Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Canon 80D vs Canon 77D mana yang lebih baik untuk profesional?

$
0
0

Menurut penamaan Canon, 80D seharusnya kelasnya diatas Canon 77D [Review di detikinet], tapi yang agak membingungkan saat ini adalah harga kedua kamera ini tidak terpaut jauh.  Alasannya mungkin karena Canon 80D diluncurkan bulan Februari 2016, sedangkan 77D lebih baru yaitu diluncurkan tepat setahun setelahnya 80D, pada bulan Februari 2017.

Karena lebih baru, 77D telah dilengkapi dengan processor DIGIC 7 yang lebih canggih dari 80D yang baru DIGIC 6. Processor baru ini memungkinkan peningkatan fungsi reduksi noise di ISO tinggi dan electronic stabilization saat merekam video.

Lantas, dengan processor baru ini apakah 77D lebih baik? Untuk penggunaan profesional atau amatir serius, ternyata tidak berarti kamera yang lebih baru lebih baik. 80D memiliki berbagai kelebihan seperti:

  • Shutter speed maksimum 1/8000 detik di 80D vs 1/4000 detik pada 77D = Berguna saat mengunakan lensa bukaan besar di outdoor supaya foto tidak terlalu terang
  • Maksimum sync speed 1/250 vs 1/200 detik = Berguna untuk mengendalikan cahaya ambient/lingkungan saat mengunakan flash
  • Jendela bidik pentaprisma vs pentamirror = Lebih jelas
  • Perbesaran dan cakupan viewfinder = Untuk 80D (.95x / 100%) dibandingkan (.82x / 95%) = Saat memotret dengan jendela bidik, lebih akurat dalam komposisi dengan 80D karena fotografer bisa melihat sampai keujung-ujung frame, tidak ada yang kepotong.
  • Tombol-tombol dan roda di 80D lebih besar dan mudah dijangkau
  • Kinerja keseluruhan kamera lebih cepat 80D, termasuk foto berturut-turut
  • Canon 80D memiliki aksesori battery grip untuk pegangan yang lebih stabil terutama saat memotret vertikal atau mengunakan lensa besar, juga untuk mengurangi keperluan mengganti baterai.
  • Kapasitas baterai 80D lebih besar (960 foto vs 600 foto)
  • 80D weathersealed, lebih tahan air hujan dan debu

Canon 77D punya keunggulan, tapi tidak banyak, sebagian akibat processor yang lebih baru, diantaranya sebagai berikut:

  • Gambar lebih “bersih” dari noise di ISO tinggi
  • Foto berturut-turut dengan format file JPG bisa lebih panjang “nafasnya” (167 vs 53 foto)
  • Dilengkapi dengan bluetooth supaya bisa selalu terkoneksi dengan ponsel/tablet
  • 200 gram lebih ringan dan lebih kecil bentuknya
  • Ada elektronic stabilization saat merekam video

Dari kelebihan-kelebihan kedua kamera, bisa disimpulkan bahwa meskipun 77D lebih baru, tapi Canon 80D masih lebih baik untuk kebutuhan profesional/bekerja, sedangkan 77D yang lebih ringan cocok untuk amatir yang gemar jalan-jalan.


Sudah punya kamera? Jangan lewatkan kursus dan workshop fotografi kami. Jadwalnya bisa diperiksa di halaman ini.

Ingin membeli kamera baru? Bisa pesan juga via Infofotografi, WA 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com


Pengalaman mengunakan Leica D-Lux 109 di India (New Delhi & Varanasi)

$
0
0

Akhir bulan November lalu, saya membawa beberapa kamera compact, diantaranya Leica D-Lux 109 [Review]. Saya membawa compact karena jenis tur kali ini lebih ke street & human interest photography, dimana kamera yang berukuran kecil lebih fleksibel dan tidak terlalu menarik perhatian. Kekurangan kamera berukuran kecil biasanya kita memang harus berkompromi dengan kualitas fotonya, hal ini merupakan fakta yang tak terbantahkan, makin kecil kamera dan lensanya, kualitas ketajaman, detail dan kualitas foto di tempat gelap biasanya relatif kurang baik.

Kamera Leica D-Lux 109 agak berbeda karena meskipun ukurannya tergolong compact, tapi sensor gambar yang dipasang adalah sensor micro four thirds yang relatif besar untuk kamera ringkas ini, dan lensa zoom dengan bukaan f/1.8-2.8 sangat membantu. Meskipun secara keseluruhan saya senang membawa kamera ini, ada saat-saat yang kurang menyenangkan juga.

Yang menyenangkan adalah kameranya sangat enak dipegang dan gak mudah lepas, terutama setelah saya memasang handgrip dari Leica dan wrist strap dari Artisan & Artist. Dengan demikian saya bisa memposisikan kamera dengan mudah dan satu tangan.

Di kondisi cahaya yang terang, saya tidak menemukan masalah berarti seperti foto-foto dibawah ini:

Framing Taj Mahal : ISO 200, f/4.5, ISO 800, 24mm (ekuivalen)

Sinking temple : ISO 200, f/5.6, 1/500 detik, 50mm (ekuivalen)

Saat cahaya mulai minim, tentunya tantangan menjadi lebih besar baik mengunakan kamera compact, DSLR atau mirrorless. Tantangan pertama adalah cahaya yang berkurang membutuhkan bukaan lensa yang lebih besar dan ISO yang lebih tinggi.

Gangga Aarti : ISO 800, f/2.3, 1/250 detik, 35mm

Dalam kondisi gelap, ISO harus ditingkatkan supaya shutter speed bisa cepat untuk membekukan gerakan, tapi di kamera Leica ini, tidak perlu sampai terlalu tinggi (1600+), karena bukaan lensa cukup besar. Depth of field (ruang tajam) di bukaan f/2.3 cukup besar karena di kamera full frame, Dof f/2.3 setara f/4.6.

Malam di tepi sungai Gangga : ISO 400, f/1.7, 1/8 detik, 24mm

Di kondisi gelap, dan jika subjek relatif diam seperti foto diatas, saya bisa mengunakan bukaan terbesar lensa ini, f/1.7 dan shutter speed yang relatif lambat, 1/8 detik, tertolong karena image stabilization di lensa ini, sehingga ISO yang dibutuhkan tidak tinggi (400) dan oleh sebab itu noise tidak banyak.

Menjelang matahari terbit di tepi Sungai Gangga – F/1.7, ISO 1000, 1/80 detik, 24mm, tidak apa-apa mengunakan bukaan yang sangat besar seperti f/1.7 saat dibutuhkan seperti di kondisi cahaya yang sangat gelap, karena kualitas gambar yang dihasilkan masih sangat baik.

Selain masalah harus menaikkan ISO, di kondisi gelap dan saat memotret subjek yang kontrasnya rendah, saya juga harus berhati-hati dengan sistem autofokus D-Lux, kadang, fokus konfirmasinya menyatakan bahwa sudah fokus, tapi setelah memeriksa hasil foto di layar LCD dengan zooming, kadang bisa tidak fokus, artinya fokus bisa cepat, tapi tidak akurat. Untuk menghadapi hal tersebut saya mengganti autofokus dari 1-area ke pinpoint. Dengan autofokus ini kecepatan autofokus melambat, karena kamera akan memperbesar daerah yang difokuskan terlebih dahulu baru mengunci fokus. Tapi hasil fokus pasti akurat.

 

Dibandingkan dengan kamera Leica SL dan lensa 24-90mm f/2.8-4, tentunya kualitas gambar yang dihasilkan berbeda, kamera bersensor full frame akan menghasilkan detail yang lebih tinggi dan minim noise di ISO tinggi, tapi tentu saja kekurangannya beratnya lima kali lipat lebih berat (400 gram vs 2 kg), jadi pilihan membawa Leica D-Lux untuk trip kali sudah tepat, karena selain D-Lux, saya juga membawa dua kamera lainnya, satu untuk review (Canon M100) dan satunya lagi Sigma DP2M, kamera lama saya yang unik.

Foto-foto trip India yang lain bisa dilihat di instagram saya @enchetjin


India adalah negara yang sangat menarik untuk fotografi, April 2018, kita akan berkunjung lagi ke negara India bagian utara, daerah Punjab dan Dharamsala. Keterangan disini.

Bagi yang ingin mengetahui dan memesan kamera Leica D-Lux 109 ini boleh menghubungi Iesan di 0858 1318 3069. Terima kasih telah menyimak.

Rekomendasi lensa 35mm untuk Leica M rangefinder

$
0
0

Hari ini teman saya dari detik.com, akhirnya memutuskan untuk mendapatkan Leica M10, setelah menimbang-nimbang selama setahun. Sebelumnya, di pertengahan tahun 2015, saat peluncuran Leica Q, ia sudah mulai tertarik untuk mengunakan kamera Leica, tapi belum yakin type yang cocok. Setelah memutuskan untuk memilih Leica M10, maka persoalan berikutnya adalah memilih lensa pertama.

Sebagian besar pengguna Leica M, memilih focal length 35mm untuk lensa pertamanya, mungkin karena tidak terlalu lebar, dan tidak terlalu sempit, cocok untuk sehari-hari maupun untuk kegiatan reportase/dokumentasi. Beberapa lensa yang saya rekomendasikan antara lain:

Leica 35mm f/2 ASPH

Leica punya beberapa jenis lensa 35mm, yaitu f/1.4, f/2 dan f/2.4, tapi favorit saya adalah f/2 karena ukurannya yang sangat compact dan f/2 biasanya cukup untuk berbagai kondisi, juga termasuk kondisi cahaya yang kurang baik. Leica memiliki kelebihan dalam hal membuat lensa yang berukuran sangat compact tapi menjaga kualitas yang tinggi. Ukuran: 53mm x 35.7mm, Berat 340 gram. Harga Rp 40 jutaan, Made in Germany.

Iberit 35mm f/2.4

Lensa Iberit dari perusahaan HandeVision (kerjasama antara perusahaan asal Jerman dan China) ini membuat lensa yang ukurannya cukup compact, dan harga yang terjangkau. Kualitas fisik dan optik-nya cukup baik seperti review saya disini, dan f/2.4 jika memotret dari jarak yang dekat cukup baik untuk kondisi gelap atau membuat latar belakang blur. Ukuran: 58 x 35mm, berat 220 gram. Harga Rp 8.6 jt, made in China (Shanghai), designed in Germany.

Voigtlander 35mm f/1.2 ASPH II

Lensa Voigtlander buatan Cosina unik karena bukaannya yang sangat besar yaitu f/1.2. Versi ke-II ini mengunakan dua elemen asperikal sehingga kualitas gambar masih cukup tajam di bukaan terbesar, dan mampu membuat bokeh yang indah. 35mm f/1.2 ini agak besar dan berat untuk kategori lensa 35mm, tapi jika ingin lensa 35mm yang keren untuk foto portrait atau bernuansa seni, lensa ini boleh dipilih. Ukuran: 60.8 x 62mm, berat 470 gram, harga: 14 jutaan. Made in Japan (Cosina).

Carl Zeiss ZM 35mm f/1.4

Lensa Zeiss untuk Leica M ini terkenal sangat tajam dengan kontras yang tinggi, ideal untuk foto landscape. Bukaannya yang sangat besar cocok digunakan untuk kondisi cahaya yang gelap. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu berat sehingga seimbang saat digunakan dengan kamera Leica M. Ukuran: 63 x 65mm, berat 385 gram. Harga Rp 28 jutaan. Made in Japan (Cosina), designed in Germany.


Jika membutuhkan lensa-lensa diatas, jangan sungkan menghubungi kami di 0858 1318 3069. Tentunya akan kita usahakan untuk memberikan harga yang terbaik.

Cuci gudang akhir tahun 2017

$
0
0

Halo semua, di akhir tahun ini, ada beberapa kamera, lensa yang ingin saya jual. Bagi peminat bisa menghubungi informasi kontak diakhir artikel ini. Terima kasih dan selamat berlibur.

Kamera

  • Nikon D800E – Kamera full frame 36.3MP – Kondisi sangat baik, Shutter count dibawah 9000. Termasuk battery charger, 2 x battery EN-EL15 original kondisi sangat baik, kabel AC, kabel USB, Strap, kotak, buku manual, ex-alta distributor resmi Indonesia. Rp 16.900.000
  • Sony A6300 – Kamera mirrorless APS-C 24MP, video 4K. Shutter count dibawah 800. Kondisi hampir seperti baru garansi resmi Sony Indonesia sampai 17 Juli 2018.  Termasuk Kabel AC, AC adaptor, kabel USB, baterai Sony NP-FW50 original, Wasabi dual battery charger, 2 baterai Wassabi FW-50 JWP, Manual Book, kotak. Paket Sony A6300 dan lensa Sony E 18-105mm f/4 OSS (Terjual)

Kamera Nikon D800E, tidak termasuk lensa

Lensa

  • Nikon 70-200mm f/4G VR  bonus filter Hoya Pro digital – Kondisi sangat baik – Rp 12.000.000
  • Nikon 16-35mm f/4G VR – bonus filter Hoya Pro digital Kondisi sangat baik, karet ada tanda penggunaan tapi tidak melar – Rp 12.000.000
  • Nikon 105mm f/2.8G VR Macro bonus filter Izumar Coated – Rp  6.900.000
  • Carl Zeiss 21mm f2.8 ZF.2 bonus filter B+W XS Pro digital – Rp 15.000.000
  • Carl Zeiss 25mm f/2 ZF.2 for Nikon – Kondisi sangat baik, seperti baru Rp 13.500.000
  • Carl Zeiss 28mm f/2 ZF.2 for Nikon bonus filter B+W XS Pro digital (tanpa penutup lensa depan) – Kondisi hampir seperti baru Rp 12.500.000
  • Sigma 70mm f/2.8 EX DG Macro for Nikon (cocok untuk kamera DSLR Nikon dengan body bermotor-fokus – Rp 4.500.000
  • Sony E 10-18mm f/4 OSS – Kondisi seperti baru, garansi resmi Sony Indonesia sampai 17 Juli 2018 – Rp 7.200.000
  • Sony E 18-105mm f/4 OSS – Kondisi seperti baru – (Terjual)
  • Carl Zeiss Batis 25mm f/2 for Sony E-mount autofocus – Kondisi seperti baru – Rp 13.250.000

Aksesoris

  • Nikon SB900 Flash – Kondisi kelengkapan, dus, flash, diffuser, filter holder, minus kaki bebek dan filter warna – Rp 2.500.000 

Filter holder dan filter set merk Lee untuk Nikon 14-24mm f/2.8: antara lain: (Untuk harga masing-masing atau keseluruhan bisa hubungi kami)

  • Holder SW150 & Holder adapter 14-24mm + seal
  • Filter GND Lee 0.9 GND Hard 150x170mm
  • Filter GND Lee 0.9 GND Soft 150x170mm
  • Filter GND Lee 0.6 GND soft 150x170mm
  • Filter Lee Reverse 0.9 150x170mm
  • Filter Lee Reverse 0.6 150x170mm
  • Filter Reverse 0.3 150x170mm
  • Formatt Hitech ND 6 stop 150x150mm
  • Formatt Hitech ND 10 stop 150x150mm

Jika ingin memesan silahkan hubungi WA 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com. Jika ingin membeli dengan kartu kredit dan cicilan bisa melalui online store di Bukalapak dan Tokopedia.

Sony A6000 vs Fujifilm X-A3 mana yang lebih baik?

$
0
0

Kini dijual dengan harga yang gak terpaut jauh, calon fotografer pemula atau pengguna kamera DSLR yang ingin mencari kamera yang lebih ringkas dan tidak mahal tentu dihadapkan dengan dilema apakah Sony A6000 lebih baik atau Fujifilm X-A3?

Diatas kertas, Sony A6000 jauh lebih baik karena memiliki berbagai fitur yang canggih, seperti jendela bidik elektronik, sistem autofokus hybrid yang cepat untuk autofokus subjek diam atau bergerak. A6000 juga memiliki kecepatan foto berturut-turut lebih cepat (11 foto per detik vs 6 foto per detik) dan lebih cepat kinerjanya secara keseluruhan.

Meskipun demikian, Fuji X-A3 memiliki beberapa kelebihan unik, misalnya desainnya seperti kamera masa lalu dan memiliki tiga pilihan warna yang trendy: pink, brown, black, serta memiliki film simulation yang bisa memproduksi foto dengan efek seperti hasil kamera film di masa lampau. Penggunaan kamera Fuji juga relatif lebih simple, yaitu dengan mengunakan layar LCD yang bisa disentuh dan layar LCD bisa ditekuk ke atas untuk selfie/vlog, sedangkan Sony A6000 agak rumit menu dan tombol-tombolnya, maka itu saya dan mas Erwin membuat panduan Sony A6000 dalam bentuk e-book.

Dari spesifikasinya, kedua kamera dirancang untuk jenis fotografer yang berbeda, Sony A6000 lebih ditujukan untuk fotografer yang lebih berpengalaman, dan Fuji X-A3 untuk casual dan hobi-hobi saja. Beberapa bulan lalu, Sony A6000 memiliki harga diatas Fuji X-A3, tapi belakangan Sony A6000 didiskon cukup banyak sehingga harganya tidak jauh berbeda dengan Fuji X-A3.

Sebenarnya, Sony juga membuat kamera yang mirip dengan X-A3, yaitu Sony A5100, yang memiliki kelebihan sistem autofokus yang cepat dan body kamera yang lebih ringkas/tipis, tapi tidak memiliki hotshoe untuk memasang flash.

Sebagai kesimpulannya:

Kelebihan Sony A6000 dibandingkan Fuji X-A3:

  • Sistem autofokus cepat, untuk subjek diam dan bergerak (hybrid phase detection)
  • Ada jendela bidik elektronik
  • Kecepatan foto berturut-turut lebih cepat
  • Kinerja keseluruhan lebih cepat
  • Desain terlihat simple dan berkesan lebih profesional

Kelemahan Sony A6000

  • Lebih rumit untuk dipelajari
  • Layar tidak touchscreen dan tidak bisa ditekuk keatas untuk selfie

Kelebihan Fujifilm X-A3 dibandingkan Sony A6000:

  • Layar LCD touchscreen dan bisa ditekuk ke atas
  • Lebih sederhana dan mudah digunakan
  • Punya pilihan film simulation dengan warna-warni yang menarik

Kelemahan Fuji X-A3

  • Kinerja agak lambat
  • Tidak ada jendela bidik menyulitkan saat memotret di kondisi yang sangat terang (karena layar tidak begitu jelas/silau)

Butuh kamera baru? hubungi kami di 0858 1318 3069. Untuk panduan kamera Sony, Fuji, Canon dan Panasonic bisa didapatkan di halaman e-book Infofotografi

Sharing & Gathering Infofotografi 27 Januari 2018 – Pro Wedding

$
0
0

Hobi fotografi bukan sesuatu yang murah, dan setiap kali saya berbincang dengan teman-teman saya, kadang tercetus “Sayang kalau punya kamera dan lensa bagus, tapi hanya digunakan untuk hobi saja, mengapa gak dimanfaatkan untuk mencari uang?” Nah, karena itu lah awal tahun depan 2017 ini saya mengundang Koespriyanto, yang saya kenal karena sering mengikuti kegiatan Infofotografi untuk belajar dan hobi, tapi dalam beberapa tahun terakhir ini aktif berprofesi sebagai fotografer wedding, portrait dan event.

Di acara sharing & gathering ini, Koespriyanto akan berbagi bagaimana awalnya belajar dan motret untuk hobi, dan kemudian apa yang menyebabkan ia terjun ke ranah fotografi profesional. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi untuk mendapatkan pekerjaan dan juga saat bekerja. Selain itu, Koesspriyanto juga akan berbagi hasil karya dan memberikan tip & trik untuk mendapatkan hasil foto yang bagus. Setelah itu, akan ada diskusi tanya jawab yang menarik.

Karya-karya foto Koespriyanto bisa dilihat di bawah ini:

Hari Sabtu, 27 Januari 2018

Pukul 13.00-17.00 WIB

Infofotografi, rukan Sentra Niaga blok N 05, Green Lake City, Kosambi, Jakarta Barat.

Biaya pendaftaran: Rp 75.000 /orang
Terbuka untuk umum, tempat terbatas (30 peserta) saja.

Pembayaran dapat ditransfer ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780 Kalau sudah transfer tolong konfirmasi ke 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com. Terima kasih atas partisipasinya.

Liputan tour fotografi Sichuan Oktober 2017

$
0
0

Tour fotografi ke Sichuan kali ini sebenarnya awalnya bertujuan ke Jiuzhaigou, yang menurut saya taman nasional terindah di dunia. Tapi kami kurang beruntung karena Jiuzhaigou tutup karena daerah tersebut terkena dampak gempa tgl 8 Agustus,  sehingga harus tutup untuk restorasi.

Awalnya, saya diberi kabar bahwa Jiuzhaigou akan dibersihkan dan akan dibuka kembali satu bulan setelah gempa, tapi ternyata ada beberapa lokasi di dalam Jiuzhaigou yang mengalami rusak cukup parah, sehingga pemerintah memutuskan untuk menutup taman nasional ini dalam waktu yang belum ditentukan lamanya.

Sekitar sebulan sebelum keberangkatan, saya menyusun plan B, yaitu ke taman nasional Bipenggou dan Huanglong sebagai ganti Jiuzhaigou, dan setelah saya utarakan rencana saya, semua peserta sepakat untuk tetap ikut.

Singkat cerita, kita telah berada di Chengdu menuju Bipenggou. Taman nasional ini relatif lebih dekat dari Jiuzhaigou, sekitar 3-4 jam saja. Tujuan utama kita untuk melihat dan memotret daun-daun di musim gugur, tapi ditengah jalan, saat toilet stop, saya mendengar penjaga toilet mengatakan bahwa di atas gunung telah turun salju . Agak bingung juga, kok musim gugur sudah turun salju? Lantas pemandu lokal kami mengabarkan bagi yang mau ambil mantel/baju tambahan dari koper di bagasi, karena situasi cuaca gunung sulit diprediksi, kalau matahari keluar bisa 20 derajat Celcius, tapi kalau tidak, bisa dibawah 10 Celcius.

Leica SL dan lensa Leica SL 24-90mm saya ikut basah dengan salju yang meleleh

Sesampai disana, kita naik shuttle bus ke atas dan ternyata sedang ada badai salju yang cukup lebat. Iesan senang bisa berfoto dengan latar belakang bersalju seperti impiannya selama ini. Tapi masalahnya posisi kita berpijak agak tinggi dan badai salju cukup besar sehingga saya sedikit pusing saat banyak bergerak dan sulit memotret karena salju.

Setelah basah oleh salju dan capai memotret di Bipenggou, bayangan saya saat di bis adalah bisa check-in ke hotel yang nyaman dan langsung mandi air panas. Setelah kurang lebih satu jam, kita sampai ke hotel. Saat check-in di informasikan bahwa lift sedang rusak, dan rombongan kami mendapat kamar di lantai ke-6.

Iesan menunggu baterai kamera, ponsel dan power bank peserta tur yang sedang di charge di ruang makan dekat lobi sebelum genset dimatikan.

Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata lift bukan rusak, tapi seluruh kota kecil ini mati lampu karena badai, gardu listrik ada yang rusak karena terkena longsor. Alamak, alhasil kita harus mengangkat kopernya ke atas sendiri dan di dalam kamar sangat gelap. Benar-benar pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya dan teman-teman serombongan.

Perjalanan yang cukup berkesan lainnya yaitu saat ke Huang Long. Ada dua jalur yang bisa dipilih, pertama adalah dengan cable car, lalu jalan menurun sekitar 6 km (Kurang lebih seperti jalan dari pelabuhan Sunda Kelapa ke Monas melewati kota tua dan melintasi jalan Hayam Wuruk). Opsi kedua adalah naik dari gerbang utama, treking ke atas sekuatnya, lalu turun lagi. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, yang memilih opsi kedua tidak akan bisa mencapai posisi teratas, karena sangat sulit mendaki 4 km dan kemudian turun lagi. Tidak heran semua peserta memilih naik dengan cable car.

Di puncak stasiun cable car, ketinggian tempat saya berpijak sekitar 3500 meter diatas permukaan laut. Oksigen agak tipis dan setelah berjalan kira-kira 200 meter, saya merasa agak pusing, dan muka saya menjadi agak pucat menurut pengakuan Iesan. Lalu saya coba berhenti dan beristirahat sejenak sambil minum Oxygen Water yang saya beli di tengah jalan. Tidak tau apakah karena air yang saya minum, atau karena saya lebih memelankan langkah saya, pelan-pelan, tenaga saya pulih dan kemudian bisa berjalan kembali dengan lancar.

Perjalanan dari cable car ke kolam puncak warna-warni tidak begitu sulit, tapi memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih dua jam. Setelah itu, saya dan rombongan mulai turun ke bawah, dari puncak ke exit masih ada 4km, dengan jalan menurun dan pemandangan yang indah di kanan kiri, depan belakang. Sesekali kita berhenti dan memotret.

Tanpa disadari, matahari sudah semakin turun, dan langit mulai gelap, waktu juga menunjukkan pukul 17.00. Seharusnya kita sudah keluar, tapi ada beberapa peserta yang belum turun. Setelah menunggu beberapa saat, saya memeriksa ponsel saya dan saya mendapatkan pesan dari peserta yang kami tunggu. Kabarnya ia dan dan istrinya mungkin nyasar dan tidak kuat lagi. Wahh gimana dong?jalan masih cukup panjang. Lantas, saya pun menenangkan diri terlebih dahulu, dan saya pikir-pikir, kalau nyasar mungkin tidak, karena jalannya cuma satu dan lurus, mungkin masalah kaki saja. Jalan menurun selama berkilo-kilo tentunya membuat dengkul sakit. Akhirnya saya mengangkut ransel Iesan dan Iesan yang lebih gesit naik lagi untuk menyusul ke atas untuk mencari beberapa peserta yang masih ketinggalan, karena jika langit sudah gelap, akan lebih sulit lagi mencarinya.

Kira-kira satu setengah jam kemudian, akhirnya Iesan menemukan empat peserta yang “hilang” dan menuntun mereka balik ke bis. Untungnya, semuanya selamat, hanya ada salah satu peserta yang kakinya sakit jadi jalannya harus pelan-pelan. Akhirnya, kita baru beranjak dari kawasan Huang Long sekitar jam 19.30 malam. Dalam perjalanan pulang melewati gunung-gunung es diatas 4000 m, kami disambut oleh kabut tebal dan badai salju. Untungnya perjalanan lancar dan akhirnya tiba di hotel pukul 21.00 malam.

Dua hari berikutnya, kita bertemu dengan rombongan turis dari Indonesia saat sarapan di kota Dujiangyan. Rupanya mereka juga ke Huang Long sehari setelah kita pergi, dan mereka harus balik arah karena jalan di gunung es tersebut penuh es. Seandainya kita telat sehari kesana, maka kita juga akan senasib dengan mereka.

Hari-hari berikutnya kita lewatkan dengan lebih santai dan tujuan terakhir kita ke gunung Qingchen, gunung penuh dengan pohon-pohon yang hijau dan kuil-kuil Tao yang membuat kita rileks sebelum kembali ke tanah air.

Dari awal, trip ini memang jauh dari sempurna. Tapi trip ini mengajarkan kepada saya bahwa untuk mendapatkan pengalaman yang bagus, kita juga harus mengalami pengalaman yang buruk juga. Semoga trip ini bisa menjadi yang paling berkesan bagi kita semua.

Terima kasih kepada semua peserta tour yang sudah sabar, dan kompak saling membantu dan memperhatikan satu-sama lain. Semoga kita dapat berjumpa kembali di tour fotografi ke Jiuzhaigou musim gugur, tahun 2020.

Liputan trip India 2017

$
0
0

Trip ke India (26 Nov – 2 Des 2017) yang lalu adalah yang pertama yang diadakan Infofotografi. India merupakan negara yang sangat fotogenik terutama bagi yang suka human interest dan street photography. Untuk awalnya, saya memilih New Delhi, Agra dan Varanasi, karena ketiga tempat tersebut memiliki kawasan kota tua yang menarik, terutama Varanasi, salah satu kota tertua di dunia yang masih mempertahankan tradisi yang dilakukan ribuan tahun yang lalu.

Sebulan sebelum berangkat, saya mendapat kabar buruk bahwa kondisi udara sangat buruk, hal tersebut karena adanya asap pembakaran ladang diluar kota dipadukan dengan polusi kendaran bermotor dan konstruksi di dalam kota.

Untungnya kondisi udara membaik tapi memang tidak pernah bagus sekali selama polusi kendaran bermotor dan industri tetap tinggi. Hari berikutnya, kita berkunjung ke Agra, kondisi udaranya lebih baik dan kita bisa mengunjungi Taj Mahal, salah satu maha karya arsitektur terkenal di dunia. Di Agra, kita juga sempat mengunjungi daerah kota tuanya yang ramai dengan pedagang makanan, baju dan sebagainya. Di malam hari pun suasana pasar masih ramai, dan juga ada pasar khusus untuk warga asal Tibet.

Tujuan utama tur kali ini adalah ke kota Varanasi, terutama di tepi sungai Gangga dimana banyak penduduk lokal dan turis berkunjung untuk melihat berbagai aktivitas di sungai Gangga. Di setiap malam ada pemujaan kepada dewa-dewi yang secara fotografi cukup fotogenik karena pendeta-pendetanya berpakaian tradisional dan melibatkan api dan asap.

Kembali ke New Delhi, kita mengunjungi pasar lama di Old Delhi yang sempit, penuh kabel listrik seperti labirin, juga pasar rempah yang rupanya dulunya adalah istana kediaman raja yang sudah tidak terurus dan ditempati oleh pedagang dan penduduk lokal. Di pasar, kita sempat kehilangan salah satu peserta di pasar rempah, tapi setelah 20 menit, akhirnya kita bertemu kembali.

Kekhawatiran awal seperti makanan tidak cocok tidak terjadi, malahan hampir semua peserta suka makanan India & minuman (Masala Chai) yang rempahnya kuat. Soal keamanan juga tergolong baik, saya sekalipun tidak pernah merasa terancam. Hanya kadang sedikit terganggu oleh pedagang dan pengemis karena penampilan kita seperti turis hehe.

Beda dengan tur foto pada umumnya yang lebih berat ke fotografi pemandangan, tur India ini menekankan ke street-human interest, akibatnya lebih banyak foto yang dibuat karena kita tidak dibatasi oleh waktu dan lokasi memotret. Di tuk-tuk saat macet, juga bisa motret hehe.. Saya sempat bergurau kepada peserta, kalau posting foto trip India di instagram satu per hari cukup untuk lebih dari satu tahun.

Dibandingkan dengan India, kota-kota di Indonesia terlihat lebih tertata. Meski demikian, pengalaman ke India sangat menarik, karena seperti kembali masa lalu dan sangat menarik untuk fotografi. Sebagian besar orang India senang difoto dan masih cukup banyak yang mengenakan pakaian tradisional, terutama kaum perempuan.

Karena pengalaman yang menyenangkan di India berkat peserta yang kompak dan lucu-lucu, maka dari itu, saya kembali mengadakan fotografi trip ke India April tahun depan dengan tujuan Amritsar & Dharamsala, di kedua tempat tersebut kita dapat melihat dua budaya dan alam yang berbeda, daerah orang Punjab dan Tibet. Sebagian peserta yang ikut tahun ini juga sudah mendaftar untuk tahun depan. Sampai jumpa tahun depan.

*Foto-foto lainnya bisa cek instagram @infofotografi_official

Sempat berkunjung ke Leica Store New Delhi yang baru dibuka sebulan sebelum kita berkunjung. Silahkan dipilih kamera yang mana yang cocok 🙂


Refleksi foto terfavorit Best Nine Instagram 2017

$
0
0

Salah satu kegiatan akhir tahun saya adalah melihat foto-foto apa saja yang telah saya buat di tahun tersebut dan sekarang relatif mudah karena saya biasa berbagi foto tersebut di instagram saya di @enchetjin. Dengan aplikasi online 2017bestnine.com, setiap orang yang punya akun instagram bisa otomatis memasukkan id instagramnya dan dalam beberapa saat akan muncul sembilan foto yang paling banyak disukai (like).

Saya juga mencobanya dan dari sembilan foto yang paling banyak disukai, ternyata hanya tiga foto yang sama dengan favorit saya di tahun 2017. Yang populer memang tidak selalu sama dengan pilihan pribadi.

Meninjau hasil foto yang dibuat selama tahun ternyata banyak gunanya. Misalnya kalau saya lihat foto-foto saya lebih cenderung memberikan suasana yang tenang dan sejuk, bahkan foto pemandangan saya cenderung berwarna hijau dan biru dengan kontras yang rendah.

Ngobrol-ngobrol, kamera dan lensa untuk membuat foto-foto selama 2017 diatas berbeda-beda. Memang, setengah dari foto-foto diatas saya buat mengunakan kamera Leica SL dan lensa 24-90mm, kamera mirrorless full frame yang merupakan kamera utama saya, tapi ada beberapa foto favorit saya yang mengunakan kamera yang tidak mahal, seperti kamera compact Leica D-Lux 109, Sigma DP2M (senjata rahasia saya haha), lalu ada juga kamera DSLR Canon 77D dan kamera mirrorless pemula Canon M100, Kamera Canon ini dipinjamkan oleh PT Datascrip, distributor kamera Canon ke Infofotografi/detikinet untuk di-review. Trims!

Menurut pengamatan saya, foto-foto yang populer di instagram biasanya adalah foto yang subjeknya indah seperti foto pemandangan warna-warni dengan kontras yang tinggi, portrait wanita cantik atau pria ganteng, atau objek kesukaan seperti kamera. Tapi foto-foto yang saya pos di instagram saya adalah foto-foto yang saya suka secara pribadi, yang merepresentasikan visi saya, dan kebetulan sebagian besar tidak sama dengan jenis fotografi yang sedang populer.

Jenis fotografi yang saya suka memang belum tentu indah sehingga tidak bisa dilihat sekilas saja, tapi karena jaman sekarang orang-orang melihat/membaca/menonton cuma sekilas-kilas jadi sehingga foto yang bercerita atau bermakna dengan mudah terlewatkan begitu saja.

Beberapa foto favorit saya yang tidak termasuk ke favorit pemirsa antara lain:

Foto diatas saya ambil saat naik tuktuk di Varanasi, India. Di Instagram yang menyukai foto ini sangat sedikit, mungkin memang secara teknis kurang baik, contohnya bagian depan tidak fokus. Tapi sebagian besar fotografer yang alirannya street photography mungkin suka karena menggambarkan kejadian sehari-hari dengan kerumitannya secara berlapis-lapis.

Foto di pasar lama Tangerang ini pernah saya bahas di artikel ini.

Foto diatas dibuat di pasar rempah di Old Delhi. Dulunya adalah kediaman bangsawan seperti istana yang kemudian ditinggalkan dan ditempati oleh pedagang-pedagang di pasar lama Delhi yang semwarut ini.

Tiga foto diatas berjenis street photography, menurut pengamatan saya, biasanya menghasilkan “like” yang lebih sedikit, karena foto-foto street  biasanya merupakan kejadian sehari-hari yang agak membosankan. Alasan kedua adalah foto street kadang membutuhkan waktu untuk dilihat dan dibaca lebih lama, karena kadang-kadang ada simbol atau cerita dibaliknya. Sedangkan di sosial media, orang-orang biasanya cuma punya rentang perhatian (attention span) yang sangat sedikit.

Sambil menunggu turis, kedua wanita Vietnam ini tidak menghabiskan waktu percuma. Foto ini saya buat saat tur Vietnam awal tahun ini. Momen yang otentik (tidak dibuat-buat) ini sesuatu yang saya sukai daripada foto model di lokasi yang telah disiapkan. Memang, like-nya tidak banyak karena tidak sempurna, tapi perasaan senang saat memotretnya melebihi jika semuanya sudah diatur dan kita tinggal membidik.

Biasanya saya tidak suka memotret turis karena biasanya keliatan gak pas dengan pemandangannya, tapi di foto ini saya mengikutsertakan kedua turis ini karena posisi mereka pas, salah satu orang mengepalkan tangan seperti memberi semangat temannya yang lain untuk semangat menuruni tangga yang masih sekitar 4 km lagi.

Tidak kurang pentingnya, ada dua foto portrait yang saya suka selama tahun 2017, yaitu tes foto dengan lensa Leica SL 50mm f/1.4 pinjaman fotografer (Leica Ambassador) Tommy Siahaan, dan sesi workshop portrait studio dengan model Shela N.  Kedua foto saya buat jadi hitam putih supaya yang melihat lebih ke bentuk, komposisi, cahaya daripada warna.

Akhir kata, ada baiknya meninjau kembali apa tujuan utama dalam sharing foto di sosial media. Jika untuk populer, maka kita harus selalu mengikuti tren foto yang sedang populer, dan kalau mengikuti tren kemungkinan besar harus dilakukan full time/ setiap saat. Lama-lama bisa melelahkan dan bisa-bisa jadi bosan sendiri. Tapi jika tujuannya untuk berbagi visi dan untuk membuat semangat orang mempraktikkan fotografi, saran saya, terus mencoba jenis fotografi yang bermacam-macam dan menemukan gaya fotografi yang sesuai kepribadian, meski kadang jumlah “like” tidak banyak yang kita inginkan.

Terima kasih telah membaca dan Selamat Tahun Baru 2018!


Ingin belajar fotografi dan memotret bersama tim Infofotografi, silahkan periksa jadwal di halaman ini.

Review tas kamera Vanguard Alta Rise 45

$
0
0

Jika membutuhkan kamera ransel yang berukuran tidak terlalu besar, tapi dapat memuat kamera DSLR/mirrorless, beberapa lensa, beserta laptop dan tablet, salah satu alternatif yang bagus dan cukup baru adalah tas Vanguard Alta Rise 45.

Tas ini dirancang oleh mantan desainer KATA Bag, yang sudah diakuisisi oleh Manfrotto. Sebagai pengguna tas kamera KATA baik ransel saya cukup senang melihat ada yang meneruskan filosofi tas KATA.

Filosofinya cukup sederhana, yaitu membuat tas kamera dengan bahan yang bagus, fungsional (mudah digunakan), tidak terlalu berat dan bagian dalam tas yang berwarna kuning supaya mudah menemukan kamera, lensa dan aksesoris yang biasanya berwarna hitam.

Kini filosofi tersebut diteruskan oleh merk Vanguard seri Alta Rise. Rise disini bermaksud bahwa tas kamera ini bisa dikembangkan 6 centimeter di bagian depan, supaya kalau bawa laptop 14″ yang agak tebal plus tablet 10 inci bisa muat sekaligus. Saat tidak diperlukan, bagian tersebut bisa dikempeskan dan dikunci dengan ritsleting.

Saat traveling, bisa menjangkau kamera dan lensa dengan cepat merupakan sesuatu yang utama, di tas ini, pengguna dapat menjangkau kamera utama lewat samping tas, sehingga tidak perlu meletakkan tas terlebih dahulu.

Tas ini juga memiliki lima kantong kecil, yang dapat digunakan untuk menyimpan aksesoris kecil kamera seperti tutup lensa, pembersih, cable release dan sebagainya. Bagian atas kamera  bisa untuk menyimpan aksesoris tambahan seperti flash, atau makanan ringan. Di bagian luar samping tas kamera terdapat tempat untuk menempatkan botol air.

Kapasitas tas seri 45 ini idealnya cocok untuk pengguna kamera mirrorless atau kamera DSLR  entry level dan lensa-lensa fix atau lensa zoom dengan maksimum bukaan f/4. Bagi yang memiliki lensa f/2.8 dan laptop 15″ saran saya lebih baik mengunakan tas Vanguard seri 48 yang lebih besar.

Berbeda dengan tas ransel kamera yang biasanya untuk membuka tas dari belakang, Vanguard ini dari atas kedepan, dan saat membuka tas dari depan, bisa jadi bagian belakang tas dan tali tas jadi kotor. Tapi jangan kuatir soal maling, karena mustahil untuk membuka ritsleting dari atas sampai bawah karena ada dua tali pengaman di bagian kanan dan kiri tas.

Tas ini memang dirancang untuk fungsional bukan fashionable, jadi terlihat agak kaku, tapi kokoh dan nyaman digunakan berkat strap yang tebal dan harganya yang sekitar satu jutaan lebih dikit menurut saya cukup terjangkau untuk penggemar fotografi terutama untuk travel, atau bekerja di lapangan dimana kita membutuhkan tas yang memungkinkan kita untuk cepat dalam menata, mengambil dan menyimpan aksesoris dengan cepat dan aman.

Kelebihan tas Vanguard Alta Rise 45

  • Bahan material tas bagus
  • Kapasitas penyimpanan cukup besar
  • Strap dan padding besar, tebal dan berkualitas
  • Banyak kantong untuk penyimpanan aksesoris
  • Desain tas tidak menarik perhatian
  • Padding dalam tas untuk proteksi gear kuat
  • Harga pantas (good value for money)
  • Tidak terlalu berat dibanding kapasitasnya

Kelemahan tas Vanguard Alta Rise 45

  • Style/desain tas tidak fashionable/trendy tapi profesional
  • Bukaan tas dari bagian depan, bukan belakang
  • Tidak ada tali/konektor ke koper

Spesifikasi tas kamera Vanguard Alta Rise 45

  • Kapasitas kamera: DSLR/Mirrorless dengan 4-5 lensa dan aksesoris
  • Kapasitas laptop: maksimum 14 inci
  • Kapasitas Tablet: maksimum 9.7 inci
  • Berat tas: 1.5kg
  • Tempat tripod: Ada, dibagian luar sisi tas
  • Tempat botol minum: Ada, bagian luar sisi tas
  • Warna: Luar tas: hitam, dalam: Kuning-orange
  • Dimensi: 32 x 25.4 x 49 cm

Bagi yang ingin memesan tas ini boleh menghubungi kami via 0858 1318 3069. Bagi yang ingin mencicil bisa melalui toko online kami di Bukalapak & Tokopedia.

Review kamera mirrorless Fuji X-T20

$
0
0

Review kali ini akan mengulas mendalam tentang kamera mirrorless Fuji X-T20, kamera yang dibuat awal tahun 2017 sebagai penerus dari Fuji X-T10 yang mengisi segmen menengah dari Fuji. Mereka yang tadinya akan membeli Fuji X-T2 boleh jadi akhirnya beralih ke X-T20 ini karena selain banyak kemiripan, juga selisih harga keduanya lumayan. Tetap dengan desain kamera analog, seperti SLR film, dengan ukuran yang masih tergolong kecil, bisa dibilang Fuji X-T20 ini tampak keren dan beda dengan kamera lain pada umumnya. Tapi apakah kinerja dan hasil fotonya memang sekeren penampilan fisiknya? Kita cari tahu bersama..

Fuji X-T20 dengan lensa kit XF 18-55mm

Kalau mencari kamera berdasarkan check list, maka Fuji X-T20 ini bisa memenuhi banyak check list yang disyaratkan fotografer. Misalnya kualitas sensor, dukungan lensa, roda/kendali untuk ganti setting, jendela bidik, flash hot shoe, built-in flash, layar sentuh dan lipat hingga WiFi memang tersedia. Tapi ada juga check list yang tidak terpenuhi oleh kamera ini, misalnya bodi weathersealed yang ternyata tidak ada disini (untuk ketahanan terhadap hujan, debu dll tentu Fuji X-T2 lebih sesuai).  Tampilan Fuji X-T20 memang bergaya retro klasik dengan bentuk ala SLR, dengan roda putar-putaran yang bertujuan menyamai pengaturan di kamera lawas. Di bagian atas ada roda drive mode, roda shutter speed dan roda kompensasi eksposur. Perbedaan Fuji X-T20 dengan kamera pada umumnya adalah, tidak terdapat roda mode PASM di bagian atas, meski tetap bisa memakai kamera di mode PASM dengan memutar roda shutter speed di atas, atau ring aperture di lensa (untuk mayoritas lensa XF). Berbeda dengan Fuji X-T2, tidak ada roda untuk ISO di Fuji X-T20 ini. Untuk mengganti ISO perlu melalui tombol Q yang sebetulnya sangat merepotkan, dan cara ini kelemahannya adalah kita tidak bisa melihat simulasi eksposur di layar, bahkan tidak bisa melihat light meter. Untuk itu saya sarankan tombol Fn di atas diubah saja (dikonfigurasi ulang) menjadi tombol ISO.

Roda kiri untuk Drive mode, lalu roda kanan untuk kompensasi eksposur.

Meski tampak cukup kecil, kamera yang bodinya dibuat dari bahan logam ini lumayan terasa berat. Ergonomi saat digenggam menurut saya kurang mantap, gripnya kecil dan tata letak roda dan tombol termasuk kecil dan terlalu dekat satu sama lain. Tapi itulah konsekuensi dari ukuran kamera yang kecil. Hanya soal waktu hingga akhirnya kita akan terbiasa dengan ergonomi kamera ini. Di bagian belakang bisa kita temui ada jendela bidik elektronik, layar LCD 3 inci yang bisa dilipat ke atas atau ke bawah, aneka tombol dan lampu LED kecil indikator untuk tanda bila sedang akses kartu memori.

Tampak belakang, dengan tombol 4 arah yang tidak ada tulisannya karena bisa diprogram

Bila desain luarnya membuat banyak orang yang tertarik, maka secara internal Fuji X-T20 juga punya sederet alasan yang membuat orang ingin memilikinya. Sebutlah misalnya sensor APS-C CMOS 24 MP X-Trans, lalu auto fokus hybrid dengan 325 titik, kemampuan rekam video 4K, layar sentuh (untuk ukuran kamera Fuji, adanya layar sentuh itu terasa spesial karena kamera Fuji umumnya tidak ada layar sentuh). Banyak orang juga sudah merasakan kalau kamera Fuji punya hasil foto yang karakter warnanya disukai untuk potret, noise lumayan rendah dan punya berbagai pilihan Film Simulation.

Boleh jadi pengguna yang tidak biasa pakai Fuji X-T20 akan bingung karena mode eksposurnya berbeda dengan kamera lain. Padahal sebetulnya sama saja misal mau full Auto ada, tinggal geser tuas ke Auto. Nanti banyak setting yang dikunci saat pakai Auto, tapi pengguna tinggal bidik dan jepret sudah bisa mendapat foto yang hasilnya ‘aman’ secara teknis. Kalau mau lebih optimal di mode Auto, bisa manfaatkan beragam Scene mode yang bisa diakses dari roda depan. Misalnya Portrait, Landscape, Night, Sunset dll. Tapi kalau tuas tadi tidak di posisi Auto maka kita bisa atur semua setting di kamera ini.

Saat saya memakai kamera ini untuk tes foto, umumnya saya pakai mode Manual, atau mode Aperture Priority. Kamera ini dibeli satu paket dengan lensa Fujinon XF 18-55mm, ciri lensa XF pada umumnya adalah adanya ring pengaturan aperture/diafragma, supaya seolah-oleh seperti pakai lensa jaman dulu. Ahlasil saya pun selalu memutar ring di lensa ini setiap kali ingin berganti aperture, perlu membiasakan khususnya bagi yang terbiasa memotret pakai satu tangan. Posisi roda di shutter speed kadang saya set di A (Auto, atau shutter speed akan dipilihkan oleh kamera), kadang saya pilih ke T (T untuk memilih semua pilihan shutter yang ada, up to 1/32.000 detik).

ISO di Fuji ini memang mulai dari ISO 200, dan tersedia 3 slot ISO Auto yang bisa di konfigurasi sesuai keinginan. Karena di kamera lain seperti Nikon dan Canon saya suka memakai ISO Auto yang lebih lengkap (bisa menentukan minimum shutter speed) maka saat memakai kamera ini saya cukup familiar, dan ISO Auto sebetulnya memudahkan saat ingin memotret dengan cepat tanpa kelamaan atur setting satu-satu.

Biasanya dalam mereview kamera saya titik beratkan bahasan ke dua hal : kualitas gambar dan kinerja keseluruhan. Idealnya kamera punya nilai plus dalam keduanya, karena keduanya menurut saya sama pentingnya. Soal kualitas gambar di Fuji X-T20 ini sebelum membuat review saya sudah menduga tidak akan mengecewakan. Yang penting adalah mengenali bagaimana karakter warna dalam film simulation yang ada, lalu pengaturan editing di kamera (DR, shadow, highlight, color dsb) dan bagaimana hasil foto di ISO tingginya. Kalau dari kinerja saya penasaran akan bagaimana performa auto fokusnya, memotret kontinu dan buffernya.

Kualitas gambar

Oke, kita mulai dulu dari kualitas gambarnya. Untuk semua pengujian kali ini menggunakan lensa XF 18-55mm OIS. Sensor 24 MP yang merupakan peningkatan dari X-T10 dengan 16 MP punya detail yang tinggi, apalagi memang sensor X-Trans tidak memakai low pass filter. Saya tidak mencoba semua film simulation yang ada, tapi biasanya untuk pemakaian umum saya pakai Standard (Provia), kalau foto orang kadang pakai ProNeg Std dan untuk pemandangan pakai Vivid (Velvia). Soal pengaturan Color, Shadow, Highlight pada dasarnya disesuaikan saja dengan selera.

dan perbedaan antara Film Simulation cukup terlihat baik dari saturasi warna, karakter warna, kontras dan ketajaman.

Bagaimana dengan hasil foto sensor 24 MP ini di ISO tinggi?

Test shot

Untuk mencari tahu karakter noise di kamera ini, saya mencoba mengambil beberapa tes foto seperti diatas dengan tripod dan untuk ISO tingginya hasilnya seperti ini :

Tampak di ISO 3200 noise mulai terlihat nyata tapi detailnya masih bisa dilihat (tulisan masih terbaca), begitu di ISO 6400 noisenya sudah tampak mengganggu. Tapi kabar baiknya, warna hasil foto tetap terjaga bahkan sampai ISO 25.600, meskipun soal detail sudah banyak menurun akibat noise. Saat dilihat dalam ukuran kecil (di resize, atau misal dicetak ukuran kecil) bahkan ISO 25.600 masih bisa dianggap layak. Memangnya kapan sampai pakai ISO setinggi itu? Ya misalnya saat ingin memotret dengan shutter cepat di tempat agak gelap.

Kinerja kamera

Kinerja kamera Fuji X-T20 secara umum termasuk baik. Begitu dinyalakan, sesaat kemudian kamera sudah siap memotret. Waktu yang diperlukan untuk mencari fokus juga termasuk cepat (tapi ini juga tergantung lensa apa yang dipasang). Sedikit yang terasa kurang cepat adalah saat live view lalu beralih dari LCD utama ke jendela bidik (atau sebaliknya), perlu sedikit waktu untuk memunculkan gambar di layar. Mengenai shoot kontinu CH dengan 8 fps dan 14 fps (shutter elektronik) terasa mantap, tampilan live view juga tetap jelas dan tidak mengalami black out.

Saat saya memakai X-T20 ini kadang-kadang saya memilih mode Electronic Shutter (ES). Keuntungan pakai ES adalah silent, bisa shoot kontinu hingga 14 fps, dan di jangka panjang bisa menghemat umur shutter mekanik. Kerugiannya ya ES tidak bisa pakai flash, dan hasil fotonya akan aneh kalau ada benda bergerak ke samping dengan cepat, atau kalau kita foto pakai sumber cahaya lampu tertentu seperti flourescent. Kelebihan ES di Fuji X-T20 dibanding kamera lain adalah bisa sampai 30 detik, sementara kamera lain hanya bisa sampai 1 detik saja.

Tapi dari semua kinerja kamera ini, yang paling ingin saya cari tahu adalah kemampuan auto fokusnya. Seperti yang kita tahu, Fuji X-T20 ini sudah hybrid AF dengan 325 titik fokus (meskipun pendeteksi fasanya hanya di tengah, yaitu 13×13 titik alias 169 titik). Bila titik ini terlalu banyak, kita bisa pilih jadi 91 titik saja supaya tidak repot memindahkan. Kalaupun mode fokusnya pakai Zone atau Wide maka titik fokusnya memang otomatis beralih ke 91 titik (pendeteksi fasanya 7×7 titik alias 49 titik).

Hal yang baru di X-T20 (dan awalnya ada di X-T2) yang tidak ditemui di X-T10 atau X-T1 adalah pilihan skenario untuk mode fokus AF-C, dengan 5 Set skenario benda bergerak sehingga kinerja fokus kontinu-nya bisa disesuaikan dengan keadaan gerakan subyek.

Untuk urusan video saya tidak banyak mencoba, tapi hasil rekaman dengan setting 4K maupun Full HD terlihat bagus dan tajam, dengan auto fokus yang transisinya juga halus, tidak mengalami hunting. Hanya saja karena Fuji tidak menerapkan stabilisasi di bodinya maka rekaman video yang diambil sambil bergerak akan tampak tidak stabil, jadi mesti pakai tripod, monopod atau gimbal.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dari review ini, seperti yang sudah diduga, dari penampilan luar tampak keren, dalamnya juga mengesankan. Hasil foto yang tergolong sangat baik untuk ukuran sensor APS-C, kinerja yang cepat, banyak kustomisasi tombol dan fiturnya lengkap membuat kamera kelas menengah ini jadi pilihan banyak orang. Saya suka beberapa hal positif di X-T20 ini, misalnya banyak custom/user setting seperti 3 slot Auto ISO, 3 slot Custom WB, 7 slot Custom setting, bisa bikin My menu, hingga kustomisasi JPG (colors, contrast, sharpness) yang membuatnya lebih personal. Kinerja kamera juga tidak ada keluhan, bahkan bisa shoot dengan 14 fps itu setara DSLR kelas atas, belum lagi auto fokusnya sudah banyak peningkatan. Di sisi video, 4K jadi pembeda kamera ini dengan kamera lain, dan juga dia bisa berikan outputnya ke HDMI bila perlu.

Hal yang agak disayangkan apalagi bagi saya yang biasa pakai DSLR adalah, pertama ergonomi yang tidak semantap DSLR. Gripnya kecil, kecuali kalau menambah aksesori grip tambahan. Posisi tombol dan roda juga terlalu berdekatan, tombol relatif kecil dan tidak mudah ditekan, dan bila di kamera lain kita bisa jelajahi menu dengan layar sentuh, tidak demikian halnya di Fuji X-T20 ini. Bahkan untuk mengakses isi dari Quick setting (Q) juga tidak bisa menyentuh layar, harus pakai tombol 4 arah yang kecil itu. Selain itu karena kamera ini tidak weathersealed maka perlu lebih hati-hati saat memakai di keadaan yang lebih ekstrim. Hal lain yang sedikit menggaggu adalah posisi lubang tripod yang tidak segaris dengan lensa, dan efeknya kalau diatas tripod maka akses ke pintu baterai dan kartu memori jadi terhalang. Adapun hal-hal minor lain seperti kapasitas baterai yang terbatas dan minimnya dukungan flash eksternal dapat saya toleransi karena hampir semua kamera mirrorless menghadapi kendala yang sama.

Kamera Fuji X-T20 ini cocok untuk dipakai banyak keadaan seperti foto potret, street, liputan, travel dan bikin video pendek. Dari harga jualnya kamera ini punya pesaing sesama APS-C 24 MP seperti Sony A6300, Canon 80D, Canon EOS M5, dan Nikon D7500. Bahkan di keluarga Fuji sendiri ada produk lain seperti X-E3 yang banyak kemiripan kecuali desain fisik yang berbeda konsep (X-T20 seperti DSLR, X-E3 seperti rangefinder).


Untuk anda pemilik Fuji X-T20, kami sudah menyusun panduan setting kamera ini dalam bentuk buklet PDF (ebook) yang bisa dibeli seharga Rp. 50.000,- Juga ikuti kelas Kupas Tuntas Kamera DSLR/mirrorless untuk mendapat penjelasan lengkap mengenai fitur kamera dan bagaimana mengoptimalkannya.


Beberapa contoh hasil foto yag saya ambil dengan Fuji X-T20 dan lensa XF 18-55mm f/2.8-4 OIS :

Film Simulation : Velvia

Dengan setting DR400 untuk menyeimbangkan kontras bagian gelap dan terang

Film Simulation : Velvia

Film Simulation : Classic Chrome

Infofotografi goes to Paris – 29 Sep – 6 Okt 2018

$
0
0

Mengikuti tur wisata biasa biasanya sulit untuk berlama-lama untuk memotret dan menjelajahi daerah-daerah yang menarik, sebagian besar waktu habis di perjalanan antar kota atau tempat wisata. Oleh sebab itu, Infofotografi mengadakan tur fotografi supaya para peserta memiliki lebih banyak kesempatan untuk memotret dan mengunjungi tempat-tempat yang menarik jauh lebih lama dari tur biasa.

Di musim gugur nanti, Enche Tjin akan mengadakan tur foto ke negara Perancis yang indah, kita akan mengunjungi ibukota Paris (City of Light) yang romantis dan fotogenik, lalu daerah Normandy di bagian utara dan istana-istana megah di lembah Loire, di jantung Perancis.

Paris, Louvre

Highlight tempat yang dikunjungi:

Paris : Ibukota Perancis yang terkenal sangat indah. Kita akan mengunjungi kota tua, menara Eiffel, kawasan orang Afrika dan Mediterania, photo hunting model fashion Paris, taman untuk memotret daun-daun musim gugur yang indah, dan menikmati cruise sambil makan malam menyusuri sungai Seine.

Honfleur : Kota pelabuhan di bagian utara Perancis ini menarik karena arsitektur tuanya dan gang-gang yang menarik untuk street photography.

Etratat dan Mont Saint Michel: Di Etratat kita bisa hunting sunrise dari atas tebing menghadap pantai yang indah, dan di Mont St. Michel kita bisa memotret sunset setelah menjelajahi biara yang bentuknya sangat iconic.

Châteaux of the Loire: Di dekat sungai Loire, yang memisahkan Perancis utara dan selatan, terdapat beberapa istana raja atau bangsawan jaman dulu yang sangat indah. Kita akan mengunjungi dua diantaranya yang terindah.

Honfleur

Châteaux of the Loire Valley

Etretat Sunrise

Mont St. Michel

Paris Dinner Cruise

Pelaksanaan tour: 29 September – 6 Oktober 2018

9 hari 7 malam

Biaya : Rp 35 juta per orang

Untuk informasi/pendaftaran, hubungi Iesan di 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Biaya termasuk

  • Akomodasi standar Hotel bintang tiga sharing (2 orang / kamar)
  • Bimbingan fotografi oleh Enche Tjin
  • Pemandu Lokal
  • Tiket masuk tempat wisata kecuali museum Louvre
  • Breakfast dari hotel
  • Model Perancis untuk photo shoot
  • Metro ticket 1 week Pass
  • Cruise dinner
  • Mini bus charter keluar Paris (tiga kota)
  • Private bus Drop off and Pick Up Airport

Biaya belum termasuk:

  • Tiket pesawat pp (sekitar 10-15 jt)
  • Tiket masuk Museum Louvre (opsional)
  • Makan siang, malam dan snack (bebas)
  • Visa Eropa
  • Travel Insurance
  • Pajak 1%
  • Sim Card dan belanja pribadi

Sony 18-135mm f/3.5-5.6 lensa travel serba bisa untuk Sony A6000, A6300, A6500

$
0
0

5 Januari 2018 ini, Sony secara mengejutkan merilis dua produk baru, Sony A6300 versi silver, dan Sony E 18-135mm f/3.5-5.6 OSS. Saya akan membahas lensa 18-135mm yang baru ini karena lebih menarik tentunya. Lensa ini dirancang untuk travel, makanya memiliki rentang zoom yang lumayan lebar, dari 18-135mm (7.5x). Tapi Sony sendiri sebenarnya sudah memiliki dua lensa zoom lain yaitu Sony Zeiss 16-70mm f/4 dan Sony 18-105mm f/4 G OSS. Mana yang lebih bagus?

Dari label penamaannya, Sony 18-135mm f/3.5-5.6 lebih dibawah “Zeiss” dan “G”, tapi lensa baru ini menarik karena menurut saya dari ukuran dan beratnya lebih ideal dipadukan dengan kamera Sony bersensor APS-C dari A6000, A6300 dan A6500.

Seperti yang dilihat diilustrasi dibawah ini, Sony 18-135mm hanya sedikit lebih panjang dari Sony E 16-70mm, tapi lebih pendek dari E 18-105mm f/4. Diameter filter yang digunakan sama dengan 16-70mm yaitu 55mm. Keunggulan lain yaitu bisa zoom lebih jauh daripada 16-70mm dan 18-105mm.

Harga Sony 18-135mm sama dengan 18-105mm, yaitu sekitar 7.1 juta saat ini, tapi saya punya firasat, lensa ini akan dipaketkan dengan Sony A6300 dan A6500 dan jatuhnya akan lebih murah dibandingkan membeli terpisah, mungkin sekitar 4.5 juta saja.

Kiri: Sony E 18-135mm, tengah: Sony E 16-70mm dan kanan Sony 18-105mm f/4 OSS

Untuk kualitas gambar, saya pikir tidak terlalu berbeda dengan 18-105mm dan 16-70mm, tapi yang berbeda mungkin di konstruksi fisiknya yang sedikit terasa kurang padat/solid, tapi jadi lebih ringan (326 gram), 100 gram lebih ringan dari 18-105mm dan hanya 26 gram lebih berat dari 16-70mm.

Maka dari itu, jika dibandingkan dengan 18-105mm f/4 PZ, saya pribadi lebih menyarankan 18-135mm yang baru ini untuk travel fotografi, dan lebih baik beli versi yang PZ hanya jika sering untuk merekam video, karena 18-105mm PZ punya Power Zoom yang membuat zoom saat video mulus.

Jika dibandingkan dengan Sony E 16-70mm f/4  Zeiss, agak sedikit sulit menjustifikasi harga 16-70mm yang Rp 11 juta saat ini. Jika tidak sering foto dengan sudut yang lebih lebar seperti 16mm, saya pikir 18-135mm lebih good value for money.

Untuk penghobi foto travel yang memiliki seri kamera Sony A6xxx, saya pikir Sony E 10-18mm f/4 dan 18-135mm f/3.5-5.6 kombinasi yang asyik dan mencakupi 85% kebutuhan fotografi. Keduanya juga sepadan dengan kamera Sony A6xxx yang compact.

Pengumuman Sony E 18-135mm menjadi angin segar bagi pengguna Sony Alpha A6xxx karena sudah beberapa tahun belakangan Sony sepertinya sangat terfokus ke pengembangan lensa untuk sistem full frame A7/A9. Mungkinkah 18-135mm ini sebagai penanda bahwa fokus Sony beralih kembali ke sistem APS-C kembali? Yang penggunanya jauh lebih banyak? Kita tunggu saja.


Panduan setting kamera Sony A6000 bisa didapatkan halaman E-book Infofotografi

Bagi yang ingin membeli kamera/lensa Sony baru, atau titip jual, bisa hubungi 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Panasonic GH5s : Kamera terbaik untuk Pro Video

$
0
0

Setelah sukses awal tahun 2017 yang lalu dengan Panasonic GH5, kamera hybrid yang ditujukan untuk fotografer & videografer. Awal tahun 2018 ini, Panasonic kembali meluncurkan Panasonic GH5s. Kamera baru ini bukan kamera pengganti GH5, tapi untuk melengkapi/komplemen karena memiliki kelebihan dan kekurangan yang saling menutupi satu sama lainnya.

GH5s memiliki sensor four thirds, dengan ukuran yang sama dengan GH5, G9 dan kamera-kamera Panasonic dan Olympus lainnya. Perbedaan utama GH5s adalah resolusi sensornya 10.2 MP, dibandingkan dengan 20MP di GH5. Dengan menurunkan resolusi pixel di sensor, GH5s memiliki kelebihan di kualitas gambar foto & video di kondisi cahaya yang gelap. ISO maksimal yang dapat dipilih sampai dengan ISO 51200. Dengan menurunkan resolusi pixel, ada keuntungan tambahan juga, yaitu efek rolling shutter hampir tidak ada karena kamera bisa membaca lebih cepat dari frame ke frame.

GH5s memiliki rancangan sensor Dual Native ISO, 400 dan 2500. Artinya saat mengunakan 400 atau 2500, noisenya sama dan sangat sedikit saat merekam foto dan video. Hanya saja di 2500, dynamic range agak berkurang dibandingkan di ISO rendah. Dibandingkan dengan Panasonic GH5 dan G9 yang resolusinya 20MP, kualitas gambar dan video di noise tinggi lebih bersih kurang lebih 1.5 stop (ISO 5000 di GH5s noisenya sama dengan GH5/G9 di ISO 1600).

Yang agak mengejutkan dan kontroversial dari GH5s adalah Panasonic menghilangkan fitur IBIS (in-camera built in stabilizer) yang selalu ada di kamera Panasonic premium sejak Panasonic GX7, pertimbangannya adalah kamera GH5s ini menyasar profesional videografer yang biasanya mengunakan stabilizer external, atau di tripod. IBIS akan meningkatkan harga kamera dan juga kamera bisa lebih cepat panas.

Tanpa adanya IBIS, sensor GH5 bisa dirancang Multi-Aspect Ratio, artinya saat mengunakan aspek rasio 4:3, 17:9, 16:9 atau 3:2, kualitas foto dan kamera dan resolusinya tidak terlalu berbeda, sehingga fotografer dan videografer bebas memilih aspek rasio video tanpa merasa kuatir akan penurunan kualitas gambar atau focal length berubah.

 

Berikut spesifikasi dan harga Panasonic GH5s

  • Sensor multi aspek ratio 10.2 MP (Total 12.5 MP) four thirds sensor
  • DCI atau UHD 4K at up to 60p
  • 10-bit 4:2:2 internal capture sampai dengan 30p
  • 8-bit 4:2:0 internal 60p or 10-bit 4:2:2 output over HDMI
  • 1080 footage at up to 240p
  • Hybrid Log Gamma mode
  • ISO 160 – 51,200 (80 – 204,800 extended)
  • Sensitivitas autofocus sampai dengan –5EV (dengan lensa F2)
  • 3.68M-dot (1280 x 960 pixel) OLED jendela bidik dengan pembesaran 0.76x
  • 1.62M-dot (900 x 600 pixel) LCD yang bisa diputar
  • 14-bit Raw stills
  • 11 fps (7 dengan AFC) atau 1 fps lebih cepat di mode 12-bit
  • USB 3.1 dengan konektor Type C
  • Weathersealed (tahan debu, air, beku)
  • Wifi, Bluetooth
  • Harga: $2500, atau sekitar Rp 35 jt.

Pertanyaan lanjutannya kamera Panasonic yang mana yang cocok? Panasonic GH5, GH5s atau G9? Semua tergantung kebutuhan, tidak berarti yang lebih mahal atau yang terbaru lebih baik. Panasonic GH5s dirancang khusus untuk videografer profesional yang biasa bekerja dengan berbagai lensa dan peralatan stabiliser khusus. Sangat cocok juga bagi yang sering sekali merekam video di kondisi cahaya yang sangat gelap seperti malam hari dan indoor.

Panasonic GH5 adalah kamera yang seimbang fiturnya antara foto dan video. Kelebihan utama GH5 adalah punya 5 axis stabilizer, dan resolusi foto 20MP. Cocok bagi pengguna yang membutuhkan kamera yang fleksibel untuk foto dan video tanpa alat stabilizer tambahan. Harga GH5 saat ini Rp 27 juta.

Panasonic G9 adalah kamera yang lebih dikhususkan untuk fotografi. Perbedaan utama adalah memiliki mode pixel-shift yang dapat membuat foto dengan resolusi 80 MP (harus dibuat dengan tripod dan subjek yang tidak bergerak). Fisiknya juga sedikit berbeda dengan adanya layar LCD tambahan diatas kamera untuk mempermudah fotografer melihat setting.  Dibanding seri GH, G9 dibatasi fungsi videonya, misalnya ada batasan waktu rekam, tidak mendukung video 10 bit 4:2:2.  Harga G9 kemungkinan sekitar Rp 24 juta.

Mengapa Saya Lebih Suka Menggunakan Lensa Fix (Prime Lens)

$
0
0

Kebanyakan pemula saat ini menyukai lensa zoom sapujagat. Sebaliknya, saya lebih menyukai lensa fix (fixed focal length/prime) daripada lensa zoom. Lensa andalan saya adalah lensa dengan jarak fokus (focal length) 35mm, atau sekarang ini menggunakan lensa 20mm f/1.7 dengan kamera “Micro 4/3” yang setara 40mm pada kamera full frame. Mengapa 20mm (40mm)? Alasan utamanya karena secara perspektif lensa ini sangat mirip dengan penglihatan mata kita (perspektifnya antara 35mm dan 50mm – tidak terlalu lebar dan tidak terlalu sempit), sehingga untuk memotret wajah orang dalam jarak dekat perspektifnya masih relatif normal, tidak distorsi/cembung.

Semenjak saya mulai menekuni hobi fotografi ini sampai sekarang kurang lebih 40 tahun, saya lebih nyaman menggunakan lensa fix (prime lens). Bukan berarti saya tidak mengunakan lensa zoom lagi, tapi lebih jarang, mungkin hanya 20-25% saja.

Kebiasaan ini mungkin karena pada saat saya mulai benar-benar menyenangi fotografi dan masih taraf belajar saya menggunakan kamera Rangefinder “Rolei 35S” dengan lensa 40mm f/2.8 yang tidak dapat di tukar/lepas (lensa built-in). Selanjutnya saat saya serius menekuni fotografi, saya menggunakan kamera SLR dengan satu lensa bawaan saja, yaitu lensa 50mm f/1.4. Dengan kamera “Canon F1” dan lensa 50mm ini saya melakukan semua jenis pemotretan, seperti street, portrait, landscape, olah raga sampai kegiatan acara perayaan di dalam dan di luar ruangan.

Pada saat itu saya belum merasakan kendala dengan hanya menggunakan lensa 50mm ini, meskipun untuk melakukan framing saya harus mendekat atau menjauh supaya subjek foto dan komposisinya bisa pas ke dalam frame foto. Jika terpaksa, saya akan melakukan kroping pada saat pencetakan.

Dengan berjalannya waktu saya mulai membutuhkan lensa yang agak lebar dan pilihan saya adalah lensa 35mm f/2.0, ternyata dengan lensa ini saya lebih leluasa dan lebih dapat menangkap subjek lebih luas dengan jarak relatif lebih dekat dibanding bila saya menggunakan lensa 50mm, dan akhirnya lensa sehari-hari saya beralih ke lensa 35mm ini.

Pada saat itu tahun 70-an lensa zoom belum terlalu populer. Umumnnya yang ada adalah lensa telefoto zoom (100-200mm) dan harganya mahal sekali, pada sekitar tahun 80-an mulai ada lensa normal zoom (35-70mm) dan lensa wide zoom (20-35mm) di pasaran.

Dan saya jadi tertarik untuk memiliki lensa zoom yang pas untuk digunakan sehari-hari. Akhirnya pilihan saya jatuh pada lensa 35-70mm f/3.5-4.5. Saat itu lensa tersebut seperti lensa sapujagat saya. Dengan lensa baru ini saya mulai asik ber-zoom ria, bahkan sempat mebeli telefoto zoom 100-300mm f/5.6.

 

Memang asik bermain dengan lensa zoom, tetapi kendalanya adalah lensa ini kurang peka/cepat, ketajamannya tidak setajam lensa fix, fokusnya pun akan mengalami pergeseran sedikit apa bila kita melakukan zoom, umumnya bukaan sekitar f/4.0-5.6 ada juga yang f/2.8,  tetapi badannya menjadi bongsor, harganya juga jadi ikut bongsor, jadi untuk mengatasi kelambatan lensa ini, terpaksa saya harus bermain dengan ISO tinggi dengan konsekuensi foto akan menghasilkan noise yang cukup mengganggu bagi sebagian orang. Memang di era fotografi digital sekarang ini, kamera dibuat semakin canggih ISO tinggi semakin halus mempunyai IBIS, OIS bahkan kombinasi IBIS dan OIS yang bekerja secara simultan sehingga kabarnya bisa mengantisipasi goyangan hingga 6.5 stop.

Singkat cerita bagi saya ahirnya memang lebih nyaman dan lebih leluasa menggunakan lensa fix (prime lens) yang digital (auto focus) maupun yang Analog (manual focus), selain bentuknya lebih kecil, lebih cepat/peka, lebih ringan, lebih tajam, dan tidak terlalu mengintimidasi subjek bila memotret orang-orang di jalanan, dan saat ini lensa pancake yang relatif tipis bentuknya sangat populer untuk kamera Mirrorless maupun kamera DSLR.

Apakah keuntungan yang saya dapatkan dengan menggunakan lensa Fix?

Dengan menggunakan lensa fix,  saya dipaksa untuk selalu bergerak/berpindah mencari sudut-sudut yang pas dan membingkai subjek untuk mendapatkan komposisi yang baik sesuai dengan jarak fokus lensa fix yang saya gunakan, kebiasaan ini membuat saya selalu ingin bergerak lebih banyak, dan akhirnya menciptakan foto yang lebih baik dan lebih menarik.

Lumix GX7 - Lumix G 20mm, f/1.7 ASPH | f/4 | 1/500s | ISO 200 |

Selain itu, saya dapat mengembangkan kemampuan komposisi dan belajar memindahkan kamera secara fisik (zoom nya dengan maju-mundur) untuk mendapatkan bidikan sesuai yang saya inginkan, dibandingkan dengan saya memutar zoom pada lensa dan tetap berada di satu tempat yang sama.

Lensa fix yang tidak bisa zoom mungkin dianggap sebagian besar fotografer sebagai penghalang/menghambat waktu dan kurang praktis, tapi jika kita perhatikan dengan seksama, kebanyakan fotografer yang kreatif banyak menggunakan lensa fix untuk menunjang kreatifitas mereka, terutama untuk para street photographer. Bila kita harus bergerak secara fisik, itu akan mengubah sudut pengambilan, mengubah cahaya, membuat kita harus menyesuaikan variabel lain untuk mendapatkan komposisi, dan hal itulah yang membuat kita berpotensi mendapatkan komposisi yang lebih menarik.

Lumix GX7 - Lumix G 20mm, f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/60s | ISO 500 |

Mengapa saya katakan lebih menarik, karena dengan mengubah posisi kita (mendekat/menjauh) sama sekali tidak mengubah focal length pada lensa, karena yang terjadi adalah hanya melakukan rekomposisi, jadi saya akan mendapatkan gambar dengan perspektif sesuai dengan focal length lensa yang saya gunakan tetapi dalam gambar lebih lebar atau lebih ketat, berbeda dengan cara kerja lensa zoom dimana disini focal length nya berubah sehingga perspektifnya (titik hilangnya) pun akan berubah.


Mari ikuti kegiatan belajar dan trip foto Infofotografi. Jadwalnya bisa dilihat di halaman ini. Bagi yang ingin belajar langsung dari pak Hendro Poernomo, ada workshop Black & White (hunting foto dan editing) yang langsung dibimbing oleh beliau.


Telah tersedia, e-book Basic Setting Kamera Canon EOS (DSLR pemula dan mirrorless)

$
0
0

Canon saat ini menjadi produsen kamera yang penjualannya tinggi, untuk DSLR saja Canon membagi segmen pemula ke dalam empat kelas. Belum lagi seri EOS M sebagai produk mirrorless juga perlahan mulai banyak diminati pengguna. Meski kamera-kamera Canon dikenal mudah dipakai, tetapi tetap saja kami temui banyak penggunanya yang kesulitan memahami apa saja sih pengaturan yang sering diubah di kameranya, dan bagaimana mengerti setiap setting yang ada.

Untuk itu kami kembali menyusun ebook (PDF) berupa buklet ringkas yang berisi rangkuman tentang pengaturan kamera Canon, dalam hal ini terbagi dalam dua bahasan :

  • ebook untuk DSLR Canon EOS pemula, 20 halaman :
    • 1300D (bisa juga untuk 1200D, 1100D, 1000D)
    • 800D (bisa juga untuk 750D, 700D dst)
    • 200D (bisa juga untuk 100D)
    • 77D (bisa juga untuk 760D)
  • ebook untuk Canon EOS-M, 18 halaman :
    • EOS-M100 (bisa juga untuk M10)
    • EOS-M6 (bisa juga untuk M3)
    • EOS-M5

Contoh isi ebook EOS DSLR

Bahasan yang diulas di ebook ini diantaranya :

  • fitur dasar setiap kamera
  • mode kamera (Auto, Scene, P-Av-Tv-M)
  • Image Quality-Picture Style-WB
  • Auto fokus
  • Flash
  • Drive mode
  • Tips dan trik

Contoh isi ebook EOS M

Bagi yang berminat memesan ebook ini bisa menghubungi 0858-1318-3069 dan sebutkan ebook yang diinginkan (DSLR atau EOS-M) lalu melakukan transfer Rp. 25.000,- ke rekening Enche Tjin di BCA/Mandiri dan selanjutnya ebook akan dikirim via email.

Pengalaman Tour Fotografi ke India dengan sistem micro four thirds Panasonic

$
0
0

Saya berkesempatan mengikuti trip yang diadakan Infofotografi dengan tujuan India pada 26 Nov – 2 Des 2017. Jauh-jauh hari sebelumnya pada saat Infofotografi mengumumkan trip ke India saya sangat antusias sekali dengan rencana ini dan tanpa pikir panjang langsung saya daftarkan diri berdua dengan istri.

Tour hari tiga kita terbang ke Varanasi untuk motret Ganges/Gangas (baca Gangga) berserta aktivitasnya sampai di Gangga sudah sore dan waktunya bertepatan dengan upacara pemujaan dewa Siwa (Aarti Ceremony). Foto diatas ini adalah ritual pemujaan untuk dewa Siwa yang dilakukan oleh pendeta-pendeta muda tepat di pinggiran sungai Gangga, saya ambil posisi dari bawah dan sedikit mendongak keatas supaya para pendeta nya terlihat lebih menjulang dan berwibawa.

Lumix Gx7 – Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/100s | ISO 640 |

 

Memang dari dulu obsesi saya adalah ke India untuk membuat foto-foto tentang India, baik itu arsitekturnya, penduduknya, kebudayaan nya dan terutama untuk Street Photography yang menurut saya kondisi pedesaan India sangat fotogenik.

Foto-foto Arsitektur dengan lensa 20mm – Lumix GX7 & Lumix G 20mm f/1.7 ASPH

Hari ke dua pagi hari kita kembali ke Taj Mahal di Agra, rencananya untuk mengejar sunrise, tetapi kabutnya tebal jadi sunrise gagal tetapi karena masih pagi sekali dan pengunjung masih sedikit jadi motret Taj Mahal lebih bebas dari banjirnya pengunjung di latar depan, saya menggunakan lensa 20mm, supaya perspektif-nya terlihat lebih normal tidak terlalu tajam dan lebih dekat, karena bangunan dan bayangannya menjurus ke vertikal maka saya pilih format 4/3 vertical, untuk foto ini sebetulnya saya harus mundur lagi supaya sedikit longgar, tetapi tidak mungkin karena sudah mentok di bibir kolam.

Lumix Gx7 – Lumix G 20mm f/1.7 ASPH | f/3.5 | 1/400s | ISO 200 |

 

Gerbang pintu utama Taj Mahal saya ambil berbalik 180 derajat pada posisi yang sama sewaktu motret musoleum diatas, sebetulnya dipintu gerbang itu sedikit berkabut tetapi saya dehaze sedikit di Lightroom supaya detail ukirannya terlihat agak jelas dan kontrasnya sedikit saja di tambah. disini saya pilih format 1/1 (format kesukaan saya) karena bangunan dan bayangannya menjurus ke bujur sangkar

Lumix GX7 – Lumix G 20mm f/1.7 ASPH | 2.8 | 1/250s | ISO 200 |

 

Di era kamera mirrorless sekarang ini saya senang membuat foto dengan lensa fix 20mm dengan kamera MFT (setara 40mm pada kamera full frame) 80-85% foto-foto saya menggunakan lensa 20mm terutama karena saya menyukai street photography. Kali ini untuk ke India saya berencana menggunakan lensa 42.5mm (short telephoto setara 85mm) dengan asumsi supaya saya tidak perlu terlalu dekat dengan subjek takut terlalu mengintimidasi subjek saya dan mendapatkan respon buruk dari mereka

Foto-foto Human Interest dengan lensa 20mm – Lumix GX7 & Lumix G 20mm f/1.7 ASPH

Hari ke tiga kami terbang ke Varanasi banyak kita temui Shadu baba atau holy person bukan pendeta banyak dijumpai Shadu (pertapa) disepanjang jalan menuju Ganga, umumnya mereka welcome untuk di foto, tapi ada juga yang palsu kasi blessing tapi minta imbalan termasuk saya korbannya. Dalam  post-processing develop. saya dodge oval pada subjek ditengah supaya terlihat lebih menonjol dari latar belakangnya.

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/1.8 | 1/320s | ISO 200 |

 

Dihari ke-empat sepulang dari Taj Mahal, kami menjumpai pawang ular Kobra di gang sempit pemukiman penduduk di Gangga, gangnya sempit dan berkelok2 tetapi walaupun kumuh, gelap sentuhan detail arsitekturnya bagus sekali untuk di foto, berukir dengan cat warna warni. Untuk di gang sempit idealnya menggunakan lensa lebar, tetapi kalau terlalu lebar kesan sempitnya tidak terasa maka saya gunakan lensa 20mm.

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/60s | ISO 200 |

 

pada hari ke empat masih di wilayah Varanasi, kami sempat mengunjungi pengerajin tenun kain sari tradisional, disini saya tertarik dengan salah satu penenun karena karakter wajahnya kuat dengan rambut dan janggut putih yang masif, karena ruangannya sempit dan redup saya menggunakan lensa 20mm dan bukaan paling lebar supaya mendapatkan bokeh yang cukup bagus, dan pada proses develop saya dodge sedikit pas di wajah-nya supaya karakter muka dan rambutnya lebih bersinar.

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/60s | ISO 200 |

 

Shadu Baba dan sapi duduk santai, banyak sapi berkeliaran di India dan mereka aman karena tidak ada yang berani menggangunya bahkan sangat dihormati, karena sapi adalah kendaraan dewa Siwa menurut kepercayaan mereka. kondisi pada saat ini adalah sore sekitar pukul tuju kurang sehingga sedikit redup, untuk menonjolkan sosok shadu nya saya dodge 45% sehingga detail dan raut mukanya lebih jelas

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/1.8 | 1/40s | ISO 200 |

Ternyata sampai di India penduduknya rata-rata sudah sadar kamera dan sangat senang untuk di foto dalam keadaan apapun dan dimanapun. Maka kami semua peserta tour merasa seperti mendapat durian runtuh, kalap jepret sana jepret sini pokoknya yang penting jepret tidak perduli berebutan jalan dengan gerobak, becak maupun bajaj yang saling teriak dan klakson-klakson minta jalan. Mengenai makanan pun yang tadinya sedikit was-was dengan cita rasa dan kebersihannya ternyata makanan India sangat enak bervariasi baik raw food nya maupun cooked-food nya mantab .. Dan juaranya adalah Mutton Biryani.

Foto arsitektur dengan lensa 42.5mm – Lumix GX7 & Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH

Di hari kedua saya kurang berhasil mengabadikan Taj Mahal yang megah, karena banjirnya pengunjung disetiap sudut sehingga susah mendapatkan sudut pengambilan yang pas, salah satu sudut yang agak sepi adalah di sekitar masjid Taj Mahal (Kau Ban Mosque), sengaja saya menggunakan lensa 42.5mm karena jarak subjek cukup jauh dan saya tidak ingin terlalu longgar di kiri/kanan mesjid. pada proses develop sengaja saya burn di bagian luar subjek supaya mesjidnya terkesan bersinar dan lebih dramatis.

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/1.7 | 1/60s | ISO 200 |

 

Pada hari keempat sore dalam rangka mengejar sunset untuk menyeberang ke daratan diseberangnya dengan perahu, kami menjumpai Rana Mahal Ghat, istana di ghat (ghat atau undak-undak menuju sungai) ini dibangun pada tahun 1670 oleh raja Rana Jagatsingh dari Udaipur (Rajasthan), sehingga disebut sebagai Rana Mahal ghat.  Istana ini adalah contoh yang berbeda dari gaya arsitektur Rajasthani.

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/2.5 | 1/320s | ISO 200 |

 

Embun pagi hari di sungai Ganga, sebetulnya ragu juga apakah embun atau polusi karena memang di India polusi udaranya cukup parah, tetapi di Varanasi sedikit reda polusinya, perjalanan kembali ke daratan setelah selesai berburu sunrise. Karena cuaca berkabut walaupun tidak terlalu tebal dan daratan masih terlihat, untuk menonjolkan parahu ditengah saya dodge dan tambah sedikit kontrasnya sehingga detail tekstur kapal sedikit jelas.

Lumix GX7 – Lumix G20mm f/1.7 ASPH | f/2.8 | 1/400s | ISO 200 |

 

Singkat cerita, lensa yang paling sering terpakai adalah lensa 20mm dan 42.5mm nya lensa zoom super wide 7-14mm (karena saya tidak memiliki lensa fix 12mm) hampir jarang, hanya terpakai untuk foto arsitektur dan interior dan itu tidak banyak, bahkan untuk foto Taj Mahal dan beberapa gedung di sekitarnya saya menggunakan lensa 20mm.

Jadi tip dari saya bila ingin menjelajah di India untuk fotografi akan lebih nyaman dan bebas bila menggunakan cukup membawa lensa fix (lensa wide, lensa normal dan lensa telefoto untuk portrait)

Foto-foto Street dengan lensa 42.5mm – Lumix GX 7 & Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH

Kota tua Agra memang unik dan cukup photogenic untuk di abadikan, keluarga di dalam becak ini saya potret ketika dipotret oleh salah satu peserta tour, sebetulnya saya menunggu cukup lama untuk momen ini.

Lumix GX7 – Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH | f/2.8 | 1/400s | ISO 200 |

 

Sembari naik Tuktuk pun para peserta tetap sibuk jepret dan jepret sini terutam bila ketemu yang ganteng atau yang cantik bahkan sapi di jalan pun jadi sasaran, dan yang saya suka mereka pada umumnya akan bergaya bila melihat kamera ditujukan kepada nya. Momen ini saya ambil ketika subjek berpose untuk peserta lain yang sedang motret dari dalam Tuktuk didepan Tutktuk saya

Lumix GX7 – Lumix G42.5mm f/1.7 ASPH | f/2.5 | 1/320s | ISO 200 |

 

Pemandangan Tukang cukur kaki lima adalah yang pertama kali menjadi sasaran para peserta begitu turun dari bis setiba di kota tua Agra, dan cukup banyak sepanjang pagar Benteng Merah Agra

Lumix GX7 – Lumix G42.5mm f/1.7 ASPH | f/2.8 | 1/400s | ISO 200 |

 

Ini adalah subjek yang tidak kalah unik yaitu tukang korek kuping kaki lima, karena lokasi jalan menuju pasar cukup lebar dan luas saya cukup santai dan nyaman dengan lensa 42.5mm dari jarak jauh walaupun kondisi jalan cukup ramai kendaraan dan orang semrawut lalu lalang.

Lumix GX7 – Lumix G42.5mm f/1.7 ASPH | f/2.8 | 1/500s | ISO 200 |

 

Untuk yang senang dengan foto street, human interest, bahkan arsitektur kunonya, India adalah tempatnya, rasa rasanya satu minggu trip di India sangat kurang, kalau perlu satu bulan … hahahaha.

Foto closeup dengan lensa 42.5mm – Lumix GX7 & Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH

Kami sempat berburu street photo di kota tua Agra, Pak tua ini adalah seorang tukang sepatu kaki lima, karena karakternya kuat dan tatapannya tajam saya tertarik untuk mengabadikannya. Di sekitar pasar dekat benteng merah Agra, terdapat pasar tradisional yang sangat ramai, dan disini peserta tour kembali kalap untuk mengabadikan semua subjek human interest yang menarik.

Lumix GX7 – Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH | f/2.5 | 1/320s | ISO 200 |

Bagi yang ingin belajar foto dan editing B&W ala pak Hendro ‘Momi’ Poernomo, silahkan memeriksa jadwal dan lokasi terbaru di halaman ini.

Bagi yang ingin ikut workshop atau tour Infofotografi baik lokal maupun internasional, silahkan kunjungi halaman kursus dan tour Infofotografi.

Belajar dari Martin Parr dari kunjungannya ke Jakarta

$
0
0

Hari Jum’at, tanggal 12 Januari 2018 yang lalu, Jakarta kedatangan tokoh fotografer terkenal di genre photojournalism, Martin Parr. Beliau terkenal dalam membuat proyek-proyek fotografi yang mendokumentasikan gaya hidup orang Inggris dan Eropa.

Sedikit latar belakang dari Martin Parr, ia adalah anggota agen foto Magnum, dan pernah menjadi presiden Magnum selama tiga setengah tahun. Tahun lalu, Martin membuka Martin Parr Foundation di Bristol, kurang lebih 2 1/2 jam berkendara dari London. Tujuan dari yayasan ini adalah untuk memelihara arsip dan warisan foto Martin Parr dan karya fotografer lainnya yang mendokumentasikan Inggris, Irlandia dan juga sebagai perpustakaan.

Martin telah mempublikasikan lebih dari 100 photo book dan karya-karyanya telah menghiasi sekitar 80 pameran foto di seluruh dunia. Dalam seminar hasil kerjasama Leica Store Indonesia, Panna Foto, Bank Permata dan Erasmus Huis ini, Martin berbagi tentang berbagai photobooknya.

Karya Martin unik karena sangat berbeda dengan photojournalist pada jamannya. Sebagian besar meliput perang, ketidakadilan dan kekerasan di berbagai belahan dunia. Tapi Martin Parr malah memotret kehidupan orang biasa yang  belanja di supermarket, atau berlibur di pantai. Foto-fotonya berisi sindiran bagi gaya hidup orang-orang di Inggris, dan saat dia ingin masuk Magnum, banyak juga fotografer-fotografer yang menentangnya karena gaya fotonya tersebut. Bagi Martin, supermarket dan pantai merupakan front line (garis depan) juga, tidak hanya di medan perang.

Dalam Seminar, Martin mengatakan, memotret orang asing tidak mudah, seperti berperang juga, tapi ia senang dengan tantangan tersebut. Pada akhirnya, Martin berhasil masuk agency Magnum, setelah menang tipis dengan selisih satu suara saja. Sebagai informasi, untuk masuk ke agency Magnum, 2/3 anggota Magnum harus menyetujuinya. Di seminar, Martin bangga dengan pencapaiannya dan membandingkan kalau didunia politik, mendapatkan suara 2/3 atau 66% itu kemenangan telak (landslide victory).

Ditanyakan tentang bagaimana pengalamannya sempat menjadi presiden Magnum Photo, agency yang didirikan oleh fotografer legendaris Henri Cartier-Bresson dan Robert Capa, Martin mengatakan pengalamannya seperti herding cats, artinya pekerjaan yang sangat sulit karena anggota-anggotanya memiliki latar belakang yang berbeda dan keinginannya.

Kesan pertama saya bertemu dengan Martin adalah seorang yang bawaannya santai dan sederhana, tapi posturnya sangat tinggi, kurang lebih 185cm. Melihat gaya fotografinya yang seringkali memotret dari jarak yang sangat dekat dengan orang yang tidak dikenalinya, saya pikir sesuatu yang tidak mudah dengan postur tubuh yang tinggi tersebut. Tapi karena Martin orangnya murah senyum dan ramah, saya rasa tidak ada orang yang marah setelah difoto secara candid.

Foto oleh Ruben, @rhapsodyroe

Salah satu ciri utama karya foto Martin adalah membuat foto yang lucu, Martin menghubungkan sifat tersebut dia peroleh saat muda yang senang menonton acara-acara komedi seperti Monty Phyton yang bergaya satire (menyindir). Dia juga tidak mudah tersinggung dan mengambil hati jika ada orang yang menyindirnya, dia malah ikut ketawa saja.

Awalnya Martin memulai perjalanan fotografinya dengan foto hitam putih, tapi lalu dia menyadari warna bisa menarik perhatian orang untuk melihat fotonya dan mengamati lebih jauh makna yang terkandung didalamnya. Maka itu ia sering memotret di kondisi yang cerah dengan warna-warni menarik dan sering juga mengunakan lampu kilat meskipun di luar ruangan.

Di sesi tanya jawab, ada yang menanyakan bagaimana Ia bisa produktif sekali dalam menerbitkan photo book. Martin menjelaskan bahwa bahwa yang penting harus punya banyak foto dulu, dan kalau sudah banyak karya fotonya, maka otomatis dapat membuat photo book dalam jumlah banyak.

Saat ditanya apakah pernah merasa burn-out (Capai, stres dan bosan dalam memotret), Martin menjawab ia tidak pernah merasakan hal tersebut karena ia melihat begitu banyak hal dalam keseharian yang menarik untuk di foto. Salah satu nasihatnya adalah potretlah sesuatu yang akan berubah, seperti kota Jakarta terus berubah, dan jangan terlalu kuatir dengan style/gaya foto, karena hal tersebut akan berkembang dengan sendirinya.

Terima kasih untuk para panitia penyelenggara yang telah mengundang Martin Parr ke Indonesia untuk pertama kalinya.

Mentoring fotografi ke Tangerang, 20 Januari 2018

$
0
0

Halo semua, kali ini agenda mentoring yang kami buat relatif santai, kita akan jalan-jalan di sekitar Tangerang menyusuri kampung dan sungai disana. Tujuannya seperti biasa adalah untuk menjadi ajang menambah pemahaman tentang memotret di lapangan, baik setting kamera, lensa dan juga tekniknya. Di ajang kali ini saya dan Enche akan mendampingi peserta supaya proses belajarnya lebih maksimal.

Spot pertama adalah sebuah kampung yang banyak dihiasi dengan lukisan dan cat aneka warna, yang cocok untuk melatih pengaturan WB dan JPG style baik warna maupun Monokrom/hitam putih di kamera. Anda juga akan dibimbing untuk memilih fokal lensa berapa yang cocok dipilih untuk setiap pemandangan yang dihadapi untuk mendapatkan komposisi yang menarik. Di spot kedua kita akan memotret sunset di pinggir sungai Cisadane di sore hari untuk berlatih memotret pemandangan.

Mentoring ini sangat cocok bagi yang baru belajar fotografi dan ingin memperdalam penggunaan kamera, teknik fotografi dan komposisi. Jumlah peserta dibatasi untuk hasil yang lebih maksimal. Setiap mentor akan membimbing empat peserta saja.

Mentoring ini akan dijadwalkan pada :

Hari : Sabtu, 20 Januari 2018

Jam : 14.00-18.30 WIB

Biaya : Rp. 250.000,- (maksimum 8 peserta, biaya belum termasuk transportasi ke lokasi).

Mentor: Enche Tjin & Erwin Mulyadi

Untuk mempermudah koordinasi, peserta diharapkan kumpul di Infofotografi Green lake city jam 14.00 WIB dan kita akan sama-sama ke lokasi. Tapi bagi yang tinggal di Tangerang bisa mengatur untuk ketemuan di sekitar Tang City mall.

Info dan pendaftaran silahkan SMS/WA ke 0858-1318-3069 dan biaya ditransfer ke BCA atau Mandiri Enche Tjin.

 

Pilihan lensa fix ultra lebar untuk kamera full frame

$
0
0

Pecinta foto landscape, atau juga yang sering foto arsitektur, akan memerlukan lensa lebar. Berapa fokal lensa lebar yang dianggap ideal itu? Seiring perkembangan jaman, fokal lensa lebar mengalami pergeseran dari yang dulu 35mm pun sudah dianggap lebar, lalu selanjutnya beralih ke 24mm. Tapi saat ini fokal 17mm pun bagi sebagian orang dirasa kurang, mereka ingin lebih lebar lagi, kalau bisa 16mm, 15mm, 14mm dan seterusnya, bahkan mendekati atau berimpit dengan fokal lensa fisheye. Yang kameranya full frame mungkin jadi pihak yang paling diuntungkan disini, karena tidak adanya crop factor, maka lebih mudah bila tujuannya mencari lensa yang lebih lebar lagi. Tapi yang pakai sensor APS-C apalagi Micro Four Thirds akan dibatasi oleh desain lensa yang semakin impossible untuk dibuat.

Ilustrasi hasil foto dengan lensa ultra lebar

Tapi tren lensa juga sudah lama bergeser dari lensa fix ke lensa zoom, dan untuk kebutuhan lensa lebar pun produsen mendesain lensanya dengan konsep lensa zoom. Sebetulnya boleh-boleh saja, itu membantu kita juga supaya lebih praktis. Salah satu lensa zoom lebar yang cukup populer dari Canon misalnya, yaitu EF 17-40mm f/4 dianggap memberi rentang fokal ideal dari ultra lebar 17mm hingga ‘hampir’ normal di 40mm. Harga lensanya memang cukup mahal tapi masih bisa ditolelir banyak orang. Tapi karena tren terus bergeser, muncullah lensa baru seperti 16-35mm f/4 yang meski di posisi lebarnya cuma selisih 1 mili tapi itu ‘sesuatu banget’ dalam landscape. Bagaimana dengan harganya? Ternyata harga naik lumayan. Lalu tren bergeser lagi misal muncul lensa zoom 15-30mm bahkan f/2.8 dan 14-24mm f/2.8, yang akibat lebih lebar dan bukaan lebih besar harganya jadi puluhan juta. Belum lama ini Canon pun membuat lensa yang menghebohkan yaitu EF 11-24mm f/4 karena saking lebarnya bahkan masih cukup lebar bila dipakai oleh kamera APS-C, tapi harganya fantastis.

Dari cerita diatas, saya simpulkan dua hal. Pertama kita mesti menentukan batas, berapa sih lebar yang dianggap cukup untuk kita. Makin ingin wide, makin mahal. Oke anggap buat kita lensa 17mm itu sudah cukup untuk dianggap ultrawide, maka keuntungannya harga lensa zoom 17-40mm masih lebih terjangkau daripada lensa 16-35mm misalnya. Kedua, karena rentang zoom di wideangle itu tidak terlalu panjang (dan mungkin kita lebih sering mengejar fokal paling pendeknya dari lensa zoom wide), kenapa tidak cari lensa fix-nya saja (kalau ada). Dengan lensa fix maka ukuran bisa lebih ringkas, kualitas umumnya lebih baik dan tentu harga lebih terjangkau.

Dari pengamatan saya, belakangan semakin marak lensa-lensa fix dengan fokal ultra lebar, yang dirancang untuk kamera fullframe. Bagi kamera APS-C bukannya tidak bisa pakai lensa-lensa ini, tapi sayang saja karena fokal lensanya akan kena crop factor jadi tidak terlalu lebar.

Yongnuo 14mm f/2.8 for Canon, lensa fix yang bisa auto fokus, dan selang beberapa hari kemudian muncul juga Samyang AF 14mm f/2.8 for Canon, pertama kalinya ada lensa auto fokus dari Samyang, baru saja diluncurkan awal tahun 2018 dan sepertinya Samyang yang produsen Korea ini ingin bersaing head-to-head dengan Yongnuo dari China, meski harga Samyang (sekitar Rp 12 juta) cukup jauh lebih mahal daripada Yongnuo.

Irix 15mm f/2.4 yang harganya cukup terjangkau ini rupanya bukan dibuat di Asia tapi di Eropa. Lensa ini hanya bisa fokus secara manual, dibuat dua versi yaitu yang biasa dan yang versi weathersealed. Hanya ada versi untuk DSLR saja. Harga Irix sekitar 7.5-10 juta tergantung weathersealed atau tidak.

Laowa 12mm f/2.8 untuk Canon, Nikon, Sony E. Lensa fix paling lebar yang bisa bukaan f/2.8 ini bakal disukai untuk foto di keadaan gelap seperti foto milky way. Lensa ini hanya bisa fokus secara manual. Harga sekitar 12 juta.

Voigtlander yang merupakan brand dari produsen lensa Cosina sudah lebih dulu mengenalkan lensa fix lebar seperti 15mm f/4.5, lalu 12mm f/5.6 dan kini ada yang bahkan 10mm f/5.6 yang kesemuanya manual fokus. Tercatat lensa 10mm ini adalah lensa wide rectilinear (bukan fish eye) paling lebar yang pernah ada. Mount lensa yang didukung adalah  mount kamera mirrorless seperti Leica dan Sony E-mount untuk sensor full frame seperti kamera Sony A7. Harga lensa Voigtlander sekitar 9-15 jutaan.

Agak beda topik tapi tetap layak dibahas :

Sigma 16mm f/1.4 DC DN merupakan lensa fix ultra lebar juga, tapi diameter dalamnya dirancang untuk kamera APS-C saja, sehingga kalau dipasang di full frame akan mengalami vignetting. Pengguna kamera APS-C seperti Sony A6000 yang membeli lensa Sigma 16mm ini tentu bukan mengejar wide anglenya, karena lensa ini akan ekuivalen dengan 24mm yang mana tidak terlalu lebar. Tapi tentu yang dicari adalah bukaan f/1.4 yang fantastis, cocok untuk interior yang temaram, atau membuat bokeh yang blur sekali. Setidaknya Sigma patut diacungi jempol saat memperhatikan ‘nasib’ pengguna kamera APS-C yang seperti kurang diperhatikan oleh para produsen lensa. Harga Sigma 16mm tidak terlalu mahal, 6.1 juta.

Jadi, pengguna kamera full frame yang mencari lensa dengan fokal ultra lebar, selain lensa zoom wide yang harganya tinggi (diatas 15 juta), pertimbangkan juga lensa fix wide yang relatif lebih terjangkau. Memang lensa fix yang saya ulas ini sebagian tidak bisa auto fokus, dan hanya bisa dipakai di mode manual, tapi semestinya tidak sulit untuk membiasakan memakainya. Untuk lensa fix yang lebih modern tersedia auto fokus seperti dari Samyang dan Yongnuo, misalnya. Untuk pengguna kamera APS-C, tetap lebih baik memilih lensa zoom wide seperti lensa 10-24 atau sejenisnya, mengingat harga lensa semacam ini masih cukup wajar (sekitar 8-12 jutaan) dan juga hingga saat ini belum ada pilihan lensa ultra lebar fix untuk APS-C.


Bagi teman-teman yang ingin memesan lensa lebar, kita akan berusaha membantu, hub WA 0858 1318 3069 atau e-mail infofotografi@gmail.com

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live