Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Ngobrol tentang Sony A7 mk II

$
0
0

Minggu lalu, saya dan mas Erwin Mulyadi ngobrol tentang kamera mirrorless yang baru akan diluncurkan Sony, yaitu Sony A7 mk II. Iesan merekam perbincangan kita dan ditampilkan di Youtube.

Berikut transkrip pembicaraan kita.

Enche : Mas Erwin tau gak, kalau Sony itu baru keluarin kamera mirrorless yang baru lagi. Namanya Sony A7 mk II. Nah ini padahal Sony itu baru keluarin Sony A7 itu tahun lalu. Berarti dalam satu tahun sudah direvisi menjadi mark II. Apa saja sih yang mungkin menarik untuk kita bahas tentang highlight A7 mk II ini, dibanding dengan generasi sebelumnya.

Erwin : A7 yang sebelumnya sendiri sudah merupakan produk yang menarik yah, karena dia bisa dibilang yang paling ekonomis dibandingkan dengan yang A7R atau A7S. Cuman begitu kita lihat gak begitu lama Sony meluncurkan Sony A7 mk II yang memang peningkatan utamanya adalah peredam getar / stabilizer yang dipasangkan di dalam body-nya. Dan itu bukan sekedar peredam getar saja, tapi  dia bisa mengkompensasi getaran sampai lima aksis. Goyang yang ke bawah, ke atas, atau kiri-kanan semuanya bisa distabilkan.

Sony-a7-II-5-axis-in-body-stabilization

Enche : Berarti jika saya pasang lensa yang gak ada optical stabilizernya, itu akan mendapatkan benefit (keuntungan) dari itu juga ya? Termasuk saat saya memasang lensa manual dengan adapter, seperti itu ya? Karena stabilizernya ada di body.

Erwin : Iya, jadi lensa-lensa yang manual itu memang tidak ada stabilizernya, sehingga saat dipasangkan di A7 mk II efek stabilnya bisa dirasakan secara langsung. Bahkan saat kita memasangkan lensa Sony yang sudah punya optical stabilization (OSS) kamera ini akan dengan cerdas memanfaatkan kelebihan kedua sistem stabilizernya untuk hasil yang lebih maksimal lagi, jadi bisa empat stop bahkan lebih.

Enche : Iya, Bagaimana dengan penambahan ini, bobot atau ukuran kamera mnejadi besar, atau apakah adakah perubahan dari interface (antar muka) kamera yang membuatnya berbeda dengan A7 yang diluncurkan tahun lalu?

Erwin : A7 itu kan menarik salah satunya karena bagaimana Sony mengemas sensor kamera yang segitu besar (full frame) ke dalam body yang compact. Tapi membayangkan mekanisme anti getar di dalam sensor itu kan pasti butuh ruang lagi ya, sehingga sulit dibayangkan ada kamera yang compact dengan sistem peredam di dalam body-nya. Memang di A7 mk II ini ada sedikit penambahan dimensi untuk mengakomodir perbedaan itu, tapi bisa dibilang perbedaannya tidak terlalu banyak, gitu.

slr-club-a7mk2

Enche : Masih belum seperti DSLR ya?

Erwin : Iya, dia tetap compact, dan bisa dibilang kecil dan masih enak untuk dibawa-bawa dan ringan juga. Bayangkan, asyik sekali dengan ukuran kecil, kita bisa dapat efek stabilizernya.

Enche : Dan kalau kita lihat di gambar, yang menarik saya lihat adalah perubahan letak tombol shutter yang dipindahkan ke agak depan sehingga kalau dipegang kayaknya jadi lebih pas daripada yang A7.

Erwin : Iya peningkatan minor juga dilakukan di perubahan letak tombol, material body dan diperkuat juga mount-nya sehingga saat dipasangkan dengan lensa-lensa berat, kameranya juga masih tetap mantap.

Enche : Jadi harga kamera ini, memang saat kita bikin kamera ini belum diumumkan ya. Tapi kalau di Jepang kira-kira US$1600, atau sekitar Rp 20 juta. sedangkan A7 itu aja itu sekitar 15-16 juta. Jadi menurut mas Erwin, worthed gak kamera A7 mk II ini. Sebaiknya yang A7 atau A7 mk II?

Erwin : Iya, ini dilema yang tidak mudah ya. Saya sih membayangkan orang yang sudah beli A7 juga mungkin akan merasa gimana ya setelah tahu berita ini. Tapi bagi yang belum beli, saya pikir pilihannya lebih ke kebutuhan. Kalau dia memang tidak membutuhkan fitur ini, ya dia bisa ambil A7 dan bisa hemat beberapa juta kan? Tapi kalau dia ingin memanfaatkan lensa-lensa lama supaya bisa stabil, dan dia suka dengan tata letak tombol yang baru dan peningkatan-peningkatan yang lain saya pikir dia sebaiknya mengejar ke A7 mk II aja.

Enche : Betul. Mungkin yang memilih A7 itu memang kalau memiliki lensa yang optical stabilized. Jadi tidak terlalu penting ada stabilizer di body. Atau mungkin ingin kemasan yang lebih kecil dengan harga yang lebih terjangkau lagi ya, pilih A7. Jadi masing-masing mungkin masih akan dipertahankan oleh Sony untuk dijual. Jadi tenang sajalah, meskipun A7 mk II sudah keluar, tapi A7 tetap akan tersedia mestinya.

Erwin : Bahkan mungkin A7 harganya akan lebih turun lagi.

Enche : Ha ha.. itu yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Terima kasih sudah menyaksikan perbincangan kita. Bagi yang ingin menyaksikan perbincangan kita lainnya, bisa subscribe di channel Youtube Infofotografi. Bye bye..

NB: Video direkam dengan Sony A7S + Zeiss 24-70mm f/4 OSS. Trims kepada Sony Indonesia dan Pak Gunawan Setiadi untuk pinjamannya.


Review foto portrait dengan soft focus filter – Zeiss Softar I

$
0
0

Secara umum pada jaman sekarang, kebanyakan fotografer menyukai foto dengan hasil yang tajam dan kaya detail. Memang untuk fotografi landscape/pemandangan, ketajaman memang penting. Tapi kalau untuk portrait, terlalu tajam juga tidak begitu enak untuk dilihat, terutama untuk foto semacam beauty portrait.

Saat workshop basic lighting untuk studio, saya iseng mencoba foto dengan lensa fix lama Nikkor Ai-s 135mm f/2.8 dan kamera Nikon D700. Di depan lensa fix, saya pasangkan filter Zeiss Softar I. Filter Softar ini cukup unik, sedikit berbeda dengan filter soft focus pada umumnya. Dari fisiknya ada banyak lenslet (mata lensa-lensa kecil) yang bertebaran di permukaan filter.

zeiss-softar-1Efek dari pemakaian filter ini adalah membuat kulit wajah menjadi lebih halus, bersinar (glowy) sehingga memberikan kesan “dreamy”. Filter ini tidak menghilangkan detail penting di wajah, seperti bulu mata atau memudarkan warna. Kesannya seperti foto portrait dari era tahun 60-70-an.

Contoh foto:

Talent : Nona Laddy

Talent : Nona Laddy

Krop 100% dari foto diatas

Krop 100% dari foto diatas

Pencahayaan seperti diatas ini sering disebut high-key, karena semuanya putih. Untuk mendapatkan hasil seperti ini, saya menembakkan lampu ke arah background, dan  lampu untuk menerangi wajah model dengan aksesoris octabox.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Apakah efek semacam ini bisa dibuat dengan proses editing seperti Photoshop?” Kemungkinan besar bisa.. Apa sih yang tidak bisa dilakukan Photoshop? hehe.. Tapi memang perlu keterampilan yang tinggi dan juga waktu yang cukup banyak. Jadi saya pikir menggunakan filter Softar ini akan menghemat banyak waktu.

Filter Softar ini tersedia dalam beberapa kekuatan, yaitu I, II, III. Makin tinggi angkanya, makin lembut hasil fotonya. Untuk contoh diatas, saya menggunakan Softar I.

Sayangnya, filter semacam ini sudah cukup sulit dicari dipasaran. Kalaupun ada yang baru, tapi mungkin ukuran filter threadnya sudah tidak lengkap. Bagi yang ingin mencari filter ini bisa hubungi 0858 1318 3069 atau e-mail infofotografi@gmail.com Harganya bervariasi tergantung dari ukuran filter dan kekuatan filter.

softar beauty portrait

Contoh lainnya

———
Untuk mengikuti  workshop portrait studio silahkan periksa jadwalnya disini.

Canon 700D vs Sony A6000

$
0
0

Kali ini saya akan mengulas perbandingan singkat antara dua kamera yang cukup favorit di kalangan fotografer yaitu kamera DSLR Canon EOS 700D dan kamera mirrorless Sony A6000. Kedua kamera ini sama-sama kamera modern sarat fitur dengan sensor gambar APS-C, menyasar segmen pemula menengah, juga harganya masih cukup terjangkau di kisaran 8-9 jutaan. Sebagai kamera DSLR, EOS 700D mengandalkan sistem cermin dan jendela bidik optik sedangkan Sony A6000 mewakili kubu mirrorless memberikan jendela bidik elektronik.

Canon EOS 700D

Canon EOS 700D

Canon EOS 700D sudah menjadi DSLR pemula yang ‘matang’ baik secara teknologi maupun dukungan lensa. Kamera dengan bobot 580 gram ini punya fitur dasar sensor 18 MP, 9 titik AF, ISO 100-12800, tembak kontinu hingga 5 fps dan yang terpenting sudah bisa auto fokus hybrid bila dalam mode live view. Apalagi dengan sistem pengoperasian layar sentuh, kita bisa menyentuh area di layar untuk memilih fokusnya.

Demikian juga saat merekam video, kamera akan mengikuti fokus sesuai area yang kita sentuh, akan lebih mantap lagi bila lensa yang dipasang adalah jenis STM (Stepper motor). Layar LCD di EOS 700D juga bisa dilipat ke samping dan diputar untuk kebebasan menentukan angle kreatif. Kekurangan minor dari EOS 700D menurut saya adalah hanya ada satu roda kendali untuk berganti setting, padahal idealnya ada dua roda untuk mengganti setting dengan cepat.

Di lain pihak, Sony A6000 justru menang di megapiksel, artinya lebih banyak detail yang bisa tertangkap (24 MP, atau 6 MP lebih banyak dari 700D). Sony A6000 juga sering disebut ‘pengganti DSLR’ karena implementasi hybrid AF yang sukses (baik untuk foto maupun video), dengan 179 titik fokus pendeteksi fasa yang jitu dan cepat, dikombinasikan dengan kecepatan tembak 11 fps dan bonusnya adalah jendela bidik elektronik yang berkualitas baik.

Untuk yang suka memasang flash eksternal juga tidak perlu kuatir karena ada flash hot shoe di A6000. Bodi kamera A6000 memang ramping (karena tidak memakai cermin) tapi tetap ergonomis, dengan grip yang besar, ada dua roda kendali dan tombol yang bisa dikusomisasi. Layar LCD di kamera berbobot 285 gram ini hanya bisa dilipat menghadap atas atau bawah saja, tidak bisa diputar seperti EOS 700D, dan juga tidak memakai sistem layar sentuh.

Sony A6000

Sony A6000

Kedua kamera ini sudah mumpuni baik untuk memotret maupun merekam video, mampu memberi hasil foto yang berkualitas baik, banyak fitur-fitur modern dan harganya tidak terlalu mahal.Sebagai kamera DSLR, Canon 700D tentu menang dalam dukungan aksesori dan lensa, termasuk lensa-lensa buatan pihak ketiga.

Bagi yang menyukai melihat jendela bidik optik juga tentu akan lebih nyaman memakai DSLR seperti EOS 700D. Sedangkan Sony A6000 berhasil mengalahkan banyak kamera DSLR dalam hal spesifikasi dasar (seperti kecepatan tembak 11 fps) dan mengalahkan kamera mirrorless sejenis dengan kemampuan auto fokusnya yang setara DSLR.

Pilihan lensa Sony E-mount memang masih sedikit dan harganya juga lebih tinggi, tapi di kamera A6000 ada opsi untuk bisa memotret ‘tanpa lensa’ di mode manual, yang artinya kita bisa pasang lensa lain dengan adapter (biasanya orang akan memasang lensa-lensa lawas dan dioperasikan dengan manual fokus). Urusan baterai adalah titik lemah A6000 (dan semua kamera mirrorless) karena selalu mengandalkan live view sehingga menguras baterai. Jadi dalam hal ini tidak bisa dibilang siapa yang menang karena masing-masing punya segmen dan plus minus yang berbeda.

Keunggulan Canon EOS 700D

+ Jendela bidik optik
+ Layar LCD touchscreen
+ Kapasitas baterai lebih tinggi
+ Koleksi lensa lebih banyak
+ Lensa kit sedikit lebih baik

Keunggulan Sony A6000

+ Ukuran lebih kecil dan ringan
+ Kecepatan foto berturut-turut lebih cepat
+ Sistem Autofokus cepat untuk subjek bergerak
+ Jendela bidik elektronik
+ Bisa dipasang dengan lensa sistem kamera lain dengan adaptor.

——————————

Ikuti kelas Kupas Tuntas Kamera Digital, untuk lebih memahami fungsi dan fitur kamera digital yang anda pakai.

Tips Editing soft pastel / vintage look dengan Adobe Lightroom

$
0
0

Kadang-kadang waktu ngobrol tentang editing, ada yang menanyakan bagaimana membuat gaya foto dengan tone pastel / vintage yang biasanya dibuat dengan film kamera jaman dahulu. Karena saya suka yang simple-simple saja, saya biasanya mengunakan Adobe Lightroom untuk mengedit foto. Di Lightroom, yang perlu diatur adalah di bagian Tone Curve.

Foto dibawah ini adalah foto asli sebelum di edit.

frisca-putri-yulisa

Pertama-tama klik dulu simbol Curve yang berada disamping tulisan Tone Curve seperti yang sudah saya tandai dengan lingkaran merah dibawah ini. Tujuannya supaya kita bisa menggeser batasan titik hitam dan putih.

01-original

Dengan menggeser batas titik hitam dan putih, penampilan histogram juga berbeda. Bagian kiri dan kanan dari histogram menjadi kosong

Dengan menggeser batas titik hitam dan putih, penampilan histogram juga berbeda.

Yang penting adalah menggeser titik kiri bawah ke atas, kira-kira 15%, kemudian turunkan titik paling kanan sekitar 2%. Angka-angka ini tidak eksak, tapi lebih ke selera saja. Titik-titik lain yang di bagian tengah juga untuk coba-coba saja. Dalam proses editing, jangan takut-takut dan coba-coba saja. Kalau tidak sesuai harapan, kita selalu bisa mundur lagi ke langkah sebelumnya dengan panel History yang terletak disebelah kiri.

Kalau kita perhatikan histogram juga akan berubah, saat titik hitam dan putih kita ubah, maka bagian histogram sebelah kiri dan kanan jadi kosong. Hal ini berarti dalam foto kita tidak akan ada warna hitam pekat atau putih murni.

Setelah mengatur Tone Curve, saya biasanya akan sedikit menurunkan nilai Saturation supaya warna agak pudar seperti foto hasil kamera film. Dan juga menambahkan nilai Grain (di panel Effects) supaya kesan foto lebih jadul dengan adanya bintik-bintik seperti noise.

Foto dibawah ini adalah foto hasil editing dengan mengubah Tone curve dan beberapa setting lain, diantaranya saturation -5, vibrance -10, grain +10.

frisca-putri-yulisa-vintage

Editing vintage diatas cocok juga untuk dikonversi ke hitam putih / black & white.

frisca-putri-yulisa-bw

Tentunya editing gaya ini cocok untuk diterapkan di foto jenis apa saja, tapi yang paling cocok menurut saya adalah untuk foto portrait atau street photography terutama untuk objek/arsitektur tua.

vintage-editing

 

Jika sudah menemukan formula tone curve yang disukai, gak ada salahnya di simpan/save sebagai Preset dengan mengklik simbol + disebelah panel Presets. Tujuannya supaya kita bisa mengaplikasikan ke foto-foto lain dengan mengklik nama preset yang sudah kita save.

preset-lr

——————————–
Untuk mempelajari Adobe Photoshop Lightroom, bisa melalui workshop satu hari, atau dengan membaca buku Adobe Lightroom karangan saya dan Iesan.

Buku tersebut tidak tersedia di toko buku. Untuk memesan, kirimkan alamat Anda ke 0858 1318 3069 atau e-mail infofotografi@gmail.com

Talent: Frisca Putri Yulisa

Tour Bukittinggi, Danau Maninjau, Padang : 7-8 Februari 2015

$
0
0

Sumatera Barat sangat beruntung memiliki pemandangan yang indah. Ada bukit, ada danau, ada ngarai, ada tebing, ada air terjun, ada pantai. Wow.. lengkap bukan? Kulinernya juga sedap, antara lain Sate Padang, Nasi Padang, kripik Balado, dan lain-lain.

Di tour kali ini, kita akan mengunjungi: Air terjun Lembah Anai, ngarai Sianok, lembah Harau, jam Gadang, Puncak Lawang, Kelok 44, Danau Maninjau, Pantai Padang, dan Jembatan Siti Nurbaya.

Pemandangan dari kelok 44. Danau Maninjau - oleh Enche Tjin

Pemandangan dari kelok 44. Danau Maninjau – oleh Enche Tjin

Itinerary

Sabtu, 7 Februari 2015

Pagi-pagi kumpul di Bandara, sampai di bandara Minangkabau diperkirakan sekitar jam 8 pagi. Kemudian langsung menuju kota Bukittinggi. Ditengah perjalanan, singgah untuk melihat dan memotret air terjun Lembah Anai, beli sate padang Mak Syukur yang tersohor, kemudian lanjut ke lembah Ngarai Sianok untuk foto-foto dan makan siang.

Setelah check-in hotel, kita berangkat ke lembah Harau sampai sore. Menjelang malam, kita jalan bareng ke Jam Gadang, ikon kota Bukittinggi dan makan malam di restoran Padang di pusat kota: Simpang Raya. Malamnya bebas jalan-jalan dan menikmati udara sejuk kota. Bagi yang ingin mencoba martabak mesir atau jajanan lain juga boleh.

Minggu, 8 Februari 2015

Sebelum matahari terbit kita berangkat ke Puncak Lawang untuk menyaksikan sunrise dan pemandangan danau Maninjau dari bukit. Selanjutnya, kita akan turun ke tepi danau Maninjau melewati kelok 44 yang menyajikan pemandangan indah. Setelah sarapan pagi di tepi danau, kita akan kembali ke hotel untuk siap-siap check-out.

Selanjutnya, kita akan menuju ke kota Padang. Ditengah perjalanan kita akan berhenti untuk makan siang. Di kota Padang, kita akan belanja oleh-oleh jajanan khas minang, jalan-jalan di jembatan Siti Nurbaya dan menunggu sunset di pantai Padang. Setelah makan malam, acara berakhir dan kita akan menuju bandara untuk kembali ke kota masing-masing.

Biayanya hanya Rp 1.350.000 per orang.

Terbuka untuk umum, baik penggemar fotografi atau sekedar hobi jalan-jalan menikmati pemandangan dan makan-makan.

Jumlah peserta terbatas, maksimal hanya 16 orang

Biaya sudah termasuk

  • Akomodasi hotel nyaman, bersih, baru dan wangi
  • Transportasi selama tur (Mini bus)
  • Pemandu dan Bimbingan fotografi (Erwin Mulyadi)
  • Makan pagi, siang, malam (total 5x)

Belum termasuk

  • Tiket pesawat/transportasi ke Padang
  • Belanja pribadi
  • Tips supir (min. 20.000/orang)

Cara mendaftar
Hubungi 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com

Beberapa contoh foto pemandangan di daerah Sumatera Barat yang akan dikunjungi:

Lembah Anai. Foto oleh Erwin Mulyadi

Lembah Anai. – Erwin Mulyadi

Air terjun di lembah Harau - Enche Tjin

Air terjun di lembah Harau – Enche Tjin

Ikon kota Bukit tinggi. Oleh Erwin Mulyadi

Ikon kota Bukit tinggi. – Erwin Mulyadi

Pemandangan dari Puncak Lawang di pagi hari

Pemandangan dari Puncak Lawang di pagi hari – Erwin Mulyadi

danau-maninjau-kelok-44

Pemandangan danau Maninjau dari kelok 44 – Erwin Mulyadi

Pantai Padang. Oleh Enche Tjin

Pantai Padang. Oleh Enche Tjin

Review Olympus OMD E-M1

$
0
0

Kira-kira seminggu lalu saya berkesempatan mencoba Olympus OMD EM-1 Silver edition berkat pinjaman dari Pak Gunawan Setiadi. Selain kamera, Pak Gunawan juga meminjamkan beberapa lensa untuk saya coba, diantaranya Panasonic 20mm f/1.7, Panasonic 12-35mm f/2.8, Olympus 9-18mm dan Panasonic 45-150mm. Saya membawa cuma dua lensa ke ranah Minang yaitu 20mm dan 45-150mm dengan pertimbangan logistik.

olympus-omd-em1

Sebelum saya berangkat, Pak Gunawan mengatakan kelebihan sistem micro four thirds (Olympus+Panasonic) terletak pada ukuran lensanya yang kecil-kecil terutama lensa lebarnya. Pesan lainnya yaitu saya dianjurkan mengunakan software dari Olympus supaya kualitasnya lebih bagus. Saya pernah mencoba Olympus OMD EM5 sebelumnya dan salah satu keluhan saya adalah banyaknya noise di ISO yang relatif rendah seperti ISO 400.

Pengalaman saya dilapangan cukup menyenangkan dengan kamera Olympus ini. Kendalinya mirip dengan kamera DSLR profesional. Ada dua roda / dial untuk mengubah setting seperti aperture/shutter speed, kompensasi eksposur (tergantung dari mode yang dipilih). Ada juga tuas mode 1 dan 2. Jika kita menggeser tuas ke mode 2, maka prilaku kedua mode berubah, yang tadinya untuk mengubah aperture/shutter jadi WB dan ISO. Prilaku ini bisa dikustomisasi di dalam menu.

olympus-omd-em1-back

Juga banyak tombol-tombol akses langsung seperti tombol untuk Drive mode/bracketing dan HDR yang terletak disebelah atas kamera. Fotografer berpengalaman akan menyukai kamera untuk digunakan di lapangan karena bisa dengan mudah mengubah setting tanpa harus masuk ke menu.

olympus-omd-em1-top

Selain itu, kamera ini penampilannya ganteng, sangat mirip dengan desain kamera film jaman dulu. Saat berjalan-jalan, saya perhatikan banyak yang melirik kamera saya ini. Mungkin mereka penasaran, kamera apa ya yang dipakai? kok tidak sama dengan kamera digiral era sekarang ha ha..

Olympus OMD EM-1 termasuk kamera mirrorless yang mengunakan sensor micro four thirds, yang ukurannya lebih kecil dari APS-C dan full frame. Maka itu, kualitas gambarnya tidak setara dengan kamera dengan sensor besar segenerasi, terutama di ISO tinggi (diatas 800).

Olympus OMD EM-1 memiliki rentang ISO dari 100-25600, tapi ISO 100 itu ditandai dengan tanda “LOW”, yang artinya pihak Olympus tidak menyarankan untuk mengunakan ISO 100. Sepertinya karena rentang dinamis ISO 100 masih kalah dengan ISO 200. Maka itu, saya mengunakan ISO 200 jika cahaya lingkungan memungkinkan.

Hasil foto dari kamera ini di kondisi cahaya yang terang, atau saat saya mengunakan tripod, sangat tajam. Mungkin karena sensor di EM-1 tidak memiliki AA (anti-alias) filter. Tapi saat di zoom 100% masih terlihat tekstur halus / noise. Tekstur seperti ini bisa muncul saat mengunakan ISO tinggi, tapi juga bisa muncul karena cacat saat proses gambar (processing artefact)

Di contoh foto dibawah ini, saya membandingkan hasil foto berjenis RAW (file foto mentah) yang saya proses dengan software yang berbeda: Adobe Photoshop Lightroom dan Olympus Viewer. Perbedaan cara proses kedua software ini cukup berbeda di foto ini. Lightroom meninggalkan banyak bintik-bintik/texture sedangkan hasil proses Olympus Viewer lebih mulus tapi detail ketajaman sedikit berkurang.

em1-lightroom-vs-olympus-viewer-01

Foto besarnya

Foto utuh dari krop diatas

Dari sini saya jadi paham cara kerja ke dua processor RAW. Peredam noise bekerja lebih kuat di Olympus Viewer sehingga noise lebih sedikit. Tapi saya sendiri masih lebih suka proses Lightroom, karena detail masih terjaga, dan nantinya saya bisa menerapkan selective noise reduction di area-area penting saja.

Untuk contoh foto kedua ini, saya mengunakan ISO 400. Di kasus ini, sepertinya hasil proses foto antara Lightroom dan Olympus Viewer kurang lebih sama di mata saya.

em1-lightroom-vs-olympus-viewer-02

P1010138

Foto utuh dari krop diatas

Untuk lensa yang saya pakai yaitu telefoto Panasonic G 45-150mm f/4-5.6 MEGA OIS (ekuivalen 90-300mm di kamera bersensor full frame). Menurut saya relatif kecil dan ringan. Harganya juga terjangkau. Hasil yang saya dapatkan dengan lensa ini menurut saya cukup tajam dan detail untuk ukuran lensa kit yang harganya sangat terjangkau (US$200). Ukuran lensa hanya 7.3 cm panjangnya, dan beratnya hanya 200 gram.

Lensa Panasonic 20mm f/1.7 juga oke saat di pasangkan ke kamera ini. Lensa pancake ini sangat tipis, sehingga tidak memberatkan dan juga mudah disimpan ke dalam tas. Hasil foto dengan lensa ini sangat tajam. Lensa fix (gak bisa zoom) berbukaan besar ini bisa membuat latar belakang yang relatif blur seperti contoh foto dibawah ini.

20mm di f/1.7

20mm di f/1.7

Krop 100% dari foto diatas

Krop 100% dari foto diatas

20mm di f/1.7, ISO 640 dan 1/15 detik. Berkat stabilization di body kamera, saya bisa memotret dengan tajam di shutter speed relatif lambat. Tanpa stabilization, saya akan terpaksa memotret dengan shutter speed sekitar 1/50 detik sehingga ISO akan naik ke sekitar ISO 2000

20mm di f/1.7, ISO 640 dan 1/15 detik. Berkat stabilization di body kamera, saya bisa memotret dengan tajam di shutter speed relatif lambat. Tanpa stabilization, saya akan terpaksa memotret dengan shutter speed sekitar 1/50 detik sehingga ISO akan naik ke sekitar ISO 2000

krop 100% dari foto diatas

krop 100% dari foto diatas

Kinerja autofokus kamera ini relatif cepat, terutama untuk subjek tak bergerak dan saat mengunakan jarak fokus lensa yang tidak terlalu tele. Saat saya zoom ke 100-150mm, kinerja autofokus menurun dan sesekali tidak bisa mengunci fokus.

Secara keseluruhan, saya sangat menikmati mengunakan Olympus OMD EM-1 karena ukurannya yang relatif kecil dan antarmukanya bagus: tuas, tombol dan pegangan yang pas posisinya dan nyaman di tangan. Hal yang saya kurang sukai yaitu kualitas gambarnya (pengendalian noise dan detail yang ditangkap) masih dibawah kamera yang bersensor gambar lebih besar (APS-C dan full frame). Walaupun demikian, untuk cetak sampai ukuran A2 menurut saya masih tetap bagus asal fotonya dibuat dengan pencahayaan dan teknik yang baik.

Dari pengalaman saya selama memotret dengan EM-1, bisa saya tarik kesimpulan bahwa kamera ini tidak begitu bagus untuk foto pemandangan yang menginginkan detail sebanyak mungkin, tapi sangat bagus untuk street photography dan traveling light.

Kelebihan Olympus OMD E-M1

  • Antarmuka tombol dan dial yang lengkap
  • Ada In-Body Stabilization (IBIS) yang bekerja untuk semua jenis lensa
  • Kinerja autofokus cepat
  • LCD lipat dan bisa touchscreen
  • Desain yang terlihat menarik, seperti kamera retro
  • Hasil gambar tajam meski dengan lensa kit
  • Ukuran lensa-lensa relatif kecil dan banyak lensa yang tidak terlalu tinggi harganya.
  • Body weathersealed (anti air, debu)

Kekurangan Olympus OMD E-M1

  • Autofokus untuk subjek bergerak cepat sering hunting dan terlambat
  • Detail gambar sedikit kurang terutama di ISO tinggi

Spesifikasi utama Olympus OMD EM-1

  • 16 MP four thirds sensor
  • ISO 100-25600
  • Shutter speed 60 detik – 1/8000 detik
  • LCD lipat, sentuh, dengan kerapatan 1 juta titik
  • Electronic viewfinder 2.4 juta titik
  • 5 axis – in body stabilization
  • Weathersealed, magnesium alloy body, tahan sampai -10 Celcius
  • Contrast and phase detect untuk lensa DSLR Olympus
  • Built-in Wifi
  • Kecepatan foto berturut-turut 10 foto per detik
  • Berat 496 gram

Memaksimalkan penggunaan satu flash untuk membuat foto lebih berdimensi.

$
0
0

Dalam berbagai percakapan antara sesama fotografer seringkali dimunculkan topik bagaimana membuat foto menjadi lebih berdimensi, dan biasanya setelah itu akan berlanjut pembicaraannya mengenai penggunaan flash maupun lampu studio untuk membuat sebuah foto tersebut menjadi lebih berdimensi.Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan foto yang berdimensi? Jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut adalah foto tidak flat/datar serta tidak membosankan. Kalau mau jawaban detailnya, hmmmm… saya susah mengungkapkan, tapi bisa merasakannya. Hehehe… Karena saya bukan seorang fotografer akademisi, mari kita coba membahas sedikit dan berbagi sedikit tips praktis untuk hal ini.

Banyak cara membuat foto tersebut terlihat lebih berdimensi, salah satunya adalah dengan memperhatikan pencahayaan. Selain penggunaan cahaya yang ada (available light), umumnya fotografer menggunakan tambahan artifisial light berupa lampu studio atau speed light yang dikenal juga dengan istilah Flash. Penggunaan flash ini biasanya lebih mudah dan efisien, orang menyebut dengan nama teknik Strobist dan dalam satu pemotretan jumlah flash yang digunakan bisa beragam jumlahnya, bisa satu, dua, tiga hingga lebih untuk membuat foto sesuai dengan yang diinginkan.

Agar lebih sederhana dan mudah dimengerti, saat ini saya mau coba berbagi dengan cara membahas foto yang dibuat dengan bantuan satu flash saja terlebih dahulu.

1. Penggunaan satu flash dengan bantuan Umbrella transparant

 Seperti pada tulisan saya terdahulu, hal pertama yang saya lakukan saat akan memulai pemotretan adalah mengamati kondisi cahaya matahari. Lokasi pemotretan ini berada pada tempat yang cukup teduh dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Dengan kondisi demikian saya memutuskan untuk menggunakan tambahan Umbrella transparant (shoot-through umbrella) pada flash, payung ini sangat sakti untuk melembutkan cahaya flash dan lebih praktis penggunaannya untuk strobist.

Foto 1. Penggunaan satu flash dengan bantuan Transparant Umbrella

Photo By : Purnawan Hadi

Posisi flash dapat dilihat pada Lighting Diagram dibawah ini. Power pada flash sekitar 1/4 dengan zoom 35mm, sehingga cahaya flash menyebar secara cukup merata ke model dan lingkungan sekitarnya.

www.lightingdiagrams.com

Nikon D90 – AF-S 18-105 VR, ISO-400, F/5, speed  1/200,  Spot Metering

Karena saya menggunakan trigger dengan tipe non HSS, speed maksimal yang dapat dibaca oleh recievernya adalah 1/200. Jadi  saya patok settingan speed pertama kali adalah 1/200. Kemudian saya mencoba mengatur bukaan Diafragma. Mungkin berbeda dengan teman teman lain yang suka memotret dengan lensa bukaan besar seperti F/1.4 atau F/1.8, saya pribadi menyukai bukaan diafragma antara F/8 hingga F/16, sehingga nyaris semua komponen di foto saya menjadi tajam dan saya membentuk dimensinya menggunakan cahaya flash. Karena kondisi sangat teduh dan terlindung pepohonan, saya hanya bisa mendapatkan F/5 itupun dengan ISO-400. Tapi menurut saya ini cukup dapat detailnya, seperti pada foto diatas.

2. Penggunaan satu flash dengan Reflector bawaan.

Pada foto berikut saya ingin menunjukkan hasil pemotretan satu flash dengan menggunakan reflektor bawaan, bentuknya bisa dilihat pada foto Light Diagram dibawah ini.

Foto 2 .Penggunaan satu flash dengan Refletor bawaan

Photo By : Purnawan Hadi

Foto ini saya ambil sekitar jam 5 sore dengan posisi pencahayaan berada dalam bayangan dinding, sehingga cahaya matahari tidak menyinari model secara langsung, sehingga dengan cahaya yang masih agak terang saya memutuskan tidak menggunakan payung seperti pada foto 1. Terilhat karakter cahaya yang dihasilkan sedikit lebih keras daripada foto pertama diatas.

www.lightingdiagrams.com

Nikon D90 – AF-S 35mm 1.8, ISO-200, F/5.6, speed  1/160,  Spot Metering

Flash di set dengan power sekitar 1/8 dengan zoom 50mm, flash tidak saya arahkan langsung ke model namun pada tumbuhan yang ada dilatarbelakang model. Dengan zoom 50mm, sebaran cahaya masih cukup lebar untuk menerangi model yang berada pada sisi agak kekanan. Settingan yang saya gunakan untuk ini adalah ISO-200, F/5.6, speed  1/160,  menggunakan lensa AF-S 35mm 1.8.

3. Penggunaan satu flash tanpa aksesoris lain.

Pada contoh kali ini pemotretan dilakukan dengan cahaya matahari yang sangat keras. Bisa dilihat pada bagian kanan foto yang over karena cahaya matahari. Saya menggunakan cahaya matahari yang cukup keras ini sebagai rim-light.

Foto 3 . Penggunaan satu flash tanpa aksesoris lain

Photo By : Purnawan Hadi

Kita harus sebisa mungkin memaanfaatkan serta memaksimalkan kondisi cahaya matahari ataupun cahaya yang tersedia untuk membuat dimensi pada foto. Pada kondisi matahari yang keras ini saya menggunakan flash tanpa aksesoris apapun, dengan full power dan zoom sekitar 70mm sehingga cahaya lebih terpusat pada satu arah.

www.lightingdiagrams.com

Nikon D90 – Tokina AF 12-28mm F4, ISO-200, F/14, speed  1/200,  Spot Metering

Saya menggunakan bukaan Diafragma F/14 sehingga selain cukup membatasi cahaya yang masuk, juga membuat detail foto jelas dari ujug ke ujung. ISO saya tarus pada posisi terendah di ISO-200 dan speed saya batasi di 1/200 karena trigger yang saya gunakan tidak mendukung fitur HSS.

Semoga tulisan saya kali ini dapat membantu rekan rekan semua yang ingin lebih mempelajari penggunaan flash. Salah satu cara yang terbaik untuk menguasai penggunaan flash ini adalah dengan terus dan terus berlatih memotret.

Salam,

Purnawan Hadi
www.purnawanhadi.com

https://plus.google.com/u/0/+PurnawanTaslim/posts

Kamera DSLR dan mirrorless terbaik 2014

$
0
0

Akhir tahun telah tiba lagi, dan seperti biasanya, saya akan mengulas beberapa kamera DSLR dan mirrorless terbaik di tahun 2014. Kamera yang terbaik bagi saya adalah kamera yang dari spesifikasinya tinggi dan inovatif, melebihi banyak kamera lainnya, juga ada beberapa kamera yang saya nilai sangat baik, dengan harga yang sangat pantas (worthed).

sony-a6000

Sony A6000

Kamera mirrorless ini fleksibel untuk foto apa saja, dengan fisik yang relatif mungil dan juga harga yang relatif terjangkau. Inovasi A6000 adalah autofokus hybrid yang bisa tracking subjek bergerak dengan cepat. Dahulu, masalah kamera mirrorless dibandingkan dengan kamera DSLR adalah kecepatan autofokus untuk subjek bergerak. Sejak adanya Sony A6000, DSLR dan mirrorless sudah bisa disetarakan di sektor kinerja AF. Baca Reviewnya disini.

nikon-d810

Nikon D810

Mengapa? Salah satu kamera dengan resolusi paling tinggi di kelasnya saat ini yaitu 36 MP tanpa AA filter. D810 memiliki mekanisme mirror dan shutter yang lebih lembut dari pendahulunya sehingga mengurangi getaran saat memotret. D810 adalah kamera yang secara keseluruhan bagus dan multifungsi untuk motret apa saja bisa dan didukung oleh lensa F-mount Nikon yang sangat banyak. D810 adalah kamera pilihan banyak fotografer profesional top saat ini. Pastikan memasang lensa berkualitas tinggi supaya hasilnya maksimal.

samsung-nx1

Samsung NX1

Sebagai kuda hitam, Samsung harus bekerja jauh lebih keras dan membuat kamera dan yang jauh lebih bagus daripada pesaing-pesaingnya supaya dianggap lebih serius. Samsung NX1 memiliki sensor termutakhir saat ini dengan APS-C BSI (Back Side Illuminated) 28 MP. Resolusi ini adalah yang paling tinggi dikelas APS-C saat ini. Memotret di ISO tinggi tidak masalah untuk NX1. Kecepatan foto berturut-turut kamera ini juga dashyat, yaitu 15 foto perdetik, melewati berbagai kamera DSLR dan mirrorless yang ada saat ini.

Samsung secara cerdik memanfaatkan berbagai teknologi yang dimilikinya, salah satunya teknologi wireless. NX1 dilengkapi dengan koneksi Wifi yang mudah dan cepat via protocol  802.11ac dan juga mendukung bluetooth dan NFC. Untuk penggemar video, NX1 bisa merekam video sekualitas 4K tanpa aksesoris tambahan. Layarnya super AMOLED yang sangat jelas saat dibawa keluar ruangan karena anti-pantul, dan bisa disentuh (touchscreen). Memang kita tidak bisa menutup mata bahwa Samsung NX1 merupakan kamera digital dengan teknologi tinggi yang lengkap untuk ukuran tahun ini.

nikon-d3300-red

Nikon D3300

Jangan remehkan ukuran fisik yang relatif kecil ini dan warna merah seperti kamera mainan, karena di dalamnya bersemayam sensor kualitas tinggi 24MP tanpa filter AA sehingga hasilnya sangat tajam dan kaya detail. Kamera DSLR untuk pemula ini ukurannya relatif kecil dibandingkan dengan kamera DSLR pada umumnya, harganya relatif terjangkau. Lensa kitnya juga compact dan bisa fokus relatif dekat untuk foto close-up/makro.

leica-medition60

Leica M Edition 60

Yang ini lebih termasuk kamera digital ter-aneh dan juga tertinggi harganya he he he… Kamera ini tidak memiliki layar LCD untuk meninjau gambar yang diambil, dan juga gak ada menu untuk mengganti setelan kamera. Bikin penasaran bukan? Di bagian belakang kamera, cuma ada kenop berbentuk bulatan untuk mengganti nilai ISO.

—–

Kurang lebih itulah kamera-kamera yang menarik perhatian saya. Memang banyak sekali kamera digital yang lain yang bagus-bagus, tapi banyak diantara mereka tidak memiliki inovasi baru yang berarti (peningkatannya sedikit demi sedikit saja).

Selamat berbelanja dan berkemas untuk liburan akhir tahun ini. Kalau akhirnya memutuskan untuk beli Leica M edition 60, jangan lupa pinjemin saya untuk mengujinya he he he.. :)


Bahas foto : editing untuk street photography

$
0
0

Foto dibawah ini saya buat saat workshop photography ke pasar lama Tangerang. Saat “blusukan” ke gang-gang dibelakang pasar, saya menemui rumah yang cukup berkarakter. Jendelanya bercat kuning (warna favorit saya), dan temboknya biru. Saat mengintip melalui jendela, saya melihat ada seorang nenek sedang duduk di dalam.

Masalah klasik fotografi yang saya alami adalah pencahayaan yang kontras di luar ruangan yang diterangi oleh cahaya matahari dan di dalam yang diterangi oleh cahaya lampu rumah. Akibatnya hasil foto di layar LCD, bagian dalam rumah terlihat sangat gelap.

DSC07599-3

Tapi menurut pengalaman dan pengetahuan saya, saya bisa memulihkan daerah gelap tersebut di Lightroom jika saya mengunakan image quality = RAW. Kemudian di Lightroom, saya bisa menerangkan bagian yang gelap dengan mengunakan adjustment brush.

Di sesi review, saya mencoba memulihkan daerah yang gelap tersebut dan ternyata bisa dan terlihat lebih jelas.

Ada dua pin kendali yang saya buat.

Pertama, pin untuk menerangkan bagian dalam ruangan secara keseluruhan. Setting exposure +0.33 seperti yang terlihat panel sebelah kanan. Warna merah menandai daerah yang saya edit.

editing-01

Kedua, pin untuk menerangkan ruangan terdalam. Karena ruangan dalam jauh lebih gelap, saya perlu menaikkan exposure hingga 1.2 stop dan juga menaikkan setting-setting lain supaya pencahayaan lebih seimbang dengan yang diluar.

editing-02

Hasil akhirnya seperti ini: Foto bisa diklik untuk tampilan lebih besar

Yang saya sukai dari foto diatas adalah memberikan kesan tiga dimensi dalam media dua dimensi. Adanya nenek yang duduk memberikan kehidupan dalam foto ini. Nenek tersebut juga mengenakan sarung yang sama dengan yang digantung memberikan kesan pola warna yang menarik.

Jadi, editing bisa sangat membantu untuk mendapatkan hasil foto yang seimbang terang gelapnya, seperti kasus diatas (street photography/interior), dan juga untuk foto pemandangan.

—————–
Belajar software Adobe Lightroom bisa melalui workshop 1 hari.

Atau bisa juga belajar dengan mengunakan buku panduan langkah demi langkah belajar Adobe Lightroom.

Untuk mendaftar atau memesan bisa hubungi 0858 1318 3069

Sharing & Gathering : Fine Art Photography

$
0
0

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar Fine-art, apakah ini adalah sebuah aliran seni baru dalam fotografi? atau itu adalah sebuah teknik dalam fotografi?

tandika-cendrawanFine-art fotografi terdengar asing di telinga kita dan terkesan membuat jarak antara aliran fotografi yang lainnya. Tidak dipungkiri kebanyakan orang kurang mengenal apa itu Fine-art photography, bahkan mereka mungkin tidak mengetahui bahwa karya yang mereka lihat sehari-hari atau karya yang mereka buat itu adalah sebuah Fine-art.

Banyak yang beranggapan sebuah seni karya yang bagus adalah berdasarkan apa yang ada, bukan dari apa yang kita rasakan, melalui fine art photography, seniman mempunyai sikap individu untuk membuat sebuah karya. Fineart diibaratkan story telling, menceritakan akan suatu hal. Seorang seniman dapat menceritakan tentang apa yang mereka rasakan, mencurahkan perasaannya melalui sebuah foto, emosi, senang dan sedih.

Pandangan dia terhadap orang lain dan sekitarnya. Melalui pengalaman pribadi, teman atau orang disekitarnya, Ini dapat menjadikan sebuah dasar dari tercipta Fine-art photography. Melalui apa yang dirasakan seniman, dia mengungkapkannya dalam sebuah foto yang bercerita.

Materi yang dipelajari :

  • Inspirasi
  • Pengkomposisian sebuah foto
  • Cerita dan konsep dibaliknya

Acara sharing & gathering ini akan diadakan

Hari Minggu, tanggal 21 Desember 2014

Biaya pendaftaran : Rp.50.000,-
Waktu : 13.00 – selesai
Tempat: Jl. Moch. Mansyur No. 8B2, Jakarta Pusat 10140 sebelah MNC Bank, dekat perempatan Roxy (Hasyim Ashari).

Pembicara: Tandika Cendrawan, Mahasiswa Desain komunikasi Visual.

Cara Mendaftar :

1. Transfer bank atas nama Enche Tjin

via Bank BCA : 4081218557, via Bank Mandiri : 1680000667780

2. Konfirmasi melalui e-mail

(email : infofotografi@gmail.com), sms atau telepon 085813183069 atau 085883006769 dengan menyertakan nama peserta dan nama penyetor.

3. Datang di hari workshop sesuai dengan jadwal yang tercantum.

Sampai jumpa nanti!

Poster-fine-art-photography

Membuat efek Stroboscopic dengan flash/ lampu kilat

$
0
0

Selain berfungsi sebagai cahaya tambahan dengan teknik on shoe kamera maupun off shoe kamera (Creative Lighting System/ CLS) atau dalam istilah gaulnya strobist. Lampu kilat/flash juga dapat difungsikan untuk membuat efek-efek yang menarik di dalam fotografi.

Dalam tulisan kali ini, saya akan berbagi kepada pembaca infofotografi untuk menciptakan efek stroboscopic dengan flash. Untuk menciptakan efek ini kita memang memerlukan flash tipe tertentu dari berbagai merek yang ada. Karena tidak semua flash/ lampu kilat memiliki fitur/ mode yang bisa kita gunakan untuk menciptakan efek ini.

contoh-multi-flash

Beberapa flash yang mempunyai mode untuk bisa menciptakan efek ini antara lain: Canon 580 ex ii, Canon 600 EX RT, Nikon SB 900, Nikon SB 910, Sony HVL 43, HVL 60 dan beberapa tipe dari merek Yongnuo.

Nama mode dalam flash untuk menciptakan efek ini dikenal dengan istilah repeat (disingkat RPT) pada Nikon dan Multi pada Canon dan Yongnuo. Fungsi dari RPT/ MULTI pada flash adalah flash mampu menyala beberapa jika kita pencet tombol pilotnya meski hanya sekali. Dan Jika dipasang pada hot shoe kamera kita, flash akan menyala beberapa kali jika kita menekan sekali tombol shutter kamera kita (Note: pakai speed yang relatif lambat untuk mencobanya)

Cara setting mode MULTI/ REPEAT (RPT) pada flash

  • Pada flash Canon/ Yongnuo : pencet mode dan pilihlah mode MULTI.
  • Pada flash NIKON: pencet mode dan pilihlah mode REPEAT (RPT)

Setelah dipilih pada mode tersebut, pada lcd flash kita akan muncul gambar seperti contoh di bawah. (contoh memakai flash merek Yongnuo)

multi-rpt-flash-setting

Contoh tampilan LCD Flash.

Pada LCD flash diatas terdapat dua angka berjajar yang masing-masing diikuti dengan tanda X dan Hz. Angka yang diikuti tanda X menandakan flash akan menyala beberapa kali sesuai dengan angka yang ada di LCD. Misal angka dipilih di 5X, maka flash akan menyala sebanyak 5 kali dalam sekali pencet tombol pilot atau shutter kamera (sekali lagi gunakan speed lambat agar rentang nyala flashnya terekam.)

Sementara angka yang diikuti dengan Hz adalah menandakan jarak jeda/ kerapatan dari nyala pertama ke nyala kedua dst sampai dengan angka pada tanda X mau ditembakkan berapa kali. Semakin tinggi angka pada HZ, akan semakin rapat jarak antara 1 nyala flash ke flash berikutnya. Semakin rendah angka pada Hz akan semakin renggang jarak nyala flashnya.

Berikut beberapa tips untuk membuat efek stroboscopic:

  1. Memotretlah dalam keadaan low light atau gelap sekali.
  2. Gunakanlah background hitam atau latar belakang yang pekat. (malam hari)
  3.  Objek/ model harus melakukan gerakan yang signifikan agar pola pergerakan/ jejaknya
  4. dapat terekam dengan jelas.
  5. Gunakan speed lambat untuk bisa merekam pergerakan objek. Secara logika kita membutuhkan rentang waktu yang pas agar nyala flash yang beberapa kali bisa terekam kamera kita. (misal: kita set angka di flash pada 8X dan 4 Hz, maka kita akan membutuhkan waktu sekitar 2 detik ( 8 bagi 4 )pada kamera kita agar mampu merekam nyala flash sebanyak 8X tersebut).

Note: shutter kamera yang lambat diperlukan untuk merekam pergerakan objek. Sementara nyala flash diperlukan untuk membekukan pergerakan objek.

Berikut terlampir beberapa contoh lain:

multi-flash-contoh

contoh-repeating-flash

Selamat bermain dan Salam Fotografi.

Penulis, Albertus Adi Setyo adalah fotografer profesional yang bergerak di bidang commercial photography.

Selain itu juga mengajar di kelas Creative lighting dengan flash yang mempelajari setting flash dan mengunakan flash untuk berbagai kondisi dan situasi seperti liputan, foto portrait, special effect, still life, dan sebagainya. Teknik diatas juga akan dipraktikkan.

Kesan pertama dengan Sony A7 mk II

$
0
0

Kamis lalu (11/12/14), saya diundang untuk menghadiri launching kamera Sony A7 mk II regional Asia Tenggara di Gardens by the bay, Singapura.

Dari acara ini saya berkesempatan mendengarkan dengan detail tentang kelebihan kamera baru ini dan sempat mencobanya. Di acara ini juga dipajang berbagai lensa baik yang sudah beredar maupun yang dalam tahap perencanaan.

Kesan pertama saya terhadap Sony A7 mk II cukup positif, dari perubahan grip yang lebih besar sehingga lebih nyaman saat memotret. Selain itu, adanya in-body stabilization membuat saya lebih pede saat perlu foto dengan shutter speed lambat di kondisi low-light.

sony a7 mk II

Grip A7 mk II yang baru dan tombol shutter yang maju ke depan membuat genggaman jadi lebih mantap. Fisik kamera juga lebih kokoh dan doff karena dari magnesium alloy.

Tekstur body kamera sedikit lebih kasar dan doff daripada A7.

Tekstur body kamera sedikit lebih kasar dan doff daripada A7.

Beberapa informasi yang saya kumpulkan untuk dalam launching acara ini:

  • In body stabilization 5 Axis adalah headline untuk A7 mk II. Mekanisme ini efektif bekerja untuk semua lensa Sony FE, tapi hanya 3 axis untuk lensa-lensa lainnya.
  • Image stabilization tidak sama dengan mekanisme Steadyshot di Sony SLT, dan tidak ada kolaborasi dengan insinyur merk kamera lain. Mekanisme ini dikembangkan sendiri oleh insinyur Sony dari divisi kamera dan Sony handycam dari nol.
  • Mekanisme stabilization sangat mulus dan tidak bersuara
  • Image stabilization tidak berefek banyak ke konsumsi tenaga/baterai (low power consumption)
  • Kinerja autofokus untuk mengikuti subjek bergerak lebih baik, dan juga saat motret di low light dibandingkan A7 dan A7R, (tapi Sony A7s masih lebih baik kinerja AFnya di low light)
  • A7 mk II mendapatkan fitur setting video seperti A7s (picture profile, S-log Gamma2, format XAVC-S, dll).
  • Kualitas gambar tidak terlalu disinggung tapi termasuk salah satu poin peningkatan.
  • Beberapa lensa yang akan diluncurkan tahun depan juga dipajang dummy-nya, yaitu Sony 24-240mm f/3.5-6.3 OSS. Sony Zeiss 35mm f/1.4, dan Sony 28mm f/2 dengan converter wide angle dan converter fisheye.
  • Lensa 35mm f/1.4 akan punya aperture ring seperti lensa jaman dulu
  • Harapan saya, lensa 28mm f/2 performanya bagus meskipun tidak berlabel Zeiss. Ukurannya relatif compact (hanya sedikit lebih besar dari FE 35mm f/2.8) tapi bukaannya cukup besar.
  • Lensa Zeiss Loxia juga dipajang, ukurannya cukup compact tapi cukup padat dan berat (bahan logam).
Kiri: Sony 35mm f/1.4 yang ukurannya agak besar (tidak bisa dihindari kalau bukaannya besar + ada aperture ringnya). Dan Sony 28mm f/2

Kiri: Sony 35mm f/1.4 yang ukurannya agak besar (tidak bisa dihindari kalau bukaannya besar + ada aperture ringnya). Kanan: Sony 28mm f/2 yang cukup mungil.

Sony A7S dengan Zeiss Loxia 35mm f/2

Sony A7S dengan Zeiss Loxia 35mm f/2

Menurut saya, Sony A7 mk II ini hampir sempurna sebagai kamera serba guna, yang mampu membuat kualitas gambar dan video berkualitas, dengan fisik yang relatif compact. Yang paling senang dengan kehadiran kamera ini mungkin adalah fotografer travel yang sering motret di kondisi low light seperti malam hari, atau di dalam ruangan, tanpa tripod dan flash.

Meskipun diberi kesempatan untuk mencoba A7 mk II terutama image stabilizationnya, tapi karena waktunya terbatas, saya belum mencoba secara tuntas. Saya akan mengulas lebih banyak dan hasil pengujian saya jika A7 mk II sudah available nanti.

Harga Sony A7 mk II diperkirakan Rp 21 juta dan baru akan tersedia di Indonesia bulan Januari 2015.

Terima kasih kepada Sony Indonesia yang telah mengundang saya dan beberapa teman fotografer dan sinematografer Indonesia.

Kontingen Sony Indonesia

Kontingen Sony Indonesia

 

Review Flash murah tapi canggih dari Shanny

$
0
0

Flash external biasanya tidak murah terutama yang fiturnya lengkap dan canggih. Tapi perusahaan yang relatif baru asal Cina ini berhasil membuat flash yang canggih dengan harga yang relatif terjangkau. Beberapa waktu yang lalu, saya dikirimkan sebuah produk flash untuk di review. Nama flashnya adalah Shanny 600SC. Harga flash ini cukup terjangkau yaitu hanya Rp 1.350.000 – Rp 1.750.000 (tergantung jenis flash).

shanny-sn600sc-01Fitur flash ini compatible dengan sistem kamera Canon sesuai dengan namanya yang memiliki huruf “C”. Kalau yang Nikon, memiliki huruf “N.” Dari power/kekuatan, Shanny 600SC ini disetarakan dengan kamera paling canggih Canon saat ini yaitu Canon 600RT. Dari fiturnya juga kurang lebih sama, bedanya 600SC belum ada RT-nya (Radio Transmission).

Dilihat sepintas, desain body Shanny 600SC memang menyerupai desain antar muka flash Canon. Sepertinya desain ini dibuat dengan sengaja untuk membidik pengguna sistem kamera Canon yang mencari alternatif flash yang lebih terjangkau harganya. Kelengkapannya cukup standar, yaitu sarung flash, kaki bebek, dan panduan pemakaian, tapi tidak ada diffuser atau filter warna. Kualitas bahan kamera ini cukup baik yaitu dari bahan plastik dan terasa cukup kokoh seperti flash lain pada umumnya.

Kekuatan flash ini GN 62 di 200mm, kurang lebih setara dengan flash kelas atas dari Canon, Nikon dan Sony. Menurut pengujian saya, kecepatan recycle time tergantung dari baterai yang dipasang. Jika memasang baterai yang masih segar, maka kecepatan recycle time bisa mencapai dua detik, tapi jika baterai yang dipasang sudah mau habis, atau berkualitas kurang baik, recycle time bisa mencapai 3-4 detik.

Layar LCD flash Shanny terang dan mudah dilihat. Pengoperasian juga mudah berkat kelengkapan tombol dan huruf/angka di layar yang sangat jelas

Layar LCD flash Shanny terang dan mudah dilihat. Pengoperasian juga mudah berkat kelengkapan tombol dan huruf/angka di layar yang sangat jelas

Konsistensi flash ini cukup baik dalam pengujian. Saya memotret terus menerus 20 kali dalam jeda waktu sekitar 5 detik, dan flash tetap bisa terus menyala dengan kekuatan penuh. Kabarnya, flash ini lolos tes uji 3000 kali foto dengan kekuatan penuh dengan jeda 15 detik setiap flash.

Sampai saat ini, Shanny membuat beberapa flash untuk kamera Canon dan Nikon. Jenis-jenis flash yang available antara lain:

  1. SN600SC (yang saya review di tulisan ini) – Bisa jadi master/commander atau jadi slave. Harga Rp 1.750.000
  2. SN600S – dirancang untuk menjadi slave, cocok untuk Canon dan Nikon. Harga Rp 1.350.000
  3. SN600N – dirancang untuk compatible dengan i-TTL Nikon saat dipasang di atas kamera. Harga Rp 1.350.000

Kekuatan dan desain kamera SN600N/C sangat mirip. Bedanya harganya lebih terjangkau lagi (Rp 1.350.000) tapi:

  1. Tidak ada mode wireless master
  2. Tidak ada mode slave i-TTL Nikon atau e-TTL Canon (yang ada slave biasa/S1,S2)
  3. Tidak ada kantong flash/soft pouch
  4. Tidak ada dukungan pembaharuan firmware

Untuk penggemar fotografi dan fotografer yang suka mempraktikkan strobist (mengunakan beberapa flash untuk memotret produk, benda, portrait), membeli flash yang semerek dengan kamera bisa jadi terasa harganya terlalu tinggi. Jika satu flash saja, selisihnya sekitar 4-5 juta, tapi kalau kita butuh 5 flash, harganya bisa beda sekitar 20-25 juta. Wow.. besar bukan? Dengan adanya flash dengan harga yang terjangkau seperti dari Shanny ini, berita bagus bagi penggemar fotografi atau profesional yang memiliki budget terbatas.

Bagi yang sekedar motret untuk dokumentasi keluarga, hobi foto jalan-jalan, atau foto-foto still life, dan hanya berencana untuk mengunakan satu flash saya, flash SN600C atau SN600N sudah cukup.

Kelebihan flash Shanny SN600SC

  • Kepala flash bisa diputar 360 derajat
  • Rentang kekuatan bisa diatur dari 1/1 sampai 1/128 dengan beda 1/3 stop
  • Mode S1 dan S2 mendukung fungsi high speed sync
  • Nyala tutup flash cepat (kurang lebih 1-1/5 detik untuk On, untuk tutup sekejab saja).
  • Untuk model 600SC bahkan ada slave Nikon otomatis yang menyalakan
  • Kaki flash yang bagus dan pasang dengan mudah dan tidak bergoyang saat diatas kamera
  • Ada heat protection untuk mencegah flash rusak
  • Tidak begitu mudah overheat saat memotret dengan full power
  • Kualitas dan desain casing sangat baik
  • Fitur-fiturnya lengkap dan canggih, termasuk multi flash, HSS, 1st and 2nd curtain sync, TTL, slave, master
  • Untuk fungsi slave, compatible dengan sistem flash Canon & Nikon
  • Harga yang relatif lebih terjangkau
  • Relatif cepat dan stabil recycle speednya (menurut tes saya sekitar 2-2.5 detik), dengan baterai yang berkualitas (rechargeable Nimh)
  • Layar LCD terang, besar dan mudah dibaca dengan lampu LED berwarna hijau

Kekurangan flash Shanny SN600SC

  • Tombol agak dalam dan agak keras
  • Tidak anti air (waterproof)
Kepala flash Shanny bisa diputar 360 derajat

Kepala flash Shanny bisa diputar 360 derajat

Mari kita lihat spesifikasi dan fitur flash SN600SC:

  • Guide Number 62 di ISO 100 dan zoom 200mm
  • Hi Speed Sync (sampai dengan 1/8000 detik)
  • Master Control Slave Wireless TTL
  • AF Assist lamp
  • Second & first curtain sync
  • Automatic flash TTL
  • Flash exposure compensation
  • Flash exposure bracketing
  • AE Lock
  • Auto Zooming sampai dengan 200mm
  • Overheat warning
  • Internal charging
  • High speed recycle (sampai dengan 1.8 detik di full power)
  • Sound/Beep
  • Custom functions
  • Software update jika ada pembaharuan
  • Wide diffuser panel
  • Flip / Bounce card
  • External battery port
  • PC sync port
  • 2.5mm communication port
  • Flash ratio: 8:1 / 1:8 sampai 1:1
  • Berat: 420 gram
  • Dimensi: 79.7 x 142.9 x 125.4 mm
  • Kapasitas baterai 100-700 kali

Bagi yang membutuhkan flash Shanny SN600SC, SN600C dan SN600N dapat memesan melalui saya 0858 1318 3069. infofotografi@gmail.comatau melalui online store kami: www.ranafotovideo.com

Penggunaan Dua Flash untuk Portrait Photography

$
0
0

Pada postingan sebelumnya kita telah membahas memaksimalkan satu flash untuk menciptakan dimensi foto. Kali ini kita akan bahas penggunaan dua flash. Mungkin sebelum kita lanjutkan lebih jauh, ada yang bertanya kapan waktunya kita gunakan hanya satu flash ? dan kapan saatnya kita gunakan dua flash atau lebih? Hayo, yang merasa mau bertanya seperti itu harus komentar diakhir tulisan ini ya :)

Sebenarnya penggunaan satu flash, dua flash dan seterusnya itu tergantung dari pencahayaan seperti apa yang kita inginkan, jika menurut kita cukup dengan satu flash saja silahkan, demikian seterusnya. Saya pribadi biasanya memulai dengan menganalisa arah cahaya matahari (jika pemotretan outdoor) atau arah cahaya lampu ataupun cahaya matahari dari jendela (jika pemotretan indoor) terlebih dahulu. Jika available light cukup untuk pencahayaan yang saya inginkan, maka saya tidak menggunakan flash atau cahaya tambahan lain, namun jika belum cukup dengan available light maka saya akan menambahkan satu flash dulu, lalu jika masih kurang nambah satu lagi dan seterusnya.

Kita kembali deh pada konsep pembuatan foto yang berdimensi, penggunaan flash adalah salah satu cara membuat foto menjadi lebih berdimensi, bukan hanya sekedar untuk menerangi objek saja. Jika kita melihat foto kita menjadi dua bagian, yaitu bagian foreground dan background, maka untuk membuat foto menjadi lebih berdimensi, kita harus bisa memberikan ruang tersendiri antara foreground dan background  dan kita bisa melakukan itu dengan tambahan cahaya dari flash atau juga dengan DOF.

Sebagai contoh foto ini terlihat cukup berdimensi karena antara model sebagai foreground terlihat lebih memisah dengan backgroundnya karena adanya cahaya rim light disisi samping arah belakangnya. Model terlihat lebih “pop up” dengan adanya cahaya dan bayangan yang diinginkan.

Nikon D90 AF-S 18-105mmVR, ISO-200,F/5,1/200

 

Untuk kedua foto diatas saya memotret menggunakan Nikon D90 dengan lensa Kit-nya AF-S 18-105mmVR di FL 18mm dan data Exif-nya sama yaitu  ISO 200, F/5 dan speed 1/200.Posisi lighting yang saya gunakan adalah sebagai berikut :

www.lightingdiagrams.com

 

Saya menggunakan dua Reflektor Softbox seperti dikanan atas. Kekuatan cahaya atau power dari flash ini juga sangat mempengaruhi hasil, biasanya jika menggunakan dua flash dengan posisi seperti ini saya akan memulai setting power flash depan banding flash belakang adalah 1:2. Misalnya jika power flash depan saya set 1/16, maka untuk posisi belakang saya set 1/8. Ini hanya patokan awal, karena tidak ada rumus pasti dalam fotografi mengenai setting flash maupun setting kamera sekalipun. Dengan patokan awal ini saya nanti akan mengurangi arau menambahkan power sehingga hasilnya sesuai dengan yang saya inginkan.

Jika pada foto 1 diatas pengambilan foto dilakukan diruang terbuka dan latar belakangnya adalah ruang terbuka juga, maka foto berikut saya ambil didalam ruangan dengan latar belakang adalah sebuah dinding.

Nikon D90 AF-S 18-105mmVR, ISO-200,F/5,1/200

Posisi lighting yang saya gunakan mirip dengan pada foto 1, sebagai berikut :

www.lightingdiagrams.com

 

Saya tetap menggunakan dua Reflector Softbox yang didalamnya saya gunakan flash. Kali ini Power Flash yang saya gunakan didepan 1/32 dan belakang 1/16, namun dengan jarak flash ke model lebih dekat daripada Foto-1. Hal ini karena saya lebih fokus untuk memotret wajah modelnya.

Nah disini kita semua dapat menilai dan membandingkan bahwa power yang saya gunakan saat outdoor jauh lebih besar dibanding saat indoor. Hal ini karena available light untuk outdoor juga lebih besar, sehingga butuh power dari flash yang lebih besar untuk mengatasi available light.

Semoga tulisan ini cukup membantu dalam memahami dan menginspirasi untuk lebih mempelajari lightingdalam fotografi, tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan pertama yang membahas mengenai Pemotretan Strobist Outdoor dan Memaksimalkan penggunaan satu flash untuk membuat foto menjadi lebih berdimensi.


Salam,

Purnawan Hadi

www.purnawanhadi.com

https://plus.google.com/u/0/+PurnawanTaslim/posts

Pentingnya memahami keterbatasan

$
0
0

Saat saya kuliah dulu, ada mata kuliah yang menarik bagi saya yaitu Decision Science (Ilmu membuat keputusan). Di kuliah ini, hal yang paling mengesankan bagi saya yaitu cara membuat keputusan yang baik sebenarnya sederhana, yaitu menentukan batasan-batasan (Constraints). Masuk akal juga, kita hidup di dunia yang serba terbatas, dengan membuat banyak batasan, kita ujung-ujungnya akan mendapatkan keputusan terbaik.

Contoh sederhana saja, misalnya akhir tahun ini kita ingin punya kamera, lensa, atau flash baru, bagaimana cara kita untuk memilih yang terbaik? Yang paling penting ditentukan terlebih dahulu adalah batasan budget/dana atau limit kartu kredit yang dimiliki. Tidak ada gunanya mencari kamera yang sesuai keinginan tapi harganya jauh diatas kemampuan kita.

Batasan yang lain mungkin berat, ukuran kamera dan lensa, kecepatan autofokus (penting jika sering memotret subjek bergerak cepat), dan fitur-fitur lainnya sampai menemukan kamera yang sesuai.

Keterbatasan juga bisa membuat foto kita lebih baik dan lebih kreatif. Kenapa bisa demikian? Beberapa bulan terakhir, saya banyak mengunakan kamera compact, dan masing-masing tentunya memiliki kelebihan tapi juga banyak keterbatasannya. Tapi justru dengan menyadari keterbatasan tersebut, saya lebih fokus saat memotret sehingga menghasilkan banyak foto yang saya sukai.

Contohnya kamera saku Ricoh GRD IV yang sensor gambarnya kecil dan lensanya tidak bisa zoom. Saya mengunakan kamera ini saat tour fotografi Kamboja, dan saat itu.saya ingin menghemat tenaga karena sehari sebelumnya saya baru saja selesai hunting foto dengan group pertama.

Mengunakan kamera yang compact membuat saya bisa memanjat cukup tinggi tanpa merasa keberatan dan bisa mencoba komposisi yang berbeda seperti ini. Meskipun gak bisa zoom, saya tidak merasa masalah, malah jadi lebih lega gak usah pusing mau zoom ke berapa, tinggal konsentrasi cari posisi dan komposisi yang menarik.

angkor-thom-gate

Saat saya kuliah dulu, saya jalan-jalan di waktu hujan gerimis dengan payung. Saat berjalan saya melihat pemandangan yang menarik. Untungnya ada kamera compact di kantong sehingga saya bisa lebih mudah mengabadikan sudut ini. Jika menggunakan kamera yang lebih besar, mungkin akan lebih sulit karena perlu dua tangan untuk mengoperasikannya.

bucknell-nostalgic

 

Beberapa bulan terakhir, saya mengunakan kamera Sigma DP2 Merrill. Kamera ini unik karena sensornya Foveon, 3 lapis warna, tidak seperti kamera pada umumnya yang hanya 1 lapis (Bayer). Kualitas warna dan ketajaman sangat baik, tapi kinerja kamera ini sangat buruk. Untuk menunggu proses satu foto saja kira-kira 10-15 detik. Baterainya cuma cukup 25-50 foto (menurut pengalaman pribadi saya), dan lensanya tidak bisa zoom, dan juga tidak ada stabilizer baik di lensa/kamera. Selain itu, ISO 400 keatas itu noisenya sudah banyak dan warnanya pudar,

fall-is-coming

Keterbatasan-keterbatasan kamera Sigma itu membuat saya lebih sabar, seperti saat mengunakan kamera film, saya selalu memotret  diatas tripod dengan ISO 100. Lucunya, beberapa fotografer di lapangan sering melirik dan senyum-senyum, mungkin karena mereka belum pernah lihat kamera semacam ini sebelumnya, atau merasa aneh karena saya memakai kamera sejenis kamera compact tapi pakai tripod yang besar layaknya pakai kamera DSLR.

Memiliki kamera yang punya fitur lengkap itu memang menyenangkan, kita tidak merasa terbatasi dengan kamera kita. Tapi tidak ada batasan juga bisa membuat kita cepat terlena dan tidak fokus. Sehingga tidak mengunakan kamera tersebut dengan potensi penuh. Contohnya misalnya saat memotret di kondisi minim cahaya, karena kita sudah sangat pede dengan kemampuan kamera canggih yang ISO-nya mencapai 8 digit, maka kita dengan pedenya mengunakan ISO tinggi tanpa mengunakan flash dan/atau tripod. Akibatnya hasil foto banyak noisenya, warnanya jelek dan kalau foto orang, tidak tajam dan sebagian tertutup bayangan.

Dengan kamera pemula atau canggih sebenarnya tidak masalah, jika kita memahami keterbatasan kamera kita dan fokus ke keunggulannya, maka hasil foto kita juga bisa bagus dan menarik.

telaga-remis


Dijual kamera, lensa dan aksesoris akhir tahun 2014

$
0
0

Jarang-jarang saya pos sesuatu untuk dijual, tapi akhir tahun ini saya ingin menjual beberapa peralatan yang jarang saya pakai dan daripada bengong di dry cabinet lebih baik saya jual supaya bisa mendapatkan pemilik yang lebih bisa memanfaatkan peralatan dibawah ini:

  • Kamera Sony NEX 6 + 16-50mm f/3.5-5.6 OSS PZ – Harga Rp 5.750.000 Kondisi: ada bekas pemakaian, tapi fungsi normal. Dipakai hanya saat liburan/tour.
  • Lensa Sony E 55-210mm f/4-5.6 OSS Kondisi: sangat baik, seperti baru. Rp 2.500.000
  • Lensa Sony Zeiss E 24mm f/1.8 Kondisi: sanagat baik. Rp 8.500.000
  • Lensa Nikon AF 50mm f/1.8D. Kondisi: sangat baik, tanpa box. Cocok untuk kamera DSLR Nikon yang memiliki motor di body (D90, D7xxx dan keatas) Rp 1.050.000
  • Lensa Nikon AF-S 55-200mm f/4-5.6 VR. Kondisi: sangat baik, seperti baru. Jarang digunakan. Harga Rp 2.200.000

Yang dibawah ini beberapa produk yang baru:

Jika berminat, hubungi 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com

Fine Art Photography

$
0
0

Di acara sharing dan gathering Infofotografi akhir tahun 2014, kita kedatangan fotografer muda, Tandika Cendrawan yang memberi kita wawasan tentang fine art photography (atau dikenal juga dengan conceptual photography).

Fotografi terbagi menjadi beberapa aliran besar, antara lain dokumenter (merekam apa yang nyata baik benda/orang atau peristiwa). Komersial (foto dengan tujuan untuk tujuan membantu untuk menjual sesuatu seperti untuk iklan, brosur, fashion, dan produk lainnya dan tentunya Fine Art photography.

Dari ketiganya, aliran fine art ini lebih sedikit praktisinya. Mungkin karena tingkat kesulitannya yang cukup tinggi, membutuhkan waktu yang cukup banyak dan lebih sulit menghasilkan uang secara langsung. Fine Art Photographer biasanya mendapatkan uang dari menjual karya foto cetak secara langsung lewat pameran/galeri seni.

oleq-oprisco

Karya Oleg Oprisco

Lalu, foto apa yang termasuk seni (art), yang mana yang merupakan craft (ketrampilan). Fotografi sebenarnya termasuk keduanya, art and craft. Fotografer yang cenderung mementingkan teknik foto, peralatan (kamera, lensa), komposisi desain, berarti lebih kuat di craft-nya. Sedangkan fotografer yang cenderung art, biasanya lebih peduli dengan makna (meaning), concept (ide) dan mood dan emosi.

Bukan berarti fotografer fine art tidak peduli teknik, tapi sebaliknya perlu menguasai teknik foto dan editing supaya pesan / konsep foto tertuang dengan sempurna di hasil akhirnya. Biasanya, yang termasuk fine art photography biasanya adalah:

1. Sesuatu yang abstrak dan simbolis/konsep

Yang dipentingkan oleh fotografer Fine Art adalah makna di balik apa yang didalam foto. Contoh: Payung sebagai simbol pelindung. Angsa sebagai lambang romantis. Kursi sebagai lambang santai, rileks. Lonely tree melambangkan kesendirian/isolasi.

2. Mengunakan efek khusus, properti dan editing

Membangkitkan perasaan tertentu merupakan tujuan dari fotografer Fine Art, maka itu tidak sedikit efek khusus seperti lighting, asap, air, kostum, make-up, editing. Tujuannya adalah untuk mendramatisir suasana dan membangkitkan mood/emosi pemirsa.

Karya Brooke Shaden

Karya Brooke Shaden

Fine art photography bukan:

1. Dokumentasi dari kehidupan atau benda sekitar secara nyata dan akurat.

Fotografer Fine Art tidak mementingkan peristiwa, tempat, dan objek foto kecuali jika memiliki makna/emosi yang tersirat. Contoh: Liputan foto keluarga saat jalan-jalan, foto produk, portrait kecantikan, fashion, human interest dan lain lain.

2. Cuplikan / detail dari benda atau lingkungan

Yang menarik karena bentuk, susunan, dan tekstur, tapi tidak menggugah emosi atau memiliki makna yang mendalam. Contoh: Sisi kota atau bangunan tua, desain, detail lainnya.

Cuplikan dari sebuah kios di sebuah pasar tidak termasuk Fine Art Photography, tapi hanya sebuah desain.

Cuplikan dari kios di sebuah pasar tidak termasuk Fine Art Photography, tapi hanya sebuah desain. – foto Enche Tjin

Untuk membuat foto fine art, perlu ada hubungan emosi yang kuat antara fotografer dengan objek fotonya. Maka itu, biasanya fotografer fine art memilih objek/lingkungan yang disukainya. Contohnya ada yang suka alam bebas, ada yang suka tempat tertutup. Ada yang suka motret makro karena memang suka dan memahami prilaku serangga, dan sebagainya.

Kesuksesan dari fine art photographer tergantung dari apakah maksud/perasaan fotografer yang ingin dikomunikasikan sampai ke pemirsa, dan tentunya merupakan hal yang tidak mudah.

Saat ini, banyak juga pengaruh fine art ke fotografi jenis lainnya, misalnya fine Art wedding photography, fine art portrait, fine art fashion bahkan fine art photojournalism.

Beberapa referensi fotografer terkenal di bidang fine art
Brooke Shaden
Oleg Oprisco
Alex Stoddard
Andreas Gursky

Fotografer bidang lain tapi sangat dipengaruhi oleh Fine Art:
Ansel Adam (landscape)
Henri Cartier Bresson (photojournalism dan street photography)
Sebastiao Salgado (Documentary photography)
Steve McCurry (portrait and travel photography)
Peter Lik (landscape)
Jose Villa (wedding)
Jeff Ascough (wedding & portrait)
Zhang Jingna (fashion & portrait)

——————
Jadwal kursus kilat dan workshop fotografi bisa dibaca disini.

Fotografi (nonton) konser

$
0
0

Kali ini saya coba bahas mengenai fotografi “nonton” konser, nah… fotografi jenis apa pula ini ? Hehehe… yang pasti ini ada hubungannya dengan nonton konser, baik musik atau acara panggung lainnya yang biasanya diadakan malam hari dengan lighting yang atraktif. Kenapa saya sebut fotografi “nonton” konser, karena gak semua dari kita yang punya akses untuk bisa berdiri didepan panggung sambil motret ataupun malah bisa naik panggung dan memotret aksi si artis dari jarak dekat. Nah… jadi ini dia trik trik nya agar tetap bisa motret bagus dalam posisi hanya sebagai penonton disaat ada konser.

Berbeda dengan teman teman fotografer yang justru dibayar untuk jadi fotografer event, atau malah jadi official fotografer event organiser atau artis tertentu, kita yang kadang hanya sebagai penonton memiliki akses yang sangat terbatas untuk mendapatkan sudut pengambilan yanh bagus saat ada acara konser. Kita ambil contoh saat nonton konser musik rock, gerakan penonton yang larut menikmati musik pun harus kita waspadai agar gak menyenggol kamera kesayangan.

Tantangan terbesar dalam mengambil foto dalam suasana konser adalah kondisi cahaya yang minim, lighting yang berubah ubah dengan cepat dan objek atau artis yang bergerak dengan cepat dipanggung. Untuk itu saya memiliki beberapa trik bagus yang bisa dilakukan saat memotret dengan posisi sebagai penonton sebuah konser tanpa perlu harus menggunakan kamera mahal yang bisa memotret dengan iso puluhan ribu keatas tanpa noise dan yang bisa menggunakan speed tinggi dalam kondisi cahaya yang low.

1. Ambil suasananya.

Ini sebenarnya salah satu frame wajib bagi seorang fotografer event, namun karena kita tidak punya kewajiban untuk mengambil spanduk konser dan lainnya, kita jadi lebih bebas berekspresi mencari sudut yang kita sukai. Dalam memotret sebuah konser, kita jangan hanya terpaku pada keinginan untuk memotret si artis yang sedang beraksi dipanggung, cobalah untuk mengambil foto dengan sudut seperti berikut:

konser-hadi-01

Nikon D90 – Nikon 80-200mm f/2.8 AF-D, ISO-1250, F/2, 1/80, Spot Metering

Saya set ISO pada kamera diangka 1.250 dan menggunakan Mode Manual. Agar mendapatkan lighting seperti diatas, saya pertamakali menghitung pola gerakan lampu yang selalu bergerak tersebut. Metering yang saya gunakan adalah spot metering dan saya ukur disalah satu titik terang saat objek disinari cahaya lampu. Dibutuhkan sedikit kesabaran untuk trik ini, apalagi jika kita belum tahu pola arah gerakan lampu.

Setelah mendapatkan nilai eksposur, saya akan mengurangi nilai kecepatan rana sekitar 2 stop agar hasilnya tidak terlalu gelap nantinya. Jadi jika hasil metering di titik yang terang didapat speed 1/60, maka kamera akan menilai titik tersebut kondisi cahaya ideal, padahal titik tersebut yang diukur terang sekali. Jadi saya akan kurangi speed nya sekitar 2 stop jadi sekitar 1/30.

Cara lain bisa dengan cara menggunakan kompensasi eksposure (tanda +/-), dimana nilai eksposure nya dikurangi sekitar 2 stop. Dengan cara ini saat didapat nilai eksposure kita tidak perlu lagi mengurangi kecepatan rana, karena pengukuran eksposurenya sudah dikompensasi. Ayo silahkan berlatih dan dicoba trik ini, saya sering menggunakan cara ini dulu menggunakan Nikon D3000 dengan ISO hanya 800.

2. Rekam aksi yang terjadi.

Merekam aksi yang terjadi dalam sebuah konser adalah tantangan tersendiri dan inilah seninya memotret dalam kondisi serba sulit, sulit menebak apa yang akan terjadi dan kita tidak bisa mengatur posisi serta hal lain sesuai kemauan kita. Ada faktor keberuntungan dalam hal ini, tetapi kita tetap harus berusaha dan tidak boleh menggantungkan hasil pada faktor keberuntungan saja.

Sekarang dalam posisi kita sebagai penonton, seringkali jarak antara kita dengan panggung cukup jauh sehingga agak menyulitkan untuk selalu menangkap aksi panggung si artis, namun daripada terus menunggu dan berharap pada adanya aksi panggung dari si artis, kita juga harus waspada akan adanya aksi yang keren dari penonton disekitar kita.

konser-hadi-02

D90 with Nikkor AF-D 70-300 f/4-5.6 ED, ISO-3200, F/4, 1/100, Spot Metering

Foto ini saya ambil menggunakan lensa AF-D 70-300 non VR, sebuah lensa tajem dengan harga yang sangat ekonomis karena tidak pakai peredam getaran (non VR), saya nekat pake lensa ini karena lensa ini sesungguhnya adalah lensa untuk body full frame, sehingga vocal lenght 70-300 di body kamera non full frame saya menjadi setara dengan 105-450, angka yang membuat saya cukup nyaman memotret crowd dari jarak yang cukup jauh hehehe….

Konsekuensi pemakaian lensa ini dalam kondisi low light adalah penggunaan ISO yang cukup tinggi, dan kecepatan rana yang rendah, seperti yang kita ketahui dalam segitiga eksposure bahwa semakin tinggi ISO nya maka akan semakin tinggi pula kecepatan rana yang bisa digunakan. Ada sebuah faktor yang biasanya membuat beberapa rekan tidak mau menggunakan ISO tinggi, yaitu noise. Tapi menurutku noise tersebut adalah bagian dari seni foto, jadi asal tidak terlalu over gak akan ada masalah seperti foto diatas. Nah karena kecepatan rana nya cukup lambat, saya menggunakan teknik sederhana untuk mengatasinya, yaitu dengan memegang kamera dengan cara yang benar dan kokok, kemudian tahan nafas… lalu, jepret! :)

3. Bermainlah dengan warna cahaya yang ada.

Dalam sebuah konser musik atau pertunjukan lainnya pasti memiliki lighting khusus untuk panggung nya, nah kita bisa memanfaatkan warna warni cahaya lampu panggung ini untuk menjadikan hasil foto kita lebih berwarna.

konser-hadi-3

D90 with Nikkor AF-D 70-300 f/4-5.6 ED, ISO-1600, F/4.5, 1/60, Spot Metering

Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan menghitung gerakan lampu panggung, sama seperti cara pada point nomer satu diatas. Dengan mengunci fokus pada si artis, saya mengawasi warna cahaya yang menyibari sambil menghitung… satu, dua, merah (jepret)… satu, dua, hijau (jepret)… satu, dua, tiga, biru (jepret) :)

Memang caranya tradisional banget ya: ) tapi membuat hal ini jadi lebih simple dan seru, silahkan dicoba ya: )

4. Jangan mengeluh, selalu ada sudut yang bagus.

Ini nih, salah satu keluhan beberapa teman saat memotret sebuah konser dari posisi sebagai penonton. Kadang kita terhalang oleh beberapa penonton lain yang lebih tinggi, atau posisi kita tidak dari sudut yang baik, atau malah tertutup layar pad penonton lain yang mengangkat gadget nya itu tinggi tinggi dan merekam dalam bentuk video… hehehe… kesel gak tuh, mana pake acara lama lagi, hahaha…

Tapi untuk mengatasi hal tersebut kita gak boleh ngomel lalu menyerah sambil marah marah, kita harus kreatif dan mencoba mengambil hal yang menarik dari situasi yang ada.

konser-hadi-4

Nikon D90 with AF-S DX NIKKOR 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR, ISO-1250, F/4.5, 1/60, Spot Metering

Pada foto diatas terlihat karena posisi saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk terus maju ke depan panggung karena terhalang penonton lain, saya memilih untuk memotret si artis melalui tampilan latar pad seorang penonton yang merekam video didepan saya.

Nah, demikian dulu sharing saya soal motret konser. Tetap diingat bahwa cahaya serta arahnya merupakan hal yang paling penting dalam membuat foto terlihat bagus, semakin rajin berlatih maka akan semakin kita bisa mengerti dan menguasai pencahayaan untuk membuat foto yang lebih bagus. Ada yang mau ngajak saya nonton konser gak ya? :)

Salam,

Purnawan Hadi

www.purnawanhadi.com

https://plus.google.com/u/0/+PurnawanTaslim/posts

 

 

Refleksi tahun 2014

$
0
0

Selamat tahun baru 2015!

Tahun 2014 merupakan tahun yang cukup sibuk dan penuh aktivitas bagi Infofotografi. Untuk kelas, banyak kelas baru yang kita buka, antara lain kelas mastering art & photography techniques, kelas ini merupakan kelanjutan dari kursus kilat dasar fotografi.  Untuk yang baru beli kamera dan ingin tahu lebih jelas apa yang harus diset, kita buka kelas kupas tuntas kamera digital.

Selain itu ada workshop macro photography dan editing photoshop makro art, creative water effects dan street & human interest photography. Juga ada kelas video editing dan sharing tentang fine art photographyDi akhir tahun 2014 ini, Infofotografi juga berkesempatan bekerjasama dengan Sony Indonesia dalam menyelenggarakan beberapa workshop tentang teknologi kamera mirrorless. Mudah-mudahan di tahun depan akan ada workshop baru yang lebih bervariasi lagi.

Setelah belajar teori dikelas, penting ada kegiatan praktik, maka itu kita sering mengadakan tour fotografi: Pangalengan, Sawarna, Tanjung Lesung, Cirebon, Yunnan selatan (Yuanyang), Yunnan utara (Lijiang-Shangrila-Deqin). Tahun depan akan diusahakan lebih banyak tour foto supaya bisa lebih banyak latihan dan membuka wawasan kita. Sementara ini yang sudah diprogram yaitu Bukittinggi (Februari), Yunnan Timur (Maret), Kamboja (Juni).

Di bulan Mei 2014, kami juga sempat bikin pameran foto dengan topik Kamboja. Hasil foto-foto disumbangkan langsung oleh peserta tour.

Untuk buku, ada tiga buku yang kita luncurkan yaitu: Kamus fotografi A-Z: merupakan buku kolaborasi saya dengan mas Erwin Mulyadi. Smart guide yang merupakan revisi dari buku panduan memilih sistem kamera dan lensa, dan buku belajar editing dan manajemen foto dengan Adobe Lightroom yang saya susun dengan Iesan Liang. Tahun depan ada rencana untuk menyelesaikan beberapa buku lagi.

Terima kasih bagi pembaca Infofotografi.com, instruktur-instruktur yang telah berbagi ilmu di workshop-workshop, peserta workshop maupun tour, kontributor penulis Infofotografi dan pelanggan ranafotovideo.com. Mudah-mudahan di tahun depan makin meningkat kemampuan fotografinya.

Salam sukses dan sekali lagi Selamat tahun baru 2015!

Enche Tjin, Iesan Liang, Erwin Mulyadi, Adi S., Eko Adiyanto, Bisma S.
Team Infofotografi.com 2014

Teknik OFF camera flash / strobist Primer

$
0
0

OFF camera flash mengacu pada teknik menempatkan flash eksternal diluar dari kamera. Pertanyaan pentingnya adalah “Mengapa dipisahkan dari kamera?”

  1. Supaya bebas menempatkan flash dimana saja kita mau. Dapat mengendalikan arah cahaya merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi fotografer!
  2. Bisa memasang lightshaper (pembentuk cahaya) seperti payung, softbox, snoot dan lain-lain untuk melembutkan atau mengatur penyebaran cahaya yang berukuran cukup besar. Jika flash diatas kamera, sulit untuk memasang aksesoris. Kalau aksesorisnya kebesaran jadi keberatan dan terlihat aneh. Mengendalikan kualitas cahaya sesuatu banget untuk fotografer!
  3. Bisa mengunakan lebih dari satu flash untuk menerangkan banyak hal, misalnya di foto portrait bisa menerangkan wajah, rambut, background, dll. Kreativitas menjadi tidak terbatas!

Di artikel ini saya ingin bercerita sedikit tentang bagaimana caranya supaya saat kita menjepret, flash yang diluar kamera juga ikut menyala?

  1. Kabel (off shoe cord) – Kelebihan: Biasanya cukup terjangkau dan bisa diandalkan. Kelemahan jarak kamera ke flash terbatas sekitar 60cm saja.
  2. Optic/flash trigger (built-in flash, flash, infrared transmitter) – Kelebihan: Praktis. Kelemahan: Kalau terhalang cahayanya atau terlalu jauh (diatas 10 meter) flash bisa gagal nyala. Harga transmitter biasanya relatif tinggi.
  3. Radio trigger – kelebihannya jangkauannya bisa berpuluh meter sampai 100 meter. Kelemahan: biasanya alatnya cukup mahal terutama yang mendukung fitur otomatis (TTL) dan high speed sync. (Baca juga artikel yang membahas perbedaan fitur wireless trigger)
off-shoe-cord

Off shoe cord.

Saat ini banyak tipe kamera yang built-in flashnya bisa digunakan untuk memicu flash diluar kamera, misalnya berbagai kamera DSLR pemula Canon (600D, 650D, 700D sampai yang canggih seperti 60D, 70D dan 7D).

Untuk kamera DSLR Nikon, yang memiliki fitur ini dari jenis semi-pro seperti Nikon D90, D7000, D7100, D300s, D600, D610, D700, D750, D800, D810. Untuk kamera Sony yang SLT, flashnya bisa digunakan untuk trigger, tapi yang mirrorless seperti Sony NEX atau Sony A6000 belum bisa.

Flash di berbagai kamera (gak semua) bisa untuk memicu flash diluar kamera.

Flash di berbagai kamera (gak semua) bisa untuk memicu flash diluar kamera.

Flash yang memiliki fungsi Master/Commander/Controller bisa memicu dan mengirimkan instruksi ke flash yang di set sebagai slave untuk menyala dengan cahaya blitz. Kelebihan setting ini adalah tidak diperlukan alat tambahan lagi. Contoh: Canon 580EX II, 600RT, Nikon SB900, 910, Sony HVL 60, 43, Shanny SN600SC, YN568

Flash yang punya fungsi master/commander/controller bisa memicu dan mengendalikan power satu flash atau lebih diluar kamera.

Flash yang punya fungsi master/commander/controller bisa memicu dan mengendalikan power satu flash atau lebih diluar kamera.

Alternatif pemicu lain yang sederhana adalah sepasang wireless radio trigger. Unit transmitternya dipasang diatas kamera dan unit receivernya dipasang dibawah flash. Wireless trigger semacam ini cukup banyak variasinya. Intinya ada yang manual saja, ada yang bisa auto/TTL sampai HSS. Keunggulan sistem radio adalah jaraknya yang dapat mencapai 100 meter.

Salah satu jenis wireless trigger yang paling terjangkau dan hanya bisa manual.

Salah satu jenis wireless trigger radio yang paling terjangkau dan hanya bisa manual.

Infrared/Radio trigger juga cukup populer sebagai trigger, terutama karena ada beberapa flash yang sudah memiliki built-in receiver seperti Canon 600RT. Flash yang memiliki receiver di dalam unit flashnya membuat bawaan lebih ringkas. Kita juga tidak perlu kuatir lupa bawa baterai tambahan untuk receiver trigger seperti gambar diatas.

Biasanya, transmitter canggih seperti E3-RT ini memungkinkan kita untuk mengendalikan kekuatan cahaya flash dan membagi beberapa flash menjadi kelompok-kelompok (group). Contoh: Canon E3-RT, Phottix Odin, Shanny SN E3-RT.

Transmitter Shanny SN E3 RT bisa mengirimkan sinyal optik/infra merah dan juga radio

Transmitter Shanny SN E3 RT bisa mengirimkan sinyal optik/infra merah dan juga radio

—-

Jika Anda sedang mencari flash yang canggih dan kuat dengan harga yang relatif terjangkau, rekomendasi saya adalah flash Shanny. Tersedia untuk Canon dan Nikon. Baca reviewnya disini.

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live