Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Mengapa kamera Mirrorless makin besar ukurannya?

$
0
0

Belakangan ini, dari tahun 2017 ke 2018, saya mendapati kamera-kamera mirrorless kelas top/profesional ukurannya semakin besar dan berat, tidak peduli formatnya micro four thirds, APS-C atau full frame.

Contoh saja, beberapa tahun yang lalu, Fuji mengolok-ngolok fotografer profesional yang mengunakan kamera DSLR dan banyak lensa dengan poster seperti dibawah ini:

*CSC = Compact system camera (istilah kamera mirrorless di Amerika Serikat)

Tapi kenyataannya, kamera terbaru Fuji yaitu X-H1, malah tidak sesuai lagi dengan filosofi awalnya. Dibandingkan dengan awal-awal kamera Fuji yaitu X-T1 dan X-T10 yang sangat sukses di pasar Indonesia, X-H1 lebih besar, bahkan mirip dengan kamera DSLR Nikon D7500 (APS-C) dan D750 (Full frame).

Dibandingkan dengan ukuran Nikon D7500 dan 17-55mm f/2.8 (kanan), ukuran kamera mirrorless Fuji X-H1 (kiri) dan 16-55mm f/2.8 mirip, dan berat XH1 dan lensa 1.328 kg, sedangkan D7500 dan lensa yang sebanding totalnya 1.475 kg, tidak berbeda banyak juga

Panasonic GH5 dengan lensa kit 12-60mm f/2.8-4 (kiri). Jika dibandingkan, ukuran kamera dan lensa kit-nya jauh lebih besar daripada Panasonic G1, kamera mirrorless pertama dengan lensa kit 14-42mm.

Kamera mirrorless Sony yang bersensor full frame Sony A9, juga lebih besar daripada A7, kamera mirrorless full frame pertama Sony.

Selain ukuran / dimensi, berat kamera dan lensa juga makin bertambah. Berikut perbandingannya:

Sony A7 : 474 gram + Sony Zeiss FE 24-70mm f/4 : 430 gram. Total = 904 g
Sony A9 : 673 g + Sony FE 24-70mm f/2.8 : 886 gram. Total = 1.556 g

Fuji X-T1 : 381 gram + Fuji XF 18-55mm : 310 g. Total = 691 g
Fuji X-H1: 673 g, Fuji XF 16-55mm f/2.8 : 655 g = Total = 1.328 g

Panasonic G1 : 429 g + 14-42mm : 110 g. Total = 539 g
Panasonic GH5 : 725 gram + Panasonic Leica 12-60mm f/2.8-4 : 320 g. Total = 1.045 g

Ukuran kamera yang menjadi makin besar tidak terelakkan karena peningkatan kualitas elektronik di dalam kamera tidak bisa diminiaturisasi lebih kecil lagi. Komponen seperti baterai, jendela bidik, jika semakin tinggi kualitasnya, fisiknya menjadi lebih besar. Apalagi kalau kameranya perlu di segel supaya aman dari air, debu halus atau suhu yang sangat dingin pasti dimensi fisiknya akan bertambah sedikit banyak.

Kamera yang tidak hanya fokus di foto saja, juga video, memang tidak bisa kecil, dan sebaiknya malah ukurannya besar, supaya tidak terlalu gampang overheat (kepanasan). Contohnya Panasonic GH5, ukurannya cukup besar dan bisa merekam video tanpa batas waktu dan tidak kepanasan.

Kamera mirrorless yang besar-besar memang juga ditujukan khusus kepada fotografer profesional, biasanya mereka membutuhkan spesifikasi yang tinggi, juga pegangan yang besar, karena lebih mantap saat mengunakan lensa yang panjang, dan berkesan Pro.

Leica SL aman digunakan saat bersalju

Flashback satu setengah tahun lalu, saat pertama kali saya memegang Leica SL, kesan awal saya kameranya besar, padahal kamera ini jenisnya mirrorless, tapi setelah saya menanyakan kepada Chairman Leica di Photokina 2016, menjadi jelas bagi saya bahwa kalau mencari kamera mirrorless yang berkualitas, memang ukuran tidak bisa dikompromikan, ya, kecuali kita mau mengorbankan beberapa hal, misalnya tidak ada jendela bidik, atau ukuran sensornya dikecilkan, tidak ada stabilizer di body dan sebagainya, kemudian ia membandingkannya dengan Leica Q, yang kualitas gambarnya mirip, jauh lebih compact, tapi tidak setahan-banting Leica SL.

Pertama-tama saya tidak bisa terima penjelasan ini, karena semua kamera mirrorless saat itu lebih kecil dan ringan, tapi setelah waktu berjalan lewat, saya merasa: “Oh ya benar juga, memang kalau semua komponen kamera dibikin bagus, pasti fisiknya tidak bisa kecil.”

Maka itu, kalau sedang mencari kamera, dan mendapati kameranya berukuran kecil, kita harus kritis, apa yang “missing” atau tidak ada di kamera ini dibandingkan  dengan yang lain. Apakah yang “missing” ini penting atau tidak? Kalau tidak butuh atau tidak penting, bolehlah dipertimbangkan, jika tidak, sebaiknya memilih yang lain.

Dalam tiga tahun terakhir, pembuat kamera berlomba-lomba  membuat kamera yang sempurna, makin canggih memang, tapi ukuran, berat dan harga naik semua.

Ironisnya, kebanyakan orang yang ingin membeli kamera pro yang baru sebagian besar mungkin bukan profesional full time, tapi sebagian besar adalah penghobi fotografi / amatir, dan sebagian kecil lainnya adalah part-time/semi profesional.

Sepengetahuan saya, pasar fotografer profesional beberapa tahun ini agak menurun, dan di saat seperti ini, fotografer profesional jarang ingin membeli kamera baru yang lebih canggih jika kamera lama masih bisa digunakan untuk mencari uang. Membeli kamera baru dirasa kurang bijak karena lama balik modalnya.

Penghobi fotografi memiliki kebutuhan yang berbeda, mereka tidak terlalu sensitif terhadap kenaikan harga, tapi menginginkan kamera yang kecil, kinerja yang bagus dan mudah digunakan. Mudah-mudahan dalam beberapa tahun kedepan, pembuat kamera mulai menyadari hal ini dan membuat kamera yang cocok untuk pencinta fotografi.


Sudah punya kamera? Jangan sia-siakan dengan mengikuti kursus dan trip Infofotografi 🙂


Mencoba Panasonic Lumix DMC-G9 dengan 80MP High-Res Mode dan Stabilisasi 6.5-Stop

$
0
0

Kamera Mirrorless terbaru Lumix G9 hadir dengan sensor 20.3 Megapiksel, yang bisa menghasilkan foto 80 MP High-Resolution Mode, juga punya fitur 5Axis Dual I.S2, dan Stabilisasi 6.5 stop, yang membuat saya ingin mencoba seperti apa kinerjanya. Tapi sebelumnya kita bahas dulu sedikit tentang kamera ini. Panasonic saat meluncurkan kamera Flagship Lumix DMC-G9 (sebuah kamera Micro Four Thirds mirrorless kelas pofesional dengan fitur high-end), telah memberi kesempatan pada kami untuk mencoba unitnya untuk membuktikan seperti apa kelebihannya.

Lumix G9 ini adalah salah satu dari seri Lumix (GF, GX, G dan GH) kamera pro yang lebih menitikberatkan rancangannya kepada still photography. Menurut Panasonic, Lumix G9 ini telah menyempurnakan kualitas gambar yang tinggi dalam pengambilan gambar dengan meningkatkan resolusi, gradasi dan reproduksi warna.

Pada jendela bidik EVF, G9 ini mempuyai lapang pandang 100%, 3.68-juta-dot electronic viewfinder dengan rasio pembesaran 0,83 (setara 35 mm), rasio kontras 10.000: 1, dan jeda waktu minimum kurang dari 0,005. Ini bisa jadi termasuk jendela bidik terbaik di kelasnya yang membuat kita nyaman untuk terus melihat melalui jendela bidik.

Yang baru dan sangat berguna adalah, dibagian atas disamping EVF terdapat layar LCD kecil berisi informasi penting sehingga tidak perlu sering melihat di LCD utama. Bicara LCD utama sendiri G9 mempunyai layar LCD 3 inci dengan 1,04 juta titik dan aspek rasio 3:2 yang dapat dilipat putar untuk kebebasan komposisi memotret atau rekam video. Grip kamera ini mantap saat digenggam, kalaupun dipasang lensa tele tetap pede karena tidak mudah lepas dari genggaman.

Masih banyak lagi spesifikasi dan fitur lain dari G9 ini termasuk dual slot SD, joystick di belakang, dan konektivitas Bluetooth / Wi-Fi. Intinya adalah sensor CMOS Micro Four Thirds 20,3 megapiksel ini setelah menghilangkan filter low-pass nya kini ketajaman gambarnya mengalami peningkatan. Selain memotret foto 20MP, kamera ini juga memiliki mode Resolusi Tinggi (High-Res Mode) dari gabungan 8 eksposur hasil dari sensor shift yang didapat dari kemapuan IS di dalam kamera menjadi foto JPEG atau RAW 80-megapiksel. Saya mencoba mode ini untuk foto interior arsitektur yang penuh detail dan terkesan dengan kemampuan Lumix G9 menangkap detail 80 MP melalui gabungan foto di dalam kamera (wajib pakai tripod).

Foto dengan High-Res Mode 80Mpx – Lumix G9 – Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm f/2.8-4  @12mm | f/4 | 1s | ISO 200 |

 

Cropping detail ornamen diatas mimbar sebelah kanan masih sangat jelas.

Selain kemampuan High Resolution mode, masih banyak kecanggihan lain yang ditawarkan semisal Dual IS 5 axis yang memberi stabilisasi hingga 6,5 stop, kemudian ada 6K photo dan fitur lain seperti HDR, Timelapse dan Post Focus.

Lumix DMC G9 – Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm f/2.8-4 ASPH MFT @ 40mm | f/4 | 1/2s | ISO 200 | slow speed handheld

Di akui juga, G9 memiliki sistem Body IS (Image Stabilizer) hingga 6.5 stop efek stabilisasi, terlepas dari apakah Anda menggunakan lensa Lumix Dual IS2.0 yang kompatibel untuk stabilisasi berbasis lensa juga. Kamera mengkompensasi guncangan dengan menggunakan data dari sensor gyro, gambar, dan accelerometer. Foto diatas contoh hasil dengan Dual IS, saya ambil dengan shutter 1/2 detik masih tajam.

Untuk autofocus, G9 mencapai kecepatan tercepat dari kelas kamera ini 0,04 detik dengan menggunakan 225 titik AF. Mode AF meliputi Face / Eye Recognition, Tracking AF, AF 1-area, dan AF tetap.

Sistem AF menggunakan teknologi yang dikenal sebagai DFD, atau Depth From Defocus, yang “menghitung jarak ke subjek dengan mengevaluasi dua gambar dengan tingkat ketajaman yang berbeda sambil langsung mengkonsultasikan data karakteristik optik dari lensa saat ini,” kata Panasonic.

Kecepatan pemotretan yang terus menerus G9 ini juga diakui memiliki kecepatan burst tercepat di 20fps dengan fokus otomatis terus menerus menggunakan rana elektronik, dan 60fps dengan satu fokus otomatis saja untuk foto beresolusi penuh. Dengan shutter mekanis, kamera bisa memotret 9fps dengan AF kontinu dan 12fps dengan AF single. Satu lagi yang sangat menarik adalah fitur PHOTO 6K yang memungkinkan Anda mengekstrak foto 18 megapiksel dari bidikan 6K pada 30fps.

Lumix DMC G9 – Lumix G 20mm f/1.7 ASPH | f/2 | 1/2000s | ISO 800 | 6K photo

Secara umum impresi setelah mencoba kamera ini sangat positif karena G9 sebagai kamera flagship berhasil menunjukan kemampuan dan fitur tercanggih yang bisa dimanfaatkan oleh fotografer profesional yang perlu kecepatan tinggi, atau memotret di keadaan ekstrim, atau yang perlu resolusi sampai 80 MP, dengan ukuran dan harga yang tidak terlalu memberatkan.

Canon mirrorless pemula dengan jendela bidik, EOS M50

$
0
0

Canon menghadirkan satu lagi kamera mirrorless bernama EOS M50 dengan segmentasi pemula namun sudah dibekali dengan jendela bidik dan flash hot shoe. Posisi M50 ini bisa dibilang ada diantara M100 dan M5, dan punya sederet fitur dasar yang oke seperti sensor APS-C 24 MP, prosesor Digic 8 dan Dual pixel AF yang lebih luas (dengan lensa tertentu).

Secara fisik kamera berbobot 350g ini termasuk cukup ideal dengan ukuran kecil tapi ada sedikit grip, ada layar LCD lipat putar (bisa untuk vlog), dan ada mic input juga. Hanya ada satu roda kendali saja di bagian atas dan selebihnya diharap penggunanya memaksimalkan layar sentuh khas Canon yang terkenal mudah. Kinerja kamera karena ada di segmen basic maka tidak terlalu ‘wah’ dengan 7 fps foto berturut-turut (mode fokus AF-C), kabar baiknya area fokus meningkat dari 49 area ke 99 area, dan kini ada deteksi mata untuk fokus lebih cepat ke wajah.

Apa yang baru di Canon ini?

Pertama adalah untuk pertama kalinya diperkenalkan video 4K UHD di kamera kelas menengah ke bawah Canon. Ya ini adalah tanda bahwa kamera selanjutnya entah penerus 80D, penerus EOS M5 dst akan ada 4K juga, akhirnya. Meski demikian, untuk menghindari proses pixel binning, Canon menempuh cara mudah dengan hanya melakukan crop 1,6x dari ukuran sensor, yang artinya video akan jadi lebih tele. Lensa 24mm misalnya, akan setara dengan 40mm saat memotret, tapi akan kena crop lagi jadi setara lensa 60mm. Selain itu Dual pixel AF tidak berfungsi bila merekam video 4K, meski tetap bisa dipakai saat rekam FUll HD 1080.

Kedua, untuk kali pertama juga diperkenalkan file RAW baru .CR3 yang lebih efisien data sehingga ukuran tidak terlalu besar. Semoga Adobe Lightroom segera membuat update untuk RAW baru ini.

Jendela bidik OLED di M50 termasuk sedang dengan 2,3 juta dot meski terlihat tidak terlalu besar. Fitur lain seperti konektivitas tidak perlu kuatir, WiFi NFC dan Blutooth tentu ada. Baterai diuji hanya bisa dipakai 235 kali jepret, dan tidak bisa diisi daya via USB.

Opini saya

Saya senang Canon kembali merilis produk untuk kelas bawah tapi memberi fitur yang esensial seperti jendela bidik (meski bukan yang kelas atas), hotshoe, roda P-Tv-Av-M, layar lipat, mic input dan hasil foto yang baik. Bonusnya tentu adalah 4K yang memang sudah seharusnya dari dulu diberikan. Dengan bandrol harga $900 dengan lensa kit, agaknya terlalu muluk kalau berharap kamera ini punya performa yang tinggi atau bodi weathersealed, tapi untuk kebutuhan sehari-hari, travel maupun video kamera ini sudah mencukupi. Yang saya keluhkan (sama seperti di M100) adalah tidak bisa mengisi daya baterai via kabel USB. Ke depan saya pikir Canon perlu banyak menambah lensa EF-M supaya lebih banyak orang yang tertarik untuk melirik sistem EOS M ini.


Ikuti acara kupas tuntas kamera digital untuk mengenal dan memaksimalkan fitur-fitur di kamera Anda.

 

Sony A7 mk-III hadir, semakin penuh fitur di kelas menengah

$
0
0

Dari luar nyaris sama dengan Sony A7R III, tapi selisih harga jauh berbeda, sambutlah generasi ketiga dari kamera mirrorless full frame Sony A7 yang tetap mempertahankan ciri sebagai kamera serbaguna untuk sehari-hari (24 MP, 5 axis IBIS, 4K video dsb) tapi kinerja ditingkatkan dan dengan bodi sama dengan A7R III. Apa saja yang saya suka dari A7R III yang tentunya ditemui juga di A7 III ini? Sebutlah misalnya joystick, dual slot SD dan tombol AF-ON. Belum lagi baterainya yang dulu identik dengan cepat habis, kini bisa bertahan sampai 700 kali memotret dalam satu kali charge.

Meski sensornya masih sama 24 MP, tapi teknologi didalamnya disempurnakan (seperti di A7R III) dan kini bisa mendapat 15 stop dynamic range, juga bisa sampai ISO 51200 (bisa ditingkatkan hingga ISO 204800) dan juga bisa memotret sampai 10 fps sampai 177 foto tanpa henti.

Urusan auto fokus juga meningkat dibanding A7 II, dengan mewarisi kemampuan 4D focus pada A9, di kegelapan hingga -3 Ev masih bisa auto fokus, dan bila bicara angka maka terdapat 693 titik fokus pendeteksi fasa (wow) di area seluas 93% dari frame.

Dalam hal video meski Sony juga punya A7S II untuk video, tapi di A7 III juga disediakan 4K video full pixel readout tanpa pixel binning, dengan S-log3 yang bisa disimpan ke SD card (8 bit 4:2;0) maupun ke HDMI out (8 bit 4:2:2). Terdapat juga 4K HDR video (hybrid log gamma) untuk keadaan kontras tinggi.

Dengan persaingan kamera dewasa ini yang terus meningkat, Sony A7 III membuat konsistensi dalam inovasi yang perlu diapresiasi, juga beruntung karena mendapat warisan desain dan teknologi dari kakaknya seperti A7R III dan A9, dan belajar/mendengarkan dari apa yang diminta oleh penggunanya. Kabar baiknya, generasi A7 adalah generasi umum yang tidak terlalu mahal (beda dengan A7R yang mengedepankan resolusi tinggi atau A7S yang spesialis di video), A7 dari dulu selalu laris karena bisa dipakai oleh banyak pihak dan fiturnya dianggap mencukupi untuk kebutuhan fotografi basic. Tapi saat generasi ketiga hadir, artinya Sony sudah melakukan 2x perbaikan dari A7 (2013) dan A7 II (2015) yang tentunya banyak keuntungan bagi yang membeli A7 III ini. Kamera ini saat diumumkan harganya adalah dibawah $2000 bodi saja.


Ikuti kursus dan tur fotografi bersama kami untuk menambah pengetahuan dan pengalaman anda. Simak agenda selengkapnya di halaman ini.

 

 

Peluncurkan Lumix G9 – Kamera Fotografi Terbaik

$
0
0

Panasonic kembali membuat kejutan memasuki usia ke 100 tahunnya dengan peluncuran kamera Panasonic Lumix G9 di Prohibition Senayan, Jakarta. Peningkatan resolusi di 20.3 megapixel Digital Live MOS Sensor tanpa low-pass filter, 5-axis Dual Image Stabilizer 2 yang memungkinkan kita menggunakan speed 6.5 stop lebih lambat tanpa harus takut akan hasil yang blur akibat goyangan saat dipegang tanpa alat bantu tripod, AF tercepat hingga 0.04 detik, slot kartu memori SD ganda merupakan beberapa fitur unggulan yang dijelaskan oleh Agung Ariefiandi selaku Digital Imaging Product Marketing Manager PT Panasonic Gobel Indonesia.

Penjelasan Agung Ariefiandi tentang peningkatan G9

Kutipan “Never miss the moment” memang sangat cocok disanding kamera ini dengan adanya fitur 4K/6K Photo dimana pengguna bisa merekam suatu kejadian/aksi dengan foto berturut-turut berkecepatan tinggi (60fps/30fps). Selain itu, ada juga mode Pre-burst shooting yang sudah merekam foto sesaat sebelum shutter ditekan. Fitur unggulan diterangkan secara rinci oleh Erwin Mulyadi dan Hendro ‘Momi’ Poernomo dari Infofotografi.com yang telah mencoba kamera ini dalam sebulan terakhir dan membuktikan kemampuan High Resolution Mode yang dapat menghasilkan foto 80 megapiksel dalam format JPEG/RAW di kamera. Tak hanya sesi sharing, mereka berdua juga memperagakan fitur 4K/6K secara langsung dengan merekam atraksi fire juggler serta foto still life high-res.

Hendro Poernomo dan Erwin Mulyadi dalam sesi sharing pengalaman menggunakan kamera canggih ini

Sesi demo yang disambut antusias oleh para undangan

Hasil foto ditampilkan secara langsung ke layar monitor

Selain memiliki Live View Finder terbesar di kelasnya kira kira 1.66x/ 0.83x (setara kamera 35mm), kamera ini juga mendukung penggunaan di medan yang berat karena memiliki bodi yang tahan benturan, debu, cipratan air dan cuaca hingga -10 derajat celcius. Bagi Anda yang tertarik, kamera ini dijadwalkan akan tersedia di pasaran Indonesia pada pertengahan bulan Maret harga Rp 22.990.000 (body only).

Workshop Memotret foto keren dengan kamera mirrorless

$
0
0

Halo pembaca dan pecinta fotografi, kali ini kami umumkan sebuah workshop spesial yang berbeda dari biasanya. Pada workshop kali ini kami akan mengupas banyak tentang seluk beluk, fitur dan teknologi kamera mirrorless terkini beserta tips untuk berbagai situasi pemotretan. Di kesempatan workshop kali ini saya Erwin Mulyadi dan Iesan Liang akan membahas tentang :

  • Memilih lensa yang compact tapi berkualitas untuk travel
  • Mengulas setting kamera terbaik untuk foto landscape dan cityscape
  • Membekukan subjek yang bergerak sangat cepat
  • Setting untuk mendapatkan foto yang tajam dikondisi gelap/kurang cahaya
  • Memanfaatkan fitur-fitur canggih tapi tersembunyi di kamera mirrorless

Foto cityscape Jakarta dengan Lumix G9, lensa Leica 12-60mm

Acara ini akan dijadwalkan pada :

  • Hari : Minggu, 1 April 2018
  • Waktu : 13.00-16.30 WIB
  • Biaya : Rp. 50.000,-
  • tempat : infofotografi Rukan Sentra Niaga Blok N-05 Duri Kosambi Jakarta Barat

Di acara kali ini kami bekerja sama dengan Panasonic Indonesia, sehingga peserta juga bisa mencoba beberapa kamera dan lensa Panasonic Lumix & Leica untuk dicoba langsung.

Jangan lewatkan kesempatan yang sangat baik ini. Jumlah peserta terbatas, maksimum 20 orang dan terbuka untuk pengguna kamera merk apa saja.

Untuk mendaftar silahkan hubungi Iesan Liang 0858-1318-3069 dan mentransfer biayanya ke rek Bank BCA: 4081218557 via Bank Mandiri: 1680000667780.

Foto landscape dari RAW diolah ke JPG, dengan Lumix G7 lensa 35-100mm f/2.8

Foto di keadaan low light, Lumix GX85 dan lensa Leica 15mm f/1.7

Memakai mode 6K photo di Lumix G9, lensa 25mm f/1.4

Foto kontras tinggi dari RAW diolah ke JPG, dengan Lumix G9, lensa Leica 12-60mm

Memakai mode 6K photo di Lumix G9, lensa 20mm f/1.7

Tour foto Kamboja 1-5 Desember 2018

$
0
0

Kamboja adalah negeri yang menarik karena memiliki peninggalan candi-candi dalam jumlah banyak dan besar. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah sebagian besar candi masih dalam kondisi reruntuhan, seperti saat ditemukan oleh penjelajah, sehingga menimbulkan kesan romantis.

Infofotografi sudah berulangkali dan mengadakan tour ke Kamboja, dan setiap kali kembali selalu mendapatkan foto yang baru dan segar. Cocok bagi yang menyukai foto arsitektur, human interest dan budaya. Akhir tahun 2018 ini, kami berencana mengadakan photo trip ke Kamboja kembali. Bulan Desember cuaca sangat bersahabat di Kamboja, jarang hujan dan tidak terlalu panas, rata-rata suhu 20-25 derajat Celcius.

Angkor Wat Sunrise by Enche Tjin

Itinerary (Susunan acara)

Sabtu, 1 Desember 2018

  • Mendarat pukul 15.45, langsung menuju hotel untuk check-in
  • Setelah makan malam, acara bebas mengunjungi pasar malam.

Minggu, 2 Desember 2018

  • Memotret sunrise di Prasat Bakong
  • Memotret di kompleks candi Koh Ker
  • Bayon temple, candi dengan ratusan menara dengan wajah raksasa

Senin, 3 Desember 2018

  • Setelah sarapan mengunjungi candi Ta Phrom yang terkenal dengan jungle temple, lokasi syuting Tomb Raider
  • Mengunjungi candi Preah Khan
  • Berkunjung ke atas candi Phnom Bakheng untuk memotret sunset

Selasa, 4 Desember 2018

  • Memotret Sunrise di Angkor Wat, dilanjutkan dengan menjelajahi interior Angkor Wat
  • Setelah makan siang, menuju area pedesaan untuk memotret human interest dan sunset
  • Makan malam dan menyaksikan tari-tarian tradisional kamboja

Rabu, 5 Desember 2018

  • Setelah breakfast, rombongan check-out dan menuju Kampong Khleang, perkampungan dipinggir danau Tonle Sap untuk memotret human interest, kita juga akan menyusuri permukiman terapung di tengah danau Tonle Sap, danau terbesar di Kamboja.
  • Menuju Airport untuk kembali ke tanah air. Pesawat pukul 16.30.

Beberapa foto hasil jepretan pembimbing Enche Tjin dalam berbagai kunjungan ke Kamboja:

Pagi hari di candi Bakong

Sunset di area pedesaan

Candi Ta Phrom

Kompleks candi Koh Ker

Biaya tour : US$550
Maskapai pilihan : Air Asia (opsional) sekitar Rp. 3-3.5 juta

  • Single supplement (tambah $190)

Maksimum peserta: 16 orang

Biaya telah termasuk

  • Akomodasi standar, hotel 3 bintang
  • Sharing sekamar berdua
  • Transportasi dengan van/bis AC
  • Makan selama di Kamboja
  • Minuman air mineral dingin dua botol sehari
  • Tiket masuk objek wisata
  • Tiket naik perahu di danau Tonle Sap
  • Bimbingan fotografi oleh Enche Tjin
  • Pelayanan pemandu lokal

Belum termasuk

  • Tiket pesawat
  • Tip guide/supir minimum US$4 per hari ($20)
  • Acara optional dan belanja pribadi

Pertanyaan dan info: 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com

Catatan: Susunan acara bisa berubah sesuai dengan kondisi cuaca dan keadaan di lapangan.

Apakah lensa M43 Panasonic Leica benar-benar lensa Leica?

$
0
0

Banyak yang menanyakan kepada saya tentang apakah lensa Panasonic Leica benar dibuat oleh Leica? Ada yang  bahkan meragukan kesamaan kualitas lensa-lensa merk Leica untuk sistem micro four thirds.

Sebagian orang beranggapan bahwa branding Leica terutama pada kamera kompak pada awalnya hanya sebatas gimmick merk dagang karena daya tarik merk lensa yang buatan Jerman pasti akan mempunyai nilai jual lebih di pasar, jadi mereka pergi ke Leica dan membuat kesepakatan dengan mereka. Saat itu Panasonic sama sekali tidak berkecimpung dalam bisnis kamera, karena memang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam fotografi film/analog.

Lensa Leica DG-Vario 12-60mm f/2.8-4 ASPH (kiri) – Lensa Lumix G Vario 12-60mm f/3.5-5.6 ASPH (kanan)

Tetapi sebetulnya Panasonic Yamagata Lens Factory telah mengembangkan teknologi lensa selama sekitar 20 tahun seperti lensa aspherical, yang jauh melampaui kemampuan banyak produsen lain di industri ini pada saat itu. Tapi Panasonic belum memiliki pengalaman dalam membuat kamera dan lensa digital.

Singkat cerita akhirnya kedua perusahaan menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengembangkan peralatan-peralatan audiovisual digital (video kamera) pada tahun 2000 dan setuju untuk bekerja sama di sektor kamera digital (still kamera) tahun 2001, produksi pertamanya Panasonic DMC-LC5 dengan mengusung lensa “Leica DC Lens”

Keluarga besar lensa Lumix dari panjang fokus 7mm -400mm (14-800 kesetaraan) plus satu lensa 3D

Berdasarkan apa yang saya dengar dan yang saya baca selama mereka bekerja sama bertahun-tahun, terdapat beberapa lensa yang dirancang oleh Leica dan diproduksi oleh Panasonic sesuai standar QC (Quality Control) yang disepakati oleh Leica, yang lainnya dirancang oleh Panasonic yang kemudian berkonsultasi dengan Leica untuk mendapatkan persetujuan untuk menggunakan nama tersebut, kemudian diproduksi oleh Panasonic.

Kerjasama ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan oleh kedua belah pihak saling menguntungkan, Leica mendapatkan keuntungan dari pengetahuan Panasonic tentang elektronik digital dan Panasonic mendapatkan manfaat dari pengetahuan dan pengetahuan manufaktur optik/lensa dari Leica.

Munculnya nama Lumix

Ketika teknologi optik Leica terkonvergensi dengan teknologi digital Panasonic, timbullah cahaya baru yang terang – LUMIX – The eye of a Leica, the heart of a Panasonic.

Mereka merangkai nama LUMIX dari kata “luminance” dan “mix,” seperti dalam mencampurkan berbagai hal secara bersamaan. LUMIX mewakili kristalisasi teknologi dari dua perusahaan yang sama sekali berbeda, masing-masing kuat di bidangnya. Kekuatan besar ini (teknologi optik dari Leica dan teknologi pencitraan digital dari Panasonic) menyelaraskan perbedaan budaya dan pengalaman untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Apa yang menarik mereka bersama adalah tujuan yang sama: memberi orang kemampuan untuk membuat foto sebagai karya seni terbaik. Tujuan ini berfungsi sebagai dasar kerjasama kemitraan antara Leica dan Panasonic yang membantu merevolusi dunia lensa kamera digital.

Foto Gereja Cathedral Jakarta dengan lensa Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm, f/2.8-4.0 ASPH

Supaya lensa bisa mencapai memenuhi syarat untuk menyandang merk Leica, parameter desainnya haruslah sangat tinggi. Panasonic bertanggung jawab penuh atas desain dan pembuatan lensa merek Leica, namun semuanya harus tunduk pada persetujuan oleh Leica sebelum lensa tersebut dapat dikomersialisasikan. Desain yang diusulkan diajukan ke Leica, yang kemudian menyarankan perubahan, dan prosesnya bisa berulang-ulang kali sampai Leica akhirnya menyetujui desainnya.

Perbedaan dalam kinerja lensa dan toleransi manufaktur sangat jelas antara lensa bermerek Lumix dan Leica. Selain tingkat MTF (Modulation Transfer Function) yang tinggi, penyimpangan koma dan distorsi dilakukan dengan standar yang sangat ketat di Leica. Begitu standar tersebut telah disetujui oleh Leica, Panasonic kemudian harus mengikuti standar manufaktur Leica yang sangat ketat. Dan setelah semua persyratan tersebut telah dipenuhi, maka lensa tersebut bisa disetujui untuk menyandang nama Leica – Panasonic Leica DG.

Dibandingkan dengan lensa seri Lumix G, yang tunduk pada beberapa standar industri tertinggi, lensa Leica adalah peringkat lain di atas. Ini bukan hanya tentang kekuatan penyelesaian, tapi juga penekanan yang sangat tinggi pada kualitas fotografi.

Foto oleh Mitchell Karnashkevich dengan lensa Leica DG Nocticron 42.5mm, f/1.2 ASPH

Maksud dari kualitas foto, mengacu pula pada kualitas bokeh, dan ketajaman dari tepi-ke-tepi. Sebagai contoh, bokeh dipengaruhi oleh berbagai jenis penyimpangan, dan Leica akan menyarankan bahwa dengan menyesuaikan penyimpangan dengan cara tertentu, bokeh yang lebih lembut dapat dicapai.

Melalui jenis masukan ini, IQ lensa tentu saja meningkat, dan Panasonic membangun pada pengetahuan itu, sehingga nantinya bisa digunakan untuk memperbaiki rangkaian lensa-lensa seri G.

Pada tanggal 19 September 2014, Panasonic Corporation dan Leica Camera AG telah memperpanjang kesepakatan kemitraan mereka dan sepakat untuk memperluas dan memperkuat kerjasama teknologi mereka di bidang kamera digital.

Perjanjian tersebut mencakup perpanjangan perjanjian lisensi untuk penggunaan merek dagang Leica pada produk kamera digital Panasonic serta perluasan dan penguatan kerjasama teknologi antara kedua perusahaan tersebut.

Berdasarkan kesepakatan ini, Panasonic akan dapat mengkomersilkan produk kamera digital dengan lensa Leica selama lima tahun ke depan, mulai Oktober 2014 sampai September 2019, sementara Leica dapat melalui perluasan dan penguatan kerjasama teknologi untuk memanfaatkan teknologi digital Panasonic dengan sendirinya. pengembangan produk. Kesepakatan tersebut akan memungkinkan kedua perusahaan untuk meningkatkan daya saing produk dengan menggabungkan teknologi optik Leica dan teknologi digital Panasonic.

Sejak saat itu, kedua perusahaan telah membangun hubungan kerjasama dalam teknologi optik dan kontrol kualitas, dan membawa kamera digital berkinerja tinggi dan berkualitas tinggi ke pasar dengan memadukan teknologi optik Leica yang superior dengan teknologi digital Panasonic seperti pemrosesan gambar.

Kesimpulan Saya

Memang ada perbedaan walaupun tidak banyak antara lensa Lumix dan Leica. Lensa Panasonic Leica juga memang tidak dibisa disebut murni Leica karena bahan baku gelasnya serta fabrikasinya bukan langsung dari Leica.

Leica tidak memproduksi lensa apapun untuk Panasonic. Merk Leica hanya berarti lensa sesuai dengan standar Leica yang ketat, dan semua lensa Panasonic Leica DG ini dijamin setara dengan kuaalitas lensa-lensa yang dibuat Leica di Jerman.

Ciri khas lensa Fix (prime lens) Panasonic Leica adalah adanya gelang aperture dilensanya

Panasonic Lumix G Lens

Penekanan lensa Lumix adalah di ukuran / berat yang ringkas & harga yang terjangkau. Lensa Panasonic Lumix G dibuat dan dirancang sendiri oleh Panasonic sebagai pembuat lensa aspherical presisi tinggi di dunia, merampingkan ukuran lensa (lensa-lensa pancake) dan memperbaiki kinerjanya. Panasonic juga mengembangkan teknologi presisi sub-mikron dan teknologi produksi massal yang sesuai dengan kebutuhan Leica Camera AG dengan teknologi yang dimiliki oleh Leica

Panasonic Leica DG Lens

Penekanannya lebih pada kualitas gambar tanpa kompromi. Lensa Panasonic Leica DG dibuat dan dirancang oleh Panasonic dibawah pengawasan yang ketat. Leica dan Panasonic menjadi mitra strategis pada tahun 1997. Untuk mendapatkan sertifikasi dari Leica, Panasonic harus bekerja sangat keras untuk mencapai lensa yang memiliki kinerja tinggi, resolusi tinggi, penyimpangan minimal, dan efek bokeh yang menyenangkan dan lembut. Tradisi Leica dengan performa terbaik di bukaan lebar, disertai dengan resolusi tinggi, bokeh halus dan tekstur kulit yang halus.

Gambar diatas adalah tiga Lensa Zoom terbaru dari Panasonic Leica – Leica DG Vario-Elmarit 12-60mm f/2.8-4.0 ASPH – Panasonic Leica DG Vario-Elmarit 8-16mm f/2.8-4.0 ASPH – Panasonic Leica DG Vario-Elmarit 50-200mm f2.8-4.0 ASPH

Dan yang terbaru keluar pada tahun 2018 ini adalah lensa telefoto fix – Panasonic Leica DG Elmarit 200mm f/2.8 ASPH.

Demikian ulasan saya tentang lensa Panasonic Lumix dan Leica untuk sistem micro four thirds. Semoga pembaca mendapatkan info yang jelas tentang hal ini.


Infofotografi menyelenggarakan workshop foto keren dengan mirrorless, jangan lewatkan kesempatan ini. Terbuka bagi pengguna berbagai jenis kamera.


Workshop Food Photography

$
0
0

Food Photography salah satu aliran fotografi yang tidak luput digemari fotografer, dan belakangan ini juga banyak sekali bermunculan restaurant, cafe baru dengan menu baru bahkan unik. Sebagai fotografer makanan kita dituntut untuk membuat foto makanan yang dari makanan asli agar lebih menarik dan menggugah selera bagi orang yang melihatnya.

Jika suatu restaurant mempunyai foto makanan yang kurang menarik dalam buku menu atau promosi makan peminat pembeli akan berkurang karena makanan tersebut tidak dapat meningkatkan nafsu makan pemirsa.

Disini kita akan mempelajari bagaimana mendapatkan foto makanan agar menggugah selera bagi yang melihat yaitu dengan settingan kamera, cahaya, komposisi, perpaduan warna, ornamen dan tata letak.

Peserta minimal sudah mengerti settingan dasar fotografi (iso, diafragma dan shutter) dan memiliki kamera yang bisa di setting manual. Disarankan peserta memiliki tripod dan flash.

Konsep workshop ini adalah pertama-tama akan diberikan teori dan contoh di Infofotografi.com Rukan Sentra Niaga Blok N No. 05, Jakarta Barat setelah itu dilanjutkan dengan praktik memotret di rumah makan makanan Thailand.

Di restoran tersebut, peserta di wajibkan untuk memesan makanan dan minuman masing-masing untuk kemudian dipotret dengan komposisi dan pencahayaan yang baik dengan cahaya alami dan flash.

Instruktur fotografi akan memberikan pengarahan dan feedback kepada peserta supaya teknik fotonya lebih baik.

Workshop ini akan diadakan pukul 14.00-17.00 WIB. Hari Minggu, 18 Maret 2017

Biaya workshop ini adalah Rp 400.000

Workshop dibatasi maksimum 8 orang saja.

Silahkan mendaftar ke Iesan 0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com

Setelah itu, transfer biaya workshop ke Enche Tjin via BCA 4081218557 dan Mandiri 168000066780, dan kemudian konfirmasi ulang kepada Iesan.

Instruktur fotografi

Martinus Chen adalah fotografer komersil yang bergerak di bidang produk dan makanan, dan pendiri MaJo Photography untuk Jasa foto liputan seperti Wedding dan event.

Belajar fotografi: Tips Membuat foto yang bagus dengan kamera biasa

$
0
0

Ada pertanyaan yang cukup menarik yang saya terima via klinik foto detikinet. Salah satunya adalah:

Bagaimana membuat hasil foto yang bagus meski dari kamera biasa. Banyak artikel fotografer ditantang untuk membuat foto dari kamera murah hingga tempat yang jelek. Mereka diharuskan membuat sebuah foto yang seperti dari kamera profesional. Adakah tips triknya?

Untuk mendapatkan foto yang menarik tanpa kamera dan alat yang canggih, dibutuhkan kemampuan melihat dan mengolah foto yang baik.

Pertama adalah kemampuan melihat cahaya, diantaranya sifat cahaya dan arah cahaya. Kadang subjek yang biasa saja, tapi dengan cahaya yang dramatis dapat membuat hasil foto yang memukau.

Contohnya saat saya berkunjung ke sebuah kelenteng di Singkawang dalam trip Infofotografi, saya melihat ada cahaya yang kuat menyinari langsung ornamen naga, sedangkan latar belakangnya tidak terkena sinar. Hasil fotonya jadi menarik karena ada kontras antara subjek dan latar belakangnya.

Pemilihan subjek yang dipotret juga menentukan apakah foto yang dipotret menarik atau tidak. Contohnya jika kita memotret sampah, sebagus-bagusnya cahaya atau komposisi kita, tapi sampah tetap saja sampah. Istilah kerennya Garbage In, garbage out.

Kedua, komposisi dan ide dalam foto juga sangat menentukan. Komposisi berarti peletakan subjek, elemen-elemen lain, background supaya kesannya teratur/teroganisir. Jika komposisi tidak diperhatikan, maka foto akan terkesan asal jepret/snapshot. Komposisi yang bagus juga merupakan modal untuk sebuah foto untuk bercerita.

Contohnya foto dibawah ini subjeknya biasa saja, tapi karena momen dan komposisinya pas, maka foto ini jadi menceritakan pekerjaan dan lingkungan pekerjaan subjek foto.

Editing foto juga berperan penting untuk menyempurnakan hasil foto dari alat foto sekedarnya. Ketajaman, kontras dan distorsi/penyimpangan lensa dapat kita betulkan dan membuat kesan foto dibuat dengan alat foto yang lebih bagus.

Contohnya foto sesaat matahari terbenam ini sebenarnya warnanya agak kusam, tapi dengan editing dengan Lightroom yang hati-hati dapat mengeluarkan warna dan detail yang lebih menarik.

Semua hal diatas bisa dilatih dan tidak membutuhkan peralatan yang terlalu canggih/mahal. Semoga membantu.


Bagi teman-teman yang ingin belajar fotografi baik di dalam dan luar ruangan, silahkan menyimak jadwal kursus dan trip Infofotografi.

Mengulas tiga mirrorless baru : Sony A7 III, Fuji X-H1 dan Lumix G9

$
0
0

Beberapa bulan terakhir ini ramai berita soal hadirnya kamera-kamera mirrorless baru yang semakin canggih, diawali dengan Panasonic Lumix G9 sebagai produk flagship untuk fotografi, lalu dalam waktu hampir bersamaan FujiFilm menghadirkan Fuji X-H1 yang berkonsep hybrid (sama okenya buat foto maupun video), dan Sony membuat generasi ketiga dari A7 sebagai kamera mirrorless yang full frame dan serbaguna. Bagaimana ulasan saya tentang ketiganya, simak di artikel kali ini..

Ketiga kamera mirrorless ini pada dasarnya sama-sama menarik, ketiganya menawarkan banyak fitur dan kinerja tinggi. Tapi bila dirunut dari sejarahnya, ketiga kamera ini ceritanya beda-beda. Sony A7 dikenal sebagai kamera mirrorless full frame yang laris, banyak dipilih untuk menghidupkan lagi lensa lama, meski kameranya cukup basic secara fitur. Di generasi kedua banyak peningkatan yang didapat khususnya soal auto fokus, Sony A7 II juga banyak disukai karena ada 5 axis IS di sensor. Di generasi ketiga ini meski Sony A7 III masih memakai sensor full frame 24 MP, tapi meningkatkan spesifikasi auto fokus, 4K video, dan hal-hal penting lain.

Sebutlah misalnya dual slot SD card, joystick, bodi weathersealed, dan port headphone. Dari sisi baterai juga menjadi lebih baik (karena baterainya beda dengan sebelumnya) sehingga bisa memotret lebih lama. Dari bodinya A7 III mirip sekali dengan kamera flagship A9 kecuali di sisi roda dial kiri atas yang hanya ada di A9.

Fuji yang tetap bertahan dengan sensor APS-C sebetulnya sudah punya X-T2 sebagai kamera unggulan di kelas semi pro, dengan harga dan fitur yang termasuk tinggi. Hadirnya Fuji X-H1 sebetulnya agak mengagetkan karena seperti akan saling overlap dalam spesifikasi.

Tapi konsep Fuji X-H1 adalah menjadi kamera yang selain oke buat foto, juga mantap buat video (video tadinya adalah hal yang biasanya agak diragukan orang saat pakai sistem Fuji). Maka itu Fuji X-H1 menawarkan fitur video lengkap, dengan 4K 200 Mbps, F log gamma internal dan jangan lupakan in body IS untuk kali pertama di sistem Fuji. Dari fisiknya X-H1 seperti kamera medium format Fuji GFX, dengan top LCD kecil di bagian atas, dengan layar LCD yang bisa dilipat dengan unik seperti di X-T2.

Panasonic sendiri menjadikan Lumix G9 sebagai kelanjutan rutin di seri G, sekaligus mendampingi GH5 yang lebih ditujukan buat video. Daya jual sistem micro Four Thirds adalah di ukuran lensanya khususnya untuk telefoto. Maka kamera buatan Panasonic (dan juga Olympus) bila dipadukan dengan lensa tele akan jadi solusi ideal untuk satwa liar, olah raga yang jaraknya jauh dan travel.

Lumix G9 menawarkan kecepatan kinerja baik dari memotret kontinu ataupun auto fokus, dengan harapan bisa dimanfaatkan oleh fotografer aksi. Di Lumix G9 juga ditemui mode High Resolution yang akan menghasilkan foto 80 MP dari sensor shift, menjadikan dia kecil-kecil cabe rawit. Bodi G9 dirancang mantap secara ergonomi, dial, tombol dan joystick juga mencirikan sebagai kamera kelas atas. Weatherseal di G9 ini bisa menahan hawa dingin sampai -10 derajat, cocok untuk cuaca ekstrim.

Faktor dalam memilih kamera memang cukup banyak. Faktor yang obyektif/kuantitatif diantaranya sensor, ISO maksimum, shoot kontinu, titik fokus, daya tahan baterai dan sebagainya. Faktor subyektif misalnya ergonomi, tombol dan roda, menu kamera, bentuk dan desain kamera dan sebagainya. Faktor lain tentunya dukungan lensa dan harga kamera itu sendiri. Ketiga kamera yang saya ulas tentu tidak ada keluhan dari sisi fitur, semuanya punya hasil foto yang oke, jendela bidik yang mantap, bisa 4k video, ada sensor shift untuk stabilizer di sensor, bodi yang tangguh dan kinerja yang sama-sama tinggi.

Tapi pada dasarnya tidak ada satu kamera terbaik untuk segala hal. Bicara kualitas hasil foto/video pun jaman saat ini semakin sulit dibedakan kualitas hasil foto antar kamera, dan antar sensor (kecuali di ISO yang sangat tinggi, atau di monitor yang sangat besar). Kita mesti tahu karakteristik setiap kamera dan limitasinya, misal sensor full frame tentu secara teknis hasil fotonya paling bagus, tapi akan membutuhkan lensa yang besar.

Desain klasik ala kamera lama di Fuji X-H1 mungkin memberi kesan yang keren, tapi tidak semua orang bisa beradaptasi dengan konsep pengaturan mode eksposur ala Fuji. Panasonic yang mengandalkan DFD focus menawarkan AF yang cepat, tapi pesaing seperti sudah mantap dengan sistem phase detect pada sensor yang lebih pede saat tracking fokus. Memang (calon) pembeli jadi perlu lebih bijak dalam mencari kamera terbaik sesuai kebutuhannya.

Beberapa hal yang bisa jadi bahan pertimbangan :

Sony A7 III :

  • bodi paling ringkas, tapi ruang untuk tombol dan roda jadi terbatas, membatasi ergonomi pengguna
  • cocok untuk yang sering foto ISO tinggi, atau yang mau pakai lensa lama, khususnya lensa fix (dengan adapter)
  • kinerja AF dengan 693 titik dan phase detect akan berguna untuk keadaan khusus yang perlu tracking cepat
  • video 4K makin oke dengan adanya log gamma, mic dan headphone membuat kamera ini juga oke buat video
  • weatherseal jadi sesuatu yang diapresiasi tapi belum diketahui seberapa handal dibanding X-H1 atau G9

Fuji X-H1 :

  • bodi dan ergonomi mantap, IS di sensor serta top LCD jadi faktor pembeda dengan Fuji lainnya
  • cocok untuk yang mencari kamera foto dengan warna JPG yang enak buat potret, juga untuk video lebih profesional
  • spek diatas kertas sangat baik, kecuali baterai karena jenisnya sama dengan X-T2 jadi kurang cocok untuk IS di bodi (tahan 300 shot saja)
  • seperti biasa sensor X-Trans bagaimanapun tetap beda, khususnya di RAW processing
  • dial ala kamera klasik antara keren atau malah membingungkan bagi pengguna
  • untuk mendapat port headphone mesti pasang battery grip

Lumix G9 :

  • bodi dan ergonomi mantap dan terasa pro, percaya diri di keadaan outdoor yang ekstrim
  • cocok untuk yang mencari solusi ringkas foto travel, satwa liar dan aksi, atau yang perlu kamera dengan IS 6,5 stop (bisa mendekati 1 detik tanpa tripod)
  • sensor 20 MP sudah membaik dibanding sebelumnya (16 MP) tapi tetap belum bisa menyamai sensor Fuji atau Sony
  • kemampuan menghasilkan foto 80 MP berguna buat landscape, interior atau produk tanpa harus menunggu era sensor masa depan tiba
  • kemampuan video tetap impresif dengan 60 fps 4K, tapi dibatasi tidak se-advanced di GH5 (tidak ada 10 bit 4:2:2 dan log gamma)

Opini Enche Tjin

Seperti dibabarkan oleh mas Erwin Mulyadi diatas, memilih salah satu kamera tentunya tidak mudah. Selain spesifikasi kamera, pilihan-pilihan lensa setiap sistem perlu dipikirkan juga. Meski berbeda dalam harga dan ukuran sensor gambar, ketiga kamera memiliki kelebihan masing-masing dan cocok untuk jenis fotografi yang berbeda.

Menurut saya, Sony A7 III cocok sebagai kamera untuk dokumenter/reportase berkat sistem autofokusnya yang cepat, performa ISO tinggi yang bagus, kapasitas baterai yang panjang dan stabilizer di body kamera. Sony A7 III juga bagus bagi yang suka mengadopsi lensa-lensa non-Sony seperti lensa DSLR, lensa jaman film, dan untuk merekam video pendek.

Fuji X-H1 ditujukan khusus kepada pengguna Fuji yang juga senang merekam video karena fitur videonya lebih canggih, dan sering travel ke tempat yang sulit karena body-nya dibuat lebih tahan banting. Untuk yang fokusnya sebagian besar ke fotografi, X-T2 yang berukuran fisik lebih kecil sepertinya sudah mencukupi.

Panasonic G9 unggul di kinerja dan ergonominya (susunan tombol dan dial), selain itu pilihan lensa-lensanya ringkas dan kecil, sehingga menurut saya cocok untuk traveler yang suka pergi ke tempat yang ekstrim tapi tetap  ingin membawa banyak lensa, terutama lensa telefoto yang panjang-panjang. Bagi yang budgetnya terbatas, G9 dan lensa-lensanya relatif lebih terjangkau dibanding kedua sistem diatas.


Sudah punya kamera tapi bingung settingnya? Mungkin panduan-panduan e-book yang kami bikin bisa membantu. Dapatkan di halaman e-bo0k kami.

Jangan lupa ikuti workshop membuat foto keren dengan kamera mirrorless.

Workshop Edit Video dengan Aplikasi Viva Video dan FilmoraGo

$
0
0

BIKIN VIDEO ITU GAMPANG!
Cukup Pakai Smartphone

Semua smartphone, kamera poket, mirrorless, hingga DSLR, kini semua punya fitur video. Tapi sayang, baru sedikit pengguna yang memanfaatkannya. Tidak tahu, tidak bisa, atau susah mengeditnya. Umumnya itu alasannya. Benar?

Nggak lagi. Bahkan cukup memakai smartphone, Anda kini bisa membuat video maupun slideshow yang keren! Dan mendapatkan income tambahan, kalau mau.

Caranya?

Yuk ikut yang ini:
“Workshop Edit Video dengan Aplikasi Viva Video dan FilmoraGo”

Hari: Jumat, 30 Maret 2018 (Libur Nasional : Hari Paskah)
Waktu: Pk. 09.30-14.30
Tempat: Info Fotografi
Rukan Sentra Niaga N-05, Jl. Green Lake City Boulevard, Duri Kosambi, Jakarta Barat 11750

Apa yang akan dipelajari di workshop ini?

  1. Trend video online di tahun ini dan tahun-tahun mendatang
  2. Aplikasi dan alat yang dibutuhkan untuk membuat video
  3. Tips dan trik syuting video
  4. Praktek edit video (trim & split video; koreksi brightness, kontras, white balance; menambahkan teks, musik, voice over, stiker, transisi, efek warna; membuat video widescreen, square, cinema)
  5. Peluang income dari video.

Anda hanya perlu memnbawa smartphone Android atau iPhone. Menarik, kan?

Instruktur: Teguh Sudarisman
Travel writer profesional, editor in-chief Kalstar in-flight magazine
Pemenang lomba video online “Yuk Makan tomyum kelapa

Biaya: Rp 350.000/orang
Tempat terbatas: 8 orang saja.

Bagi yang berminat, harap hubungi Iesan Liang 0858 1318 3069, infofotografi@gmail.com
Biaya partisipasi dapat ditransfer ke Enche Tjin via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780

Tips foto portrait model di musim hujan

$
0
0

Pernah mau motret lalu hujan? Meski jarang, saya pernah mengalaminya, seperti saat mengajar cara motret portrait dan flash di luar ruangan pertengahan bulan Maret 2018 yang lalu. Hujan bisa jadi berkah karena pengunjung-pengunjung di tempat wisata biasanya bubar dengan sendirinya hehe.

Jika hujan terlalu deras, sebaiknya menunggu sampai hujan reda, biasanya setelah hujan berhenti, suasana menjadi lebih segar terutama jika kita memotret di lingkungan yang penuh pepohonan seperti di kawasan hutan bakau ini.

Jika hujan tidak reda-reda, payung jadi props, sekaligus melindungi model dari hujan, lebih ideal lagi jika payungnya berwarna cerah seperti merah.

ISO 400, f/1.4, 1/80 detik - Leica SL, Leica SL 50mm f/1.4

Namanya juga fotografer, tentunya yang penting adalah melihat kualitas dan arah cahaya. Saat mendung, tidak ada sinar matahari langsung (direct light), jadi sifat cahayanya lembut, bagus untuk portrait yang sifatnya untuk menonjolkan kecantikan/beauty. Arah juga penting, jika model tidak menghadap ke cahaya, maka wajahnya akan gelap. Berkomunikasi dan mengarahkan model terutama yang kurang pengalaman akan jauh meningkatkan kualitas foto.

Fotografer pemula yang mengunakan lensa bukaan besar seperti f/1.8 atau f/1.4 biasanya meremehkan latar belakang, yang terpikir adalah toh, latar belakangnya juga akan blur. Anggapan tersebut menurut saya kurang tepat, meski latar belakang blur karena bukaan lensa besar, tapi kita tetap harus memperhatikan sampai ke ujung-ujung frame supaya tidak ada yang mengganggu perhatian  dari modelnya.

ISO 400, f/1.6, 1/100 detik, Leica SL dan SL 50mm f/1.4

Memang, tidak ada batasan harus mengunakan lensa tertentu untuk portrait, tapi ada beberapa lensa rekomendasi saya lensa dengan focal length ekuivalen 50mm untuk foto model kurang lebih 2/3 body dan juga untuk menangkap latar belakangnya supaya terlihat luas. Idealnya yang berbukaan besar (f/1.4, f/1.8).

Lensa yang lebih panjang seperti 85mm juga populer, terutama untuk foto setengah badan, dan lensa 100 atau 135mm untuk foto close-up kepala dan bahu. Untuk lensa tele seperti ini, latar belakang biasanya akan sangat blur dan agak sempit, jadinya lokasi foto tidak akan terlihat jelas, hanya warna dan bulet-bulet/bokeh saja.

Lensa yang lebih lebar dari 50mm, tidak begitu dianjurkan untuk portrait, karena wajah bisa cenderung jadi agak cembung dan tidak proporsional, juga latar belakang akan luas sekali sehingga sulit dikendalikan. Lensa yang sangat lebar seperti 28mm dan 35mm cocok untuk travel portrait, jika fotografernya ingin menunjukkan dimana subjek tersebut berada.

ISO 400, f/1.4, 1/100 detik, Leica SL dan SL 50mm f/1.4

Jika ingin praktis, tentunya lensa zoom 70-200mm biasanya merupakan lensa favorit fotografer portrait, terutama yang berbukaan besar f/2.8 sehingga mudah membuat latar belakang blur, memisahkan subjek foto dari latar belakangnya.


Untuk mengikuti kegiatan belajar fotografi baik dasar maupun khusus/mahir, silahkan membaca jadwal dan jadwal acara kami, atau hub WA 0858 1318 3069

Kesan mengunakan Leica D-Lux 109 dari seorang teman

$
0
0

Sejak saya mengunakan Leica D-Lux (Typ 109) ada beberapa teman yang mulai menggunakannya, salah satunya adalah Bpk. Duta Ong. Saya telah mengenalnya sekitar empat tahun yang lalu. Pertama kali adalah saat ia mengikuti kursus Mastering the art & photo techniques.

Saat itu, Ia ingin mengetahui bagaimana perkembangan teknologi digital, karena Pak Duta ini sebenarnya sudah memotret dari jaman kamera film. Saat ini Ia sudah mahir mengunakan kamera digital, dan berbagai kamera anyar pun telah dimiliki dan dipakai bergantian, diantaranya adalah Nikon D850, Fuji GFX, Leica SL, dan Sony A7R II.

Hari ini saya menerima pesan dari WA yang memuji Leica D-Lux, kamera compact yang saya rekomendasikan kepadanya.

Berikut beberapa kesan pak Duta dengan Leica D-Lux yang dibawa untuk ziarah ke Jerusalem dan Mesir.

Saya kan pernah pakai pocket Sony, Nikon, Olympus, Canon,… Leica D-Lux ini the best dari segi hasil, bukan hanya features. Ini kamera pocket yang paling saya senengi. Saya happy dengan D-Lux, praktis, menu tidak berlebih, pas buat photographer plus traveler. D-Lux buat nyetrit bagus.

Nikon D850 (kamera DSLR) malah gak banyak dipakai, ikut ziarah waktunya serba mepet, mau keluarin saja susah.

Pengalaman di Mesir dengan waktu yang sangat terbatas, udara ekstrim, debu, pas pocket ini berfungsi baik dan subjek foto juga terlihat nyaman dan rileks karena ukurannya kecil.

Jangan membanding-bandingin fitur lah, soal hasil foto, warna, saya pikir kamera ini TOP!  Foto ini sebenarnya wajahnya gelap, tapi saya angkat shadownya (via editing) masih oke.

Terima kasih untuk testimoni dan sharing foto-fotonya pak Duta 🙂 Senang dapat membantu.

Ngomong-ngomong, minggu lalu, saya baru terbitkan video review tentang spesifikasi, fitur, aksesoris dan sharing pengalaman saya tentang Leica D-Lux di Youtube:

Bagi teman-teman yang ingin memesan kamera ini atau ingin belajar mengunakan kamera ini lebih efektif, saya dapat membantu. Hub: 0858 1318 3069 untuk membuat janji. Trims.

Workshop editing B&W dengan Lightroom

$
0
0

Membuat foto hitam putih di era digital tidak seperti jaman dulu yaitu memuat rol film hitam putih ke kamera film. Di era digital, untuk membuat foto hitam putih yang bagus, membutuhkan sedikit banyak keahlian untuk mengolah foto warna menjadi hitam putih.

Mungkin Anda akan bertanya-tanya: Mengapa tidak langsung memilih mode Monokrom? Alasannya adalah kamera digital saat ini 99.9% adalah kamera yang memiliki sensor gambar warna, sehingga jika langsung dikonversi ke hitam putih oleh kamera, hasilnya belum tentu bagus.

Misalnya warna merah dan biru saat diubah (convert) ke hitam putih menjadi abu-abu dengan terang yang sama. Di dalam foto yang ada subjek manusianya, kadang kulit menjadi terlalu gelap.

Dalam workshop kali ini, saya akan menunjukkan bagaimana mengubah berbagai jenis foto warna menjadi hitam putih: Pemandangan, portrait, street photography, arsitektur, dan travel.

Workshop ini akan diadakan di
Leica Activity Center, Lt. 3 Plaza Senayan
Hari Sabtu, 24 Maret 2018, pukul 13.30-17.30 WIB.
Pendaftaran: +62 21 5790 6066 atau e-mail: leica.store@gmail.com
Biaya: Rp 500.000,-
Instruktur: Enche Tjin

Di workshop ini, saya akan membagikan foto-foto berwarna seperti yang ada di post ini untuk diolah menjadi foto hitam putih yang menarik. Jika masih tersedia waktu, peserta dipersilahkan untuk mengolah foto pribadi dan akan diberikan feedback untuk meningkatkan kualitas foto B&W-nya.

Syarat: Membawa laptop masing-masing dengan software Lightroom terinstall.

*Terbuka untuk pengguna kamera apa saja (tidak harus mengunakan kamera Leica).

 


Rekomendasi kamera DSLR Canon 2018

$
0
0

Saya sering mendapatkan pertanyaan melalui Infofotografi, instagram atau melalui WA tentang memilih kamera DSLR Canon yang bagus. Karena typenya banyak sekali, maka tidak heran banyak juga yang kebingungan. Jika ingin membeli kamera baru, beberapa model dibawah ini saya rekomendasikan. Semakin tinggi harganya tentunya semakin bagus, jadi saran saya sesuaikan dengan budget masing-masing saja.

Canon 1300D – Harga 5.4 juta 
Kamera DSLR murah meriah ini cocok untuk Pelajar, mahasiswa, atau pemula dengan budget yang ketat. Meski kategori murah, teknologi kamera DSLR ini sudah jauh lebih baik daripada kamera DSLR keluaran lima tahun yang lalu. Layar LCD-nya sudah beresolusi tinggi, dan memiliki Wifi, kualitas gambarnya juga tergolong cukup baik. Kelemahan utamanya di kinerja/kecepatan dan kualitas gambar di kondisi gelap (ISO tinggi) karena masih mengunakan processor generasi lama, sehingga kurang cocok untuk fotografi aksi. Harga sudah termasuk lensa 18-55mm STM.

Spesifikasi Canon 1300D

  • 18MP APS-C CMOS Sensor
  • DIGIC 4+ Image Processor
  • 3.0″ 920k-Dot LCD Monitor
  • Full HD 1080p Video Recording at 30 fps
  • 9-Point AF with Center Cross-Type Point
  • Extended ISO 12800, 3 fps Shooting
  • Built-In Wi-Fi with NFC
  • Scene Intelligent Auto Mode
  • Basic+ and Creative Auto Modes
  • EF-S 18-55mm f/3.5-5.6 IS II Lens

Canon 200D – Harga 8.8 jt
Kamera 200D adalah penerus 100D merupakan kamera DSLR dengan berat 406 gram saja. Cocok untuk traveler. Dibanding 1300D, generasi processor dan sensor 200D sudah jauh lebih baik sehingga cukup handal untuk berbagai jenis fotografi. Harga termasuk lensa 18-55mm STM.

Spesifikasi Canon 200D

  • 24.2MP APS-C CMOS Sensor
  • DIGIC 7 Image Processor
  • 3″ 1.04m-Dot Vari-Angle Touchscreen LCD
  • Full HD 1080p Video Recording at 60 fps
  • 9-Point AF System; Dual Pixel CMOS AF
  • Native ISO 25600, Extended to ISO 51200
  • Up to 5 fps Continuous Shooting
  • Feature Assistant; Microphone Input
  • Built-In Wi-Fi with NFC and Bluetooth
  • EF-S 18-55mm f/4-5.6 IS STM Lens

Canon 800D – Harga 11 jutaan
Kamera DSLR Canon Pemula yang dari dulu sangat populer sejak 300D, 350D, 400D, 450D, dan seterusnya ampai 800D. Lini kamera ini memiliki ciri memiliki teknologi processor yang canggih karena sering diperbaharui (biasanya 1-2 tahun sekali), tapi dengan kamera yang ukuran yang ringkas dan harga yang tidak terlalu mahal, sudah termasuk lensa 18-55mm STM.

Cocok untuk pemula yang memiliki budget diatas 10 juta. Perbedaan 800D dengan 200D adalah sistem autofokus yang lebih canggih baik saat memotret via jendela bidik ataupun layar LCD monitor. Ada juga fitur HDR & Time-Lapse Movie yang mungkin membantu.

Spesifikasi Canon 800D

  • 24.2MP APS-C CMOS Sensor
  • DIGIC 7 Image Processor
  • 3.0″ 1.04m-Dot Vari-Angle Touchscreen
  • Full HD 1080p Video Recording at 60 fps
  • 45-Point All Cross-Type Phase-Detect AF
  • Dual Pixel CMOS AF
  • Up to 6 fps Shooting and ISO 51200
  • Built-In Wi-Fi with NFC, Bluetooth
  • HDR Movie and Time-Lapse Movie
  • EF-S 18-55mm f/4-5.6 IS STM Lens

Canon 80D – Harga 14.5 jt
Kamera 80D adalah penerus lini kamera semi-pro yang dimulai dari seri 10D, 20D dst. Jenis kamera DSLR ini sangat populer karena memberikan fitur profesional dengan ukuran yang tidak terlalu besar dan juga harga yang terjangkau meski harga belum termasuk lensa.

Dibandingkan dengan 800D, 80D agak sedikit ketinggalan dalam generasi prosesornya, tapi masih layak dipilih karena sistem autofokusnya sudah sangat baik, kapasitas baterai lebih besar, dan fisik yang lebih tahan banting dan lebih ergonomi digunakan oleh profesional. Untuk berbagai jenis fotografi, 80D sudah siap, termasuk untuk fotografi aksi.

Spesifkasi Canon 80D

  • 24.2MP APS-C CMOS Sensor
  • DIGIC 6 Image Processor
  • 3.0″ 1.04m-Dot Vari-Angle Touchscreen
  • Full HD 1080p Video Recording at 60 fps
  • 45-Point All Cross-Type AF System
  • Dual Pixel CMOS AF
  • Expanded ISO 25600, Up to 7 fps Shooting
  • Built-In Wi-Fi with NFC
  • RGB+IR 7560-Pixel Metering Sensor
  • Berat: 1.27kg termasuk baterai dan lensa kit

Canon 5D mk IV – Harga 48 jt
5D merupakan seri kamera DSLR Canon yang sangat populer karena memiliki sensor full frame sehingga memungkinkan resolusi yang tinggi (30MP) dan performa ISO tinggi yang bebas noise. 5D cocok untuk profesional atau penghobi fotografi serius yang mendambakan kamera “workhorse” yang berkinerja tinggi dan tahan banting di segala suasana.

Karena kinerjanya dan kualitasnya, 5D biasanya sangat populer untuk fotografer dokumenter, photojournalist dan wedding photographer. 5D mk IV sudah bisa merekam 4K video dengan 8.8MP still-grab jika dibutuhkan. Harga kamera saja, tanpa lensa.

Spesifikasi Canon 5D mk IV

  • 30.4MP Full-Frame CMOS Sensor
  • DIGIC 6+ Image Processor
  • 3.2″ 1.62m-Dot Touchscreen LCD Monitor
  • DCI 4K Video at 30 fps; 8.8MP Still Grab
  • 61-Point High Density Reticular AF
  • Native ISO 32000, Expanded to ISO 102400
  • Dual Pixel RAW; AF Area Select Button
  • Dual Pixel CMOS AF and Movie Servo AF
  • 7 fps Shooting; CF & SD Card Slots
  • Built-In GPS and Wi-Fi with NFC

Bagi pembaca yang ingin memesan kamera lewat Infofotografi, kami bisa membantu, layangkan pesan ke WA 0858 1318 3069 atau e-mail infofotografi@gmail.com

Kami juga mengadakan pelatihan pengoperasian kamera, dasar fotografi, sampai trip foto dan menulis panduan setting kamera dalam bentuk pdf/e-book.

Panasonic GH5s hadir di Indonesia, apa sih kelebihannya?

$
0
0

Hari ini saya menghadiri launching Panasonic GH5s di Queen’s Head, Kemang, Jakarta Selatan.  Kamera GH5s sudah pernah saya bahas di artikel ini. Jadi saya tidak akan mengulang lagi soal spesifikasinya.

Yang ingin saya sharing dalam launching ini adalah pengalaman tiga narasumber yang tidak asing lagi di kalangan cinematography Indonesia antara lain Mas Goenrock (Anggun Adi), Oom Benny Kadarhariarto dan Oom Ibnu Fajar yang telah mengunakan kamera ini untuk membuat short movie yang berjudul Tantangan Tersulit.

Short movie ini dibuat oleh Oom Ben dan Mas Goen dibantu dengan colorist video dari Dawn Studio, Ibnu Fajar. Hasilnya cukup mengesankan karena kondisi pencahayaan yang sangat sulit yaitu lampu-lampu lingkungan seadanya.

Menurut cerita mas Goen dan Oom Ben, video ini dibuat sepenuhnya dengan kamera Panasonic GH5s yang terkenal sebagai kamera video yang memiliki kemampuan merekam video di kondisi cahaya yang sangat minim.

Lensa yang digunakan juga lensa native, bukan lensa cinema, yaitu Leica 42.5mm f/1.2 dan Leica 25mm f/1.4. ISO yang digunakan sebagian besar diantara 5000-10000.

Beberapa kelebihan Panasonic GH5s yang diutarakan tiga narasumber antara lain:

  • Kualitas di ISO tinggi terbaik saat ini dengan tampilan noise yang tidak blotchy/pola artefact.
  • Noise terlihat lebih organik, titik-titik saja dan mudah dikurangi/hilangkan lewat editing
  • Warna bagus, meskipun cahaya sulit (lampu jalan (mercury) ) dan mudah di grading (edit).
  • Rekam slow motion sangat mulus, artefact/cacat dalam merekam motion benar-benar tereliminasi.
  • Ukuran sensor sedikit lebih besar untuk mendukung field of view yang lebih lebar saat mengunakan aspek rasio 4:3 untuk kebutuhan anamorphic, 16:9 dan 17:9 (DCI).
  • Peniadaan built-in stabilization untuk mengakomodir ukuran sensor yang lebih besar bukan masalah bagi profesional yang biasanya mengunakan stabilizer khusus seperti gimbal/tripod. Peniadaan ini juga mencegah bentrok dengan penggunaan gimbal saat panning.

Mas Goen menjelaskan bahwa kelebihan-kelebihan diatas berkat kemampuan Panasonic GH5s merekam video All-Intra, 4.2.2 bit, 400mbps, 10 bit color.

Terima kasih kepada Panasonic Indonesia yang telah mengundang Infofotografi, dan saksikan juga BTS (Behind the Scenenya) dibawah ini:

Harga kamera Panasonic GH5s ini adalah Rp 32.990.000,- Menurut Agung Ariefiandi, Marketing Manager PT Panasonic Gobel Indonesia,  harga ini sangat kompetitif dibandingkan dengan kamera digital yang mengutamakan videografi. Sepertinya saya setuju melihat kecanggihan fitur kamera dan hasil video diatas. Bravo!


Ingin belajar fotografi/videografi? Jangan lupa cek jadwal disini.

Mentoring cityscape rooftop, 7 April 2018

$
0
0

Halo pecinta foto cityscape khususnya yang suka memotret dari atap gedung, di bulan April 2018 ini adalah kesempatan spesial untuk mendapat view keren gemerlap gedung di Jakarta dari atap gedung terkemuka di jalan Thamrin yang pastinya sayang untuk dilewatkan. Pada acara mentoring ini tentunya saya juga akan mengajarkan teknik memotret cityscape yang baik seperti pengaturan setting kamera, komposisi dan teknis fotografinya.

Acara dijadwalkan pada :

  • hari : Sabtu, 7 April 2018
  • waktu : 16.30-19.00 WIB
  • tempat : UOB Thamrin Jakarta
  • meeting point : food court basement

Pendaftaran/info lebih lanjut bisa ke 0858-1318-3069 / infofotografi@gmail.com

Peralatan yang dibutuhkan :

  • kamera dengan tali /strap terpasang
  • lensa lebar (16mm di full frame / 10mm di APS-C akan lebih ideal)
  • tripod yang kokoh
  • filter GND, remote/cable release sifatnya opsional (boleh dibawa bila ada)
  • perlengkapan pribadi (air, jaket, senter dll)

Apakah setiap produsen lensa mempunyai reproduksi warna yang beda?

$
0
0

Menurut pengalaman saya Ya!, reproduksi warna sangat tergantung dari desain lensa dan konstruksi nya. Rumus kaca (adonan dan konstruksi) yang berbeda serta pelapisan yang berbeda akan memancarkan frekuensi cahaya secara berbeda pula, dan cacat lensa seperti flare (suar) juga akan mempengaruhi reproduksi warna.

Sementara warna-warna yang lebih “hidup” umumnya dipandang sebagai “lebih baik”, perlu diketahui bahwa produsen yang berbeda secara sengaja menghasilkan render yang berbeda, ini sesuai dengan preferensi budaya di negara setempat produsen tersebut berada. Misalnya lensa Jerman yang diproduksi oleh Leica kebanyakan orang menilai nya lebih keren dibandingkan lensa yang dirancang Jepang seperti Panasonic (Panasonic dan Leica telah menjalin kerjasama dalam produksi lensa untuk kamera Lumix dengan label Leica, dan Panasonic telah belajar banyak dari Leica dalam merancang lensanya), bahkan produsen lensa yang berada pada satu negara pun mempunyai karakter rendering yang berbeda pula walaupun tidak terlalu mencolok misal Canon dan Nikon.

Dalam masa-masa film, reproduksi warna lensa ini sangat penting, walaupun karakteristik warna film dari setiap produsen pun juga berbeda. Namun pertanyaannya, di dunia digital saat ini, seberapa pentingkah reproduksi warna sebuah lensa?

Saya pribadi berpendapat reproduksi warna ini sangat penting dimasa digital sekarang, namun sebetulnya secara umum bukan reproduksi warna lensa saja untuk menjadi materi perancangan sebuah lensa. Tetapi merancang perbedaan dalam filter warna bayer, dan bagaimana hal itu memengaruhi reproduksi warna gambar digital, atau bagaimana sifat filter tersebut berbeda di antara produsen.

Kita sama-sama mengetahui bahwa pada masa fotografi menggunakan film warna yang dihasilkan diatas sebuah negatif film adalah tetap tidak bisa di ubah-ubah begitupun hasil cetakannya yang bisa diubah hanya kontras, terang gelap dan sedikit saturasi nya saja melalui proses pencetakan manual/mesin jadi reproduksi warna dari sebuah lensa sangat penting.

Di dunia digital ini reproduksi warna pada lensa ini menjadi tidak penting terutama bila fotografer mengedit sendiri foto RAW-nya. Jika di edit secara berlebihan dan umumnya memang menarik perhatian tetapi warna menjadi tidak natural lagi.

 

  • Dari komparasi antara lensa Leitz (Leica) Summicron 50mm f/2.0 tua (1970 an) dengan lensa modern Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH diatas, terlihat selain kontras dan warnanya, begitu pula karakter bokehnya pun berbeda, pada lensa jadul (Leitz) terasa sedikit fogging (berkabut) atau disebut juga flare karena latar belakang memantulkan sinar sedikit kuat, ini disebabkan oleh umur lensa dan lapisan anti refleksi yang sudah memudar. Disini terlihat jelas reproduksi atau karakter warnanya sangat berbeda, menurut saya pada lensa Leica warnanya lebih organic dan sangat natural seperti subjek aslinya, sedang dengan lensa modern terasa lebih digital atau renyah (lebih tajam, kontras dan saturasi-nya)

Disini saya hanya akan membahas reproduksi warna dari sudut Rumus Kaca mengapa bisa berbeda dan masing-masing produsen mempunyai penggemar-nya (fotografer profesional) terutama untuk mengabadikan foto Portrait dan Beauty Photography. Untuk komparasi ini saya menggunakan lensa film lama saya Leitz Summicron 50mm f/2.0 (100mm kesetraaan) plus adaptor Leica(M)-M43, dan lensa digital Lumix G 42.5mm f/1.7 ASPH  (85mm kesetaraan) yang saya pasang pada kamera Lumix GX7, memang ada perbedaan panjang fokus tetapi tidak terlalu banyak hanya 7.5mm sehingga DOF nya pun tidak terlalu jauh, karena disini yang saya akan utamakan adalah reproduksi warna nya.

  • Foto diambil pada pagi hari suhu udara relatif dingin, umumnya foto pada kondisi pagi hari akan cendrung berwarna ke biruan, ini sangat terasa sekali pada lensa Leica, dan flare tidak terlihat karena memang latar belakang tidak terlalu kuat sinarnya. Pada lensa Lumix kesan dingin tidak terasa warna lebih kekuningan menjadikan kesannya lebih hangat.
  • Kesan organic dua foto diatas kurang terasa mungkin karena subjek dari bahan plastic, tetapi kalau kita perhatikan warna hijau pada daun dilatar belakang kesan organicnya masih terasa pada foto paling atas yang berasal dari lensa Leica.

Dari hasil komparasi warna diatas jelas terlihat perbedaan warna yang dihasilkan antara lensa film/analog dan lensa modern/digital dari produsen berbeda, Walaupun kedua lensa tersebut sama- sama lensa digital sekalipun bila berasal dari produsen yang berbeda maka reproduksi warna nya akan tetap berbeda. Mengapa?

Jenis Kaca
Elemen lensa yang mengandung sejumlah besar timbal/timah memiliki indeks refraksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kaca non-timbal? Ini adalah kenyataannya dan alasan mengapa lensa lama atau jadul biasanya lebih sederhana dalam desain optik! Karena ketika menggunakan kaca ber-timah, tidak perlu khawatir mengoreksi penyimpangan spherical aberrations (abrasi permukaan cembung) sebanyak mungkin, karena tidak seperti kaca biasa, kaca yang bertimbal dapat mengirimkan lebih banyak cahaya dan secara otomatis mengoreksi sebagian besar penyimpangan yang terjadi dari luar, inilah salah satu sebab nya lensa-lensa lama walaupun konstruksi nya sederhana tetapi bobotnya lebih berat dibanding lensa modern.

  • Dua foto diatas mempunya nuansa warna yang sama ketika mendapatkan cahaya yang cukup, jelas terlihat pada lensa modern kontrasnya lebih tinggi dan warnanya lebih bersinar ini berkat koreksi lensa Asperis nya dimana semua warna akan jatuh tepat pada satu titik fokus
  • Memang untuk foto-foto seperti ini lensa modern memang juara apapun mereknya, tetapi kalau ingin bernostalgi dengan masa-masa foto film lensa jadul sing ada lawan, bahkan, Leica telah membuat memproduksi kembali satu lensa jadulnya yang unik “Leica Summaron-M 28 mm f/5.6 “ dan yang uniknya mirip lensa jadul dengan flarenya bila dipakai motret melawan sinar. 

Konstruksi Lensa
Dengan lensa tanpa timbal diperlukan koreksi penyimpangan yang lebih teliti dengan merancang lensa sedemikian rupa untuk mengkompensasi distorsi yang disebabkan oleh yang lain lain itu. Ini adalah apa yang dilakukan oleh setiap produsen lensa, mengacu pada “elemen” (potongan kaca melengkung/cembung) dan “kelompok” (ketika lebih dari satu elemen dikelompokkan bersama).

Semuanya bekerja sama untuk memfokuskan gambar ke sensor dengan distorsi sesedikit mungkin. Jadi selain dari bahan kaca yang digunakan, untuk merancang lensa digital tidaklah sederhana, karena lensa modern sekarang ini standar yang ditetapkan sangat tinggi sekali berkaitan dengan distorsi flare, abrasi kromatik/Fringing, dan Noise sehingga setiap produsen mempunyai rumusan rumusan-nya tersendiri inilah yang menyebabkan reproduksi warna antar produsen lensa menjadi berbeda beda.

  • Foto ini dibuat menjelang sore hari dan umumnya di sore hari warna foto cenderung berwarna kekuningan, tetapi hasil nya jauh berbeda dari kedua foto diatas, pada foto pertama yang berasal dari lensa Leica ke biruan dan foto kedua dari lensa Lumix lebih kekuning, perbedaan ini sangat mencolok dibanding contoh-contoh komparasi foto sebelumnya, kalau saya perhatikan warna bawang putihnya foto dari lensa Leica sama dengan warna aslinya.
  • Kita perhatikan warna tomat pada foto dibawah yang berasal dari Lumix, saturasinya lebi tinggi sehingga tomat terlihat lebih cemerlang dari aslinya, warna-warna seperti ini sangat diminati untuk foto pemandangan atau barang-barang produksi di brosur-brosur tetapi untuk portrait warna  seperti ini kurang bagus.

  • Karena penasaran saya coba coba koreksi white balance nya di Lightroom dan saya tujukan koreksinya pada bagian yang paling terang di kulit bawang putih pada kedua foto tersebut, sekarang terlihat warna bawang putih dari kedua foto nyaris sama tetapi justru warna meja difoto dari Lumix berubah lebih biru, sedang difoto dari Leica hanya sedikit berubah ke arah kuning malah nyaris sama dengan warna aslinya. 

  • Untuk foto Hitam & Putih perbedaan warna memang tidak terasa tetapi sebetulnya berpengaruh pada nada dan kontras nya. Contoh foto diatas saya simulasikan dengan film Kodak Plus-X 125PX Pro melalui Silver Efex Pro, dan hasilnya foto yang berasal dari lensa Leica berkesan lebih dalam, 3 dimensinya lebih terasa. Sedangkan foto yang berasal dari lensa Lumix berkesan lebih datar kedalamannya kurang terasa atau istilah gaulnya Cemplang. Film Kodak Plus-X ini memang kontrasnya tidak tinggi dan mempunyai karakter warna merah, biru dan keunguan umumnya akan menjadi lebih terang dalam nada abu-abu, sedang warna kuning tonenya menjadi lebih gelap.

Dan Kesimpulannya
Dari ulasan tersebut diatas jelas lensa dari produsen tertentu akan menampilkan reproduksi warna yang berbeda dari lensa produsen lain, ini disebabkan dari jenis gelas yang digunakan dan berbagai pelapisan (konstruksi) pada lensa.

Beberapa corak warna pada produsen satu mungkin lebih menarik daripada corak warna dari produsen lain nya. Reproduksi warna adalah masalah yang lebih besar di masa-masa film daripada di masa digital sekarang ini. Penyimpangan-penyimpangan warna atau nada warna yang tidak diinginkan oleh produsen lensa dapat dikoreksi langsung dengan proses komputerisasi pada kamera digital sehingga gambar yang dihasilkan oleh kamera digital hasilnya sangat tajam, kontras, dan saturasi tinggi sehingga terasa kering/kurang organic menurut saya.

Oleh sebab itu, lensa Leitz (sekarang Leica) mempunyai corak warna yang lebih organik dan natural, meskipun kontras dan saturasinya tidak terlalu tinggi dibandingkan lensa-lensa jaman sekarang. Pada akhirnya, Saya kembalikan ke selera masing, karena di dunia fotografi tidak ada patokan warna yang harus diikuti apalagi kalau sudah menjurus ke seni baik itu foto berwana atau foto Hitam & Putih.


Sudah punya kamera? yuk ikutan belajar baik kursus kilat, workshop atau trip foto bersama kami.

Launching Sony A7III di Indonesia

$
0
0

Tgl 29 Maret 2018 ini saya berkesempatan menghadiri peluncuran Sony A7 III di Grand Indonesia, Jakarta untuk menyimak langsung apa kelebihan dan sekaligus hands-on, alias mencoba Sony A7 III yang pernah dibahas di Infofotografi di artikel ini.

Dari acara launching yang sampai dibagi beberapa sesi dan berdurasi beberapa hari, saya menilai kamera Sony A7 III merupakan kamera yang unggul dan penting bagi Sony.

Sebagai pengantar dan untuk mengingat kembali, spec utama Sony A7 III adalah:

  • 24 MP full frame sensor dengan BSI sensor dan processor terbaru
  • 693 phase detection AF points, 93% coverage
  • Eye AF
  • 10 fps continuous shooting
  • Video 4K HDR Full Pixel Readout lebih detail karena dari 6K dirapatkan
  • 710 kali per charge
  • 5 Axis stabilization
  • Berat: 650 gram

Sony menyatakan bahwa kamera A7 III ini adalah kamera Full-Frame Mirrorless, The Basic Model. Menurut saya taglinenya agak membingungkan fotografer, media dll, karena dari spesifikasi A7 III dan harganya jauh dari “Basic” dan target marketnya juga penghobi fotografi serius and semi-profesional.

Namun saya bisa memahami bahwa Manajemen Sony menganggap A7 III ini Basic, jika dibandingkan dengan Sony A7R III dan Sony A9 yang telah hadir tahun lalu (2017).

Di acara ini, saya mencoba mencari tahu apakah ada kelebihan A7 III dibandingkan A7R III dan A9?

Ditekankan oleh Benny Lim, Sony Alpha professional photographer (specialize di wedding & portrait), bahwa keunggulan A7 III terletak di dynamic range-nya, dimana di kondisi backlight pun detail yang tertangkap masih baik. Memang, A7 III dipromosikan memiliki dynamic range 15 stop di ISO rendah. Dynamic range A7 III lebih baik daripada Sony A9 yang harganya terpaut jauh (29 juta vs 63 juta). Sisanya A9 yang menang (terutama dalam kinerja foto berturut-turut, hampir tidak ada distorsi saat memotret dengan electronic shutter, dan no-black out saat memotret berturut-turut).

Dibandingkan dengan A7R III, Sony A7 III punya kelebihan juga, yaitu di buffer (nafas untuk foto berturut-turut lebih panjang) yaitu 163 berbanding 82 foto, dan ISO tinggi yang lebih bagus karena resolusinya tidak terlalu tinggi. Sedangkan keunggulan A7R III terletak pada resolusinya yang mencapai 42MP, tidak ada anti-alias filter yang membuat foto lebih tajam di tingkat pixel, dan ada fitur pixel shift composite untuk memotret dengan ketajaman yang lebih tinggi lagi tapi harus mengunakan tripod, subjeknya idealnya tidak bergerak sama sekali, dan filenya harus di proses di software baru Sony.

Untuk fitur video, setelah saya ngobrol sedikit dengan Mas Goenrock, videografer profesional yang juga hadir, katanya video Sony A7 III lebih bagus jauh dari A7R III, terutama slow motion-nya, detailnya masih dapet dan fitur HLG (Hybrid Log Gamma) sangat membantu menjaga detail di bagian highlight.

Sebagai tambahan lagi, Sony A7 III ini lebih efisien dalam mengunakan daya baterai, sehingga menurut pengujian bisa mencapai 710 foto per full charge. Jadi yang suka berpetualang ke pelosok berhari-hari tidak kuatir baterainya habis.

Hands-On Sony A7 III

Setelah mendengar pengalaman Benny Lim dan Upie Guava (tentang fitur video), lantas saya dan rekan-rekan media & content creator yang lainnya turun ke Atrium Grand Indonesia untuk mencoba langsung A7 II yang tersedia.

Saya memilih lensa Sony Zeiss 55mm f/1.8 meskipun tidak bisa zoom karena bukaannya besar dan saya tau lensa ini tajam dan cukup gesit. Ukurannya juga kecil jadi lebih seimbang dibanding lensa zoom. Saya mengunakan setting f/2 supaya kalau meleset autofokusnya akan terlihat jelas. Setelah mencoba untuk memotret dua jenis tarian, balet dan breakdance, saya mendapati autofokus-nya sangat baik. Kecepatan/kinerja kamera juga sudah jauh lebih cepat daripada A7 generasi ke-dua yang kadang cukup laggy (pelan) saat me-review/zoom-in foto.

Untuk warna, kabarnya warna kulit sudah diperbaiki, tapi saya masih mendapati warnanya agak sedikit bergeser ke magenta/pink (saya mengunakan AWB) dan kurang begitu natural renderingnya. Mungkin karena cahaya lampu interior mall yang campur-campur mempengaruhi kualitas warna fotonya. Perlu diuji lebih jauh dengan lampu studio dan matahari tentunya 🙂

ISO 3200, f/2.0, 1/6400 detik, 55mm

Untuk menguji ISO tinggi, saya mengunakan ISO sekitar 2000 dan 3200, foto masih tajam dan noise hampir tidak ada, tapi saya melihat detail foto sedikit berkurang, sepertinya ini akibat kerja software (JPG Engine) di dalam kamera yang otomatis menghapus noise dan sebagian detail ikut terhapus.

Meski demikian, sepertinya ISO 6400 juga masih cukup bagus, dan kalau sedang kepepet, bisa mengunakan ISO 12800. Diatas itu saya tidak menganjurkan karena terlalu banyak noise atau detail lenyap. Sepertinya ISO tinggi A7III mendekati hasil foto ISO tinggi di kamera A7S.

ISO 2000, f/2, 1/6400, 55mm

Saya sempat menanyakan kepada Takatsugu Yamamoto, head of digital imaging product marketing PT Sony Indonesia tentang mengapa kamera baru Sony tidak memiliki Apps/Playmemories. Secara singkat dikatakan bahwa Sony sedang mempersiapkan platform software yang lebih baru yang akan menggantikan fungsi Playmemories atau sekalian mengintegrasikan fungsi-fungsi Apps ke dalam menu.

Pendapat saya tentang Sony A7 III

Meski diberi label “Basic” dan harganya paling murah diantara seri Sony A7 generasi ketiga, Sony A7 III menurut saya tetap menarik, terutama bagi hybrid shooter, yang perlu merekam video dan foto sama baik di berbagai kondisi terutama di kondisi pencahayaan yang kurang / gelap. Harga yang pantas dan murah jika dibandingkan dengan teknologi yang didapatkan adalah bonus.

Harga yang relatif murah ini akan menjadi daya tarik yang menarik bagi penghobi fotografi baik yang memiliki seri kamera Sony A7 generasi sebelumnya untuk upgrade atau pengguna kamera DSLR full frame yang ingin pindah mengunakan kamera mirrorless.

Dengan harga Rp 29 juta, Sony A7III bersaing paling dekat dengan Fuji X-H1 (28 juta) yang baru diluncurkan, dan Canon 6D mk II (25.8 juta). Dibanding keduanya, Sony A7 III lebih baik di bidang teknologi dan spesifikasi. Meski demikian, Fuji X-H1 memiliki desain kamera yang menarik, dan film simulation yang menarik dan terlihat lebih natural/film like, Canon 6D mk II menurut saya punya warna yang enak dipandang, cenderung agak lebih hangat daripada warna Sony, dan lensa-lensa DSLR pilihannya lebih banyak dari segi harga dan kualitas.

Penutup

Pada dasarnya, saya gembira bahwa Sony terus meningkatkan teknologi image sensor dan processor untuk pengembangan kamera digital, dengan demikian memacu produsen lain mau gak mau harus turut meningkatkan inovasi dan teknologi-nya dan pada akhirnya kita-kita semua yang diuntungkan. Terima kasih kepada teman-teman dealer dan EO Fleishman Hillard yang telah mengundang.


Pre-order Sony A7 III telah dimulai dan kamera akan tersedia di bulan Mei 2018.

Harga Sony A7 III body only: Rp 28.999.000
Harga Sony A7 III dengan lensa 28-70mm f/3.5-5.6: Rp 31.990.000
Diskon sebesar Rp 3 juta untuk pembelian dengan lensa 24-70mm f/4, 55mm f/1.8, dan 35mm f/2.8.

Ada hadiah-hadiah dan paket menarik seperti tas Herringbone, L-plate, LCD screen protector dan tali kamera dari Voyej dengan total bundle sebesar Rp 3 juta.

Bagi yang ingin memesan lewat Infofotografi, silahkan hubungi Iesan di 0858 1318 3069. Terima kasih, semoga artikel ini membantu.

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live