Quantcast
Channel: InfoFotografi
Viewing all 1544 articles
Browse latest View live

Nilai sensor Nokia Lumia 1020 vs Kamera Digital versi DxOMark

$
0
0

Ponsel cerdas semakin hari semakin memberi performa kamera yang lebih baik, tren ini terlihat dari gebrakan Nokia yang pertama kali memperkenalkan Nokia 808 Pureview tahun 2012 (sensor 41 MP) dengan lensa Carl Zeiss f/2.4 dan hasil foto yang mengesankan. Di tahun lalu Nokia kembali meluncurkan produk Lumia 1020, ponsel cerdas dengan OS Windows Phone 8, yang memakai sensor 41 MP generasi kedua (berukuran 1/1.5 inci atau lebih besar dari kebanyakan kamera compact). Sensor yang cukup besar ini dipadankan dengan lensa Zeiss yang tersusun atas 6 elemen, dan memakai shutter mekanik. Lensa Zeiss ini bukaan maksimalnya adalah f/2.2 dan fokalnya setara dengan 27mm. Terdapat fitur stabilizer optik dan kemampuan ISO maksimum adalah ISO 3200. Terdapat lampu kilat Xenon untuk foto di tempat gelap dan lampu LED untuk menerangi saat rekam video.

Lumia 1020

Fitur utama Nokia Lumia 1020 :

  • sensor BSI CMOS 41MP ukuran 1/1.5 inci (lebih besar dari rata-rata kamera digital compact)
  • lensa Zeiss f/2.2 setara 27mm, 6 elemen
  • shutter mekanik, 1/16.000 detik hingga 4 detik
  • bisa RAW dan manual eksposur mode
  • lampu kilat Xenon dan lampu LED untuk video (HD video 1080p)
  • prosesor 1.5 GHz dual-core Snapdragon S4
  • kamera depan 1.2MP

Sensor 41 MP di Nokia ini bisa menghasilkan foto seukuran 7728 x 5368 piksel yang jauh lebih tinggi daripada kamera digital biasa. Ada dua keuntungan apabila sebuah sensor punya piksel yang banyak, yaitu bisa dilakukan pixel-binning (untuk menghasilkan foto yang noisenya rendah) atau bisa dilakukan digital zoom dengan teknik cropping. Pixel binning, atau interpolasi piksel, menghasilkan sebuah foto resolusi 5 MP dari keping sensor 41 MP. Pihak Nokia mengklaim dengan teknik ini, bisa didapat hasil foto 5 MP yang lebih baik, lebih tajam dan rendah noise bila dibandingkan dengan sensor kamera 5 MP yang memakai teknik interpolasi Bayer. Ilustrasinya seperti gambar berikut ini, sebelah kiri adalah hasil sensor 5 MP dan sebelah kanan adalah hasil sensor 41 MP yang di interpolasi menjadi 5 MP.

5 MP Lumia vs digicam

Kiri : sensor 5 MP, kanan : sensor 41 MP diinterpolasi jadi 5 MP

Kelebihan inilah yang membuat DxOMark sampai ikut menguji sensor kamera Nokia Lumia 1020 dan membandingkan dengan kamera digital lain termasuk kamera DSLR. Menurut DxOMark, cara mereka menilai sensor bukan dari banyaknya piksel, melainkan dari kualitas sinyal yang ditangkap baik oleh setiap piksel maupun dari sensor secara keseluruhan. Untuk itu DxOMark menguji langsung keluaran RAW kamera dan bukan hasil akhir yang sudah ‘matang’. Secara umum sensor Nokia Lumia 1020 diberi nilai 41, bahkan setara dengan nilai sensor kamera Panasonic Lumix FZ70. Dari dimensi fisik sensor memang Lumix FZ70 sedikit lebih kecil dengan 1/2.3 inci (4.5×6.2 mm) dibandingkan sensor Nokia Lumia yang 1/1.5 inci (6.6×8.8 inci), tapi dari dimensi bodi kamera siapa yang menyangka kalau kamera ponsel ini punya sensor yang lebih besar dari yang dimiliki kamera super zoom ini.

Lumia 1020 vs FZ70

Skor sensor Nokia Lumia 1020 = Lumix FZ70

Bila dibandingkan dengan kamera compact kelas atas dengan sensor yang ukurannya hampir setara, misal Canon S120 atau Nikon P330 yang memakai sensor 1/1.7 inci (5.6×7.4 mm), skor Nokia secara umum masih sedikit lebih rendah, namum hampir sama dalam urusan kedalaman warna dan dynamic range. Artinya bila memotret pemandangan yang kontras dan warna warni maka hasil dari Nokia ini nyaris sama dengan kamera compact seperti Canon S120 atau Nikon P330. Luar biasa..

Lumia 1020 vs compact

Skor Nokia Lumia 1020 sedikit dibawah kamera ‘premium compact’

Perbandingan yang paling ekstrim adalah saat mengadu Lumia dengan DSLR, dimana perbandingan ukuran sensornya juga sudah sangat jauh berbeda. Seperti gambar di bawah, terlihat skor Nokia ini masih jauh di bawah skor kamera DSLR, walau untuk urusan kedalaman warna dan dynamic range tampaknya tidak terlalu berbeda jauh (khususnya bila dibanding dengan sensor Canon EOS 100D). Sensor Nokia ini baru terlihat kedodoran saat diadu dalam urusan ISO tinggi, suatu hal yang wajar mengingat perbedaan ukuran sensornya. Tapi ingat kalau DxOMark hanya menguji file RAW alias apa adanya dari sensor, sedangkan Nokia dalam memproses output sensor punya resep interpolasi (pixel binning) yang merubah sensor 41 MP menjadi foto 5 MP dengan kemampuan ISO tinggi yang lebih baik.

Lumia 1020 vs DSLR

Skor Nokia Lumia 1020 tertinggal jauh dibawah kamera DSLR

Memang kamera DSLR bagaimanapun tetap punya hasil foto terbaik bila dibandingkan dengan kamera compact apalagi kamera ponsel, tapi Nokia Lumia 1020 yang lebih berorientasi pada fitur kamera berhasil masuk ke dapur uji DxOMark dan bisa diberi skor yang tidak kalah dengan kamera non DSLR, bahkan dalam hal kedalaman warna maupun dynamic range sangat baik untuk ukuran sensor kamera ponsel, dan mendekati skor yang dimiliki DSLR. Apakah ini membuktikan kalau ponsel cerdas akan menggeser dominasi kamera compact (non DSLR)? Tidak juga, karena tidak semua ponsel yang ada punya fitur kamera sehebat Nokia, dan kamera compact selalu punya celah untuk menarik minat pembeli, seperti lensa zoom panjang atau harga jual yang lebih terjangkau. Tapi skor DxOMark ini harus jadi warning bagi produsen kamera untuk berbenah bila tidak ingin pangsa pasarnya digerus oleh ponsel cerdas di waktu mendatang.


Tips foto portrait model – Rule of thirds

$
0
0

Untuk membuat foto portrait dengan komposisi yang menarik, tidak begitu mudah seperti yang dibayangkan. Selain masalah teknis setting kamera (exposure, WB, autofokus, dll), yang tak kalah penting adalah komposisi. Bagi saya, mencari komposisi yang bagus dimulai dari mencari latar belakang terlebih dahulu. Latar belakang foto dibawah adalah pintu tua gedung tua yang sudah lama dibiarkan. Tembok sekitarnya juga memiliki tekstur yang menarik.

Tadinya di sudut ini terdapat beberapa sampah dan batu bata, tapi sudah saya bersihin terlebih dahulu. Memang sampah-sampah kecil dapat di-edit dengan software, tapi lebih mudah dan cepat membersihkannya sebelum memotret.

Selanjutnya perlu sedikit komunikasi dan mencontohkan kepada subjek foto untuk berpose di depan pintu, dan mencoba beberapa pose. Saya mengaplikasikan aturan rule of thirds, yang berisi subjek utama / elemen yang penting sebaiknya jangan ditempatkan di tengah bidang foto, tapi 1/3 ke samping. (lengkapnya baca rule of thirds/aturan sepertiga).

ISO 200, f/1.4, 1/1000 detik, 85mm

ISO 200, f/1.4, 1/1000 detik, 85mm – Talent: Natasya Zein

Saya meletakkan subjek di sebelah kanan karena posisi tubuh, tangan dan kepala model menghadap ke kiri. Dengan penempatan seperti ini, ada sedikit ruang disebelah kiri.

tips-portrait-rule-of-thirds

Secara teknis, bukaan yang saya set adalah f/1.4. Sebenarnya seharusnya ditutup sedikit ke f/2.8 atau f/4, supaya keseluruhan foto sedikit lebih tajam. Toh cahaya masih cukup terang saat itu. Bukaan f/1.4 membuat tepi-tepi foto sedikit gelap (vinyet). Tapi tidak masalah untuk foto portrait seperti ini karena malah membantu memfokuskan perhatian pemirsa ke modelnya.

Hal lain yang saya kurang begitu suka adalah tanaman yang berada disebelah kiri bawah. Rasanya sedikit terlalu besar dan biasa. Untungnya agak blur karena bukaan besar sehingga tidak terlalu menarik perhatian.

Hasil foto kemudian diproses di Adobe Lightroom. Beberapa hal yang saya lakukan yaitu menaikkan saturasi warna (karena cuaca mendung dan saya motret dengan format RAW sehingga hasil langsung dari kameranya pucat). Menghangatkan sedikit White Balance, menambah kontras, sedikit memuluskan wajah dan menggelapkan beberapa bagian baju yang terlalu terang.

Jika berminat, ikuti workshop Adobe Lightroom 1 hari saja untuk belajar teknik editing yang mudah dan cepat.

Kiri: Langsung dari kamera. Kanan: setelah di edit/proses via Lightroom

Kiri: Langsung dari kamera. Kanan: setelah di edit/proses via Lightroom

Tour fotografi Tanjung lesung 5-6 April 2014

$
0
0

Pantai barat Banten yang terdiri dari Anyer, Carita sampai Tanjung Lesung  memang merupakan objek wisata pantai yang sudah terkenal dari jaman dulu. Suasananya nyaman, alamnya indah dan tidak terlalu jauh dari Jakarta. Di tour fotografi kali ini,  kita mengunjungi mercu suar di Anyer, dan karang bolong di dekat pantai Carita, tapi yang terutama adalah di pantai Tanjung Lesung, tempat kita menginap.

Mercu suar Anyer, ISO 80, f/5.6, 1/1300 detik, 28mm

Mercu suar Anyer, ISO 80, f/5.6, 1/1300 detik, 28mm

Pantai Tanjung lesung agak berbeda dengan Anyer dan Carita yang biasanya cukup ramai. Pantai ini cukup sepi, bersih dan sangat luas. Sehingga kita bebas untuk memotret sambil menikmati suasana pantai. Dari jauh terlihat anak gunung Krakatau.

Kita akan menginap di Villa tepi pantai yaitu Kalicaa (kalicaavilla.com) yang mewah dan nyaman. Dengan menginap di Villa tepi pantai, kita dapat melakukan pemotretan sampai malam bahkan sampai pagi.

Suasana didekat Villa

Suasana didekat Villa

Seperti biasa, saya (Enche Tjin) akan membimbing untuk teknik fotografi pantai populer seperti teknik slow speed yang membuat air sehalus kabut, teknik HDR dan memotret sunset. Dalam tour fotografi ini, mas Erwin Mulyadi juga akan sharing tips untuk merekam video di pantai.

Maksimum peserta:  14 orang

Pendaftaran akan ditutup setelah 14 orang melunasi biaya tour

Biaya tour Rp 1.850.000 per orang

Syarat: Terbuka untuk umum, segala usia, baik bagi yang hobi fotografi atau jalan-jalan.

Itinerary:
Sabtu, tgl 5 April 2014
06.30 Berangkat dari Jakarta
08.30 Foto-foto di mercu suar Anyer
11.00 Tiba di Tanjung Lesung, check-in, makan siang
13.00 Sharing videografi dan briefing teknik-teknik foto pantai oleh Enche & Erwin di Villa
15.00 WIB Motret pantai sampai sunset
19.00 WIB Makan malam

Minggu, tgl 6 April 2014
Acara bebas di pagi hari (motret sunrise, menjelajahi pantai, dll
11.30 check-out, makan siang
15.00 Karang Bolong sampai sunset
18.30 Menuju Jakarta
19.30 Makan malam
22.00 Diperkirakan tiba di Jakarta

Biaya sudah termasuk

  • Transportasi dari Jakarta pulang pergi
  • Akomodasi 1 kamar dua orang
  • Makan 5x (hari pertama: L/D, hari kedua: B/L/D)
  • Tiket masuk objek wisata

Biaya tidak termasuk

  • Aktivitas pantai seperti watersport
  • Soft drink

Bagi yang berminat mendaftar, silahkan hubungi 0858 1318 3069 atau e-mail infofotografi@gmail.com

Jika sudah membayar tapi batal boleh digantikan dengan peserta lain.

Berikut foto-foto yang saya buat saat berkunjung bulan Januari 2014 yang lalu:

ISO 100, f/11, 30 detik, 35mm

Tanjung Lesung, ISO 100, f/11, 30 detik, 35mm

Menjelang matahari terbenam di Tanjung Lesung ISO 100, f/8, 1/160 detik, 64mm

Menjelang matahari terbenam di Tanjung Lesung ISO 100, f/8, 1/160 detik, 64mm

Suasana sunset di pantai Tanjung Lesung. Anak gunung Krakatau terlihat dari kejauhan

Suasana sunset di pantai Tanjung Lesung. Anak gunung Krakatau terlihat dari kejauhan. ISO 100, f/16, 1/6 detik (dengan tripod) 35mm

Karang Bolong dengan akar-akar pohonnya.

Karang Bolong dengan akar-akar pohonnya.

Karang Bolong, Banten. ISO 80, f/4, 1/2000 detik, 28mm

Karang Bolong, Banten. ISO 80, f/4, 1/2000 detik, 28mm

Pantai Tanjung Lesung. ISO 100, f/8, 1/160 detik, 18mm (28mm di FF)

Pantai Tanjung Lesung. ISO 100, f/8, 1/160 detik, 18mm (28mm di FF)

Membuat efek infrared dengan filter

$
0
0

Infrared filter adalah sebuah filter yang memblok semua cahaya kecuali cahaya infra merah yang sangat sedikit. Kalau dilihat dari fisiknya, filter Inframerah hitam pekat mirip dengan filter neutral density (ND) 10 stop. Oleh sebab itu, sebelum filter ini dipasang di depan lensa, fokus harus sudah terkunci.

Dengan filter infrared ISO 400, f/5.6, 30 detik, 35mm. Dikonversi hitam putih lewat Lightroom

Dengan filter infrared ISO 400, f/5.6, 30 detik, 35mm dan tripod. Foto dikonversi hitam putih lewat Lightroom. Awan jadi blur karena shutter speed lambat (30 detik) menangkap gerakan awan. Infrared membuat biru langit menjadi hitam kelam dan warna hijau daun menjadi putih.

Karena filter ini sangat membatasi cahaya yang masuk ke lensa dan kamera, maka dibutuhkan banyak cahaya, sehingga shutter speed yang digunakan akan sangat lambat. Tergantung dari kondisi cahaya lingkungan, shutter speed yang digunakan akan sangat lambat supaya gambar yang dihasilkan terang. Seringkali, meskipun memotret di kondisi yang terang dengan sinar matahari, kita membutuhkan shutter speed diatas 30 detik, terutama saat kita ingin mengunakan ISO dan bukaan yang kecil.

Sayangnya kamera digital biasanya membatasi shutter speed hanya sampai 30 detik. Untuk mendapatkan shutter speed lebih dari 30 detik, dibutuhkan aksesoris tambahan seperti timer cable/wireless release. Jika kita tidak memiliki atau membawa aksesoris tersebut, alternatifnya adalah mengunakan bukaan yang relatif besar seperti f/2.8 f/4 dan ISO kita tingkatkan ke 400, 800 atau lebih tinggi.

Bila mengunakan auto white balance (AWB), hasil foto akan berwarna merah monokrom. Sebaiknya mengunakan custom white balance dulu. Cara setnya berbeda-beda tiap kamera. Intinya kita perlu memotret permukaan yang netral seperti kertas putih atau abu-abu (gray card) secara penuh bidang gambarnya, dan kemudian temukan custom WB / Pre-set WB di menu kamera dan jadikan foto tersebut acuan untuk custom WB. Alternatif lain adalah memotret dedaunan yang hijau dan menjadikannya acuan untuk custom WB. Warna hijau daun akan berubah menjadi putih di hasil gambar.

Sifat khas hasil foto dengan filter ini adalah munculnya tekstur yang sekilas seperti grain pada film. Hal ini menurunkan ketajaman foto, tapi memberikan kesan artistik. Contohnya seperti dibawah ini:

zoom 100% menunjukkan efek grainy.

zoom 100% menunjukkan efek grainy.

Penggunaan filter ini menguntungkan karena kamera tidak perlu dioprek (diubah filter lowpass didepan sensor gambar kameranya). Kamera yang dioprek sulit dikembalikan menjadi normal, dan membutuhkan biaya servis yang lumayan tinggi yaitu sekitar 1.5-2.5 juta.

Sedangkan kelemahan mengunakan filter infrared adalah kamera membutuhkan cahaya dalam jumlah yang banyak sehingga shutter speed pasti lambat sehingga akan sangat sulit untuk membekukan subjek yang bergerak. Untuk menghaluskan aliran air, atau merekam gerakan awan, filter ini malah membantu. Seakan-akan kita menggunakan filter ND 12 stop.

Efek Infrared juga bisa didapatkan dengan editing foto misalnya di Lightroom bahkan ada preset otomatis yang mengubah foto biasa jadi Infrared langsung. Ulasan mengenai itu bisa dibaca disini. Namun metode editing lebih sulit untuk membuat langit menjadi hitam dan juga sulit untuk membuat hijau daun menjadi benar-benar putih.

infrared-filter

Hasil foto asli dari kamera dengan WB Auto tidak disarankan, karena warnanya jadi merah seperti foto diatas. Lebih baik set custom WB

Bagi pembaca yang membutuhkan filter infrared merek B&W yang saya gunakan ini dapat menghubungi 0858 1318 3069 atau infofotografi@gmail.com. Jangan lupa sertakan informasi diameter lensa atau nama lensanya. Harga filternya tergantung dari ukuran diameter lensa. Harga berkisar dari 900 ribu sampai 1.9 juta.

T-shirt Baru! Gear is good, Vision is better!

$
0
0

Perkembangan teknologi kamera dan lensa yang mantap mempermudah kerja fotografer untuk mendapatkan foto dengan kualitas teknis yang bagus, tapi meskipun gear kita (kamera, lensa, flash) secanggih apa, kalau tidak memiliki visi kreatif, hasil foto tidak akan menarik. Pemikiran itulah yang memberikan ide untuk membuat desain t-shirt ini. “Gear is good, vision is better” Kata-kata ini berawal dari fotografer internasional asal Kanada David duChemin.

kaos fotografi tampak depan

Tampak belakang, tersedia yang ada logo atau yang polos

Tampak belakang, tersedia yang ada logo atau yang polos

Kaos ini tersedia beberapa ukuran yaitu
Ukuran = lebar x panjang dalam cm

M = 44 X 68
L = 50 X 69
XL = 52 X 72
XXL = 56 X 76
XXXL = 65 X 85

Kaos ini cocok untuk pria dan wanita (unisex). Sebagai info saya pakai ukuran XL (tinggi saya 173 cm), Iesan pakai M (153 cm).

Harga kaos Infofotografi lengan pendek ini harganya Rp. 75.000,- belum termasuk ongkir

Bahan katun kualitas tinggi. Di bagian belakang kaos terdapat logo Infofotografi.com, ada juga yang logonya ada di dalam kaos.

Ketersediaan kaos desain ini terbatas. Jika berminat langsung hubungi via sms 0858-1318-3069 atau email infofotografi@gmail.com
Jangan lupa sertakan ukuran kaos yang diinginkan, tampak belakang (logo atau polos) dan alamat lengkap.

kaos couple fotografi

Mengenal jenis shutter di kamera digital

$
0
0

Di dalam kamera kita ada komponen bernama shutter, yang peranannya sangat penting untuk mengatur terang gelapnya foto, dan juga bisa membuat benda yang bergerak jadi tampak beku atau sebaliknya jadi terlihat blur. Komponen shutter ini bentuknya seperti tirai yang menutupi sensor, disebut juga dengan focal plane shutter. Saat foto diambil, shutter akan dibuka untuk memasukkan cahaya ke sensor. Lamanya shutter membuka disebut dengan shutter speed yang bisa kita pilih mau cepat atau lambat, dalam hitungan detik atau seper detik. Begitulah cara kerja kamera sampai saat ini, termasuk kamera digital SLR yang banyak dipakai oleh fotografer dimanapun.

Shutter_dslr

Ada satu hal yang menjadi kelemahan dari shutter berjenis focal plane atau nama lainnya vertical travel shutter ini. Bagi yang sering memakai lampu flash tentu pernah mengalami kalau flashnya tidak bisa dipakai pada shutter speed tertentu, misal diatas 1/200 detik. Hal ini karena desain dan kerja shutter yang menyebabkan cahaya flash akan terhalang bila shutter terlalu cepat. Pada hasil foto yang didapat akan terlihat belang, sebagian terang dan sebagian lagi gelap. Batasan ini bisa membatasi kreativitas kita dalam memotret dengan flash, misal di siang hari yang terang jadi tidak bisa pakai bukaan besar kalau pakai flash. Padahal bukaan besar punya keuntungan bisa membuat background jadi blur, dan berkaitan dengan flash kita tahu kalau bukaan besar bisa ‘meringankan’ kerja flash juga.

DSC_2898

Foto dengan flash jadi belang akibat memakai shutter terlalu cepat

Electronic shutter

Dulu saya punya kamera Nikon D40 yang salah satu kehebatannya adalah maksimum flash sync speed-nya. Bila kamera lain umumnya membatasi shutter hanya sampai 1/200 detik saat pakai flash, maka kamera saya ini membolehkan saya memakai flash sampai kecepatan 1/500 detik. Apakah shutter unit di Nikon D40 ini begitu istimewa? Ternyata bukan begitu, rahasianya adalah D40 memakai kombinasi shutter mekanik dan elektronik. Jadi shutter mekanik di kamera D40 itu hanya akan bekerja sampai speed tertentu misal 1/90 detik, lalu bila kita memilih speed lebih cepat dari itu maka otomatis kamera akan memakai shutter elektronik yang mengatur sirkuit di dalam sensor untuk ‘on-off’ dalam kecepatan tertentu, hingga 1/4000 detik.

Mungkin kita pernah bertanya-tanya, mengapa harus ada shutter dalam bentuk mekanik yang harus membuka tutup setiap foto diambil? Bukankah di jaman canggih ini sensor bisa ditugaskan juga jadi elektronik shutter, seperti sensor di kamera saku atau kamera Nikon D40? Apalagi sistem shutter elektronik punya keuntungan yaitu tidak ada komponen yang bergerak dan artinya akan terus bisa dipakai selama sensor atau kamera itu masih hidup. Jawaban simpelnya adalah desain sensor keduanya sedikit ada perbedaan. Sensor DSLR dan kamera lain dengan shutter mekanik didesain untuk ‘perlu bantuan’ dari shutter mekanik dalam menentukan timing eksposur. Sedangkan sensor di kamera saku atau kamera ponsel memang didesain untuk bisa difungsikan juga sebagai shutter elektronik supaya ringkas dan murah.

Penjelasan lebih lanjutnya adalah, pada dasarnya kalau kamera DSLR mau pakai sistem shutter elektronik bisa saja, walau tentu sensornya harus didesain ulang. Masalahnya untuk bisa menjadi shutter elektronik, sebuah sensor harus punya komponen tambahan pada setiap pikselnya, dan ini berakibat kemampuan menangkap cahaya jadi berkurang. Imbas langsungnya ada pada kualitas akhir dari foto yang dihasilkan. Bagi kita pengguna DSLR, mungkin merasa adanya shutter mekanik seolah-olah rumit dan mengangap konsep shutter elektronik terkesan jauh lebih simpel. Tapi bagi produsen kamera DSLR, shutter mekanik adalah sebuah solusi yang lebih masuk akal, bila memakai shutter elektronik justru akan membuat rumit desain sensor DSLR dan akan ada penurunan kualitas hasil fotonya.

Leaf shutter

imagesAda juga kamera yang dibuat dengan desain shutter berjenis leaf shutter. Berbeda dengan focal plane shutter yang biasa kita kenal, leaf shutter ini buka tutupnya mirip bilah aperture lensa, dan memang leaf shutter ini secara fisik berada di lensa (bukan di kamera). Bisa dibilang inilah desain shutter yang paling klasik, ada sejak awal era fotografi jaman dulu, seperti kamera Yashica, Mamiya dan lainnya. Yang jelas leaf shutter saat ini tidak ditemukan di kamera DSLR, melainkan di kamera medium format. Setiap lensa medium format punya leaf shutter sendiri, jadi harga lensanya akan lebih mahal. Kalau dibandingkan dengan focal plane shutter, kekurangan leaf shutter itu tidak bisa mencapai kecepatan yang sangat tinggi seperti focal plane shutter, paling hanya bisa sampai 1/1000 detik. Tapi keuntungannya leaf shutter cenderung tidak berisik, dan satu keunggulan utama dia adalah bisa flash sync dengan berapapun kecepatan shutternya.

Mengapa kemampuan flash sync begitu penting? Seperti yang sudah diulas di awal tulisan ini, saat siang hari tentunya kita akan lebih sering memakai shutter speed yang cepat, misal 1/500 detik. Bila kamera dengan focal plane shutter maksimal membatasi hanya boleh pakai 1/200 detik maka saat siang hari kita mau pakai flash, terpaksa memakai bukaan yang lebih kecil. Bukaan kecil sulit untuk mendapat bokeh dan akan melemahkan kekuatan flash juga. Dengan kamera berdesain leaf shutter, kita bisa pakai 1/500 detik, bukaan besar dan tenaga flash cukup yang rendah saja.

Canon 70D vs Nikon D7100 apa kelebihan kamera DSLR canggih ini?

$
0
0

Canon 70D dan Nikon D7100 adalah kamera DSLR yang tergolong canggih dan keduanya cukup bagus untuk digunakan sebagai kamera serius untuk bekerja ataupun hobi.

canon-70d-vs-nikon-d7100

Beberapa persamaan dari kedua kamera yaitu: Ukuran dan berat yang kurang lebih sama yaitu sekitar 750 gram. Punya dua layar LCD (satu dibelakang, satu di atas). Secara umum tombol dan roda kendali cukup lengkap. Kecepatan foto berturut-turut juga hampir mirip, Canon 70D mampu memotret sampai dengan 7 foto per detik, sedangan D7100 sampai 6 foto perdetik dalam resolusi foto penuh, 7 foto per detik dengan resolusi 1.3X. Jumlah pixel yang dihasilkan kedua kamera juga tidak jauh berbeda, 70D menghasilkan gambar 20 megapixel, D7100, 24 megapixel.

Sistem autofokus kedua kamera juga bisa cukup setara. Canon 70D mewarisi modul autofokus Canon 7D yang cukup baik, sedangkan D7100 memiliki modul autofokus warisan dari sebagian besar kamera profesional Nikon. Dan yang terakhir, harga kedua kamera tidak jauh berbeda, yaitu dikisaran 10-13 jutaan.

Nah selebihnya, saya akan bahas kelebihan dan kekurangan Canon 70D dibandingkan dengan Nikon D7100

Kelebihan Canon 70D

  • Layar sentuh memudahkan saat memotret dengan layar LCD belakang (live view), untuk autofokus, video dan pengaturan kamera.
  • Layar bisa diputar.
  • WiFi terpasang di dalam kamera
  • Autofokus saat live view dan merekam video jauh lebih mulus dan cepat

Kelebihan Nikon D7100

  • Hasil gambar lebih tajam karena tidak ada filter low-pass di depan sensor
  • Ada pilihan crop otomatis 1.3X
  • Dua slot kartu memory SD.
  • Cakupan jendela bidik 100%, di 70D 98%
  • Ukuran layar sedikit lebih besar 3.2 inci banding 3 inci.
  • Bagian atas dan belakang kamera dari logam magnesium alloy, terasa lebih kokoh

Kedua kamera merupakan kamera yang bagus. Bagi yang baru ingin membeli kamera digital SLR untuk pertama kalinya, atau condong ke videografi, Canon 70D mungkin lebih fleksibel karena autofokus saat live view cepat, ada Wifi untuk mentransfer foto ke device lain seperti ponsel atau komputer. Bagi yang menuntut kamera DSLR yang menghasilkan kualitas gambar yang detil dan tajam untuk cetak besar, dan badan kamera yang terasa kokoh dan tahan banting, Nikon D7100 merupakan pilihan yang lebih baik. Untuk yang sudah memiliki koleksi lensa yang cukup banyak dari Nikon/Canon, sepertinya tidak ada alasan yang kuat untuk pindah dari sistem yang satu ke lainnya.

Canon luncurkan kamera DSLR 1200D dan Canon G1X mark II

$
0
0

Never change the winning game; always change a losing one.

Mungkin seperti itulah strategi Canon dalam mengembangkan produknya. Canon 1200D adalah penerus 1100D. Kamera DSLR Canon 1100D adalah salah satu kamera yang sangat populer karena ukurannya yang ringkas, pilihan warna dan yang terpenting adalah harganya paling terjangkau dibandingkan kamera DSLR lainnya dipasar saat ini.

canon-eos-1200D

Untuk penerusnya, 1200D tidak berubah banyak daripada 1100D. Yang berbeda adalah penggunaan sensor gambar 18 MP seperti kamera Canon DSLR lainnya. Pilihan kualitas video lebih banyak, kini Anda bisa merekam video berformat FULL HD dengan 60fps (cocok untuk membuat efek slow motion), dan resolusi layar LCD ditingkatkan dari 230 ribu titik menjadi 460 ribu titik. Canon 1200D tidak menawarkan inovasi baru. Canon 1200D akan menggantikan Canon 1100D sebagai kamera entry-level yang akan dijual dengan harga sekitar 5 jutaan. Saran: Daripada menunggu kamera ini, mendingan Canon 600D dengan spec yang mirip dan ada layar LCD lipatnya.

Sedangkan Canon G1X adalah kamera compact dengan sensor gambar setara kamera DSLR. Canon G1X kurang berhasil karena banyak kelemahannya seperti jendela bidik optik yang terhalang oleh lensa, kinerja autofokus yang pelan dan lensa zoom dengan bukaan lensa yang tidak begitu besar. Canon G1X mark II memperbaiki semua kekurangan G1X. Jendela bidik optik diganti dengan jendela bidik elektronik, lensa zoom diperbaharui dengan yang lebih besar, kinerja autofokus dipercepat dan ukuran sedikit diperkecil.

canon-g1x-mark-2

Sayangnya harga Canon G1X cukup tinggi yaitu $799 (Rp 9,2 juta) padahal Canon G1X generasi pertama hanya $649, dan jika ingin jendela bidik elektroniknya, harus nambah $299 lagi. Meskipun Canon G1X diatas kertas sudah jauh lebih baik, dan merupakan salah satu kamera compact kelas atas, tapi kemungkinan besar Canon G1X mark II tidak akan populer karena harganya yang tinggi.


Bahas pembuatan foto Ray of Light

$
0
0

Kali ini saya akan bahas pembuatan foto dengan bias sinar matahari atau populer dengan istilah ray of light (ROL). Foto ini saya buat saat berkunjung ke Green Canyon / Cukang Taneuh di Jawa Barat dekat Pangandaran. Untuk memotret foto ini dibutuhkan perjuangan yang cukup melelahkan, karena saya tidak terbiasa berenang melawan arus dan saat saya berkunjung masih dalam musim hujan, dimana debit air dan arus cukup kuat.

Pertama-tama kita harus berenang melawan arus ke dalam sungai kecil diantara dua tebing tinggi. Lalu memanjat sedikit ke batu karang dan dari sana saya memotret. Kamera diletakkan ke dalam tas kamera kedap air sewaktu berenang. Tantangannya lumayan juga karena banyak tetesan air dari atas tebing yang membuat kamera dan lensa jadi basah. Sangat saya rekomendasikan untuk membawa kamera dan lensa tahan air (weathersealed) di tempat ini.

Saya juga menyarankan untuk mengunakan filter dengan kualitas tinggi untuk melindungi bagian depan lensa supaya air tidak masuk ke dalam lensa dan memudahkan kita untuk  membersihkan tetesan air. Filter dengan kualitas bagus diperkuat dengan lapisan luar yang anti air dan debu.

ISO 500, f/13, 1/40 detik, 26mm

Ray of light disini jelas terlihat karena cahaya matahari yang menembus aliran sungai kontras dengan warna tebing yang gelap. Air yang menetes terus menerus dari atas tebing membuat suasana lebih dramatis. Cahaya matahari ini berubah-ubah dan dibutuhkan kesabaran dan kecepatan untuk memotretnya. Kita tidak punya banyak waktu untuk berpikir untuk setting kamera. Kalau pakai mode Auto/A/Av, biasanya hasilnya akan lebih gelap karena kamera merasa cahaya terlalu terang. Jika hasil gelap, detail dari tebing bisa hilang. Maka itu, lebih baik mengunakan mode manual dan mengatur setting exposure kamera supaya gelap terangnya oke. Atau kalau tetap ingin mengunakan mode A/Av, gunakan fungsi kompensasi eksposur dan set ke sekitar +1.

Jangan mengunakan shutter speed yang terlalu lambat saat memotret air terjun karena akan membuat foto blur karena goyang, kecuali jika Anda mengunakan tripod. Jika kondisi pencahayaan agak gelap atau hasil foto gelap, naikkan nilai ISO untuk mendongkrak kecepatan shutter speed.

Kami berencana mengadakan tour fotografi ke green canyon dan pantai selatan Jawa Barat dalam 1-2 bulan kedepan. Jika berminat ikutan, kabari via infofotografi@gmail.com atau sms 0858 1318 3069

Tour fotografi terdekat adalah Yunnan, Cina 18-25 Maret 2014 dan Pantai Tanjung Lesung, 5-6 April 2014.

Bagaimana memilih mode AF Area di kamera DSLR Nikon

$
0
0

titik-fokus-kamera-nikonSelama saya mengajar fotografi terutama secara privat, banyak yang memiliki kamera DSLR Nikon menengah-canggih seperti Nikon D300, D700, D800 dan D3-D4, menanyakan tentang mode area fokus. Pilihannya cukup banyak dan buku manual tidak begitu rinci membahasnya.

Sebenarnya tidak rumit-rumit banget kok, yuk, kita simak.

Auto Area AF

auto-area-afKamera memilihkan titik auto fokus untuk kita. Biasanya kamera cenderung memilih objek foto yang berukuran besar, kontrasnya tinggi. Enaknya mengunakan auto area AF adalah kita tidak perlu memindahkan dan menentukan titik autofokus, sehingga kecepatan dalam memotret lebih cepat. Kerugiannya adalah kadang kamera salah menentukan hal yang perlu difokus. Contohnya, kamera memilih fokus di pagar daripada satwa yang dibalik pagar, atau memilih fokus ke gedung di belakang padahal kita ingin memotret orang di depan gedung. Di beberapa kamera DSLR Nikon yang terbaru seperti D800, Auto Area AF dilengkapi dengan face detection sehingga fokus lebih akurat saat memotret manusia. Saya sendiri jarang mengunakan auto area AF. Hanya kalau saya tidak bisa melihat jendela bidik misalnya saat saya mengangkat kamera tinggi-tinggi, saya akan gunakan Auto Area AF.

Single Point AF (39 atau 51 titik)

single-af-point

Di mode ini, kita sendiri yang menentukan titik fokusnya. Sesuaikan posisi titik fokus (bentuknya kotak) dengan subjek yang ingin difokuskan. Tekan setengah untuk mengunci fokus. Subjek yang berimpit dengan titik fokus akan tajam. Single Point AF lebih akurat dan lebih sesuai dengan keinginan fotografernya. Maka itu, mode ini yang saya sering gunakan untuk objek yang tidak bergerak.

Single Point AF (11 titik)

11-af-pointsTitik fokus yang terlalu banyak kadang membuat kita kerepotan dan memperlambat kita dalam mengganti titik fokus dari satu titik ke titik lainnya. Jika titik fokus dirasa terlalu banyak, maka pilihan 11 titik fokus bisa dipilih. Cara memilihnya yaitu di dalam menu>custom (gambar pensil)>AF Point selection. Disini Anda bisa memilih 11 titik daripada 39 atau 51 titik. Pilihan 11 titik mempercepat proses pergantian titik fokus dari ujung ke ujung bidang bidik.

Saat memilih mode AF-C untuk memotret subjek bergerak, maka terbuka beberapa pilihan lagi yaitu:

Dynamic Area AF (9 titik)

dynamic-area-9-pointCocok untuk subjek yang bergerak tapi tidak terlalu cepat dengan arah gerakan yang mudah diprediksi, misalnya orang berjalan dari kiri ke kanan. Titik fokus yang aktif hanya 1, tapi ada 8 titik autofokus disekelilingnya yang juga aktif dalam melacak perpindahan subjek foto.

Dynamic Area AF (21 titik)

dynamic-area-21-pointCocok untuk subjek yang bergerak tidak beraturan, misalnya pemain atlit olahraga dan penari. 21 titik autofokus akan siaga untuk melacak dan mengikuti subjek selama tombol shutter/jepret ditahan setengah.

Dynamic Area AF (51 atau 39 titik) dan 3D tracking

dynamic-area-51-pointKesemua titik fokus akan aktif melacak pergerakan subjek. Cocok untuk subjek yang bergerak sangat cepat dan sangat tidak beraturan, misalnya pergerakan satwa liar. Saat memilih mode area ini, kita bisa memilih 3D tracking.

3D tracking mengunakan sensor warna untuk melacak subjek foto. Ideal jika subjek fotonya memiliki warna yang berbeda dengan latar belakang. Contohnya memotret mobil merah yang sedang melaju.

AF Area mode Nikon biasanya terletak di dalam menu>custom menu>autofocus

AF Area mode Nikon biasanya terletak di dalam menu>custom menu>autofocus

Tuas untuk mengganti mode AF area di kamera Nikon D700

Tuas untuk mengganti mode AF area di kamera Nikon D700

 

Bahas foto di pantai Padang-padang

$
0
0

Seminggu yang lalu, sebelum mengadakan Bali express course, saya sempat mengunjungi beberapa pantai antara lain pantai Padang-Padang atau Labuan Sait. Pantai ini terkenal dengan batu dan karangnya yang besar. Beberapa tahun terakhir pantai ini makin terkenal karena menjadi tempat syuting film Eat Pray Love yang dibintangi oleh aktris Julia Roberts. Film ini berdasarkan buku dengan judul yang sama.

pantai-padang-padang-bali

Saat berkunjung sore hari itu, pengunjung cukup banyak. Sebagian pengunjung bermain air, sebagian lain berjemur dan banyak juga yang sekedar jalan-jalan dan berfoto ria. Saya mendapati seorang wisatawan sedang duduk sendiri dibawah karang yang tinggi besar sambil mengamati pantai. Ekspresi tubuhnya yang santai menarik perhatian saya.

Saya sengaja mengunakan lensa lebar untuk memasukkan karang dan pantai dengan porsi yang lebih banyak. Dengan demikian wisatawan tadi ukurannya menjadi cukup kecil. Dengan komposisi skala ini, yang melihat foto akan dapat membayangkan seberapa tinggi dan besar karang tersebut.

Saya memotret foto ini dengan gaya candid, maksudnya yang difoto tidak mengetahui bahwa saya sedang memotretnya. Ia memang sempat memandang ke arah saya, tapi karena saya mengunakan lensa lebar, axis kamera dan lensa tidak langsung tertuju ke dia. Sehingga kemungkinan besar ia pikir saya memotret pemandangan dibelakang atau disampingnya. Saat memotret saya harus cukup bersabar karena banyak wisatawan yang berjalan-jalan dan berfoto ria di dekat karang dan air.

Untuk teknis setting kamera, saya memotret dengan setting ISO 100, f/8, 1/60 detik dan lensa 16mm (kurang lebih 10-11mm di kamera DSLR dengan sensor APS-C). Untuk setting kamera, saya sedikit melakukan kesalahan, yaitu memotret dengan format JPG (L), biasanya saya memotret dengan RAW, dan kemudian baru mengolah gambar tersebut di Lightroom. Hasil foto JPG memang cukup baik, hanya saja ada bagian yang terang tepat dibawah garis cakrawala/horizon yang putih total dan tidak dapat saya kembalikan detailnya. Jika saya memotret dengan format RAW, ada kemungkinan, detail awan di langit dapat saya munculkan kembali.

Meskipun ada sedikit persoalan teknis, tapi secara komposisi dan desain, saya cukup puas karena setiap garis yang ada di bidang gambar menuju ke wisatawan tersebut.

Di Lightroom, saya menaikkan temp white balance sedikit lebih hangat supaya kesannya lebih seperti sore hari yang hangat. Clarity saya naikkan untuk menonjolkan detail pada karang, dan sedikit menggelapkan warna biru langit.

pantai-padang-lightroom

Untuk belajar foto editing relatif mudah dan cepat, ikuti kursus Adobe Lightroom sehari saja.

Apa itu GN (Guide Number) Flash

$
0
0

Di flash photography, cahaya dari flash digunakan untuk menerangi subjek. Kemampuan flash menerangi subjek terbatas kekuatan dan jaraknya. Semakin tinggi angka GN-nya, semakin kuat flashnya.

Rumus:

Guide number (GN) = jarak (meter) × bukaan (f-number)

 

dengan kata lain:

Bukaan = jarak/GN

Jarak = GN/bukaan

Dengan mengunakan guide number, kita dapat menghitung jarak subjek yang optimal atau bukaan yang dibutuhkan. jika GN flash 60 di ISO 100 dan bukaan diset ke f/8, subjek pasnya berada di 7.5 meter dari flash (di dapat dari 60 dibagi 8) saat kekuatan flash diatur dengan kekuatan penuh. Jika subjek berada lebih dari 7.5 meter, subjek akan terlihat gelap.

Ingat, rumus ini hanya berlaku hanya saat flash diarahkan langsung ke subjek, tidak berlaku lagi jika memasang lighting modifier seperti payung, snoot, softbox dan sebagainya. Juga tidak berlaku saat kepala flash diarahkan ke langit-langit.

Meningkatkan ISO akan meningkatkan GN. Menaikkan ISO memungkinkan untuk menerangkan subjek di jarak yang lebih jauh. Dari ISO 100 ke 200, GN bertambah 1.4 X, sedangkan dari 100 ke 400, GN bertambah 2 X, dan seterusnya.

Kamera DSLR rata-rata memiliki flash yang sudah terpasang, tapi biasanya GN-nya kecil (sekitar 6-12). Flash eksternal biasanya memiliki GN yang lebih besar, yaitu sekitar 35-80.Untuk memotret di tempat gelap seperti resepsi wedding, disarankan menggunakan flash dengan GN yang relatif tinggi.

guide-number-flash

Di flash Nikon SB700 terdapat mode GN, dimana kita bisa mengeset jarak objek dan kamera akan otomatis menentukan kekuatan flash, bukaan dan ISO yang sesuai. Tapi mode ini biasanya jarang dipakai karena mode otomatis TTL  yang tidak perlu mengira-ngira jarak objek lebih praktis.

Duel tiga raja Mirrorless: Olympus OMD EM1 vs Fujifilm XT1 vs Sony A7

$
0
0

Dalam setengah tahun terakhir ini, penggemar fotografi dimanjakan dengan banyaknya kamera-kamera mirrorless kelas atas antara lain Sony A7 dan 7R, Olympus OMD EM1 dan Fujifilm XT1. Yang mana yang terbaik? Mari simak ulasan dibawah ini.

Kiri: Olympus OMD EM1, kanan: Fujifilm XT1

Kiri: Olympus OMD EM1, kanan: Fujifilm XT1

Kualitas gambar
Dari ukuran sensor, Sony A7 menang dari kedua kamera lainnya. A7 memiliki sensor berukuran full frame, setara dengan ukuran film dan kamera DSLR Nikon D800 atau Canon 5D. Resolusi gambar Sony A7/R juga lebih detail, yaitu 24MP/36MP dibandingkan dengan 16 MP yang dimiliki Fuji XT1 dan Olympus EM1. Kamera bersensor full frame menghasilkan kualitas gambar yang masih jernih dan tajam di kondisi cahaya yang kurang baik. Kemampuan merekam detail bidang gambar yang sangat terang dan sangat gelap juga lebih baik.

Fujifilm XT1 menyusul dengan sensor X-Trans, yang lebih kecil dari sensor full frame, tapi memiliki desain yang unik dan ketajaman dan kualitas foto di kondisi cahaya gelap tidak jauh berbeda dengan kamera bersensor full frame. Selanjutnya Olympus EM1, yang memiliki sensor four thirds, lebih kecil dari kedua kamera diatas, dan kualitas gambarnya cukup bagus sampai ISO 1600.

Performance
Tentang kecepatan autofokus, Olympus OMD EM1 termasuk yang tercepat terutama saat memotret subjek tidak bergerak. Fujifilm XT1 sedikit lebih handal dari Olympus saat mengikuti subjek bergerak (AF-tracking). Sony A7 dan terutama A7R menduduki peringkat terakhir karena autofokusnya paling lambat terutama di kondisi cahaya yang gelap/indoor.

Interface dan Ergonomis
Fujifilm XT1 desainnya seperti kamera analog/film dengan pengaturan bukaan di lensa, shutter speed dan ISO dibagian atas kamera. Sedangkan Olympus OMD EM1 meskipun dari luar desainnya berkesan klasik, tapi pengaturannya jauh lebih modern daripada XT1. Yang paling modern desainnya tentunya Sony yang lebih simple dan modern. Jika memiliki pengalaman dengan kamera analog tentu akan menyenangi antarmuka XT1, dan yang menyukai kamera dengan kendali modern seperti kamera DSLR akan menyukai Olympus dan terutama Sony. Diantara ketiganya, pegangan (grip) Olympus OMD EM1 yang lebih besar sepertinya akan lebih nyaman dan mantap saat memotret, terutama saat memasang lensa panjang. Selain itu, adanya fitur touchscreen di Olympus memudahkan untuk mengganti daerah/titik fokus. Sebagai info, kamera Fujifilm XT1 dan Sony A7 layarnya tidak touchscreen.

Ekosistem (lensa dan aksesoris)
Soal koleksi lensa dan aksesoris, Olympus yang tergolong dalam micro four thirds yang juga didukung oleh Panasonic memiliki koleksi lensa dan aksesoris paling lengkap  dan dua kali lipat lebih banyak dari koleksi Fujifilm saat ini, Untuk Sony A7, sampai tulisan ini ditulis, baru ada tiga lensa yang tersedia: 35mm f/2.8, 55mm f/2.8 dan 24-70mm f/4. Sony menjanjikan ada 15 lensa yang tersedia dalam dua-tiga tahun kedepan.

Fitur unggulan lain
Olympus EM1 memiliki built-in shift stabilization 5 Axis yang mumpuni untuk mencegah getaran tangan mempengaruhi ketajaman kamera. Fujifilm XT1 punya jendela bidik terbesar, dan cukup inovatif yaitu bantuan manual fokus split-prism seperti di jendela bidik kamera SLR analog/film. Dan keunggulan Sony A7 seperti yang sudah disebutkan diatas, yaitu sensor gambar kamera yang besar.

Kiri: Sony A7R fisiknya sedikit lebih kecil dari Olympus, tapi di dalamnya sensor gambarnya lebih besar 2X lipat

Kiri: Sony A7R fisiknya sedikit lebih kecil dari Olympus, tapi di dalamnya sensor gambarnya lebih besar 2X lipat

Kesimpulan
Untuk kualitas gambar, Sony A7, terutama Sony A7R adalah yang terbaik. Olympus OMD EM1 unggul di kinerja, ergonomi, koleksi lensa dan fitur (stabilization dan touchscreen). Fujifilm XT1 punya desain unik seperti kamera analog dan autofokusnya paling bisa diandalkan untuk mengikuti subjek bergerak.

Pada dasarnya semua kamera kualitasnya bagus. Cocok untuk hobi sampai profesional (untuk fotografi jenis tertentu). Jika harus menentukan kamera yang secara keseluruhan terbaik karena banyak kelebihannya, Olympus OMD EM1 yang paling oke. Tapi semua kembali ke selera dan juga kebutuhan masing-masing.

Keunggulan dan kelemahan

Olympus OMD EM1
+ Built in sensor stabilization
+ LCD Touchscreen
+ Autofocus sangat cepat
+ Ergonomi/pegangan lebih baik
+ Koleksi lensa dan aksesoris paling lengkap
- Ukuran sensor gambar paling kecil diantara ketiganya
- Harga kamera cukup tinggi

Fujifilm XT1
+ Kualitas gambar bersaing dengan kamera full frame
+ Kecepatan autofokus untuk subjek bergerak sangat baik
+ Jendela bidik inovatif, membantu saat manual fokus
+ Desain klasik seperti kamera analog (bisa termasuk minus bagi yang tidak suka)
- Koleksi lensa tidak terlalu banyak dan harganya cukup tinggi

Sony A7 dan A7R
+ Resolusi gambar besar (24 dan 36 MP)
+ Sensor gambar full frame
+ Ukuran relatif kecil meskipun sensornya besar
- Kecepatan autofokus paling lambat dibanding kedua kamera diatas
- Kualitas LCD/jendela bidik sangat turun saat motret di kondisi gelap
- Koleksi lensa sangat sedikit saat ini
- Tidak tahan air / weathershield

Harga kamera saat artikel ini ditulis

  • Olympus OMD EM1 Rp 18.500.000
  • Fujifilm XT1 body Rp 16.000.000 dengan lensa 18-55mm f/2.8-4 Rp 21.000.000
  • Sony A7R body Rp 25.200.000
  • Sony A7 dengan lensa 28-70mm f/3.5-5.6 Rp 22.100.000

Lebih jauh tentang teknologi sensor di kamera digital

$
0
0

Salah satu aspek yang dilihat saat menilai kualitas kamera digital adalah sensornya. Kita tahu sensor pada kamera digital adalah rangkaian peka cahaya, tempat gambar dibentuk dan dirubah menjadi sinyal data. Tidak semua kamera digital punya ukuran sensor yang sama. Sesuai bentuknya, kamera digital yang kecil umumnya pakai sensor yang juga kecil, sedangkan kamera mirrorless dan DSLR memakai sensor yang lebih besar. Sensor dengan luas penampang sama dengan ukuran film 35mm disebut sensor full frame. Mengapa penting untuk mengenal ukuran sensor di kamera digital? Karena ukuran sensor berkaitan dengan kemampuan menangkap cahaya dan menentukan bagus tidaknya hasil foto yang diambil. Sekeping sensor pada dasarnya merupakan sekumpulan piksel yang peka cahaya, saat ini umumnya sekeping sensor punya 10 juta piksel bahkan lebih. Makin banyak piksel, makin detil foto yang bisa direkam. Tapi saat bicara kualitas hasil foto, kita perlu mencari lebih jauh info ukuran sensornya, bukan sekedar berapa juta pikselnya saja.

pixels

Megapiksel, atau resolusi sensor, saat ini seperti jadi cara efektif untuk marketing. Maka itu ponsel berkamera pun dibuat punya sensor yang megapikselnya tinggi. Pun demikian dengan kamera saku sampai kamera canggih, semua berlomba menjual ‘megapiksel’ ini. Bayangkan sensor kecil yang dijejali piksel begitu banyak, seperti apa rapat dan sempitnya piksel-piksel itu berhimpit? Dibawah ini adalah contoh ilustrasi ukuran sensor, dua di sebelah kiri (yang berwarna merah) adalah mewakili sensor kecil, umumnya ditemui di kamera saku. Sensor kecil memang murah dalam hal biaya produksi, dan bisa membuat bentuk kamera jadi sangat kecil.

Sensor-size

Di sisi lain, ukuran sensor yang lebih besar memang lebih mahal dan kamera/lensanya jadi lebih besar. Tapi keuntungannya dengan luas penampang yang lebih besar, tiap piksel punya ukuran yang lebih besar dan mampu menangkap cahaya dengan lebih baik. Maka itu saat kondisi kurang cahaya, dimana kamera tentu akan menaikkan ISO (kepekaan sensor), yang terjadi adalah hasil foto dari kamera dengan sensor besar punya hasil foto yang lebih baik. Sedangkan di ISO tinggi, kamera sensor kecil akan dipenuhi bercak noise yang mengganggu. Noise ini oleh kamera modern dicoba untuk dikurangi secara otomatis (lewat prosesor kamera) namun yang terjadi hasil fotonya jadi tidak natural seperti lukisan cat air.

Sensor CMOS vs sensor CCD

Perbedaan utama desain CMOS dan CCD adalah pada sirkuit digitalnya. Setiap piksel pada sensor CMOS sudah memakai sistem chip yang langsung mengkonversi tegangan menjadi data, sementara piksel-piksel pada sensor CCD hanya berupa photodioda yang mengeluarkan sinyal analog (sehingga perlu rangkaian terpisah untuk merubah dari analog ke digital/ADC). Anda mungkin penasaran mengapa banyak produsen yang kini beralih ke sensor CMOS, padahal secara hasil foto sensor CCD juga sudah memenuhi standar. Alasan utamanya menurut saya adalah soal kepraktisan, dimana sekeping sensor CMOS sudah mampu memberi keluaran data digital siap olah sehingga meniadakan biaya untuk membuat rangkaian ADC.

CCD-vs-CMOS-image

Selain itu sensor CMOS juga punya kemampuan untuk diajak bekerja cepat yaitu sanggup mengambil banyak foto dalam waktu satu detik. Ini tentu menguntungkan bagi produsen yang ingin menjual fitur high speed burst. Faktor lain yang juga perlu dicatat adalah sensor CMOS lebih hemat energi sehingga pemakaian baterai lebih awet. Maka itu tak heran kini semakin banyak kamera digital (DSLR maupun kamera saku) yang akhirnya beralih ke sensor CMOS. Adapun soal kemampuan sensor CMOS dalam ISO tinggi pada dasarnya tak berbeda dengan sensor CCD dimana noise yang ditimbulkan juga linier dengan kenaikan ISO. Kalau ada klaim sensor CMOS lebih aman dari noise maka itu hanya kecerdikan produsen dalam mengatur noise reduction.

Cara sensor ‘menangkap’ warna

Warna RGB

Sensor gambar pada dasarnya merupakan perpaduan dari chip peka cahaya (untuk mendapat informasi terang gelap) dan filter warna (untuk merekam warna seakurat mungkin). Di era fotografi film, pada sebuah roll film terdapat tiga lapis emulsi yang peka terhadap warna merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue). Di era digital, sensor kamera memiliki bermacam variasi desain teknologi filter warna tergantung produsennya dan harga sensornya. Cara kerja filter warna cukup simpel, misal seberkas cahaya polikromatik (multi warna) melalui filter merah, maka warna apapun selain warna merah tidak bisa lolos melewati filter itu. Dengan begitu sensor hanya akan menghasilkan warna merah saja. Untuk mewujudkan jutaan kombinasi warna seperti keadaan aslinya, cukup memakai tiga warna filter yaitu RGB (sama seperti film) dan pencampuran dari ketiga warna komplementer itu bisa menghasilkan aneka warna yang sangat banyak. Hal yang sama kita bisa jumpai juga di layar LCD seperti komputer atau ponsel yang tersusun dari piksel RGB.

Proses image capture

Bayer CFA

Sesuai nama penemunya yaitu Bryce Bayer, seorang  ilmuwan dari Kodak pertama kali memperkenalkan teknik ini di tahun 1970. Sensor dengan desain Bayer Color Filter Array (CFA) termasuk sensor paling banyak dipakai di kamera digital hingga saat ini. Keuntungan desain sensor Bayer adalah desain mosaik filter warna yang simpel cukup satu lapis, namun sudah mencakup tiga elemen warna dasar yaitu RGB (lihat ilustrasi di atas). Kerugiannya adalah setiap satu piksel pada dasarnya hanya ‘melihat’ satu warna, maka untuk bisa menampilkan warna yang sebenarnya perlu dilakukan teknik color sampling dengan perhitungan rumit berupa interpolasi (demosaicing). Perhatikan ilustrasi mosaik piksel di bawah ini, ternyata filter warna hijau punya jumlah yang lebih banyak dibanding warna merah dan biru. Hal ini dibuat mengikuti sifat mata manusia yang lebih peka terhadap warna hijau.

Bayer_pattern_on_sensor_profile

Kekurangan sensor Bayer yang paling disayangkan adalah hasil foto yang didapat dengan cara interpolasi tidak bisa menampilkan warna sebaik aslinya. Selain itu kerap terjadi moire pada saat sensor menangkap pola garis yang rapat seperti motif di kemeja atau pada bangunan. Cara termudah mengurangi moire adalah dengan memasang filter low pass yang bersifat anti aliasing, yang membuat ketajaman foto sedikit menurun.

Sensor X Trans

Sensor dengan nama X Trans dikembangkan secara ekslusif oleh Fujifilm, dan digunakan pada beberapa kamera kelas atas Fuji seperti X-E2 dan X-T1. Desain filter warna di sensor X Trans merupakan pengembangan dari desain Bayer yang punya kesamaan bahwa setiap piksel hanya bisa melihat satu warna. Bedanya, Fuji menata ulang susunan filter warna RGBnya. Bila pada desain Bayer kita menemui dua piksel hijau, satu merah dan satu biru pada grid 2×2, maka di sensor X Trans kita akan menemui pola grid 6×6 yang berulang. Nama X trans sepertinya diambil dari susunan piksel hijau dalam grid 6×6 yang membentuk huruf X seperti contoh di bawah ini.

X Trans

Fuji mengklaim beberapa keunggulan desain X Trans seperti :

  • tidak perlu filter low pass, karena desain pikselnya sudah aman dari moire
  • terhindar dari false colour, karena setiap baris piksel punya semua elemen warna RGB
  • tata letak filter warna yang agak acak memberi kesan grain layaknya film

Sepintas kita bisa setuju kalau desain X Trans lebih baik daripada Bayer, namun ada beberapa hal yang masih jadi kendala dari desain X Trans ini, yaitu hampir tidak mungkin Fuji akan memberikan lisensi X Trans ke produsen kamera lain (artinya hanya pemilik kamera Fuji tipe tertentu yang bisa menikmati sensor ini). Kendala lain adalah sulitnya dukungan aplikasi editing untuk bisa membaca file RAW dari sensor X Trans ini.

Sensor Foveon X3

foveon X3Foveon sementara ini juga ekslusif dikembangakan untuk kamera Sigma tipe tertentu. Dibanding sensor lain yang cuma punya satu lapis filter warna, sensor Foveon punya tiga lapis filter warna yaitu lapisan merah, hijau dan biru. Desain ini persis sama dengan desain emulsi warna pada roll film foto. Hasil foto dari sensor Foveon memberikan warna yang akurat dan cenderung vibrant, bahasa gampangnya seindah warna aslinya. Hal yang wajar karena setiap photo detector di sensor Foveon memang menerima informasi warna yang utuh dan tidak diperlukan lagi proses ‘menebak’ warna seperti sensor Bayer atau X-Trans.

Yang jadi polemik dalam sensor Foveon adalah jumlah piksel aktual. Misalnya ada tiga lapis filter warna yang masing-masing berjumlah 3,4 juta piksel, maka Foveon menyebut sensornya adalah sensor 10,2 MP karena didapat dari 3 lapis filter 3,4 MP. Ini agak rancu karena saat foto yang dihasilkan dari sensor Foveon kita lihat ukuran pikselnya memang hanya 2268 x 1512 piksel atau setara dengan 3,4 MP.

Salah satu kelemahan dari sensor Foveon adalah noise yang sudah terasa mengganggu walau di ISO menengah seperti ISO 800. Tapi seiring peningkatan teknologi pengurang noise maka hal ini tidak akan jadi masalah serius di masa mendatang.

Kesimpulan

Teknologi sensor gambar masih terus berkembang, dari yang paling mudah dilihat seperti kenaikan resolusi (megapiksel) hingga teknologi lain yang bisa membuat hasil foto meningkat siginifkan. Yang saya cermati adalah era Bayer sudah terlampau usang, dengan teknik interpolasi yang banyak keterbatasan, perlu segera digantikan dengan metoda lain. Sensor X Trans buatan Fuji membawa angin segar dengan peningkatan kualitas foto dibanding sensor Bayer khususnya dalam hal ketajaman dan kekayaan warna, namun sayangnya tidak (belum?) bisa diadopsi di kamera lain. Sensor Foveon pun demikian, walau secara teknik paling menyerupai emulsi film (yang artinya bakal memberi hasil foto yang paling baik) justru dipakai di kamera yang jarang dijumpai seperti kamera Sigma. Sensor kamera yang paling ideal itu harus cukup banyak piksel (detail), punya dynamic range lebih lebar dari sensor yang ada saat ini, punya filter warna yang lebih baik dari Bayer CFA, dan efisien (harga, performa, kinerja ISO tinggi dsb). Kira-kira kapan ya sensor ideal ini bisa terwujud?

Apa itu HDR (High Dynamic Range)?

$
0
0

Sensor gambar kamera (image sensor) belum secanggih mata manusia dalam melihat gelap terang yang sangat kontras di sebuah pemandangan. Misalnya saat menikmati pemandangan matahari terbit atau tenggelam, warna dan corak langit sangat indah dan bervariasi. Sedangkan kamera digital yang kita miliki, meskipun yang paling canggih sekalipun belum mampu merekam detail secara penuh dari pemandangan tersebut. Akibatnya di beberapa bagian foto akan terlihat terlalu terang (putih) dan sebagian akan terlalu gelap (hitam).

Foto matahari terbit tanpa HDR. 1/15 detik, ISO 100, f/16, 17mm

Foto matahari terbit tanpa HDR. 1/15 detik, ISO 100, f/16, 17mm

HDR built-in di kamera Nikon D600 dengan setting exposure 3 stop dan smoothing high

Foto diatas dibuat dengan waktu yang terpaut tidak jauh berbeda, tapi hasilnya sangat berbeda. Di foto yang pertama, saya memotret secara biasa, sedangkan yang kedua dengan mengaktifkan fitur HDR di kamera Nikon D600. Hasilnya, detail awan dan batu-batuan yang tadinya gelap jadi terlihat terang. Sayangnya fitur HDR di kamera Nikon D600 ini hanya bisa diaktifkan jika memilih image quality berbentuk JPG saja, tidak bisa berupa RAW. Sedangkan di kamera Canon 5D Mk 3 sudah bisa merekam foto HDR otomatis dengan format file RAW.

Cukup banyak juga kamera digital baik SLR, compact maupun ponsel yang memiliki fitur ini. Contohnya Pentax K3, Canon 5D Mk3, Canon G16, Nikon Coolpix P100, Sony NEX dan lain lain.

Saat memotret HDR, kita wajib mengunakan tripod atau memastikan komposisi dan kamera tidak berubah. Hal ini karena kamera akan mengambil minimal dua foto (yang satu terang, satu gelap) kemudian kedua foto tersebut akan digabungkan menjadi satu. Dengan demikian hasil foto akhir memiliki detail yang paling lengkap. Saat memotret HDR, pastikan mode yang digunakan adalah Aperture Priority atau Manual, sehingga ruang tajam tidak berbeda. White Balance yang mengatur warna harusnya juga jangan AWB (Auto), tapi ditentukan sesuai sumber cahaya yang ada, misalnya Daylight atau simbol matahari.

Menu dan kualitas olahan HDR kamera masih sangat terbatas baik pilihan dan kualitasnya, maka itu, jika berminat membuat HDR yang lebih sesuai dengan keinginan (baik halus maupun keras/dramatis), maka sebaiknya melakukan teknik HDR secara manual. Caranya yaitu membuat setidaknya dua foto yang berbeda terang-gelapnya, dan lalu diproses dengan software HDR. Saat ini, yang populer adalah software bernama Photomatix atau Adobe Photoshop CS.


Teknologi Auto fokus kini semakin canggih

$
0
0

Saat seseorang akan membeli kamera baru, kadang fitur auto fokus luput dari perhatian. Dianggapnya semua kamera kan sudah bisa auto fokus, dan dia tidak menyangka bahwa ini adalah salah satu mekanisme paling rumit yang dimiliki setiap kamera. Ya, fitur auto fokus itu penting, supaya bisa dapat foto yang fokusnya pas. Tapi bukankah setiap kamera sudah bisa auto fokus, dan tentu hasilnya akan sama, lalu dimana perbedaannya? Jawabannya adalah dalam hal kecepatan mencari fokus, mulai dari tombol rana ditekan setengah, kamera memutar elemen fokus di lensa, hingga terdengar bunyi beep (tanda bahwa fokusnya sudah didapat). Biasanya proses ini didapat dalam waktu 1/2 hingga 5 detik, tergantung banyak faktor. Tapi satu hal yang pasti, auto fokus yang lambat akan membuat kesal karena momen yang ingin difoto bisa saja terlewatkan.

DSC_5383 contoh

Fokus ke subyek sebelah kiri, maka subyek yang ada di depan dan latar belakangnya tampak tidak fokus

Fokus dalam fotografi juga memegang peranan penting untuk menggiring perhatian mata kita kepada subyek utama yang ingin kita tonjolkan. Saat kamera fokus ke satu subyek ,maka area yang ada di depan dan di belakangnya akan tampak tidak fokus (blur). Maka jadi hal yang penting untuk kita bisa mengatur auto fokus kamera yang tepat, karena foto yang sudah blur tidak bisa dikembalikan lagi fokusnya.

Kali ini kita akan membahas tentang teknologi auto fokus di kamera digital. Cara kamera mencari fokus secara umum terbagi dalam dua cara, yaitu memakai deteksi kontras dan deteksi fasa. Kita akan bahas satu-satu beserta kelebihan dan kekurangannya.

CDAF (Contras Detect AF)

CDAF

Cara CDAF adalah cara yang paling murah, ditemui di semua kamera digital non DSLR, seperti kamera saku, prosumer bahkan kamera mirrorless (yang bisa berganti lensa). CDAF punya prinsip kerja yang mengandalkan kecepatan prosesor kamera untuk menganalisa fokus, tentunya selama proses mencari fokus kamera harus bisa ‘melihat’ obyek yang difoto melalui sensor gambar. Kamera akan mencari kontras terbaik dan kadang terlihat ada seperti ‘focus hunting’ gambar terlihat agak maju mundur. Semakin baik prosesor kamera maka proses mencari fokus bisa lebih cepat dan bisa juga ‘dipaksakan’ untuk mengikuti subyek yang bergerak walau tetap terlihat focus hunting-nya.

Clipboard-2

Keuntungan CDAF :

  • hasil fokus yang didapat sangat akurat, obyek yang difokus akan terlihat tajam dan detail
  • praktis dan murah, karena proses auto fokus hanya melibatkan sensor dan prosesor
  • bisa mendeteksi wajah
  • area atau titik yang ingin difokus bisa di semua bidang gambar dan bisa diaplikasikan untuk sistem layar sentuh

Kerugian CDAF :

  • focus hunting, kadang jadi lama sampai fokus benar-benar didapat
  • bisa terkecoh oleh obyek lain yang lebih kontras
  • tidak handal untuk fokus kontinu, misal bendanya bergerak
  • focus hunting bisa terekam juga bila rekam video

PDAF (Phase Detect AF)

Phase_detection_AF

Cara PDAF ditemui di kamera DSLR, dengan membelokkan gambar yang lewat dari lensa menuju modul auto fokus tersendiri. Kamera DSLR yang lebih mahal punya modul fokus yang lebih canggih dan rumit. Setiap modul punya titik fokus dalam jumlah tertentu, misal sebagian kamera DSLR Canon pakai 9 titik, yang Nikon pakai 11 titik atau lebih. PDAF mengandalkan deteksi fasa sehingga untuk mencari fokus kamera cukup membandingkan perbedaan fasa pada sensornya, tanpa perlu sensor untuk ‘melihat’ gambar. Saat fokus sudah didapat, barulah foto diambil (cermin terangkat) dan sensor merekam gambar yang sudah fokus. Perkecualian saat kamera DSLR masuk ke mode live-view, maka auto fokusnya juga akan beralih menjadi CDAF.

img_05

Keuntungan PDAF :

  • proses mendapatkan fokus yang cepat, tanpa ada hunting
  • handal untuk fokus kontinu, subyek bergerak kiri kanan atau maju mundur tidak masalah
  • bisa diandalkan di tempat agak gelap

Kerugian PDAF :

  • kadang walau kamera sudah dapat fokus, tapi hasil fotonya masih kurang fokus (perlu kalibrasi atau AF fine tune)
  • tidak bisa dipakai saat rekam video
  • terbatas hanya sejumlah titik yang ada, dan umumnya semua titik berkumpul di tengah (sulit memfokus benda yang ada di pinggir)
  • modul yang lebih canggih membuat harga kamera jadi mahal

Hybrid AF

Dari poin-poin di atas tampaknya anda jadi semakin bingung karena kedua cara ini sama-sama punya plus minus sendiri. Ya memang kenyataan ini tidak bisa dihindarkan karena desain dan cara kerja kameranya memang berbeda-beda. Perkembangan kamera digital saat ini juga semakin beragam, dengan ciri kamera semakin banyak dipakai juga untuk rekam video. Kamera DSLR mengalami keterbatasan dalam rekam video karena sistem PDAF pasti tidak bisa dipakai, maka itu terpaksa beralih ke sistem CDAF yang kerap mengalami focus hunting. Masalah yang agak berbeda dialami kamera mirrorless yang memang memakai sistem CDAF, terasa kurang handal untuk dipakai memotret benda bergerak. Nah solusinya adalah menggabungkan kedua metoda ini dalam satu kamera.

70d_feature

Bagaimana bisa? Intinya secara prinsip dasar, yang namanya elemen pendeteksi fasa (untuk PDAF) tidak harus dibuat berupa modul terpisah, melainkan bisa didesain untuk menyatu pada sensor gambar berupa piksel-piksel khusus AF. Jadi dalam prakteknya sebenarnya dimungkinkan untuk dibuat sebuah sensor yang punya dua fungsi, yaitu menangkap gambar dan mendeteksi fasa. Jadi sistem ini memungkinkan kamera untuk mencari fokus berdasarkan deteksi kontras dan sekaligus juga deteksi fasa. Ilustrasinya seperti gambar di atas.

canon-70d

Sekilas saja kita bisa tahu bahwa fakta ini bukanlah kabar baik bagi kamera DSLR. Mengapa? Karena deteksi fasa (PDAF) tidak lagi jadi hak ekslusif kamera DSLR. Hal ini jadi kabar baik justru bagi kamera mirrorless karena bisa mengatasi keterbatasan yang dulu mereka alami. Tapi kamera DSLR bila mau (atau bila mampu) juga boleh memakai sensor hybrid AF ini, tentunya hanya saat sedang live-view dan sedang rekam video. Anda tahu kamera DSLR Canon terbaru EOS 70D? Kamera ini punya sensor hybrid yang bisa auto fokus berbasis deteksi fasa saat live-view. Tapi upaya ini dilakukan saat produsen DSLR sudah punya banyak lensa, sedangkan untuk hasil maksimal diperlukan lensa dengan motor fokus yang bisa mendukung kerja hybrid AF ini. Tak mau mengenal istilah terlambat, Canon memulai era baru dengan merilis lensa baru (atau memodifikasi lensa yang ada) dengan kode STM (Stepper Motor) seperti lensa 18-55mm dan lensa 18-135mm seperti contoh gambar di atas. Produsen lain seperti Nikon atau Pentax mungkin masih perlu waktu lama untuk mengikuti jejak Canon (itupun bila mereka mau).

LCD CDAF

Di kamera mirrorless, hybrid AF ini seakan jadi ciri kamera mirrorless kelas atas, yang menjanjikan kecepatan dan akurasi fokus, serta fokus kontinu untuk benda bergerak atau saat rekam video. Kamera seperti Sony A6000 mengklaim sebagai kamera dengan auto fokus tercepat, lalu ada Fuji X-T1 dan beberapa kamera mirrorless lainnya. Dengan teknologi hybrid AF ini, kamera akan terlebih dahulu memakai cara deteksi fasa untuk mendapat fokus ke obyek yang diinginkan tanpa hunting, lalu dilanjutkan dengan memakai deteksi kontras untuk mencari fokus terbaik dan paling akurat, keren kan..

Tour fotografi Singapore 25-27 April 2014

$
0
0

Halo semua pencinta fotografi dan jalan-jalan. Kali ini, Infofotografi.com bekerjasama dengan Dwidaya Tour, mengadakan tour fotografi ke Singapore. Kota Singapore menarik untuk fotografi karena arsitekturnya yang unik di Marina bay area. Kita akan memotret di Gardens by the Bay, Singapore sky line, Merlion park. dan juga hunting foto human interest di Tekka Market dan Pura Sri Veeramakaliamman di daerah Little India.

Gardens by the Bay

Gardens by the Bay

Sebelum hunting dimulai, saya (Enche Tjin) akan sharing tips dan petunjuk setting kamera untuk memotret dan bimbingan akan dilakukan di lokasi. Di hari ketiga, sebelum meninggalkan Singapore, saya akan mengadakan photo review membahas foto-foto bersama-sama.

Itinerary tour fotografi Singapore 25-28 April 2014:

Day 01 Jakarta – Singapore
Pada waktu yang sudah ditentukan anda akan berkumpul di Bandara Soekarno Hatta untuk bersama-sama berangkat menuju Singapore. Setibanya di Singapore, anda akan langsung diantar ke hotel untuk check-in. Setelah itu ada briefing tentang photography sebelum melanjutkan hunting sunset photo di Gardens by The Bay. Lalu anda akan diantar ke Clark Quay untuk makan malam. (Makan Siang, Makan Malam)

Day 02 Singapore
Hari ini di awali dengan hunting sunrise at Merlion Park lalu menuju Little India, Sri Veeramekaliamman Temple, dan Tekka Market. Setelah makan siang anda akan diajak ke daerah Marina Bay untuk hunting photo sambil menunggu sunset di Marina Bay Sands. (Makan Pagi, Makan Siang, Makan Malam)

Day 03 Singapore – Jakarta
Makan pagi dihotel, sebelum kembali ke Jakarta akan ada photo review, sharing tip dan trik editing. Lalu anda akan diantar ke Bandara Udara Changi untuk kembali ke Jakarta. (Makan Pagi, Makan Siang)

Merlion Park, Menjelang Sunrise

Merlion Park, Menjelang Sunrise

Biaya tour fotografi Singapore: USD $528 (Net)

Seat sangat terbatas (maksimum 15 orang).

Paket termasuk :

  • Tiket pesawat CGK-SIN-CGK, dan Jakarta Airport Taxes
  • 2 malam hotel akomodasi di Fragrance Oasis
  • Transfer Airport – Hotel – Airport
  • Bimbingan fotografi oleh Enche Tjin
  • Guide lokal, supir
  • Transportasi selama di Singapore (dengan bis)
  • Ticket Garden by the Bay (Flower Dome & Cloud Forest)

Paket belum termasuk :

  • Pengeluaran pribadi
  • Tipping guide & driver USD 3/hari/orang

Wajib dibawa

  • DSLR Camera (Full Frame or Crop Sensor)
  • Lensa zoom standar lebar sampai menengah, contoh 18-55mm
  • Tripod untuk sunrise dan sunset

Rekomendasi

  • Laptop untuk sharing foto, media penyimpanan
  • Baterai ekstra dan memory card secukupnya.
  • Foto lensa sangat lebar (jarak fokus sekitar 10-35mm)
  • Lensa telefoto (jarak fokus sekitar 50-200mm)
  • Lensa makro (untuk bunga di Gardens By the Bay)

Prosedur pendaftaran

  1. Melakukan pembayaran DP USD $300 (atau Rupiah sesuai kurs) via BCA 4081218557 atau Mandiri 1680000667780
  2. Pelunasan biaya tour dua minggu sebelum keberangkatan
  3. Hubungi 0858 1318 3069 untuk informasi dan pendaftaran

Saatnya packing lagi untuk tour foto ke Yunnan, Cina

$
0
0

Dari beberapa tahun yang lalu, saya sangat ingin mengunjungi Yunnan, Cina. Provinsi Yunnan merupakan provinsi yang terletak di daerah selatan Cina, berbatasan dengan banyak negara, antara lain: Laos, Myanmar, dan Vietnam. Yunnan juga bertetangga dengan Provinsi Tibet. Karena merupakan provinsi yang terletak di perbatasan, Yunnan kaya dengan keragamaan suku dan budaya yang menarik. Selain itu tentunya pemandangannya unik dan indah. [ Tour fotografi Yunnan ].

Jumlah peserta tour kali ini tidak banyak, dibawah 15 orang, oleh sebab itu, kendaraan yang kita gunakan juga van yang muat 17 orang. Van seperti ini tidak memiliki ruang bagasi yang besar, jadi saya menghimbau semua peserta untuk packing light, supaya duduknya bisa lebih lega. Tour kali ini kita akan berpindah-pindah penginapan, karena spot-spot fotonya agak jauh satu dengan lainnya.

Packing light itu sulit karena berat untuk meninggalkan barang-barang yang  mungkin saja akan berguna selama tour. Tapi membawa gear (kamera, lensa, dan aksesoris) yang sedikit mungkin membuat saya bisa lebih fokus dalam memotret daripada memikirkan lensa apa yang harus saya pasang ke kamera. Seperti biasanya, saya hanya membawa satu kamera dan dua lensa yang sudah akrab dengan saya, yaitu Nikon D600, Nikon 16-35mm f/4 VR, dan Sigma 70-200mm f/2.8 HSM Macro. Tidak ada perubahan kamera atau lensa baru dari beberapa tour fotografi terakhir karena saya merasa kombinasi kamera, lensa sudah cukup baik. Membawa kamera, lensa baru yang tidak saya kenal merepotkan saat di lapangan.

Kali ini, saya akan membawa tripod baru yang cukup besar dan kokoh, yaitu Benro C1682TV1 Harapan saya, dengan tripod ini dapat menahan beban lensa telefoto 70-200mm f/2.8 dengan baik. Tas yang saya gunakan masih tas selempang KATA Report IT 10 yang  fleksibel untuk akses ganti lensa. Karena temanya lebih fokus ke foto pemandangan, filter yang saya bawa yaitu filter CPL dan ND.

Iesan, istri saya, gearnya sangat berbeda dengan saya, Ia akan membawa kamera Canon 650D dan lensa andalannya 18-135mm IS STM dan lensa Canon 100mm f/2.8 IS L Macro. Tidak seperti biasanya, Iesan kini akan membawa tripod travel yang saya ulas disini. Saya cukup bergembira karena istri saya sudah menyadari bahwa tripod itu penting bukan hanya untuk mendapatkan hasil terbaik saat kondisi cahaya sulit (sunset, sunrise), tapi juga sangat berguna saat merekam video klip. Rencananya, Iesan akan mencoba merekam cuplikan-cuplikan perjalanan kita selama di Yunnan. Sebelumnya Iesan mengeluhkan bawa tripod itu merepotkan dan berat. Tas yang digunakan Iesan adalah KATA GP-100, yang ringan dan kapasitasnya jauh lebih cukup.

Tour fotografi kali ini akan berlangsung dari tanggal 18-25 Maret, dan selama itu, telp 0858-1318-3069 dan infofotografi@gmail.com masih aktif untuk menerima pendaftaran kursus, order buku, atau produk lainnya. Sampai jumpa, dan nantikan kabar dan foto-foto dan pengalaman yang akan saya bagikan di Infofotografi selama di Yunnan.

Rekomendasi Lensa terbaik untuk portrait

$
0
0

Pada dasarnya, semua lensa dapat digunakan untuk foto portrait, dari sangat lebar (wide) sampa telefoto. Tiap lensa memiliki sifat yang berbeda, dan setiap fotografer memiliki lensa favorit yang berbeda-beda. Saya sendiri hampir selalu meraih lensa 85mm f/1.4 saya untuk portrait. Saat dipasang di kamera full frame, saya bisa mendapatkan sudut pandang yang tidak terlalu luas dan sempit. Saat memotret dengan lensa ini, arak antara saya dan subjek foto sekitar 2-4 meter. Jarak yang cukup nyaman untuk saya dan subjek fotonya. Bokeh/latar belakang yang dihasilkan lensa 85mm lembut dan sangat blur, sehingga menonjolkan subjek yang dipotret.

135mm, dengan lensa 70-200mm f/2.8 yang fleksibel. Talent: Putri Blouvia

135mm, dengan lensa 70-200mm f/2.8 yang fleksibel. Cocok untuk digunakan di outdoor yang ruangnya luas. Talent: Putri Blouvia

Bagi yang memiliki kamera DSLR dengan sensor APS-C / Cropped sensor, maka ekuivalennya adalah sekitar 55-60mm. Jika 85mm dipasang di kamera bersensor APS-C yang dipakai sebagian besar fotografer amatir dan semi-profesional, maka jarak antara fotografer dan subjek foto menjadi lebih jauh, yaitu sekitar 3-5 meter. Jarak yang agak jauh agak menyulitkan saat memotret di ruang yang sempit dan untuk berkomunikasi. Rekomendasi saya yaitu mengunakan lensa 50-60mm untuk portrait. Beberapa lensa yang ekuivalennya 85mm yaitu Nikon 58mm f/1.4, Fuji 56mm f/1.2 dan si raksasa, Zeiss Otus 55mm f/1.4. Bagi yang budgetnya terbatas, lensa 50mm f/1.8 merupakan lensa yang paling terjangkau, dan tidak beda terlalu banyak sudut pandangnya dibandingkan lensa yang saya sebutkan sebelumnya.

Bagi yang menyukai fleksibilitas zoom dalam memotret portrait, lensa zoom 70-200mm f/2.8, ideal untuk kebutuhan itu. Lensa telefoto mengkompresi ruang sehingga wajah tampak lebih fotogenik. Namun harga yang tinggi dan ukuran lensa yang besar mungkin merintangi sebagian besar orang untuk mengunakan lensa ini. Lensa dengan jarak fokus (focal length) 24-70mm (ekuivalen dengan 17-50mm di kamera APS-C) juga bagus untuk portrait yang juga memasukkan elemen lingkungan/background yang luas. Lensa zoom lebar sampai menengah ini memudahkan kita untuk memasukkan lingkungan subjek berada sehingga cocok untuk foto human interest.

Lensa fix 85mm memiliki bukaan lensa yang besar sehingga membuat latar belakang sangat blur. Foto diatas dibuat dengan bukaan f/2.2

Lensa fix 85mm memiliki bukaan lensa yang besar sehingga membuat latar belakang sangat blur. Foto diatas dibuat dengan bukaan f/2.2. Talent: Jasmine

Rekomendasi lensa portrait untuk pengguna kamera DSLR Canon bersensor APS-C. Misalnya Canon seri 600D/70D
Murah: Canon 50mm f/1.8
Sedang: Canon 50mm f/1.4, Canon 85mm f/1.8 (untuk close up)
Mahal: Canon 70-200mm f/2.8 IS atau sejenisnya dari merek lain (Sigma, Tamron)

Rekomendasi untuk kamera Canon full frame. Misalnya Canon 1D, 5D, 6D
Sedang: Canon 85mm f/1.8
Mahal: Canon 70-200mm f/2.8 IS, Canon 85mm f/1.2

Rekomendasi lensa portrait untuk pengguna kamera DSLR Nikon bersensor APS-C/DX. Misalnya Nikon D3200, D5200, D7100
Murah: Nikon 50mm f/1.8G
Sedang:  Nikon 85mm f/1.8G (untuk close-up)
Mahal: Nikon 70-200mm f/2.8 VR, 58mm f/1.4

Rekomendasi untuk kamera Nikon full frame. Misalnya Nikon D600, D800, D4
Sedang: Nikon 85mm f/1.8G
Mahal: Nikon 70-200mm f/2.8 VR

Rekomendasi untuk kamera mirrorless Olympus & Panasonic
Sedang: Olympus 45mm f/1.8
Mahal: Olympus 75mm f/1.8, Panasonic 35-100mm f/2.8

Rekomendasi untuk kamera mirrorless Sony
Sony 50mm f/1.8 OSS

Seperti apa foto yang warnanya akurat itu?

$
0
0

Pernahkan anda saat mencetak foto mendapati warna hasil cetaknya tidak memuaskan, atau tidak seperti yang diharapkan? Mau komplain tapi ragu karena kita merasa tempat cetak foto tentu sudah punya mesin yang sesuai standar, atau jangan-jangan monitor kita yang justru tidak akurat? Hal yang tidak dialami saat era fotografi film karena kita tidak bisa membandingkan hasil cetak fotonya dengan monitor kita. Lalu bagaimana menyikapi hal ini, dan seperti apa sih foto yang warnanya akurat itu? Hal ini akan kita bahas secara singkat untuk memberi gambaran supaya kita punya alur kerja manajemen warna yang baik mulai dari memotret hingga mencetak.

Pertama untuk menjawab seperti apa sih foto yang warnanya akurat itu ternyata bukanlah hal yang mudah. Karena umumnya akurasi itu relatif, kita perlu mengacu dulu dengan membandingkan dengan apa yang kita lihat langsung obyek fotonya. Bila kita melihat sebuah obyek berwarna merah ya dalam fotonya harus sama merah, bukan keunguan atau merah muda misalnya. Tapi dalam fotografi itu tidak selalu diperlukan akurasi warna yang sangat presisi, dalam foto landscape malah sering warna dibuat berbeda untuk alasan kreativitas atau keunikan. Kebutuhan akurasi warna yang tepat biasanya ditemui dalam foto produk, foto fashion dan foto makanan. Terlepas apa yang kita akan foto, kita sederhanakan saja bahwa kita ingin mendapat foto yang warnanya akurat, bagaimana upaya yang bisa ditempuh?

Pengaturan di kamera

Ada baiknya kita juga memahami bagaimana warna-warni di alam ini bisa direkam oleh kamera. Di bahasan sebelumnya saya menulis tentang sensor dan filter warnanya. Dibutuhkan tiga filter warna yaitu merah (R), hijau (G) dan biru (B) untuk bisa merekam variasi warna yang beragam di alam ini. Lalu kita juga perlu ingat juga kalau warna yang ditangkap oleh sensor dipengaruhi juga oleh warna sumber cahaya yang menerangi obyek yang difoto. Sebagai bagian dari aspek teknis memotret, pengaturan White Balance di kamera menjadi sangat penting untuk langkah awal mendapatkan foto yang akurat. Disinilah kita mengupayakan kamera mendapat warna yang netral, dimana sebuah benda putih akan tampak putih saat diterangi dengan sumber cahaya apapun (matahari, flash, neon, lampu stadion, lampu jalanan, bohlam di kafe atau restoran, dsb).

WB_colortemp

Di kamera ada banyak cara untuk mengatur WB, misalnya :

  • memilih Auto WB : praktis, cukup akurat, tapi tidak konsisten (bila kita ambil banyak foto di tempat yang sama dengan AWB maka tiap hasil fotonya bisa mengalami sedikit variasi warna)
  • memilih preset melalui simbol yang ada : hasil konsisten selama tidak pindah lokasi dan sumber cahaya tetap, tapi akurasi warna belum tentu pasti akurat, tergantung warna dari sumber cahayanya (misal sudah memilih simbol lampu neon, tapi mungkin hasilnya belum bisa netral)
  • memilih nilai Kelvin (K) disesuaikan dengan temperatur sumber cahaya : hasil warna pasti akurat, tapi perlu coba-coba (sayangnya tidak semua kamera menyediakan fitur ini)
  • mengukur benda putih / custom WB : agak repot, mesti memotret benda putih dulu, tapi hasil paling akurat

Custom WB

Nah, dari beberapa cara diatas mana yang paling sesuai untuk dipilih bila tujuan kita mendapatkan warna yang akurat? Saya pikir mengukur benda putih (custom WB) adalah cara paling tepat, walau sedikit repot tapi hasilnya pasti akurat. Untungnya fitur ini tersedia di banyak kamera digital generasi modern termasuk kamera non DSLR.

Akan lebih aman bila kita memotret dengan file RAW, apabila tujuannya adalah akurasi warna. Karena apapun pilihan WB yang diambil saat foto diambil, kita masih bisa atur belakangan saat editing. Apalagi saat memakai file RAW kita juga bisa atur picture style/picture control belakangan, seperti pengaturan saturasi dan hue (color tone) yang sangat mempengaruhi warna. Bila tidak ada tujuan khusus, biarkan setting saturasi dan hue berada di posisi default/tengah-tengah. Bila kita tidak pakai RAW dan hanya memotret dengan file JPG maka lebih amannya memilih picture style Neutral atau Faithful (di kamera Canon).

Melihat atau editing foto di komputer

Nah kalau bicara editing, maka kita bicara monitor yang umumnya kini berjenis LCD (sebagian juga ada yang jenis CRT/tabung). Sama seperti layar LCD di kamera, layar monitor komputer juga belum tentu menampilkan warna yang akurat. Jadi kurang bijak kalau kita menilai akurasi warna hanya mengandalkan layar LCD di kamera. Monitor komputer, termasuk laptop, bisa jadi juga warnanya tidak akurat dan ini tidak ideal untuk dipakai mengedit foto. Untuk akurasi warna, monitor perlu dikalibrasi sehingga bisa menampilkan warna dan juga terang gelap yang standar. Prosedur kalibrasi bisa dilakukan dengan menu di komputer, biasanya kita diminta untuk mengatur setting brightness dan contrast ke nilai tertentu, lalu secara interaktif kita akan memilih beberapa gambar di layar dan komputer akan otomatis membuatkan sebuah profil untuk kita. Cara lain ada juga dengan software khusus, bahkan bisa kalibrasi monitor melalui website online.

Spyder3

Proses kalibrasi monitor yang lebih profesional memerlukan alat bantu berupa spectrocolorimeter, yang akan membaca warna yang ditampilkan monitor lalu secara otomatis membuatkan profil yang sesuai. Dengan cara ini bisa didapat tampilan monitor yang sangat akurat, baik dalam hal menampilkan warna ataupun menunjukkan perbedaan terang gelap (kontras) yang sesuai. Beberapa alat kalibrasi monitor yang populer diantaranya Datacolor Spider, X-rite i1 dan sebagainya. Ilustrasi perbedaan warna yang ditampilkan monitor antara sebelum dan sesudah di kalibrasi kurang lebih seperti gambar di bawah ini :

color-management1

Saat mencetak foto

Oke, bila foto anda hanya ingin dilihat di monitor, langkah kalibrasi di atas sudah selesai untuk mendapatkan warna yang akurat. Tapi bila anda lanjutkan dengan mencetak fotonya, maka ada hal lain yang perlu diketahui guna mendapat akurasi warna pada hasil cetaknya. Cetak foto ada dua macam, cetak ke tempat cetak foto seperti fotolab, atau cetak sendiri di rumah dengan printer foto rumahan. Saya tidak akan membahas cetak foto di lab karena tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengatur akurasi warna disana, alias pasrah akan hasilnya (tipsnya, carilah tempat cetak foto yang akurasi warnanya terkenal baik). Saat mencetak di rumah, yang penting pastikan pengaturan warna di mesin cetak sudah benar, dan gunakan kertas foto yang baik. Setiap kertas foto juga punya karakter berbeda dalam hal penyerapan tinda dan warna putihnya, sebaiknya sesuaikan profil kertas di setting printer dengan kertas yang dipakai. Misal kertas foto jenis glossy, semi gloss, matte, dan juga ketebalannya.

printer foto

Printer masa kini tidak lagi hanya mengandalkan tinta warna dasar seperti RGB atau CMYK untuk mencetak foto. Untuk kekayaan warna bisa ditemui printer dengan 6 warna misalnya CMYK plus grey, atau bahkan ditambah light cyan dan light magenta. Semakin banyak tinta yang tersedia maka hasil cetaknya makin kaya warna dan bisa dibuat makin akurat.

Viewing all 1544 articles
Browse latest View live