin terkenal karena banyak ponsel kamera yang mengunakan lensa ini. Sebagai gambaran, 28mm itu dihasilkan oleh kamera-kamera ber-lensa ekuivalen 28mm di full frame, sebagai contoh Leica Q, atau kamera-kamera DSLR/mirrorless full frame yang dipasangkan dengan lensa 28mm.

Jika kameranya bersensor lebih kecil, misalnya APS-C, maka focal length yang dicari yaitu 28 dibagi dengan 1.5X = 18mm. Contoh kameranya yaitu Ricoh GR, Fuji X70, atau kamera DSLR/mirrorless yang dipasangkan dengan lensa 18mm. Jika kameranya micro four thirds seperti Olympus dan Panasonic, maka lensa yang mendekati 28mm adalah 14mm atau 15mm (28 dibagi 2).

Untuk memotret human interest, 28mm cocok untuk foto-foto seperti dibawah ini, satu atau beberapa orang yang sedang berinteraksi + latar belakangnya yang melukiskan lingkungan dimana subjek berada.

Foto ini dibuat di daerah kota tua Amritsar, Punjab: Leica Q, ISO 100, f/4, 1/125, 28mm

Penjaga (Guards) Golden temple dengan seragam warna biru dan kuning. Terlihat seram karena memelihara kumis dan jenggot, tapi pada dasarnya orangnya ramah. Leica Q, ISO 500, f/4, 1/125, 28mm

Barbershop di McLeod Ganj, kampung diatas bukit dekat Dharamsala. Disini banyak terdapat pengungsi dari Tibet. Leica Q, ISO 640, f/2.8, 1/125, 28mm

Dharamkot, kampung kecil yang dikelilingi oleh perbukitan hijau yang segar, populer dikalangan kaum Hippies dari luar negeri, terutama dari Israel dan Italia yang menetap dalam waktu berbulan-bulan. Leica Q, ISO 100, f/4, 1/800, 28mm

Dibandingkan dengan 35mm yang lebih populer, saat mengunakan lensa 28mm, kita  harus lebih dekat saat memotret, dan lebih cembung, cocoknya foto 2/3 badan atau 1 badan, 28mm tidak cocok untuk foto close-up dekat, sedangkan 35mm lebih fleksibel, bisa motret 1/2 badan dan bisa menghasilkan hasil yang tidak terlalu distorsi.

Untuk memotret landscape dan arsitektur, hasil foto dengan lensa 28mm tidak cembung atau ketarik-ketarik ujung frame fotonya seperti 24mm atau lebih lebar lagi, mirip dengan realitas/pandangan kita.

Foto diatas adalah Golden Temple di Amritsar menjelang malam hari, saat lampu-lampu dinyalakan sangat indah. Leica Q ISO 100, f/2.8, 1/10 detik

Desa kecil McLeod Ganj, menatap Dharamsala di lembah India. Leica Q ISO 100, f/8, 1/200.

Yang saya sukai dari Leica Q adalah memiliki lensa dengan bukaan sangat besar yaitu 28mm f/1.7 dengan image stabilizer (OIS). Sensornya juga full frame, sehingga hasil foto di kondisi gelap masih sangat baik. Kombinasi lensa dengan bukaan besar dan sensor full frame memudahkan untuk membuat bagian yang tidak fokus menjadi tidak tajam, sehingga mudah bagi fotografer untuk bercerita bagian mana yang penting untuk diperhatikan, dan yang kurang penting seperti latar belakang.

Tahun depan, saya berencana untuk menjelajahi lagi beberapa tempat di India yang kaya dengan pemandangan alam dan budayanya salah satunya yaitu di daerah Ladakh, Kashmir, nantikan pengumumannya ya. Terima kasih telah menyimak.


Untuk menghasilkan foto yang bagus, kita perlu proses belajar, dan praktik yang berkala. Infofotografi menyediakan berbagai kelas dasar fotografi, komposisi dan praktik foto baik di dalam maupun di luar ruangan, kelas grup maupun privat. Bagi yang ingin berpartisipasi, silahkan kunjungi halaman ini.

Bagi teman-teman yang ingin memesan Leica Q, boleh menghubungi 0858 1318 3069. Kita bisa bantu untuk mendapatkan baik kamera Leica Q warna hitam/klasik, Leica Q Silver atau Leica Q special edition Barong (Titanium + Leather merah).

Baca juga:

  1. Kesan pertama mengunakan Leica Q
  2. Memotret orang yang tidak dikenal saat travel/street photography
  3. Perbandingan Leica Q dan Ricoh GR II.
↧

Kamera smartphone semakin baik, bagaimana menyikapinya?

$
0
0

Belakangan ini kamera di ponsel cerdas (smartphone) trennya semakin membaik, dari sisi kualitas hasil foto maupun spesifikasi teknis (sensor size, aperture, piksel, PDAF, OIS dll). Komputasional fotografi juga banyak diberikan ke teknologi kamera ponsel supaya memberi hasil yang maksimal dengan keterbatasan yang ada, semisal simulasi bokeh supaya hasil fotonya seperti lensa DSLR, atau HDR yang jadi solusi mengatasi keterbatasan dynamic range sensor di keadaan kontras tinggi. Memang sih tidak semua ponsel punya fitur fotografi yang tinggi, biasanya adalah ponsel elit seperti Huawei P20 atau Samsung S9. Tapi kini bahkan ponsel murah meriah (dibawah 3 juta) juga mulai memperbaiki aspek kameranya dan hasilnya sudah cukup oke, ada juga yang pakai dua lensa di ponsel ekonomis. Lalu bagaimana? Apakah ini artinya kita cukup kemana-mana bawa ponsel saja?

Sebetulnya jawabannya kembali ke anda. Kamera adalah alat, dan sebagai alat dia punya fungsi dan kemampuan. Hasil dari kamera adalah foto, atau juga video, kita lah yang jadi penentu apakah hasilnya good enough untuk kita atau tidak? Kalau ada yang menganggap kamera di ponsel sudah cukup untuk dia, fine, silahkan saja. Karena yang dianggap cukup itu sangat relatif kan.. Kalau menurut saya sih untuk kebutuhan berbagi cerita media sosial atau sekedar mengirim via WA, kamera ponsel masa kini memang sudah mencukupi. Toh kadang kebutuhan foto pengguna ponsel lebih ke snapshot atau yang sifatnya instan, dan kelebihan ponsel justru ada di situ. Justru akan ribet misalnya untuk memotret boarding pass tiket pesawat kita harus keluarkan kamera besar lalu dipindah via WiFi ke ponsel.

Huawei P20 dengan lensa Leica.

Kemampuan kamera ponsel yang meningkat khususnya di kamera depan juga makin menambah kegemaran orang untuk selfie, saat tiba-tiba muncul ide untuk selfie maka ponsel mungkin adalah alat pertama yang ada di benak kita. Malah bisa jadi sebagian pemilik kamera dengan LCD lipat (yang juga bisa untuk selfie) justru tidak pernah memakai kameranya itu untuk selfie. Ponsel masa kini malah menawarkan kamera depan dengan lensa yang lebih lebar untuk memudahkan selfie rame-rame, yang membuat tongsis akhirnya harus pensiun dini 🙂

Kamera ponsel dan tongsis, yang penting eksis.. Fuji XT1, lensa XF 55-200mm, Classic chrome.

Oke lah, lalu bagaimana pandangan saya dari sisi fotografi?

Menurut saya, fotografi dan kamera meski berkaitan, tapi tidak selalu sejalan. Ada yang beli kamera, tapi tidak hobi fotografi, atau sebaliknya. Artinya kamera sebagai alat, adalah capture device, dipakai untuk memotret (menghasilkan foto) atau merekam video. Kamera di ponsel secara fungsi ya sama dengan kamera lainnya, sebagai capture device dia punya lensa, sensor dan prosesor yang akan menghasilkan output file foto sekian megapiksel, yang bisa dilihat di layar ponsel. Bedanya kamera ponsel terbatas di lensa, ukuran sensor dan dukungan aksesori. Tapi yang penting apakah kita menggunakan kamera sebagai alat untuk menerapkan pengetahuan soal fotografi atau tidak? Soal lighting, komposisi, pemilihan lensa, apalagi pengaturan eksposur itu tidak pernah terpikir di benak mereka yang punya kamera tapi tidak menyukai/mengerti fotografi. Itulah yang kadang disebut dengan man behind the gun.

Berkarya adalah proses, dan proses itu perlu dilalui sekaligus dinikmati.

Tapi, saat kita bicara fotografi, kita akan dihadapkan pada pilihan teknis. Tidak cuma man behind the gun, tapi jenis ‘senjata’ macam apa yang akan kita pakai. Untuk itu memilih kamera yang cocok, memilih setting kamera sesuai keadaan, memilih lensa sesuai kebutuhan, memilih aksesori yang diperlukan, adalah penting dalam fotografi. Untuk apa memikirkan itu semua? Untuk mendapat foto yang bukan sekedar foto tapi ada unsur campur tangan kita dalam foto itu, tentu demi hasil yang lebih baik. Misal bagaimana sih foto sunset yang baik? Foto olahraga yang momen nya tepat? Foto malam hari yang tetap tajam? Foto potret atau produk dengan pencahayaan yang baik? Nah saat kamera ponsel membatasi kita dalam mengatur itu semua, maka memang saatnya kembali ke kamera yang betul-betul fungsinya adalah kamera, misal DSLR dan mirrorless. Apalagi saat perlu gonta-ganti lensa, perlu pasang aksesori lighting, perlu foto di keadaan kurang cahaya dan sebagainya, maka saat itu kamera ponsel tidak lagi bisa diandalkan.

Lumix G9, Leica DG 12-60mm lens. ISO 200, f/11, 20 detik.

Kembali ke anda, apakah fotografi menjadi prioritas untuk anda saat memotret, atau sekedar selfie dan dokumentasi saja? Punya kamera dan lensa yang bagus saja belum jaminan bisa dapat foto yang bagus, perlu banyak belajar fotografi dan banyak latihan. Punya kamera (DSLR/mirrorless) akan lebih jadi beban kalau foto kita masih biasa saja, tidak ada bedanya dengan kamera ponsel. Maka saat sudah punya kamera DSLR/mirrorless, anda akan menyadari bahwa untuk bisa menjadikan alatnya maksimal perlu :

  • menguasai kameranya (ingat kamera adalah alat yang tetap perlu dikuasai bagaimana memakainya)
  • belajar fotografi (tahu setting eksposur, fokus, warna, lensa, komposisi, pencahayaan)
  • aksesori tambahan (tripod, flash, filter dsb)
  • banyak motret (pengalaman tidak bisa di-skip, harus dijalani dan dari banyak motret kita akan banyak pengalaman)

Nah, biasanya saat kita punya gear yang cukup lengkap (kamera, beberapa lensa dan berbagai aksesori), kita akan sering mencari kesempatan untuk pergi dan memotret. Jadi kamera adalah alasan untuk kita keluar, sekaligus menikmati hidup. Kalau berbekal ponsel saja, kecil kemungkinan kita akan mencari banyak tempat baru untuk hunting foto kan?


Di infofotografi kami rutin menyelenggarakan kursus dan tour, baik kursus mengenal fungsi kamera, kursus dasar fotografi, kursus lanjutan (mastering) hingga berbagai workshop foto. Jangan lupa juga ada mentoring foto untuk yang ingin belajar sambil langsung praktek di lokasi dengan bimbingan. Info hubungi 0858-1318-3069.

↧

Liputan tour fotografi India – jalan-jalan ke Amritsar 12-19 April 2018

$
0
0

Trip India kali ini mencatat rekor dengan peserta paling sedikit (empat orang). Kemungkinan karena bulan April bulan sibuk, atau destinasi Amritsar & Dharamsala tidak populer dan terkesan asing. Tapi saya sendiri sangat menikmati trip ini, karena saya suka hal-hal yang unik dan destinasi kali ini menarik karena menyimpan cerita sejarah yang menarik.

Pertama-tama, kita singgah di Singapura terlebih dahulu dan pagi-pagi kita menyempatkan diri untuk memotret Merlion Park dan selanjutnya makan pagi di pasar Tekka, dilanjutkan dengan foto-foto di kawasan Little India.

Sesampai di Amritsar, India, kami mulai belajar tentang kehidupan orang lokal, dan terutama agama mayoritas di provinsi Punjab, yaitu Sikh. Agama ini memiliki aturan unik seperti tidak boleh mencukur rambut, kumis atau jenggot, dan sebagian besar pria disana mengunakan turban untuk menutupi rambut mereka yang sangat panjang. Sikh percaya akan satu Tuhan (monoteistik), tidak mengenal kasta dan mengakui persamaan (equality) antara pria dan wanita.

Di kota Amritsar, terdapat kuil pusat agama Sikh yang dinamakan Harmandir Sahib, atau sederhananya disebut juga Golden temple karena kuil ini dilapisi emas. Temple ini dikelilingi oleh kolam yang digunakan umat Sikh untuk mandi, menyucikan diri. Menarik sekali melihatnya. Kuil ini juga dikelilingi oleh bangunan yang bergaya Inggris.

Meski terlihat agak menyeramkan, tapi penjaga Golden Temple ini baik dan ramah, tidak menolak saat saya meminta untuk memotret mereka.

Di dalam Golden Temple ini, ada dapur raksasa yang setiap hari melayani 50-100 ribu orang per hari secara cuma-cuma / gratis. 90 persen dari yang memasak dan melayani dari komunitas sukarelawan yang menyisihkan beberapa jam sehari untuk membantu. Kami sempat berkunjung ke dalam dan memotret kegiatan dapur dan ruang makan disana. Info lengkap tentang Langar bisa dibaca disini.

Setelah itu, kita menuju desa McLeod Ganj, dekat Dharamsala di propinsi Himachal Pradesh. Desa ini terkenal karena merupakan basis dari Dalai Lama dari Tibet yang mengungsi sejak 1959. Dari sini, kita bisa melihat gugusan pegunungan Himalaya.

Saat kita berkunjung sebenarnya Dalai Lama ada di kota dan memberikan ceramah, namun karena kita berkunjung ke air terjun terlebih dahulu, saat tiba di kompleks kuilnya, Dalai Lama telah selesai, sehingga kita tidak bisa bertemu dengannya. Mungkin belum jodoh ya. Pengunjung cukup multicultural, tidak hanya orang Tibet, tapi juga banyak orang bule/Eropa.

Kompleks kuil Dalai Lama ini memiliki tema warna yang berbeda dengan yang di Tibet. Disini, warnanya dominan kuning, seperti di istana musim panas Norbulingka. Sedangkan yang di Tibet didominasi dengan warna putih, merah bata dan hitam.

Karena punya waktu luang, kami berkunjung ke desa kecil dekat kota McLeod yang bernama Dharamkot, desa kecil ini populer dikalangan para hipster, sebagian besar anak-anak muda yang cool dan anti budaya mainstream.

Penduduk Dharamkot kebanyakan orang Israel yang tinggal disini dalam waktu yang cukup lama, bisa berbulan-bulan. Disini mereka bekerja sebagai seniman seperti membuat karya kerajinan atau seni seperti melukis. Dibaliknya, Dharamkot juga memiliki reputasi yang kurang baik karena penduduknya sering pesta obat-obatan terlarang. Ulasannya disini.

Selanjutnya, kita berkunjung ke perbatasan Wagah antara India dan Pakistan untuk melihat upacara persahabatan kedua negara untuk menurunkan bendera. Upacara ini menarik karena menggugah rasa nasionalisme dan patriotisme. Coba lihat saja reaksi penonton di sisi India yang sebagian besar sangat antusias. Salah satu peserta trip, Pak Arifin sampai mempertimbangkan untuk menjadi warga negara India.

Lalu pagi-pagi kami ke Golden Temple lagi, karena ingin menyaksikan upacara pemindahan Kitab suci dari ruangan khusus ke dalam kuil. Pukul 5.00 pagi kita sudah berangkat, dan upacara pemindahan dilakukan sekitar pukul 5.30-6.30 pagi.

Pagi hari di Golden Temple suasananya tenang dan langit saat itu juga sangat lembut dan tidak panas, membuat kita nyaman berlama-lama nongkrong disini.

Sebelum ke airport, kami diajak ke Museum Maharaja Ranjit Singh, seorang kaisar Punjab yang disegani di tahun 1800-an. Dari museum ini, kami belajar bahwa dulunya daerah Punjab cukup luas, yaitu termasuk sebagian daerah Pakistan, termasuk kota Lahore yang dekat dengan perbatasan India, sebagian daerah Afganistan, dan beberapa negara bagian India seperti Punjab (tentunya), Haryana, Jammu dan Kashmir, termasuk kota Delhi.

Trip kali ini adalah salah satu yang paling saya nikmati karena menambah wawasan tentang daerah Punjab dan Dharamsala, dan bersama orang-orang yang kompak tapi berbeda-beda kesukaannya sehingga dapat saling melengkapi.

*foto-foto diatas kesemuanya mengunakan Leica Q

Ingin ikutan photo trip Infofotografi keluar negeri? Jadwal sementara untuk tahun 2018 :

  • Perancis : 29 Sep – 6 Oktober 2018
  • Nepal : 20-25 Oktober 2018
  • Tibet : 1-11 November 2018
  • Kamboja : 1 – 5 Desember 2018

Hub: 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com untuk informasi.

↧
↧

Photo tour Nepal 20-24 Oktober 2018

$
0
0

Halo teman-teman pembaca Infofotografi, akhir bulan Oktober ini, kami mengajak teman-teman penghobi fotografi untuk berkunjung ke Nepal. Negara yang berbatasan dengan pegunungan Himalaya ini sangat eksotis dari segi budaya dan alamnya.

Para pertapa (Saddhu) di Pasupatinath temple

Berikut itinerary-nya:

20 October 2018 – Kathmandu
Tiba di Kathmandu di malam hari, check-in hotel dan istirahat.

21 October 2018 – Kathmandu
Jelajah Durbar Square di Kathmandu dan beberapa temple seperti Boudanath dan Swayambu.

22 October 2018 – Kathmandu – Pokhara
Setelah sarapan pagi, memotret di Pasupatinath Hindu Temple, lalu berkunjung ke Bhaktapur Durbar Square dan selanjutnya menuju Pokhara.

23 October 2018 – Pokhara
Memotret pemandangan sunrise di World Buddha Temple
Memotret matahari terbenam di Sarangkot atau tepi sungai Phewa.

24 October 2018 – Pokhara – Kathmandu
Memotret sunrise di Sarangkot, setelah sarapan dan istirahat menuju ke airport Kathmandu untuk kembali ke tanah air 21.30.

Pemandangan dari Sarangkot – dari sini bisa melihat gugusan Annapurna Himalaya.

Biaya : USD 750

Biaya sudah termasuk

  • Akomodasi hotel bintang empat atau setara
  • Makan selama tour
  • Pelayanan pemandu lokal
  • Bimbingan dari Enche Tjin
  • Botol air mineral per hari
  • Transportasi selama tour
  • Tiket masuk tempat wisata

Belum termasuk

  • Tips pemandu dan supir
  • Minuman ringan atau makanan tambahan
  • Tiket pesawat dan Visa Nepal
  • Single suplement : $315

Bagi yang berminat untuk ikut, bisa DP Rp 1.5 juta per orang, untuk booking tempat. Bagi yang membutuhkan informasi tambahan, silahkan hubungi Infofotografi di 0858 1318 3069

↧

Workshop foto potret model, Minggu 20 Mei 2018

$
0
0

Foto potret model selalu menarik untuk dipelajari dan dipraktekkan. Dalam foto potret model banyak faktor yang menentukan keberhasilan sebuah foto, seperti ekspresi, gestur, hingga hal teknis seperti pencahayaan. Kali ini infofotografi akan mengadakan workshop bagaimana memaksimalkan setting kamera dan lensa untuk foto potret, dengan pengaturan pencahayaan alami maupun buatan.

Tujuan workshop ini adalah supaya peserta bisa mendapatkan pengalaman memotret yang baik, mengerti bagaimana setting kamera, warna, fokus dan pemilihan lensa, serta menentukan pencahayaan paling optimal dalam setiap kebutuhan. Acara akan diisi dengan sesi teori dan dilanjutkan dengan memotret model. Untuk kegiatan ini akan dipandu oleh saya (Erwin M.) dan bertempat di infofotografi Jakarta.

Acara dijadwalkan pada :

  • Minggu, 20 Mei 2018
  • 14.30-18.00 WIB
  • infofotografi Green lake city, Sentra Niaga N-05 Duri Kosambi, Jakarta Barat.

Untuk mengikuti workshop ini anda bisa mendaftar ke 0858-1318-3069. Biaya workshop Rp. 50.000,- dan peserta diharap membawa kamera yang ada flash hot shoe-nya. Terbatas untuk 20 peserta jadi harap mendaftar lebih awal untuk memastikan ketersediaan tempat. Tersedia konsumsi untuk berbuka puasa / makan malam bersama.

*Workshop ini didukung oleh Panasonic Indonesia.

 

↧

Tur fotografi Cirebon, 14-15 Juli 2018

$
0
0

Tahun 2014 infofotografi pernah membuat tour ke Cirebon. Kini, 4 tahun berselang, kami ingin kembali mengajak anda untuk menikmati pesona kota pesisir pantai yang relatif dekat dari Jakarta ini. Perpaduan antara alam, budaya dan kulinernya akan membuat tur ini cocok untuk anda yang suka hunting foto ataupun sekedar sejenak melepas penat dari padatnya rutinitas kita di ibukota. Di kesempatan kali ini, saya (Erwin M.) akan mengajak anda mengabadikan kegiatan masyarakat setempat membuat gerabah dan batik tradisional, lalu mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Keraton dan bangunan peninggalan Belanda, serta tak lupa tentunya ada sesi memotret landscape di pantai (sunrise) dan juga di telaga di kaki gunung Ciremai.

Deretan kapal di pantai dengan latar gunung Ciremai di pagi hari yang cerah.

Tur dijadwalkan pada hari Sabtu Minggu, 14-15 Juli 2018, berangkat dari Sarinah pukul 4.30 WIB menggunakan kendaraan elf via tol Cipali. Biaya untuk mengikuti tur ini adalah Rp. 1.600.000 sudah termasuk :

  • transportasi Jakarta-Cirebon pp
  • menginap 1 malam (sharing)
  • makan selama di Cirebon
  • tiket masuk obyek wisata
  • bimbingan fotografi

Belum termasuk : tips supir, jajan pribadi, beli batik tradisional.

Cara Mendaftar

  • Transfer bank atas nama Enche Tjin via Bank BCA: 4081218557 via Bank Mandiri: 1680000667780
  • Konfirmasi melalui e-mail (email: infofotografi@gmail.com), sms atau telepon (085813183069 / 085883006769) dengan menyertakan nama peserta.
  • Datang di Sarinah (Mc.Donald) Sabtu 14 Juli 2018 jam 4.00 WIB dengan membawa peralatan fotografi (kamera, lensa, tripod) dan pakaian secukupnya.

↧

Foto favorit saya selama tour di Tibet

$
0
0

Tour foto Tibet April 2018 lalu menghasilkan banyak foto-foto yang menarik bagi saya dan juga peserta tour yang lain, tapi diantara 3500-an foto yang saya buat, tentunya ada beberapa yang saya sukai, yaitu foto dibawah ini.

ISO 100, f/8, 1/125 detik – Leica Q

Foto ini dibuat saat kami berencana memotret sunrise dari samping sisi sungai Lhasa menghadap kota dan Istana Potala. Posisi matahari berada di sebelah kanan istana Potala, diantara bukit.

Yang membuat suka pemandangan seperti ini adalah pagi itu langitnya sangat cerah, tidak ada awan, dan sinar matahari yang baru muncul membuat gradasi warna langit menjadi mulus.

Untuk komposisinya, kurva yang dibentuk aliran air menuju matahari menjadi hal yang menarik perhatian saya. Tiang dan kabel listrik yang biasanya dianggap landscaper purist mengganggu, bagi saya justru membantu menegaskan alur sungainya.

Secara keseluruhan, saya juga senang warna dan cahaya yang membangkitkan suasana nostalgia. Bagian kota agak gelap tapi terlihat alami.

Lantas, saya menanyakan ke Iesan, apakah dia setuju bahwa foto ini bagus? tapi diluar dugaan dia tidak menyukainya. Katanya fotonya seperti biasa saja, dimana-mana kalau foto sunrise ya seperti itu juga. Tidak ada yang spesial, dan bisa dibuat dimana saja, tidak perlu sampai ke Tibet.

Mungkin pemirsa dan teman-teman lain yang motret disana juga merasakan demikian. Ya, tidak apa-apalah, beauty is on the eyes of the beholder (Kecantikan tergantung dari orang yang melihatnya).

Saya akan mengadakan kembali trip ke Tibet tanggal 1-11 November 2018 ini, jika berminat bisa memeriksa halaman ini, atau hubungi 0858 1318 3069 untuk informasi yang lebih lanjut.


Tgl 12 & 13 Mei 2018 ini, ada kelas Mastering the art and photography technique. Bagi yang ingin mengasah ilmu foto dan seninya lebih lanjut, saya sangat menyarankan workshop singkat ini.

↧
↧

Kesan mengunakan Leica V-Lux (Typ 114) di Tibet

$
0
0

Seperti yang saya ceritakan di post sebelumnya, salah satu kamera pilihan saya menemani Leica Q adalah Leica V-Lux. Kamera ini adalah sejenis kamera superzoom atau kadang disebut prosumer. Kamera ini tidak bisa berganti lensa, tapi lensa zoomnya sudah keren sekali, meliputi jarak fokus 25-400mm ekuivalen kamera full frame (35mm format).

Artinya untuk sudut lebar atau tele/zoom sekali juga mampu. Mengapa bisa sampai panjang banget? Karena ukuran image sensornya berjenis 1 inci, jadi lebih kecil dari kamera DSLR/mirrorless pada umumnya, sehingga lensa bisa dibuat lebih kecil dimensinya tapi bisa lebih panjang rentang zoomnya.

Karena Leica Q memiliki lensa lebar (28mm) dan bukaannya lebih besar (f/1.7), saya kebanyakan mengunakan Q untuk foto di tempat gelap ataupun saat membutuhkan perspektif lebar. Sisanya, saya gunakan V-Lux, terutama untuk sudut yang lebih tele (50-250mm). Contoh-contohnya sebagai berikut:

ISO 125, f/4, 1/3200, 135mm

ISO 125, f/5.6, 1/3200, 70mm

ISO 125, f/6.3, /2500, 400mm: Zoom mentok ke puncak gunung salju yang sangat tinggi.

Untuk foto portrait seperti dibawah ini, mengkompresi gunung es yang jauh ke Iesan, supaya kesannya dekat dan nempel sebagai background perlu tele, focal length 70mm cukup untuk itu.

Atau untuk foto candid yang lagi prewedding di Danau Nam (Namtso) yang beku.

ISO 125, f/8, 1/400, 200mm

Bisa juga untuk membuat latar belakang blur kalau zoomnya cukup panjang.

ISO 125, f/4, f/160, 250mm

Untuk pemandangan juga oke, karena lensanya panjang zoomnya, maka saya bisa mudah melakukan framing/cropping. Pemandangan yang luas seperti dibawah ini gak masalah.

ISO 125, f/6.3, 1/640, 35mm

Atau kita bisa mainkan zoom untuk memotret detail pohon-pohon yang jauh di seberang danau seperti foto dibawah.

Leica V-Lux ini seperti pisau Swiss serbaguna dengan berat 830 gram saja, sudah termasuk baterai, rasanya tidak memberatkan. Bayangkan jika harus membawa lensa full frame dari 24-100mm plus 100-400mm bisa total sekitar 4 kg. Belum lagi harganya yang pastinya lebih mahal. Memang, soal ketajaman akan kurang dibandingkan dengan mengunakan kamera yang lebih besar dan lensa yang lebih besar, tapi saya nilai cukup seperti contoh-contoh foto diatas. Untuk cetak ukuran menengah misalnya 60 x 40 cm masih sangat baik. Kalau untuk sharing media sosial saja, kamera 20MP ini jauh lebih cukup.

Mengoperasikan kamera ini bagi saya juga tidak sulit dan setelah saya kustomisasi sedikit setting gambar dan fungsi tombol saya gak menjumpai kendala di lapangan dalam. Kesimpulannya saya gak nyesal bawa V-Lux ini ke Tibet kali ini 🙂

Bagi yang suka traveling dan juga peduli terhadap berat gear-nya, tapi ingin memotret berbagai macam subjek, apalagi jika sebagian besar subjek foto di kondisi cahaya yang terang/outdoor, Leica V-Lux ini boleh dilirik, tapi jika dominannya adalah foto ditempat gelap/indoor, mungkin kamera lain lebih bagus, misalnya Leica D-Lux 109, karena bukaannya lebih besar (f/1.7-2.8) dan sensornya lebih besar.

*foto-foto diatas dibuat saat tour Infofotografi ke Tibet, bulan April 2018 yang lalu.


Harga terbaru saat saya menulis kamera ini Leica V-Lux dengan garansi resmi Leica Store Indonesia adalah Rp 19.060.000,- Jika teman-teman pembaca/alumni berminat bisa memesan via saya juga dengan harga khusus dengan garansi resmi. Terima kasih atas perhatiannya.

Sebagai info, spesifikasi kamera Leica V-Lux 114 ini:

  • 20MP 1″ MOS Sensor
  • DC Vario-Elmarit f/2.8-4.0 Lens
  • 25-400mm Equivalent, 16x Optical Zoom
  • 3″ 920k-Dot Rotatable LCD Screen
  • 0.39″ OLED 2,360k-Dot EVF
  • UHD 4K 3840×2160
  • Image Shuttle App for Smart Devices
  • Up to 50fps with Electronic Shutter
↧

Mengenal macam-macam lensa tele zoom

$
0
0

Saat ini masih saja ada yang bingung dengan banyaknya pilihan lensa zoom, khususnya telefoto, yang ada di pasaran. Lensa tele, pada dasarnya tidak harus zoom. Misal lensa 100mm, lensa 200mm itu meski fix tapi termasuk lensa tele. Kita akan bahas lensa tele yang bisa di zoom (variabel fokal) yang bisa dipilih untuk pengguna DSLR maupun mirrrorless. Tapi sebelumnya ada baiknya baca dulu artikel lama kami soal crop factor supaya tidak bingung. Juga pahami fungsi utama lensa tele itu untuk apa, misalnya dalam kursus fotografi selalu dijelaskan bahwa lensa tele itu punya peran penting dalam mengisolasi subyek terhadap background, dan punya kemampuan mengkompresi dimensi supaya datar. Semakin panjang sebuah lensa (dalam hal fokalnya) maka sudutnya makin sempit dan jangkauannya makin jauh, juga Depth of field yang dihasilkan akan semakin tipis.

Di pasaran akan dijumpai beberapa kelompok lensa tele seperti :

Lensa 70-200mm f/2.8

Lensa pro 70-200mmf/2.8 yang dibaut oleh Tamron

Inilah lensa tele zoom profesional untuk full frame, yang tetap bisa dipakai oleh pengguna kamera APS-C (di APS-C akan setara 100-300mm), dengan bukaan besar dan konstan di f/8. Semua sistem DSLR dan mirrorless full frame tentu punya lensa 70-200mm f/2.8 ini. Kelebihan utama lensa ini adalah bukaan besar yang membuatnya cocok untuk latar belakang blur seperti foto potret, tapi yang lebih penting sebetulnya bukaan besar membuat lensa ini bisa diandalkan di tempat kurang cahaya. Ingat semakin tele lensa makin perlu shutter cepat untuk meredam getaran tangan, dan shutter cepat akan lebih mudah didapat dengan bukaan besar (fast lens). Kerugiannya, lensa semacam ini besar dan berat, juga mahal (apalagi yang dilengkapi sistem peredam getar di lensa).

Lensa 70-200mm f/4

Bila lensa diatas terasa terlalu mahal atau terlampau besar, maka 70-200mm f/4 bisa jadi alternatif menarik. Ukurannya sedikit mengecil karena f/4 dan kerugiannya adalah dibanding f/2.8 akan kehilangan 1 stop cahaya. Artinya bila kita pakai lensa 70-200m f/2.8 bisa dapat eksposur yang pas di ISO 1600, maka bila pakai f/4 jadi perlu ISO 3200. Kerugian lain yang tidak terlalu berarti adalah kurang bokeh dibanding yang f/2.8 meski yang namanya lensa tele sih blur-nya pasti sudah dapat. Ukuran yang agak kecil membuat lensa 70-200mm f/4 jadi opsi paling seimbang untuk sistem mirrorless seperti Sony. Produsen lensa pihak ketiga seperti Tamron belum lama meluncurkan lensa yang sedikit lebih panjang dari yang umumnya, yaitu 70-210mm f/4 VC yang dibuat untuk DSLR.

Lensa 70-300mm, variabel aperture

Lensa tele zoom 70-300mm terkenal akan ‘ekstra reach‘ nya yang 100mm lebih panjang daripada lensa 70-200mm. Tentu cocok untuk mereka yang mencari jangkauan tele yang lebih, misal subyek yang akan difoto cukup jauh seperti satwa atau olah raga. Lensa seperti Canon 70-300mm pernah kami coba untuk memotret Pacu Jawi dan hasilnya cukup mantap. Kelemahan lensa 70-300mm adalah desainnya menganut variabel aperture atau bukaan maksimum yang tidak konstan, misal f/4-5.6 sehingga agak sulit dipakai di keadaan kurang cahaya. Lensa 70-300mm ini termasuk favorit dan banyak dibuat dalam berbagai versi, misal Tamron membuat 70-300mm yang 1 jutaan dan 70-300mm VC yang dijual 4 jutaan. Tapi sebagai lensa consumer, 70-300mm tidak pernah bisa menyamai kualitas, ketajaman, kinerja auto fokus dan bokeh dari lensa profesional 70-200mm. Perlu diingat kalau 70-300mm didesain untuk full frame, meski bisa dipakai di APS-C.

Lensa 100-400mm, variabel aperture

Pacu Jawi dengan Panasonic Lumix G9 dan Leica DG 100-400mm.

Lensa 100-400mm, atau lensa lainnya yang fokalnya lebih tele lagi, dimaksudkan sebagai lensa tele untuk satwa liar yang perlu diambil sangat jauh karena jarak (burung) atau karena bahaya (singa dsb), yang masih kurang mampu dijangkau oleh lensa 70-300mm. Yang unik, di sistem Panasonic juga ada lensa Leica DG 100-400mm yang karena crop factor sensor Micro 4/3 maka lensanya jadi setara dengan 200-800mm (wow), dan saya pernah berkesempatan mencoba lensa mantap ini di Pacu Jawi dengan kamera Lumix G9.

Bagaimana dengan pemilik kamera APS-C?

Anda pemilik kamera APS-C (misal Canon 80D, Nikon D7200, Sony A6000, Fuji XT2 dsb) pada dasarnya bisa memakai semua lensa tele yang disebutkan di atas, dengan mempertimbangkan crop factor yang ada. Tapi sejatinya produsen kamera/lensa juga menyediakan lensa tele zoom khusus APS-C (dengan diameter lebih kecil) yang harganya lebih terjangkau, seperti :

  • Nikon DX/Tamron/Sigma 55-200mm f/4-5.6
  • Canon EF-S 55-250mm f/4-5.6
  • Canon EF-M 55-200mm f/4.5-6.3 (EOS M/mirrorless)
  • Sony E 55-210mm f4.5-6.3
  • Fuji XC 50-230mm f/4.5-6.7
  • Fuji XF 55-200mm f/3.5-4.8

Lensa pro Sigma 50-150mm f/2.8 DC untuk APS-C, setara 75-225mm f/2.8

Sedangkan untuk yang mencari lensa profesional tapi didesain untuk APS-C, rasanya segmen ini peminatnya memang tidak banyak, sehingga jarang ada produsen yang mau membuatnya. Dari catatan saya lensa tele zoom profesional untuk APS-C diantaranya adalah Sigma 50-150mm f/2.8 (untuk DSLR Canon/Nikon), Fuji XF 50-140mm f/2.8 (hanya untuk Fuji mirrorless), dan Samsung NX 50-150mm f/2.8 (sudah diskontinu, Samsung NX sudah tiada).

Samsung NX300, lensa 50-200mm, lensa seperti ini enak untuk travel dan cocok dipakai saat cahaya terang

Nikon D5100 dengan lensa murah meriah DX 55-200mm VR.

Nikon D600, lensa Tamron 70-200mm f/2.8 G2


Ikuti kursus dan tour fotografi bersama kami untuk menambah keterampilan dan pengalaman dalam fotografi. Info/daftar SMS/WA ke 0858-1318-3069.

 

↧

Istilah lensa Leica

$
0
0

Di dalam nama lensa Leica terdapat istilah-istilah seperti Summicron, Summilux, Noctilux dan sebagainya, maksudnya apa ya? Pada dasarnya, istilah-istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara satu sama lain dari bukaan maksimal lensanya.

Leica M10 dan Noctilux 75mm

Istilah umum lensa Leica diurutkan dari bukaan terbesar:

  1. Noctilux : Nocti berasal dari kata Nocturnal, artinya malam. Lux berarti cahaya. Lensa ini bukaannya besar sekali, contoh Leica Noctilux 50mm f/0.95, atau Leica Noctilux 75mm f/1.25.
  2. Summilux : Berasal dari kata Summum artinya tertinggi. Summilux berarti bukaan lensa f/1.4. Contohnya Leica Summilux 50mm f/1.4.
  3. Summicron :  Berarti keluarga lensa berbukaan maksimal f/2. Contoh: Leica Summicron 35mm f/2.
  4. Summarit : Lensa ringkas dan terjangkau Leica dengan bukaan maksimal f/2.5
  5. Elmarit : Biasanya mengacu pada lensa-lensa berbukaan maksimal f/2.8
  6. Elmar & Super Elmar : Mengacu pada lensa berbukaan f/3.5, f/3.8, f/4
  7. Summaron : f/5.6, contohnya Leica 28mm f/5.6

Leica M10 dan Leica 28mm f/5.6 Summaron

Pada jaman kamera film, lensa yang berbukaan maksimum besar, sangat penting karena saat itu sensitivitas film terhadap cahaya terbatas ASA 100-1600. Maka itu, fotografer banyak mengandalkan bukaan lensa yang besar untuk mendapatkan cahaya yang cukup.

Tapi membuat lensa yang berbukaan sangat besar, berukuran kecil tapi berkualitas tinggi sulit. Inilah yang merupakan kelebihan dari Leica (terutama lensa Leica M).

Saat ini, fotografer digital dapat memilih sensitivitas ISO yang tinggi, setara 3200-6400 atau bahkan lebih dan mendapatkan kualitas gambar yang masih cukup baik, sehingga lensa yang berbukaan besar bukan merupakan pilihan utama.

Leica APO-Summicron-M 50mm f/2 ASPH. edisi khusus LHSA

Saat ini, lensa-lensa berbukaan sedang, seperti Summicron (f/2) menjadi banyak peminatnya karena ukurannya mungil dan tidak terlalu mahal.

Dengan adanya istilah-istilah tersebut, maka saat menyebutkan nama lensa Leica, fotografer hanya perlu menyebutkan istilahnya saja, tidak perlu bukaannya lagi. Contohnya Leica 35mm Summicron, maka lawan bicara akan langsung tau bahwa yang dimaksudkan adalah Leica 35mm f/2.

Selain istilah-istilah diatas, Leica juga menyematkan beberapa istilah yang berkaitan dengan teknologi lensa, diantaranya:

  1. ASPH : Aspherical, elemen lensa yang membuat foto lebih tajam dibukaan besar dan mengurangi distorsi lensa. Elemen ini sangat umum dijumpai di semua lensa modern di era digital.
  2. APO : Apochromatic, lensa dengan desain ini menghasilkan kualitas ketajaman sempurna dan tidak menghasilkan chromatic abberation (penyimpangan warna). Contoh: Leica 50mm f/2 APO.
  3. TELYT : Istilah untuk lensa telefoto Leica.
  4. TRI atau VARIO : Lensa zoom, atau memiliki beberapa pilihan focal length. Contohnya Leica 16-18-21mm Tri-Elmar.
  5. Thambar : Lensa yang menghasilkan foto yang soft-focus, dan glowy (berpendar bagian fokusnya).

Berminat mengetahui lebih jauh tentang kamera dan lensa Leica? Baca: Panduan dan rekomendasi kamera Leica.

↧
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live